Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
“Aaahh ….”Lengkuhan panjang itu keluar dari bibir Lingga saat dia berhasil mendapatkan kepuasan yang dimau. “Jangan menangis, nanti aku akan memberimu uang,” katanya santai.Dengan tanpa rasa bersalah Lingga beranjak dari atas ranjang. Memunguti baju dan celana yang berserakan di lantai. Menoleh sebentar, menatap gadis yang masih menangis dengan tangan yang mengenggam erat selimut. Matanya menatap ke arah seprai yang terdapat noda merah, menandakan jika ia baru saja merenggut keprawanan seorang gadis.Ah, tapi Lingga tidak akan mengambil dengan gratis kok. Hari ini dia tidak memiliki uang cash, jadi dia harus pergi ke atm dulu untuk menarik uang. Membiarkan gadis itu begitu saja, memilih melangkah pergi, keluar dari kamar pembantu.Sedangkan Nada, gadis berusia 20 tahun kurang beberapa bulan. Gadis yang baru sebulan bekerja di rumah besar ini, masih meringkuk di atas ranjang. Di usianya yang masih sangat muda, baru satu tahun lalu menyelesaikan sekolah di SMA. Pagi ini dia telah kehi
Mobil warna hitam yang Lingga kendarai berhenti tepat di depan rumah besar tempat tinggal Adis. Lingga menoleh tanpa mematikan mesin mobil.“Aku langsung ke kantor ya,” katanya.Ada rasa ingin protes. Jam longgar Lingga enggak banyak dan seringnya mereka berdua bisa jalan jika menemani Adis cek up seperti tadi itu. Setelahnya, Lingga akan kembali sibuk di kantor. Bukankah wajar seorang kekasih menginginkan banyak waktu berduaan?“Uumm, enggak mampir? Mama ada di rumah.” Adis menawari dan sangat berharap Lingga bisa duduk sebentar di rumahnya.Lingga mengangkat tangan kiri, menatap jam yang melingkar di sana. “Jam sepuluh aku ada janji temu sama pak Ragil. Aku harus nyiapin berkas dan file yang mau kupresentasikan ke beliau. Aku mampirnya kapan-kapan aja, oke?”Kedua bahu Adis melemah, jelas terlihat kalau dia kecewa.Lingga tersenyum manis, menarik tengkuk Adis dan mendaratkan kecupan di kening Adis cukup lama. “Jangan cemberut gitu. Cantiknya luntur.” Gombalnya sembari mencubit manja
Slep! “Aaa!” jerit Nada, berusaha melepaskan tangan Lingga yang mencekal lengannya. “Eeggh!” dia menggerang karna bibirnya dibekap dengan telapak tangan besar milik Lingga. Lalu menggelengkan kepala. Wajahnya sudah berderai air mata. Lingga memepet Nada di tembok sebelah jendela yang belum sempat dibuka. “Jangan teriak! Aku bisa membunuhmu dan membuang jasadmu di laut lepas sana! Setelahnya, keluargamu di kampung sana akan menerima akibatnya!” ancam Lingga. Bulir menetes begitu saja di pipi putih Nada. Takut dan dalam dadanya sana terasa sakit karna perlakuan Lingga ini. Tangannya yang berusaha menarik lengan tanggan Lingga itu sedikit melemah. “Kamu tinggal diam, menikmati apa yang aku lakukan. Jangan menolak karna aku akan membayarmu. Aku tidak mengambil kenikmatan itu dengan gratis, kan?” satu sudut bibir Lingga tertarik ke atas. “Kamu saja yang sok-sok’an tidak mau menerima uangku. Padahal kamu ada di sini karna mencari uang.” Mata Nada yang tergenang embun bening itu melebar
Gelas keramik khusus yang memang udah jadi takaran kopinya Lingga. Gula dan kopi udah melekat di tangan Nada. Maksudnya si Nada udah hafal seberapa takar kesukaan Lingga. Pelan Nada melangkah menaiki undakan tangga. Kedua tangan membawa nampan berisi segelas kopi. Kepala Nada sibuk dengan bayangan detik-detik di depan mata. Setelah pagi hari yang waktu itu, Lingga tidak pernah menyusup ke kamarnya lagi. Nada juga berhasil menjauh dan hampir tidak pernah bertemu dengan Lingga walau ada di satu rumah. Kedua kaki Nada berdiri tepat di depan pintu kamar Lingga. Beberapa kali Nada meneguk ludah. Menarik nafas dalam dan membuangnya pelan-pelan. Nada celingukan menatap ke kiri kanan. Lantai atas sepi, benar-benar sepi karna Lauren ada di bawah. Saudara-saudara pak Fandi sedang keluar, jalan-jalan entah ke mana. “Den—aaa—eeggh!” Mulut Nada baru saja terbuka, baru memanggil dan akan berteriak. Tapi pintu di depannya terbuka cepat. Tangan Nada langsung ditarik. Nampan yang miring dan gelasny