Lingga melepaskan cekalan tangannya, melangkah lebar ke arah skat dapur. "Adis," serunya saat melihat Adis yang jongkok sambil memunguti pecahan gelas.
Adis mendongak, tersenyum palsu. "Licin gelasnya, pas mau nyalain dispenser malah jatuh—aaww!"
Adis ngangkat jarinya yang berdarah. Pecahan belih yang tadi ia ambil terlalu runcing dan membuat jari telunjuknya terluka.
"Yaampun kak Adis, udah nggak usah diberesin. Nada! Nad!" Lauren yang menghampiri langsung berteriak. Ia meraih kedia bahu Adis, membantunya untuk berdiri.
"Iya, non." Nada muncul dari skat dapur, berdiri di sebelah Lingga.
"Ini gelasnya pecah. Bersihin ya," suruh Lauren dan menuntuk Adis menuju ke kursi makan. "Gue ambilin obat."
Nada meremas jari-jemarinya. Ada rasa takut di dalam dada sana. Takut kalau Adis tadi mendengar perbincangannya sama Lingga. Hampir melangkah masuk ke dapur untuk mengambil sapu, tapi tangannya dicekal Lingga. Nada mendongak.
Bibir Lingga sedikit terbuka, terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan.
Nada melirik ke arah Lauren yang menenteng kotak obat. Menarik tangan sampai cekalan Lingga terlepas lalu lanjut masuk ke dapur.
Pukul 9.00pm
Lingga mengantarkan Adis pulang ke rumahnya. Jelas sekali terlihat ada kecanggungan antara keduanya. Adis tak ceria biasa dan kelihatan memendam sesuatu.
"Kamu tadi dengar?" Tanya Lingga tanpa menoleh ke Adis. Dia fokus menatap jalanan karna sedang menyetir.
Adis meremas tanagn sendiri yang ada di pangkuan. Lalu menoleh, menatap calon suami yang sangat ia cintai. Iya, Adis amat mendambakan Lingga. Dan keinginannya adalah menjadi istri Lingga.
"Enggak, aku nggak dengar apa-apa." Adis nyengir, nggak mau mengakui.
"Jangan bohong." Singkat Lingga menyahuti.
Berakting seperti tak tau apa-apa, tetap tersenyum ceria walau sebenarnya amat hancur. "Aku nggak bohong, Ling. Aku tadi... tadi licin gelasnya. Makanya sampai lepas dari tanganku."
Tak merespon penjelasan Adis, tapi Lingga tau kalau Adis tadi pasti mendengar kalimat Nada.
Saling diam, tepatnya Adis yang beberapa kali bicara tapi tidak mendapat respon Lingga. Sampai mobil memasuki halaman rumah tinggal Adis, Lingga tak mengatakan apa pun.
“Makasih ya, Ling, untuk hari ini. Waktumu yang full buat aku udah cukup bikin aku bahagia.” Adis mencondongkan badan, mengecup pipi kiri Lingga sebelum melangkah turun.
Lingga meneguk ludah melihat hal yang lama tak pernah Adis lakukan. Memerhatikan calon istrinya itu memutari mobil, lalu berdiri di tepian undakan teras. Lingga membuka kaca mobil, menatap Adis yang tersenyum manis padanya.
“Hati-hati,” kata Adis sembari melambaikan tangan.
Lingga membalas senyum itu. Ia kembali melajukan mobil meninggalkan halaman rumah Adisti. Jujur saja pikirannya kalut banget. Ingin sekali tak mempedulikan Nada yang sepertinya memang hamil, tapi sebrengsek-brengseknya dia, kalau ini menyangkut darah dagingnya, Lingga nggak bisa nggak memikirkan.
Pernikahannya tinggal di depan mata. bahkan semua kelaurga sudah berkumpul. Ngomong jujur ke mama dan papa sama aja memasukkan diri sendiri ke sumur angker. Tapi kalau Lingga nggak jujur, bagaimana nasib Nada?
Bhuk!
“Aarggh! Brengsek!” umpat Lingga, lalu menjambak rambut untuk melampiaskan kekesalan pada dirinya sendiri. “Kenapa gue bisa sampai lupa nggak pakai pengaman sih?! Huuftt ….”
‘Lo keenakan, anjir!’ gumamnya, mengatai miliknya yang tiap kali liat Nada pasti terasa berbeda.
**
Di sini, di rumah Bu Marlina, Adisti lagsung berlari masuk ke dalam kamar. Menutup pintu rapat, melangkah ke arah ranjang, membiarkan saja tas jinjingnya jatuh ke lantai. Kedua pipi putih Adisti berderai air mata. isakannya tak lagi ditahan-tahan. Dia terduduk di lantai, menyembunyikan wajah di antara dua kaki lalu menangis tergugu.
Tok! Tok! Tok!
“Dis, Adis,” panggil Bu Marlin dari luar pintu. Bu Marlin menempelkan telinga ke pintu, kembali mengetuk tapi tak mendapatkan respon. “Mama masuk ya, sayang.”
Ceklek!
Kedua mata mama Marlin melebar melihat anak satu-satunya menangis tergugu di sisi ranjang. Buru-buru ia menutup pintu dan melangkah mendekati Adis.
“Sayang, kamu kenapa? Kenapa menangis?” tanyanya dengan sangat khawatir.
“Hiks, mama….” Adisti memeluk mama Marlin yang ikut duduk di sebelahnya. Guguan tangisnya makin keras, karna Adis tak bisa menerima kenyataan kalau Lingga meniduri pembantu.
Mama Marlin mengusap lembut punggung Adis, membiarkan dulu Adis terus menangis agar perasaannya membaik.
“Ma,” seru Adis, mulai menarik diri dan mengusap kedua mata yang penuh sama air asin. “Aku cinta sama Lingga, Ma.”
Mama Marlin menyingkirkan helaian rambut yang ada di wajah Adisti. “Iya, mama tau. Pernikahan kamu sama Lingga sebentar lagi kok.”
Adis mengepalkan tangan. “Mama tau pembantu di rumahnya Lingga?”
Kening mama Marlin berlipat. “Yang belum lama itu? Yang masih … masih muda?”
Adis menganggukkan kepala. “Di—dia ngerayu-ngerayu Lingga, Ma.”
Kedua mata mama Marlin menajam. “Ngerayu? Gimana maksudnya?”
Adis menarik nafas dalam dan membuangnya pelan-pelan. Kembali tangannya bergerak, mengusap genangan di mata dengan kasar. “Ak—aku tadi… tadi aku nggak sengaja dengar pembicaraan dia sama… sama lelaki. Dia bilang… dia bilang kalau… kalau dia hamil, Ma.”
Mama Marlin masih belum paham arah cerita Adis, jadi dia tetap diam mendengarkan sampai tuntas.
“Kaya’nya lelaki berandal itu pacarnya si pembantu di rumah Lingga. Mereka rencanain sesuatu, Ma.”
“Rencanain apa?” tanya mama Marlin, menatap Adis serius.
Adis meneguk ludah dengan susah, tangannya makin kuat meremas kain dress yang dipakai. “Ngerayu Lingga dan akan ngaku kalau anak itu anaknya Lingga, Ma.”
Kedua mata mama Marlin melebar. “Masa’ sih, Dis?”
Adis mengangguk dengan begitu meyakinkan. “Aku denger tadi, Ma.” Mengangkat tangan kanannya, menunjukkan telunjuknya yang ditutup pakai penutup luka. “Aku tadi sampai mecahin gelas pas mau ambil minum. Karna aku terkejut dengar ombrolan pembantu itu sama Lingga.”
“Jadi pembantu bocah itu ngaku ke Lingga kalau yang ngehamili dia itu adalah Lingga?” tanya mama Marlin, ingin lebih meyakinkan.
Lagi, Adis mengangguk yakin. “Iya, Ma. Padahal hari sebelumnya tuh aku pernah liat pembantu itu sama cowok berandalan gitu, Ma. Dia ngaku kalau hamil tapi cowok itu Cuma brandal pasar yang tidurnya aja asal ngegeletak. Makanya mereka rencanain ini, Ma.”
Tangan mama Marlin mengepal dengan wajah galak yang penuh amarah. “Keterlaluan. Biar mama kasih tau Bu Ajeng. Biar dia diusir dari rumah itu!”
Rasa patah di dalam hati Adis berganti dengan semangat yang membara. Merasa lebih kuat karna dia memiliki banyak dukungan. “Pernikahanku sama Lingga tinggal sebentar lagi. Aku nggak mau kalau semuanya jadi kacau, Ma. Mama pernah dengar kabar kalau suami selingkuh sama babysiter atau pembantu. Aku takut kalau—kalau rumah tanggaku sama Lingga bakalan kaya’ gitu, Ma….”
Mama Marlin meraih tubuh Adis yang kembali menangis. Mengusap lembut lengan bahu Adisti. “Enggak, sayang. Mama pastikan pembantu bocah itu akan terusir dari rumah pak Fandi. Mama nggak ridho kalau sampai rumah tangga anak mama dihancurkan oleh debu comberan macam pembantu itu.” mama Marlin mengecup sisi kepala Adisti. “Kamu tenang aja. Jangan mikir yang macem-macem ya.”
.
10/02/2024
Begitu sampai di rumah, Lingga langsung masuk. Menjabat tangan tamu papa Fandi yang sedang ngobrol di ruang tamu. Dia pamit masuk ke dalam dengan alasan ingin ke kamar mandi. Lingga menghela nafas saat ada beberapa orang di ruang tengah. Pengen nyari Nada, pengen ngomongin tentang testpack dan masih ada yang mau ia bahas lagi. Tapi kalau ada banyak orang begini, Lingga takut semua mencurigainya. Santai kaya’ nggak ada masalah apa pun, Lingga melangkah ke kulkas. Mengambil botol air minum dingin dan menuangnya ke gelas. Melirik ke arah dapur untuk mencari keberadaan Nada. Dan sialnya di dapur Cuma ada Bu Sari sama ibu tetangga sebelah yang membantu mama Ajeng masak. Memberanikan diri masuk ke dapur. “Eh, Mas Lingga. Mau cari apa, Mas?” tanya bu Sari. “Uumm,” gumam Lingga, menggaruk sisi kepala. “Nada di mana? Mau nanyain kemeja yang kemarin dia setrika.” “Oh, si Nada tadi disuruh ibu beliin isi staples,” jawab Bu Sari. Lingga mengangguk
“Den,” panggil Nada ketika melihat Lingga sudah berpakaian rapi dan menggenggam kunci mobil. “Saya jangan ditinggal. Saya ikut pul—”“Kamu di sini saja. Nggak usah kembali ke rumahku.” Kata Lingga.Kedua mata Nada melebar mendengar kalimat itu. “Enggak, Den. Saya harus kembali. Saya—Den! Den Lingga!”Kedua bahu Nada melemah melihat Lingga yang langsung keluar dan menutup rapat pintu kamar. Mengejar sih masih bisa ya, tapi masalahnya Nada masih dalam posisi tak pakai baju. Rambutnya juga awut-awutan dan dia masih bau keringat.**“Eeggh….” Lengkuhan pelan keluar dari bibir Nada.Efek hamil muda dan sepertinya karna lelah menangis. Nada tertidur tanpa sempat membersihkan diri. Bahkan dia belum memakai pakaiannya kembali.Nada mulai menyipitkan kedua mata, menatap berkeliling. Mata terbuka lebar saat tau ruangan yang ia lihat bukanlah kamar yang biasa dipakai.
Ijab kobul yang berlangsung lancar, walau Lingga harus mengulanginya sampai tiga kali. Break sebentar untuk ganti kostum dan segera menuju ke aula party yang telah dipersiapkan dengan matang. Partynya mewah dan ramai oleh banyaknya tamu undangan dari berbagai daerah.Lingga si pebisnis muda, pak Fandi yang juga memiliki relasi bisnis pertama tentu teman-temannya juga ada banyak. Terlebih ini adalah pertama kali mereka memiliki acara besar.Pukul 8.30pmAdisti yang memang tidak sesehat orang-orang, sudah merasa amat lelah. Dia diantarkan Lauren untuk mundur. Istirahat di kamar pengantin; kamar hotel yang juga telah dipesan sebagai kamar pengantin.“Istirahat, kak. Nanti masih akan ada moment panjang lho,” goda Lauren sembari tertawa kecilAdisti nabok lengan Lauren pelan. “Iiihh, masih kecil juga!”“Hihihi… aku balik ke party lagi ya.”Adis menganggukkan kepala, membalas lambaian tangan Lauren. Menutup pintu kamar dan diam berdiri menatap ranjang king size berseprai putih di depannya.
Nada mengulum bibir, berusaha menahan desahan yang sebenarnya susah ditahan. Satu tangan yang tadi mencengkeram seprai itu berpindah, membekap mulut dan mendesah dalam persembunyian. Nafasnya memburu ketika Lingga berhenti bergerak, menjatuhkan tubuh berkeringat itu dan menindih tubuh kecil Nada.“Eeghh,” desah Nada tertahan ketika dadanya disesap terlalu kencang.Kembali lagi, Lingga meraih kedua tangan Nada, menggenggamnya dan bergerak maju mundur lebih cepat dari yang tadi.“Aahh….” Desahan panjang itu keluar dari bibir Lingga dan Nada ketika mereka berdua telah mencapai pada puncak permainan.Pelan-pelan Lingga menarik diri, menatap cairannya yang meluber karna terlalu penuh di dalam rahim Nada. Lingga mengambil celananya yang tergeletak di lantai. Dengan masih betelanjang ia mengusap layar hp yang menyala.“Hallo,” sapanya sembari menempelkan hp itu ke telinga.“Kamu di mana, Ling?” tanya Adis di seberang sana.Lingga mengasak-acak rambutnya yang basah karna keringat. “Aku di cof
Nada menyampirkan tas ransel ke bahu. Menatap kamar yang selama sebeberapa bulan telah menjadi tempat istirahatnya. Rasanya sudah amat nyaman di dalam kamar ini. walau memang kamar pembantu, tapi… setidaknya kamarnya tidak buruk.Tangan Nada mengusap kasur di atas ranjang kecil. Ia mendengus mengingat beberapa kejadian yang membuatnya harus terusir secara paksa dari rumah ini. Nada meremas seprai berwarna cokelat yang ia pegang. Wajah tampan Lingga dan kalimat manisnya terlintas di kepala. Terakhir Lingga telah berjanji untuk bertanggung jawab, untuk menceraikan Adis kemudian menikahinya. Tapi apa? Lingga malah pergi tanpa pamit. Pergi begitu saja….Dirasa terlalu lama merenungi semua itu, Nada melangkah keluar dari kamar. Satu tangannya menenteng tas berisi beberapa baju dan barangnya. Genggaman di tas mengerat ketika kedua mata melihat bu Marlin yang sedang duduk di ruang tengah, sedang ngobrol sama bu Ajeng dan Lauren.“Nad,” seru Lauren. Lalu dua wanita yang bersama dengannya itu
“Telpon mama nggak diangkat juga?” tanya Adis ketika melihat mama Ajeng menarik hp dari telinga.Mama Ajeng menatap lekat wajah menantunya yang dipenuhi emosi dan amarah. “Sebenarnya kamu dan Lingga ada masalah apa, Dis. Ayok duduk, ceritakan ke mama,” ajak mama Ajeng, menyentuh lengan Adis untuk mengajak duduk di sofa ruang tengah.Adis memejam dalam, memutar bola mata dan menarik nafas dengan posisi kedua tangan menekuk di pinggang. Benar-benar dia tak lagi bisa berpura lemah lembut selayaknya orang sakit-sakitan. Emosi dan amarahnya tak bisa dipendam lagi. Terlebih Lingga sudah mengatakan ‘cerai’ padanya. Katanya kata cerai dari bibir suami itu sama halnya talak satu, kan?Ah, tapi Adis tak peduli dengan talak seperti itu. Baginya, selama belum ada surat cerai, Lingga tetap sah miliknya sendiri.“Bu Sari, tolong ambilkan air putih!” suruh mama Ajeng, berteriak ke arah dapur.Tak lama bu Sari pengganti Nada, tergopoh-gopoh membawa segelas air putih dan meletakkannya di atas meja. “S
Nada mendorong Alfa sampai pelukan cowok yang seumuran dengannya itu terlepas. Wajah Nada terlihat kurang nyaman. “Nad, maaf. Aku… aku….” Alfa mengacak rambut bagian belakang. Terlihat salah tingkah dan malu. Saking kangennya sama Nada, Alfa sampai lupa kalau mereka ada di pinggir jalan. Faiz, adik Nada yang duduk di bangku SMA tertawa melihat tingkah Alfa. “Hadeww! Alay!” ledeknya. Lingga melangkah mendekat dan mengulurkan sebotol air putih ke Nada. Tatapannya terarah pada dua remaja yang jarak umurnya tak terlalu jauh. “Adiknya Nada?” tanya Lingga ke Alfa, karna yang tepat ada di hadapannya adalah Alfa. Sementara Faiz ada di tepi trotoar, nangkring di atas motor. Alfa melirik Nada dan keduanya beradu tatap. “Dia… dia dulu teman sekolah saya, Mas. Dan saya sama dia satu kampung beda Rt.” Nada yang menjawab. “Mas Lingga bonceng Alfa ya. Aku sama Faiz.” “Nad—” panggil Alfa, tapi Nada seperti menghindar. Gadis itu sudah melangkah menghampiri Faiz dan menepuk bahu Faiz, meminta untu
“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya pak ustad yang menikahkan Nada dan Lingga.“Sah!!” semua serempak menyahuti.“Alhamdulilahirobil’alamin….”Lalu doa dipanjatkan, orang-orang satu Rt telah menjadi saksi pernikahan Lingga dan Nada secara siri. Malam ini juga, dengan KTP Lingga yang statusnya ‘belum kawin’, pak Rt dan para bapak-bapak setempat percaya. Pernikahan yang tanpa rencana dan pernikahan dadakan telah terjadi. Bukan apa, semua mereka lakukan karna Nada sudah berbadan dua.“Mas,” panggil Nada yang duduk di tepi kasur, di dalam kamar Nada sendiri.Ini mereka status sudah suami istri, makanya bu Salma dan Faiz juga mengijinkan Nada sekamar sama Lingga. Nada menatap tak tega pada wajah Lingga yang membengkak. satu matanya sampai tak bisa terbuka karna bekas pukulan Faiz tadi.Dengan satu mata Lingga menatap Nada. Tangannya memegang tangan Nada, lalu menggenggamnya. “Maafkan aku, Nad….”Nada menunduk, menyembunyikan kedua mata yang ingin menangis. Setiap orang pasti memiliki pernik
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
“Mamamama….”Pagi menyapa dan cerewetnya Yoona yang pertama masuk ke pendengaran Nada. Pelan-pelan ia membuka mata, menyipit dan tersenyum saat ternyata anaknya sudah bangun. Yoona duduk anteng di depannya sambil memainkan sesuatu.Sesuatu berupa bh yang dua cupnya berbentuk bunga mawar berwarna merah itu ditarik-tarik Yoona. Kaya’ yang gemes pengen lepasin bunga mawar itu dan membuangnya.Nada menepuk kening dan mencoba meminta barang dinasnya itu. “Na, mama minta.” Ia menengadahkan tangan.Yoona melirik, bibirnya mengerucut. bukannya memberikan, tapi bocah kecil yang tubuhnya berisi itu mengingsut duduk. Membelakangi mamanya dan kembali melakukan aktifitas, menarik-narik kelopak mawar merah itu.“Cckk, salahku sih. Kenapa juga nggak lempar itu di lantai aja. Sampai ditemuin sama Yoona.” Nada menggerutu sendiri. Ia bangun, kedua mata melebar saat bagian dadanya terekspos karna telanjang setelah semalam kembali dihabisi oleh suaminya.“Nen, mama nen.” Yoona menuding ke arah dada maman
“Suster Wati nggak telpon. Padahal ini udah hampir siang,” gumam Nada setelah melihat layar hp-nya yang sepi.Lingga menggeser kelapa muda yang milik Nada. “Berarti Yoona nggak rewel, sayang.”“Kurang percaya aku, Mas. Aku mau vidio call.” Nada memutuskan menekan tanda panggilan vidio di pojok layar.Tak lama layar hp Nada berubah menjadi wajahnya suster Wati. Seorang suster yang telah Lingga sewa untuk menjaga Yoona selama satu minggu di Bali ini.“Bu,” sapa suster Wati.“Yoona nggak rewel, mbak?” tanya Nada.Kamera beralih menjadi kamera belakang, memperlihatkan Yoona yang sibuk mainan pasir ajaib di sebuah ruangan yang khusus untuk bermain balita. Dan ada beberapa balita juga, nggak Cuma Yoona saja.“Dari tadi anteng, Bu. Sambil saya kasih roti sama minum susu.”Nada tersenyum dengan helaan penuh lega. “Jangan lupa nanti tidur siang ya, mbak.”“Iya, Bu. Ini udah jam sebelas lebih. bentar lagi, kalau Yoona udah makan siang. Saya nina bobo.” Jawab suster sopan.Nada menganggukkan kep
Bali.Yang Nada pilih adalah pulau Bali. Lingga sudah menawari untuk ke Prancis, atau ke Korea, atau ke negara yang lainnya. Tapi Nada tetep, pengennya ke Bali. Pengen mengunjungi yang masih ada di satu negara lebih dulu. Dan jika masih diberi waktu lagi, baru dia ingin mencoba ke luar negri.Lingga memilih villa yang privat. Hanya orang-orang penghuni villa VIP saja yang bisa mengunjungi pantai. Villanya ada tepat di tebing, di atas pantai dan bisa dikatakan jika ada di atas bebatuan tebing. Dengan lift mereka berdua turun.Nada tersenyum bahagia ketika kakinya yang memakai sendal jepit itu menginjak pasir putih, pasir pantai Bali. “Yaampun, indah banget….” Pujinya dengan wajah berbinar dan matanya mengelilingi pemandangan yang memang indah, sejuk serta … serasa dunia milik mereka berdua.Lingga memeluk Nada dari belakang, dagunya bertopan di bahu sebelah kanan sambil menikmati belaian angin pantai yang menerpa wajahnya.Nada memejamkan kedua mata, kedua tangan terlentang dan menghir
“Aaahh,” desah Lingga sambil terus bergerak di atas tubuh Nada. Tangannya memegangi kedua kaki Nada yang dikangkangkan lebar.Nada menggigit bibir, menutup mulut agar tidak mendesah kencang karna takut mengganggu tidur Yoona. Kepalanya menggeleng ketika pergerakan Lingga semakin cepat, dan dia sendiri sedikit menggelinjang karna telah mencapai titik puncak. Nada mengamati suami yang masih diam di depannya. Tubuh putih berotot Lingga dipenuhi oleh keringat. Rambutnya yang sedikit memanjang itu pun sampai basah dan ada keringat yang menetes dari pelipisnya.Pelan Lingga menarik barangnya sambil mengamati barang berharga milik istrinya yang ia tinggalkan. Cairan putih kentalnya mengalir keluar dari milik Nada. Lingga mengambil tissu, mengusap milik istrinya itu dengan tissu. Setelahnya membersihkan miliknya sendiri sambil duduk di tepi ranjang menunggu keringatnya habis.Nada beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi sambil membawa dress tidurnya. Cuma sebentar, karna Cuma membersihkan y
Caffe shop, caffe kecil yang ada di depan gedung perusahaan milik Lingga pribadi. Di sini Adis duduk menatap ke arah gedung perusahaan yang tentunya tidak sebesar perusahaan miliknya. Lebih tepatnya milik papa Fandi dan almarhum papanya.Adis menegakkan tubuh, merapikan penampilannya saat melihat mobil hitam yang memasuki halaman caffe shop. Awas ia menatap mobil itu. Mengulum bibir ketika melihat pintu bagian kemudi dibuka dan seorang lelaki yang memang ia tunggu telah melangkah turun.Lingga, lelaki yang sampai detik ini tetap paling tampan di mata Adis. Lelaki yang bagi Adis telah mendekati sempurna, tapi sayangnya… dia tak berjodoh.“Lingga,” sapa Adis, mengangkat sedikit tangannya.Lingga yang baru memasuki pintu caffe mendekat. Mengulurkan tangan ke Adis, mengajak jabatan.Tak langsung meraih tangan itu, Adis menunduk menatap telapak tangan yang mengarah padanya lebih dulu.“Lama sekali tak pernah bertemu. Kabar baik, kan hari ini?” tanya Lingga.Adis tersenyum, menyambut tangan