Mobil warna hitam yang Lingga kendarai berhenti tepat di depan rumah besar tempat tinggal Adis. Lingga menoleh tanpa mematikan mesin mobil.
“Aku langsung ke kantor ya,” katanya.
Ada rasa ingin protes. Jam longgar Lingga enggak banyak dan seringnya mereka berdua bisa jalan jika menemani Adis cek up seperti tadi itu. Setelahnya, Lingga akan kembali sibuk di kantor. Bukankah wajar seorang kekasih menginginkan banyak waktu berduaan?
“Uumm, enggak mampir? Mama ada di rumah.” Adis menawari dan sangat berharap Lingga bisa duduk sebentar di rumahnya.
Lingga mengangkat tangan kiri, menatap jam yang melingkar di sana. “Jam sepuluh aku ada janji temu sama pak Ragil. Aku harus nyiapin berkas dan file yang mau kupresentasikan ke beliau. Aku mampirnya kapan-kapan aja, oke?”
Kedua bahu Adis melemah, jelas terlihat kalau dia kecewa.
Lingga tersenyum manis, menarik tengkuk Adis dan mendaratkan kecupan di kening Adis cukup lama. “Jangan cemberut gitu. Cantiknya luntur.” Gombalnya sembari mencubit manja pipi Adis.
Adis memukul dada Lingga pelan dengan senyum malu-malu. “Jangan terlalu memforsir tenaga, Ling. Kamu masih manusia, masih butuh waktu santai juga. Butuh jalan-jalan untuk refresh otak.”
“Cckk, dari dulu kamu emang yang paling perhatian. Makin sayang aku,” kata Lingga, ngegombal lagi.
Adis jadi tertawa kecil. Tentu senang mendengar kalimat Lingga tadi.
“Ya udah, aku balik ke kantor ya.” Kembali Lingga mengulangi pamitnya.
Adis menganggukkan kepala. Mulai melepaskan sabuk pengaman dan membenarkan tali tasnya. “Hati-hati ya, Ling.”
**
Ting tung! Ting tung!
Suara bel rumah membuat Nada meninggalkan pekerjaan. Gegas dia melangkah lebar menuju pintu depan. Nada tersenyum tipis saat melihat Lauren, adiknya Lingga.
“Mau saya bantu bawa, non?” Nada menawarkan bantuan saat melihat tangan Lauren yang menenteng tas.
“Iya lah, bawain!” Lauren menyerahkan tas itu ke Nada. Tatapan Lauren mengelilingi rumah. “Sepi bener, Nad?”
“Tuan sama nyonya belum pulang, non.” Nada mengikuti langkah Lauren menuju ruang tengah. “Ini baju kotor, non? Kalau iya, biar saya taruh di belakang saja.”
Lauren mengangguk disela menuang air putih ke gelas. “Iya, itu baju kotor.”
“Non Lauren mau dibuatkan sesuatu? Minuman hangat, atau makanan … uumm, mie kuah?” Nada menawarkan lagi.
Lauren menerawang, membayangkan makanan atau apa pun. “Boleh deh, mie kuah yang soto. Tapi entaran. Gue mau mandi dulu.”
“Oh, iya, non. Saya selesaikan jemur baju dulu berarti.”
“Hhmm.” Singkat Lauren membalas. Dia tersenyum melihat Nada yang melangkah ke belakang, ke tempat cucian.
Ini yang membuat Lauren suka sama Nada. Nada itu cekatan, ramah dan kerjanya bagus. Nada juga banyak inisiatif. Kerjanya nggak Cuma monoton yang keliatan aja, bahkan kadang-kadang Lauren nyuruh Nada bantu ngerjain tugas kuliah juga.
Waktu semakin larut dan di luar sudah gelap, berganti sama terangnya lampu jalanan. Nada baru saja mengantarkan kopi untuk pak Saidi yang kerja serabutan di rumah ini.
Tin!
Suara klakson dari luar gerbang membuat pak Saidi yang baru akan mencomot gorengan singkong itu gagal. Dengan tergesa pak Saidi membukakan pintu gerbang.
Nada menggenggam erat nampan yang ada di tangan saat melihat mobil hitam milik Lingga itu melaju masuk. Cuma lihat mobilnya karna kaca mobil itu gelap dan ditutup rapat, tapi reaksi di dalam hatinya sana sungguh luar biasa. Emosinya terasa membuncah, terasa ingin membunuh lelaki yang sudah melecehkannya itu. Cckk, tapi kenyataannya Nada nggak bisa melakukannya.
Nada kembali masuk ke dalam rumah melewati pintu samping, pintu dapur. Walau Lingga sudah kembali ke rumah, Nada tak begitu takut karna setidaknya di rumah masih ada Lauren. Jadi malam ini dia tidak hanya jaga rumah berdua dengan Lingga.
“Kak, mana titipan gue?”
Melihat Lingga yang muncul di ruang tengah, Lauren langsung menodong dengan tangan yang menengadah. Kedua mata Lauren berbinar melihat tangan Lingga yang menenteng plastik bening berisi kardus box pesanannya.
“Yuuhuu!” teriak Lauren, sumringah. Bergegas dia mengambil martabak telur dari tangan Lingga dan membawanya ke meja makan. “Nad, Nada! Ambil piring!”
Kaki Lingga hampir melangkah menaiki undakan tangga, tapi mendengar nama yang diteriakkan Lauren, Lingga mengurungkan niatnya. Dia diam di ambang tangga, sengaja menunggu.
Tak lama, Nada muncul dari arah dapur. Penampilannya biasa, tidak pernah dandan dan selalu apa adanya. Pakai rok selutut dan kaos lengan pendek yang nggak ketat. Rambutnya yang asli lurus itu selalu diikat rapi di belakang. Tapi entah kenapa, ada hal yang membuat Lingga merasa bersemangat setiap kali melihat Nada.
‘Shit!’ umpat Lingga saat merasa di dalam tubuhnya sana mulai tak baik-baik saja.
“Ini disimpan buat besok, non?” tanya Nada saat Lauren meletakkan tiga potong martabak telur di piring.
“Cckk, buat lo,” kata Lauren sebelum menggigit martabak di tangannya.
Nada tersenyum manis. “Makasih, non.”
“Eh, mau kemana? Makan di sini aja.” Lauren menunjuk kursi di sebelahnya.
Nada menggeleng dengan bibir yang masih tersenyum. “Saya makan di belakang saja, non.”
Lauren kembali berdecak. “Hiliih ….”
Pukul 10.00pm
Nada sudah menidurkan diri di atas ranjang. Pintu kamarnya juga sudah ditutup rapat dan tentu dikunci dari dalam. Rasanya masih takut karna terbayang dengan Lingga yang semalam masuk ke kamarnya secara diam-diam.
‘Nggak. Dia nggak akan ke sini. Ada non Lauren di rumah. Kalau dia sampai berani macam-macam, dia nggak akan punya muka,’ gumamnya dalam hati.
‘Sekarang waktunya tidur.’
Nada tersenyum setelah membuang nafas berat dari dalam dada sana. Melantunkan doa sebelum tidur lalu mulai memejamkan mata karna memang sudah sangat ngantuk.
Pagi menyapa. Nada bangun dengan tangan yang sibuk memeriksa seluruh bagian tubuh. Setelahnya dia menghela nafas penuh kelegaan karna pakaiannya masih menempel dengan baik.
“Syukurlah,” ucapnya penuh lega.
Nada beranjak dari ranjang, merapikan tempat tidurnya lebih dulu lalu keluar untuk mandi sebelum melakukan aktifitas. Baru membuka pintu dan kedua matanya terbelalak karna melihat Lingga yang berdiri di depan pintu kamarnya.
Cepat Lingga mendorong pintu kamar yang akan kembali ditutup. Kekuatannya yang tak sebanding dengan Nada bisa dengan mudah melangkah masuk ke kamar Nada dan langsung mengunci pintu itu dari dalam.
“Tolo—eegh!” bibir yang akan berteriak itu dibekap cukup kuat.
Tubuh kecil Nada didekap dari belakang dengan sangat mudah. “Cuma minta sekali, Nad,” bisik Lingga, tepat di telinga Nada.
Nada menggeleng dengan isakan yang tak terdengar. Tangannya berusaha menyingkirkan tangan kekar Lingga yang sudah menggerayahinya.
“Jangan … tolong, Den … jangan lakukan lagi,” mohonnya, memelas.
Lingga menggelengkan kepala, mengecup pipi cubby Nada dari belakang. “Kamu wangi banget. Aku suka,” bisiknya lagi sebelum mengecup sisi leher Nada.
Nada tetap menggeleng, kakinya menghentak. Menginjak kaki Lingga cukup kuat. Lalu tangannya menyiku sisi perut Lingga. Nada berlari ke arah jendela kamar begitu terlepas dari dekapan Lingga.
“Bangsad!” umpat Lingga, murka. Dia tentu tak tinggal diam, melangkah lebar mengejar Nada yang akan kabur lewat jendela.
Slep! “Aaa!” jerit Nada, berusaha melepaskan tangan Lingga yang mencekal lengannya. “Eeggh!” dia menggerang karna bibirnya dibekap dengan telapak tangan besar milik Lingga. Lalu menggelengkan kepala. Wajahnya sudah berderai air mata. Lingga memepet Nada di tembok sebelah jendela yang belum sempat dibuka. “Jangan teriak! Aku bisa membunuhmu dan membuang jasadmu di laut lepas sana! Setelahnya, keluargamu di kampung sana akan menerima akibatnya!” ancam Lingga. Bulir menetes begitu saja di pipi putih Nada. Takut dan dalam dadanya sana terasa sakit karna perlakuan Lingga ini. Tangannya yang berusaha menarik lengan tanggan Lingga itu sedikit melemah. “Kamu tinggal diam, menikmati apa yang aku lakukan. Jangan menolak karna aku akan membayarmu. Aku tidak mengambil kenikmatan itu dengan gratis, kan?” satu sudut bibir Lingga tertarik ke atas. “Kamu saja yang sok-sok’an tidak mau menerima uangku. Padahal kamu ada di sini karna mencari uang.” Mata Nada yang tergenang embun bening itu melebar
Gelas keramik khusus yang memang udah jadi takaran kopinya Lingga. Gula dan kopi udah melekat di tangan Nada. Maksudnya si Nada udah hafal seberapa takar kesukaan Lingga. Pelan Nada melangkah menaiki undakan tangga. Kedua tangan membawa nampan berisi segelas kopi. Kepala Nada sibuk dengan bayangan detik-detik di depan mata. Setelah pagi hari yang waktu itu, Lingga tidak pernah menyusup ke kamarnya lagi. Nada juga berhasil menjauh dan hampir tidak pernah bertemu dengan Lingga walau ada di satu rumah. Kedua kaki Nada berdiri tepat di depan pintu kamar Lingga. Beberapa kali Nada meneguk ludah. Menarik nafas dalam dan membuangnya pelan-pelan. Nada celingukan menatap ke kiri kanan. Lantai atas sepi, benar-benar sepi karna Lauren ada di bawah. Saudara-saudara pak Fandi sedang keluar, jalan-jalan entah ke mana. “Den—aaa—eeggh!” Mulut Nada baru saja terbuka, baru memanggil dan akan berteriak. Tapi pintu di depannya terbuka cepat. Tangan Nada langsung ditarik. Nampan yang miring dan gelasny
Lingga melepaskan cekalan tangannya, melangkah lebar ke arah skat dapur. "Adis," serunya saat melihat Adis yang jongkok sambil memunguti pecahan gelas.Adis mendongak, tersenyum palsu. "Licin gelasnya, pas mau nyalain dispenser malah jatuh—aaww!"Adis ngangkat jarinya yang berdarah. Pecahan belih yang tadi ia ambil terlalu runcing dan membuat jari telunjuknya terluka."Yaampun kak Adis, udah nggak usah diberesin. Nada! Nad!" Lauren yang menghampiri langsung berteriak. Ia meraih kedia bahu Adis, membantunya untuk berdiri."Iya, non." Nada muncul dari skat dapur, berdiri di sebelah Lingga."Ini gelasnya pecah. Bersihin ya," suruh Lauren dan menuntuk Adis menuju ke kursi makan. "Gue ambilin obat."Nada meremas jari-jemarinya. Ada rasa takut di dalam dada sana. Takut kalau Adis tadi mendengar perbincangannya sama Lingga. Hampir melangkah masuk ke dapur untuk mengambil sapu, tapi tangannya dicekal Lingga. Nada mendongak.Bibir Lingga sedikit terbuka, terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi
Begitu sampai di rumah, Lingga langsung masuk. Menjabat tangan tamu papa Fandi yang sedang ngobrol di ruang tamu. Dia pamit masuk ke dalam dengan alasan ingin ke kamar mandi. Lingga menghela nafas saat ada beberapa orang di ruang tengah. Pengen nyari Nada, pengen ngomongin tentang testpack dan masih ada yang mau ia bahas lagi. Tapi kalau ada banyak orang begini, Lingga takut semua mencurigainya. Santai kaya’ nggak ada masalah apa pun, Lingga melangkah ke kulkas. Mengambil botol air minum dingin dan menuangnya ke gelas. Melirik ke arah dapur untuk mencari keberadaan Nada. Dan sialnya di dapur Cuma ada Bu Sari sama ibu tetangga sebelah yang membantu mama Ajeng masak. Memberanikan diri masuk ke dapur. “Eh, Mas Lingga. Mau cari apa, Mas?” tanya bu Sari. “Uumm,” gumam Lingga, menggaruk sisi kepala. “Nada di mana? Mau nanyain kemeja yang kemarin dia setrika.” “Oh, si Nada tadi disuruh ibu beliin isi staples,” jawab Bu Sari. Lingga mengangguk
“Den,” panggil Nada ketika melihat Lingga sudah berpakaian rapi dan menggenggam kunci mobil. “Saya jangan ditinggal. Saya ikut pul—”“Kamu di sini saja. Nggak usah kembali ke rumahku.” Kata Lingga.Kedua mata Nada melebar mendengar kalimat itu. “Enggak, Den. Saya harus kembali. Saya—Den! Den Lingga!”Kedua bahu Nada melemah melihat Lingga yang langsung keluar dan menutup rapat pintu kamar. Mengejar sih masih bisa ya, tapi masalahnya Nada masih dalam posisi tak pakai baju. Rambutnya juga awut-awutan dan dia masih bau keringat.**“Eeggh….” Lengkuhan pelan keluar dari bibir Nada.Efek hamil muda dan sepertinya karna lelah menangis. Nada tertidur tanpa sempat membersihkan diri. Bahkan dia belum memakai pakaiannya kembali.Nada mulai menyipitkan kedua mata, menatap berkeliling. Mata terbuka lebar saat tau ruangan yang ia lihat bukanlah kamar yang biasa dipakai.
Ijab kobul yang berlangsung lancar, walau Lingga harus mengulanginya sampai tiga kali. Break sebentar untuk ganti kostum dan segera menuju ke aula party yang telah dipersiapkan dengan matang. Partynya mewah dan ramai oleh banyaknya tamu undangan dari berbagai daerah.Lingga si pebisnis muda, pak Fandi yang juga memiliki relasi bisnis pertama tentu teman-temannya juga ada banyak. Terlebih ini adalah pertama kali mereka memiliki acara besar.Pukul 8.30pmAdisti yang memang tidak sesehat orang-orang, sudah merasa amat lelah. Dia diantarkan Lauren untuk mundur. Istirahat di kamar pengantin; kamar hotel yang juga telah dipesan sebagai kamar pengantin.“Istirahat, kak. Nanti masih akan ada moment panjang lho,” goda Lauren sembari tertawa kecilAdisti nabok lengan Lauren pelan. “Iiihh, masih kecil juga!”“Hihihi… aku balik ke party lagi ya.”Adis menganggukkan kepala, membalas lambaian tangan Lauren. Menutup pintu kamar dan diam berdiri menatap ranjang king size berseprai putih di depannya.
Nada mengulum bibir, berusaha menahan desahan yang sebenarnya susah ditahan. Satu tangan yang tadi mencengkeram seprai itu berpindah, membekap mulut dan mendesah dalam persembunyian. Nafasnya memburu ketika Lingga berhenti bergerak, menjatuhkan tubuh berkeringat itu dan menindih tubuh kecil Nada.“Eeghh,” desah Nada tertahan ketika dadanya disesap terlalu kencang.Kembali lagi, Lingga meraih kedua tangan Nada, menggenggamnya dan bergerak maju mundur lebih cepat dari yang tadi.“Aahh….” Desahan panjang itu keluar dari bibir Lingga dan Nada ketika mereka berdua telah mencapai pada puncak permainan.Pelan-pelan Lingga menarik diri, menatap cairannya yang meluber karna terlalu penuh di dalam rahim Nada. Lingga mengambil celananya yang tergeletak di lantai. Dengan masih betelanjang ia mengusap layar hp yang menyala.“Hallo,” sapanya sembari menempelkan hp itu ke telinga.“Kamu di mana, Ling?” tanya Adis di seberang sana.Lingga mengasak-acak rambutnya yang basah karna keringat. “Aku di cof
Nada menyampirkan tas ransel ke bahu. Menatap kamar yang selama sebeberapa bulan telah menjadi tempat istirahatnya. Rasanya sudah amat nyaman di dalam kamar ini. walau memang kamar pembantu, tapi… setidaknya kamarnya tidak buruk.Tangan Nada mengusap kasur di atas ranjang kecil. Ia mendengus mengingat beberapa kejadian yang membuatnya harus terusir secara paksa dari rumah ini. Nada meremas seprai berwarna cokelat yang ia pegang. Wajah tampan Lingga dan kalimat manisnya terlintas di kepala. Terakhir Lingga telah berjanji untuk bertanggung jawab, untuk menceraikan Adis kemudian menikahinya. Tapi apa? Lingga malah pergi tanpa pamit. Pergi begitu saja….Dirasa terlalu lama merenungi semua itu, Nada melangkah keluar dari kamar. Satu tangannya menenteng tas berisi beberapa baju dan barangnya. Genggaman di tas mengerat ketika kedua mata melihat bu Marlin yang sedang duduk di ruang tengah, sedang ngobrol sama bu Ajeng dan Lauren.“Nad,” seru Lauren. Lalu dua wanita yang bersama dengannya itu