“Mas, sarapan,” ajak Nada setelah masuk ke kamar yang dipakai Lingga.Lingga menaruh hpnya di atas meja, pelan ia menurunkan kedua kaki dan duduk menatap Nada yang berdiri di ambang pintu. “Nad,” panggilnya. “Aku harus kembali ke Jakarta nanti sore, karna ada pekerjaan yang nggak bisa aku tunda. Kamu ikut ya,” pintanya.Kedua mata Nada mengerjab, terlihat bingung. Nada belum siap menghadapi kemarahan bu Marlin, atau Adisti. Lalu bu Ajeng? Pak Fandi? Bagaimana jika mereka nekat mendatangi ibunya di sini dan mengatakan sesuatu yang salah? Iya, memang berkesan Nada telah merebut suami orang, tapi Nada nggak salah. Karna kejadiannya memang berasal dari Lingga. Soal ibu, itu tak akan masalah, tapi bagaimana dengan tetangga?“Kamu bisa tinggal di apartemenku yang waktu itu. Aku akan bicara baik-baik ke mama dan papa. Jika mereka sudah tau situasi yang sebenarnya, kita temui mereka. Oke?” bujuk Lingga yang enggak mau berjauhan sama Nada.Nada menggigit bibir bagian dalam, pelan-pelan ia mend
Pagi menyapa. Seperti pada kebiasaannya, Nada bangun jam setengah lima pagi. Kedua mata menyipit, terbuka cepat saat menemukan ada sesuatu yang menumpang di perutnya. Nada menggigit bibir, menekan dada yang tiba-tiba berdebar. Menit kemudian ia tersenyum malu smapai pipinya merona. Ini untuk pertama kali ia tidur seranjang dengan Lingga. Dan di kelonin seperti ini. Hangat, nyaman dan perutnya yang kalau pagi sering terasa mual itu menghilang. Rasanya lain dari biasanya. Kedua mata Nada melebar ketika tangan Lingga makin memeluk dan membuat punggungnya teramat mepet dengan tubuh Lingga. Pelan Nada menoleh, terkejut karna ternyata Lingga sudah terjaga. Memejam sebentar saat Lingga mendaratkan kecupan di pipinya. “Bisa tidur?” tanya Lingga, jari-jemari di perut Nada bergerak kecil. mengusap-usap perut Nada yang terlapisi kaos warna putih. Nada meneguk ludah, mengangguk dengan begitu meyakinkan. Nada mengubah posisi, yang tadinya miring sekarang jadi terlentang dan menatap Lingga yang
Seharian bebersih rumah yang sebenarnya nggak begitu kotor. Lingga membayar jasa ceaning service untuk membersihkan unit apartemen seminggu sekali. Jarang ditempati, tentunya tidak akan terlalu kotor. Hanya beberapa debu yang butuh usapan.Sekarang Nada mengusap perut yang terasa kenyang. Hati yang bahagia membuatnya tidak merasakan mual lagi. Sungguh berbeda jauh saat ia masih bekerja di rumah orang tua Lingga dulu.Nada melirik jam dinding yang menunjuk di angka tujuh. Suaminya belum pulang, padahal Lingga bilang akan pulang cepat. Mendadak mulai kepikiran sama Adis yang tentu masih menjadi istri sahnya Lingga. Sementara dirinya malah hanya istri siri.Nada menatap hp yang hening. Biasanya akan ada chat dari Alfa, tapi semenjak pulangnya kemarin itu, Alfa sudah menghilang. Dan ternyata hampa itu mulai terasa. Bukannya egois, tapi dijauhi oleh orang yang biasanya peduli, kosongnya tuh beneran kerasa banget.Nada menghela nafasnya. Memilih beranjak dari sofa ruang tengah dan melangkah
Lingga memerhatikan Adis yang mendesah dengan permainannya sendiri. Ya, Lingga tetap diam, diam mengamati istrinya yang sudah bugil dan sedang sibuk mencari kepuasannya sendiri.“Aaahh, aahhh,” desahan itu beberapa kali keluar dengan wajah manja penuh nafsu.Satu tangan Adis mengusap-usap milik Lingga yang berhasil berdiri. Sementara satu tangan yang lain mengusap daging kecil miliknya sendiri dengan posisi mengangkang di atas tubuh Lingga.“Aaahh….” Kedua mata Adis memejam, tubuhnya menegang dan meliuk merasakan rasa geli dari permainan tangannya. Tak menunggu cairannya keluar, cepat Adis memposisikan diri. “Aaah….” Kembali ia melengkuh saat berhasil memasukkan milik suami ke dalam rumah miliknya. Detik kemudian Adis menjatuhkan tubuh mengecupi kulit tubuh Lingga yang berotot. “Ling, aku tau kamu juga pengen. Ayo, Ling, mainain aku,” pintanya meraba-raba bibir Lingga.Lingga melengos ketika bibir Adis hampir menyentuh bibirnya.Ditolak suami sendiri itu rasanya nggak enak. Apa lagi d
Pagi menyapa.Nada terusik saat ada yang mengusap-usap bagian bawah perutnya. ia membuka mata, menoleh sedikit dan mendapati suami yang langsung mengecup pipi.“Mas,” lirih Nada dengan suara khas bangun tidur.“Aku pengen, Nad,” pinta Lingga, tepat di telinga Nada.Tangannya menelusup masuk ke celana pendek yang Nada pakai. Mengusap-usap bagian bawah Nada. Bibirnya bergerak mengecupi leher Nada, lalu menyingkap kaos yang Nada pakai dan mulai asik di dada Nada yang bertambah bulat.“Mass, aeegh—” Nada menutup mulut dengan tangan. Tetap tak tahan akan rasa geli dari permainan tangan Lingga yang terus-terusan menekan-nekan daging kecilnya, Nada melengkuh lirih. Ia mencengkeram bahu Lingga dan menggelengkan kepala. “Mas, aku pengen pipis, udah… eeghh,” pintanya, tak tahan.Bukannya berhenti, tapi Lingga justru memasukkan satu jadi tengahnya ke lubang di bawah sana. bergerak pelan keluar masuk sampai dirasa milik Nada telah basah. Lingga menarik diri, menarik celana Nada dan membantu istri
Pak Fandi menatap berkeliling di ruang tamu, tanpa mempedulikan Nda, ia melangkah lebih masuk ke dalam. Menatap ke setiap sudut ruang tengah dan tatapannya terhenti pada pintu kamar yang sedikit terbuka.“Enak, dari babu jadi ratu?” tanya pak Fandi, menoleh dan menatap sinis ke Nada.Nada meremas-remas jari-jemari sendiri dengan dada yang berdebar tak normal. Di kepalanya ada banyak rangkaian kata yang akan ia gunakan menjawab setiap kata yang nanti dilontarkan pak Fandi, papa mertuanya.Pak Fandi menarik kursi di meja makan. Mejanya belum selesai Nada rapikan. “Habis makan siang barengan,” kata pak Fandi, lalu mendudukkan pantat di kursi dengan satu kaki yang menumpang ke kakinya yang lain. “Kamu pernah memikirkan perasaan Adis?”“Saya tidak pernah meminta Mas Lingga untuk meniduri saya. Saya juga tidak merencanakan untuk hamil, tapi saya sudah hamil sebelum mas Lingga dan mbak Adis menikah.”Kedua m
“Bokap lo minta ke gue untuk nggak lanjutin perceraian lo, brow.” Baru beberapa detik duduk di kursi depan meja kerja Lingga dan Faisal sudah membawa berita buruk.Lingga menghela nafas, karna dia sudah tau jika papanya akan melakukan hal seperti ini. “Jangan dihiraukan.”Satu alis Faisal bergerak ke atas. “Gue bakalan kena masalah nggak?”Lingga melirik sebentar. “Gue yang jamin.”Faisal tersenyum dengan helaan nafas lega. Udah lama Faisal jadi pengacaranya Lingga. Masalah apa pun, Faisal yang menyelesaikannya. Jadi si Faisalnya udah hafal banget.“Yang jelas gue males datang. Ada vidio yang kemarin sama fotonya. Itu udah bisa jadi bukti, kan?”Faisal mengangguk. “Ling, jadi beneran si Adis udah dipakai beberapa pria?”Lingga menatap malas. “Gue nggak punya waktu buat ngedit-ngedit vidio. Yang gue kirim ke elo, itu apa adanya. Rekaman si Roland juga tanpa g
Begitu mobilnya sudah terparkir di basemen, Lingga segera turun dan bergegas masuk ke gedung apartemen. Buru-buru ia melangkah menuju ke unitnya. Menempelkan card id ke pintu dan pintu langsung terbuka.“Nad, Nada,” panggilnya, tak sabar. Ada rasa trenyuh saat melihat Nada muncul di pintu kamar yang mereka huni. “Nada….” Lirih Lingga, meraih tubuh kecil Nada ke pelukan.Nada membalas pelukan, tersenyum haru mendapatkan perlakuan seperti ini dari Lingga. Senang pastinya, karna perlakuan ini menunjukkan jika Lingga memang peduli dengan keadaannya. Air mata bahagia penuh kelegaan tak bisa Nada bendung. Dia terisak dalam dekapan suaminya.Menit berlalu Lingga mengendurkan pelukan, membingkai wajah Nada dan mengusap kedua bulir yang mengalir di pipi Nada. “Maafkan aku, Nad,” ucapnya dengan wajah bersalah.Nada mengangguk merespon permintaan maaf Lingga. Ia mengusap kasar kedua mata yang akan kembali menangis. “A
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
“Mamamama….”Pagi menyapa dan cerewetnya Yoona yang pertama masuk ke pendengaran Nada. Pelan-pelan ia membuka mata, menyipit dan tersenyum saat ternyata anaknya sudah bangun. Yoona duduk anteng di depannya sambil memainkan sesuatu.Sesuatu berupa bh yang dua cupnya berbentuk bunga mawar berwarna merah itu ditarik-tarik Yoona. Kaya’ yang gemes pengen lepasin bunga mawar itu dan membuangnya.Nada menepuk kening dan mencoba meminta barang dinasnya itu. “Na, mama minta.” Ia menengadahkan tangan.Yoona melirik, bibirnya mengerucut. bukannya memberikan, tapi bocah kecil yang tubuhnya berisi itu mengingsut duduk. Membelakangi mamanya dan kembali melakukan aktifitas, menarik-narik kelopak mawar merah itu.“Cckk, salahku sih. Kenapa juga nggak lempar itu di lantai aja. Sampai ditemuin sama Yoona.” Nada menggerutu sendiri. Ia bangun, kedua mata melebar saat bagian dadanya terekspos karna telanjang setelah semalam kembali dihabisi oleh suaminya.“Nen, mama nen.” Yoona menuding ke arah dada maman
“Suster Wati nggak telpon. Padahal ini udah hampir siang,” gumam Nada setelah melihat layar hp-nya yang sepi.Lingga menggeser kelapa muda yang milik Nada. “Berarti Yoona nggak rewel, sayang.”“Kurang percaya aku, Mas. Aku mau vidio call.” Nada memutuskan menekan tanda panggilan vidio di pojok layar.Tak lama layar hp Nada berubah menjadi wajahnya suster Wati. Seorang suster yang telah Lingga sewa untuk menjaga Yoona selama satu minggu di Bali ini.“Bu,” sapa suster Wati.“Yoona nggak rewel, mbak?” tanya Nada.Kamera beralih menjadi kamera belakang, memperlihatkan Yoona yang sibuk mainan pasir ajaib di sebuah ruangan yang khusus untuk bermain balita. Dan ada beberapa balita juga, nggak Cuma Yoona saja.“Dari tadi anteng, Bu. Sambil saya kasih roti sama minum susu.”Nada tersenyum dengan helaan penuh lega. “Jangan lupa nanti tidur siang ya, mbak.”“Iya, Bu. Ini udah jam sebelas lebih. bentar lagi, kalau Yoona udah makan siang. Saya nina bobo.” Jawab suster sopan.Nada menganggukkan kep
Bali.Yang Nada pilih adalah pulau Bali. Lingga sudah menawari untuk ke Prancis, atau ke Korea, atau ke negara yang lainnya. Tapi Nada tetep, pengennya ke Bali. Pengen mengunjungi yang masih ada di satu negara lebih dulu. Dan jika masih diberi waktu lagi, baru dia ingin mencoba ke luar negri.Lingga memilih villa yang privat. Hanya orang-orang penghuni villa VIP saja yang bisa mengunjungi pantai. Villanya ada tepat di tebing, di atas pantai dan bisa dikatakan jika ada di atas bebatuan tebing. Dengan lift mereka berdua turun.Nada tersenyum bahagia ketika kakinya yang memakai sendal jepit itu menginjak pasir putih, pasir pantai Bali. “Yaampun, indah banget….” Pujinya dengan wajah berbinar dan matanya mengelilingi pemandangan yang memang indah, sejuk serta … serasa dunia milik mereka berdua.Lingga memeluk Nada dari belakang, dagunya bertopan di bahu sebelah kanan sambil menikmati belaian angin pantai yang menerpa wajahnya.Nada memejamkan kedua mata, kedua tangan terlentang dan menghir
“Aaahh,” desah Lingga sambil terus bergerak di atas tubuh Nada. Tangannya memegangi kedua kaki Nada yang dikangkangkan lebar.Nada menggigit bibir, menutup mulut agar tidak mendesah kencang karna takut mengganggu tidur Yoona. Kepalanya menggeleng ketika pergerakan Lingga semakin cepat, dan dia sendiri sedikit menggelinjang karna telah mencapai titik puncak. Nada mengamati suami yang masih diam di depannya. Tubuh putih berotot Lingga dipenuhi oleh keringat. Rambutnya yang sedikit memanjang itu pun sampai basah dan ada keringat yang menetes dari pelipisnya.Pelan Lingga menarik barangnya sambil mengamati barang berharga milik istrinya yang ia tinggalkan. Cairan putih kentalnya mengalir keluar dari milik Nada. Lingga mengambil tissu, mengusap milik istrinya itu dengan tissu. Setelahnya membersihkan miliknya sendiri sambil duduk di tepi ranjang menunggu keringatnya habis.Nada beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi sambil membawa dress tidurnya. Cuma sebentar, karna Cuma membersihkan y
Caffe shop, caffe kecil yang ada di depan gedung perusahaan milik Lingga pribadi. Di sini Adis duduk menatap ke arah gedung perusahaan yang tentunya tidak sebesar perusahaan miliknya. Lebih tepatnya milik papa Fandi dan almarhum papanya.Adis menegakkan tubuh, merapikan penampilannya saat melihat mobil hitam yang memasuki halaman caffe shop. Awas ia menatap mobil itu. Mengulum bibir ketika melihat pintu bagian kemudi dibuka dan seorang lelaki yang memang ia tunggu telah melangkah turun.Lingga, lelaki yang sampai detik ini tetap paling tampan di mata Adis. Lelaki yang bagi Adis telah mendekati sempurna, tapi sayangnya… dia tak berjodoh.“Lingga,” sapa Adis, mengangkat sedikit tangannya.Lingga yang baru memasuki pintu caffe mendekat. Mengulurkan tangan ke Adis, mengajak jabatan.Tak langsung meraih tangan itu, Adis menunduk menatap telapak tangan yang mengarah padanya lebih dulu.“Lama sekali tak pernah bertemu. Kabar baik, kan hari ini?” tanya Lingga.Adis tersenyum, menyambut tangan