Gelas keramik khusus yang memang udah jadi takaran kopinya Lingga. Gula dan kopi udah melekat di tangan Nada. Maksudnya si Nada udah hafal seberapa takar kesukaan Lingga. Pelan Nada melangkah menaiki undakan tangga. Kedua tangan membawa nampan berisi segelas kopi. Kepala Nada sibuk dengan bayangan detik-detik di depan mata.
Setelah pagi hari yang waktu itu, Lingga tidak pernah menyusup ke kamarnya lagi. Nada juga berhasil menjauh dan hampir tidak pernah bertemu dengan Lingga walau ada di satu rumah.
Kedua kaki Nada berdiri tepat di depan pintu kamar Lingga. Beberapa kali Nada meneguk ludah. Menarik nafas dalam dan membuangnya pelan-pelan. Nada celingukan menatap ke kiri kanan. Lantai atas sepi, benar-benar sepi karna Lauren ada di bawah. Saudara-saudara pak Fandi sedang keluar, jalan-jalan entah ke mana.
“Den—aaa—eeggh!”
Mulut Nada baru saja terbuka, baru memanggil dan akan berteriak. Tapi pintu di depannya terbuka cepat. Tangan Nada langsung ditarik. Nampan yang miring dan gelasnya hampir jatuh itu berhasil diselamatkan. Lingga meletakkan nampan di atas meja setelah melemparkan kunci kamarnya di atas ranjang.
Nada tak bergerak, berdiri di sebelah pintu dengan tubuh yang mepet ke tembok. Nada tau kalau kamar Lingga ini kedap suara. Jadi meskipun dia berteriak kencang, yang diluar tidak bisa mendengar. Terlebih ada suara musik yang mendominasi.
Jantung Nada sudah berdebar menyepat, apa lagi melihat Lingga yang sejak tadi sudah tak memakai baju. Dia menggelengkan kepala. “Jangan, Den. Saya mohon ….” Pintanya memelas.
Lingga melangkah mendekat, wajah tampannya menatap penuh nafsu ke Nada yang mungil tapi cukup berisi.
Nada menangis, tetap menggelengkan kepala karna menolak permintaan Lingga. Kedua tangannya menyilang di dada, berusaha melindungi kedua dadanya yang sudah pernah Lingga nikmati.
Kedua kaki Lingga berhenti tepat di depan Nada. Tangannya bergerak menyingkirkan anak rambut yang tergerai menutupi wajah Nada. Lalu semakin ke bawah, meraih dagu Nada. Mengangkat wajah Nada untuk mendongak menghadapnya.
Lingga menunduk, memiringkan kepala dan mengecup bibir Nada sebentar. Bibirnya terasa lembut, manis dan alami tanpa rasa lisptik seperti wanita-wanita malam. Jangkun Lingga bergerak naik turun, dia memajukan langkah sampai tubuhnya tak berjarak lagi. Kedua tangannya membingkai wajah Nada, membuat bibir Nada mengerucut dan meraubnya lagi.
Tangan Nada yang berada di depan dada itu beralih, mencekal kedua tangan Lingga erat. Berusaha menyingkirkan tangan itu, tapi kesusahan.
“Nad, bentaran aja,” bisik Lingga setelah ciuman terlepas.
Nada tetap menggeleng. “Den, jangan seperti ini. Den Lingga sebentar lagi sudah akan menikah. Den Lingga bisa melakukan itu dengan non Adis, istri Den Lingga. Saya Cuma pembantu di sini. Saya—”
“Setelah menikah aku tidak lagi tinggal di sini. Makanya, ini yang terakhir aku minta ke kamu, oke?” rayu Lingga dengan jari-jari yang mengusap lembut wajah Nada.
“Saya—eeghh!”
Bibir yang akan berucap itu dibungkam. Nada tak lagi bisa berbicara. Kedua tangannya yang berusaha menolak itu dicekal di atas kepala. Lalu dia tak lagi bisa menolak apa pun yang diinginkan Lingga.
Lagi, untuk ketiga kalinya tubuh Nada telah terenggut. Dia terkurai di atas ranjang anak majikannya. Beberapa detik yang lalu Lingga baru saja selesai. Selesai menuntaskan hasratnya.
“Keluar sana! Jangan sampai ada yang curiga karna kamu terlalu lama di atas!” usir Lingga sembari memungut celananya yang ada di lantai. Santai ia melangkah masuk ke kamar mandi tanpa peduli lagi dengan Nada.
Tangan Nada meremas selimut yang menutupi tubuhnya. Otot di lehernya mengencang menatap punggung lebar Lingga yang menghilang di pintu kamar mandi sana. ‘Aku bersumpah. Pernikahanmu tidak akan bahagia!’
**
Hoek! Hoek! Hoek!
Sudah sejak jam tiga pagi tadi Nada muntah-muntah. Dan sekarang tubuhnya terasa sangat lemas. muntah pun yang keluar hanya air saja karna makanan yang semalam sudah dimuntahkan sejak tadi.
Sekarang dia duduk di kursi yang ada di dapur, menyandar ke tembok sambil memijat kepala yang sedikit pusing.
“Nada, kamu kenapa?” tanya mama Ajeng yang baru saja masuk dapur.
Nada mengangkat kepala. “Muntah-muntah, Nyonya. Sepertinya saya masuk angin.”
“Sudah minum obat?” mama Ajeng memerhatikan wajah Nada yang memang terlihat pucat.
Nada menggelengkan kepala.
“Saya ambilkan obat.” mama Ajeng melangkah pergi.
Nada meremas perut bagian kanan yang terasa agak berbeda. Nggak sakit, tapi terasa agak lain dari biasanya. Dengan sangat kesulitan Nada meneguk ludah. Tenggorokannya sana terasa kering dan pahit. Baru ia sadari terakhir kali haid saat diabelum lama masuk ke rumah ini. Seharusnya tiga hari setelah disentuh Lingga itu, Nada haid. Namun dua bulan berlalu haid itu tak lagi datang.
‘Nggak! Aku nggak mau hamil! Aku nggak mau!’ jeritnya dalam hati.
“Ini obat masuk angin. Minum ini, buat tiduran aja dulu. Nanti saya panggil Bu Diah aja buat gantiin kamu selagi sakit.”
Nada menerima obat yang diulurkan majikannya. Menurut, dia beranjak dari duduk dan melangkah mengambil minuman. Lalu masuk lagi ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar mandi umum di rumah ini.
Mama Ajeng jadi sibuk, menyiapkan sarapan pagi sendiri. Pengen yang praktis, jadi mama memutuskan untuk membeli bubur ayam yang tak begitu jauh dari rumah.
“Lho, mama beli bubur sendiri?” tanya Lauren ketika melihat mamanya baru saja masuk rumah.
Mama Ajeng meletakkan plastik bening berisi beberapa sterofoam di atas meja. “Iya, ambil sendok sana. Tadi Bu Sari kehabisan sendok.”
“Nada kemana?” tanya Lauren sembari melangkah ke dapur.
“Nada sakit. Kecapekan kaya’nya. Kemarin seharian nggak istirahat, ngebantuin bersih-bersih di halaman juga.”
Di undakan tangga sini Lingga menghentikan langkah sebentar mendengar penuturan mamanya. Baru kemarin siang dia minta itu ke Nada. Memang enggak begitu peduli ke Nada, tapi kaya’ yang … entahlah.
**
Seharian Nada benar-benar beristirahat. Tidak tidur seharian, tetapi tiduran dengan keadaan tubuh yang sangat lemas. Sorenya dia meminta ijin ke mama Ajeng untuk keluar membeli obat yang biasa diminum di apotek. Nggak jalan kaki, tapi meminjam motor pak Saidi karna letak apoteknya sedikit jauh.
Ketika Nada kembali ke rumah, mobil Lingga juga masuk ke gerbang, tepat di belakang motor yang dibawa Nada. Nada bergegas masuk ke dalam, menaruh beberapa belanjaannya di dalam kamar lalu masuk ke kamar mandi untuk memeriksa keadaan diri yang sebenarnya.
Tangan Nada yang memegang testpack gemetar. Lantunan doa tak berhenti dia suarakan di dalam hati sana. Seperti yang ia takutkan. Ketika kedua matanya terbuka, gambar garis dua berwarna merah di benda tipis itu terlihat sangat jelas. Nada sampai menajamkan penglihatan. Memejam dan kembali menatapnya karna sangat tak percaya.
‘Ya Allah ….’ Keluhnya dengan perasaan yang hancur.
Tubuh Nada melorot, ia mendudukkan diri di kloset duduk sambil menangis. Akan bagaimana sekarang? Pulang ke kampung dalam keadaan berbadan dua? Itu akan membuat seisi kampung heboh. Membuat malu ibunya dan membuat kesehatan ibunya menjadi lebih buruk. Tetap di sini pun terasa tak mungkin. Perutnya akan semakin membesar, lalu akan bagaimana Nada menjelaskan ini ke Mama Ajeng dan Papa Fandi?
“Nada!”
Panggilan dari arah luar membuat Nada mengangkat kepala. Cepat Nada menghapus air mata. Lalu mencuci wajah sebelum keluar dari kamar mandi.
“Iya, non.” Nada keluar, berdiri di samping sofa ruang tengah.
“Lo udah sembuh, kan?” tanya Lauren, memerhatikan wajah Nada.
Nada mengangguk dengan senyuman tipis.
Lauren mengambil plastik putih yang ada di atas meja. “Tolong taruh di mangkuk ya.”
Nada menerima plastik itu lalu melangkah pergi untuk melakukan yang diperintahkan anak majikannya. Sempat melirik Adisti yang duduk di sebelah Lauren. Masalahnya ada sama Lingga, tapi melihat Adisti calon istrinya Lingga, cukup menimbulkan rasa kesal di hati Nada.
Bhuk!
Terlalu fokus natap Adisti, sampai-sampai pas balik badan Nada menabrak Lingga yang baru saja menuruni anak tangga. Nada membungkukkan sedikit badan untuk meminta maaf. Buru-buru dia melangkah pergi, masuk ke dapur.
Lingga menatap punggung kecil berlapis sweater warna biru tua yang menghilang di skat dapur. Tak sengaja kedua mata menatap pada benda tipis yang tergeletak di lantai, tepat di hadapannya. Lingga membungkuk, mengambil benda bernama testpack yang jatuh dari saku celana Nada. Kedua mata melebar melihat ada garis dua warna merah di benda tipis itu.
“Ling,” panggil Adisti.
Dengan cepat Lingga meremas benda tipis itu, menggenggamnya erat sampai tak bisa dilihat oleh siapa pun. Dia menoleh, menatap calon istrinya yang duduk di sofa bersama dengan Lauren.
“Bener kan, bulan madu besok kita bakalan pergi ke Jepang?” tanya Adisti.
“Beneran, kak?” Lauren terlihat berbinar.
Lingga menyunggingkan senyum, lalu menganggukkan kepala. “Anak kecil nggak boleh ikut!” ledeknya ke Lauren.
Kedua mata Lauren melotot. “Diihh! Awas aja nggak bawa oleh-oleh!” dia menuding kakaknya.
Adisti tertawa melihat wajah kesal Lauren. “Besok aku bagi fotonya pas di Jepang.”
“Hah kak Adis sama aja! Nganiaya namanya!” Lauren memukul lengan Adis pelan.
“Hahah … minta oleh-oleh apa emangnya?” tanya Adis disela tawa.
“Bawain ponakan dong. Hihihi ….” Lauren menggoda.
Lingga menyunggingkan senyum. “Masih kecil lo! Ponakan, ponakan!”
Lauren tertawa melihat teguran kakaknya. Kembali dia bercanda dengan Adisti. Sebenarnya nggak begitu dekat, dan Lauren tak begitu menyukai Adisti karna Adisti sakit-sakitan. Tapi ya gimana, persahabatan orang tua yang memaksa Lauren harus menyukai Adis.
Tatapan Lingga terfokus ke Nada yang keluar dari dapur membawa nampan. Tiga es campur tersaji di meja makan.
“Non, es nya sudah saya siapkan,” katanya, ke Lauren dan Adis.
Menghindari tatapan Lingga, Nada langsung melangkah kembali ke dapur.
“Ling, ayok makan es campurnya,” ajak Adisti sembari menarik kursi untuk dia duduki.
Lingga menganggukkan kepala. Menyimpan barang yang sempat diremas itu ke saku celana dan ikut duduk di meja makan, bareng sama adik dan calon istrinya.
Kenyataannya dua garis merah itu tak bisa membuat Lingga tenang. apa lagi dia tau kalau dia adalah yang pertama meniduri Nada. Dan Nada yang sangat polos itu, nggak mungkin tidur dengan lelaki lain.
“Aku ambil minum dulu,” pamitnya ke Lauren dan Adis.
Tak begitu mendengarkan jawaban dua gadis itu, Lingga beranjak menuju ke dapur. Dia mematung menatap Nada yang muntah-muntah di wastafle. Lingga melangkah lebar saat melihat Nada yang hampir jatuh.
Nada gelagapan, menarik diri dan mendorong tubuh Lingga agar berjarak darinya. Buru-buru Nada beranjak untuk menjauh, tapi lengan tangannya dicekal Lingga saat hampir keluar dari dapur.
“Kamu hamil?” tanya Lingga, langsung ke intinya.
Pertanyaan yang membuat Nada mencengkeram erat tepian sweaternya. Dia melirik Lingga sebentar, menarik tangannya untuk terlepas dari cekalan Lingga, tapi kesusahan.
“Kamu hamil anakku?” tanya Lingga lagi.
Dada Nada bergerak naik turun sesuai dengan debar di dada yang menyepat. “Lepaskan, Den!”
Bukan melepaskan, tapi Lingga malah menarik tangan Nada sampai Nada menabrak dadanya. “Kamu benar-benar hamil anakku, Nad?”
Memberanikan diri, Nada mendongak untuk membalas tatapan Lingga. Menatap wajah tampan Lingga cukup membuat amarah dan emosi di dalam dadanya sana membuncah. “Kalau iya, apa yang akan anda lakukan?” tanya Nada penuh penekaan. “Membunuh saya? Menyuruh saya menggugurkan? Memecat saya? Atau—”
Pyar!
Suara sesuatu yang pecah membuat Lingga menoleh. Begitu juga dengan Nada yang mengatupkan bibir, tak melanjutkan kalimatnya.
“Kak Adis, kenapa?” Lauren yang ada di meja makan menoleh.
Di depan dispenser yang tepat ada di sebelah skat dapur Adis jongkok, memunguti pecahan gelas. Semua, semua obrolan Lingga dan Nada tadi cukup membuat tangan dan seluruh tubuhnya gemetar. Sampai-sampai gelas yang ada di genggaman jatuh, pecah menjadi berkeping-keping.
Lingga melepaskan cekalan tangannya, melangkah lebar ke arah skat dapur. "Adis," serunya saat melihat Adis yang jongkok sambil memunguti pecahan gelas.Adis mendongak, tersenyum palsu. "Licin gelasnya, pas mau nyalain dispenser malah jatuh—aaww!"Adis ngangkat jarinya yang berdarah. Pecahan belih yang tadi ia ambil terlalu runcing dan membuat jari telunjuknya terluka."Yaampun kak Adis, udah nggak usah diberesin. Nada! Nad!" Lauren yang menghampiri langsung berteriak. Ia meraih kedia bahu Adis, membantunya untuk berdiri."Iya, non." Nada muncul dari skat dapur, berdiri di sebelah Lingga."Ini gelasnya pecah. Bersihin ya," suruh Lauren dan menuntuk Adis menuju ke kursi makan. "Gue ambilin obat."Nada meremas jari-jemarinya. Ada rasa takut di dalam dada sana. Takut kalau Adis tadi mendengar perbincangannya sama Lingga. Hampir melangkah masuk ke dapur untuk mengambil sapu, tapi tangannya dicekal Lingga. Nada mendongak.Bibir Lingga sedikit terbuka, terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi
Begitu sampai di rumah, Lingga langsung masuk. Menjabat tangan tamu papa Fandi yang sedang ngobrol di ruang tamu. Dia pamit masuk ke dalam dengan alasan ingin ke kamar mandi. Lingga menghela nafas saat ada beberapa orang di ruang tengah. Pengen nyari Nada, pengen ngomongin tentang testpack dan masih ada yang mau ia bahas lagi. Tapi kalau ada banyak orang begini, Lingga takut semua mencurigainya. Santai kaya’ nggak ada masalah apa pun, Lingga melangkah ke kulkas. Mengambil botol air minum dingin dan menuangnya ke gelas. Melirik ke arah dapur untuk mencari keberadaan Nada. Dan sialnya di dapur Cuma ada Bu Sari sama ibu tetangga sebelah yang membantu mama Ajeng masak. Memberanikan diri masuk ke dapur. “Eh, Mas Lingga. Mau cari apa, Mas?” tanya bu Sari. “Uumm,” gumam Lingga, menggaruk sisi kepala. “Nada di mana? Mau nanyain kemeja yang kemarin dia setrika.” “Oh, si Nada tadi disuruh ibu beliin isi staples,” jawab Bu Sari. Lingga mengangguk
“Den,” panggil Nada ketika melihat Lingga sudah berpakaian rapi dan menggenggam kunci mobil. “Saya jangan ditinggal. Saya ikut pul—”“Kamu di sini saja. Nggak usah kembali ke rumahku.” Kata Lingga.Kedua mata Nada melebar mendengar kalimat itu. “Enggak, Den. Saya harus kembali. Saya—Den! Den Lingga!”Kedua bahu Nada melemah melihat Lingga yang langsung keluar dan menutup rapat pintu kamar. Mengejar sih masih bisa ya, tapi masalahnya Nada masih dalam posisi tak pakai baju. Rambutnya juga awut-awutan dan dia masih bau keringat.**“Eeggh….” Lengkuhan pelan keluar dari bibir Nada.Efek hamil muda dan sepertinya karna lelah menangis. Nada tertidur tanpa sempat membersihkan diri. Bahkan dia belum memakai pakaiannya kembali.Nada mulai menyipitkan kedua mata, menatap berkeliling. Mata terbuka lebar saat tau ruangan yang ia lihat bukanlah kamar yang biasa dipakai.
Ijab kobul yang berlangsung lancar, walau Lingga harus mengulanginya sampai tiga kali. Break sebentar untuk ganti kostum dan segera menuju ke aula party yang telah dipersiapkan dengan matang. Partynya mewah dan ramai oleh banyaknya tamu undangan dari berbagai daerah.Lingga si pebisnis muda, pak Fandi yang juga memiliki relasi bisnis pertama tentu teman-temannya juga ada banyak. Terlebih ini adalah pertama kali mereka memiliki acara besar.Pukul 8.30pmAdisti yang memang tidak sesehat orang-orang, sudah merasa amat lelah. Dia diantarkan Lauren untuk mundur. Istirahat di kamar pengantin; kamar hotel yang juga telah dipesan sebagai kamar pengantin.“Istirahat, kak. Nanti masih akan ada moment panjang lho,” goda Lauren sembari tertawa kecilAdisti nabok lengan Lauren pelan. “Iiihh, masih kecil juga!”“Hihihi… aku balik ke party lagi ya.”Adis menganggukkan kepala, membalas lambaian tangan Lauren. Menutup pintu kamar dan diam berdiri menatap ranjang king size berseprai putih di depannya.
Nada mengulum bibir, berusaha menahan desahan yang sebenarnya susah ditahan. Satu tangan yang tadi mencengkeram seprai itu berpindah, membekap mulut dan mendesah dalam persembunyian. Nafasnya memburu ketika Lingga berhenti bergerak, menjatuhkan tubuh berkeringat itu dan menindih tubuh kecil Nada.“Eeghh,” desah Nada tertahan ketika dadanya disesap terlalu kencang.Kembali lagi, Lingga meraih kedua tangan Nada, menggenggamnya dan bergerak maju mundur lebih cepat dari yang tadi.“Aahh….” Desahan panjang itu keluar dari bibir Lingga dan Nada ketika mereka berdua telah mencapai pada puncak permainan.Pelan-pelan Lingga menarik diri, menatap cairannya yang meluber karna terlalu penuh di dalam rahim Nada. Lingga mengambil celananya yang tergeletak di lantai. Dengan masih betelanjang ia mengusap layar hp yang menyala.“Hallo,” sapanya sembari menempelkan hp itu ke telinga.“Kamu di mana, Ling?” tanya Adis di seberang sana.Lingga mengasak-acak rambutnya yang basah karna keringat. “Aku di cof
Nada menyampirkan tas ransel ke bahu. Menatap kamar yang selama sebeberapa bulan telah menjadi tempat istirahatnya. Rasanya sudah amat nyaman di dalam kamar ini. walau memang kamar pembantu, tapi… setidaknya kamarnya tidak buruk.Tangan Nada mengusap kasur di atas ranjang kecil. Ia mendengus mengingat beberapa kejadian yang membuatnya harus terusir secara paksa dari rumah ini. Nada meremas seprai berwarna cokelat yang ia pegang. Wajah tampan Lingga dan kalimat manisnya terlintas di kepala. Terakhir Lingga telah berjanji untuk bertanggung jawab, untuk menceraikan Adis kemudian menikahinya. Tapi apa? Lingga malah pergi tanpa pamit. Pergi begitu saja….Dirasa terlalu lama merenungi semua itu, Nada melangkah keluar dari kamar. Satu tangannya menenteng tas berisi beberapa baju dan barangnya. Genggaman di tas mengerat ketika kedua mata melihat bu Marlin yang sedang duduk di ruang tengah, sedang ngobrol sama bu Ajeng dan Lauren.“Nad,” seru Lauren. Lalu dua wanita yang bersama dengannya itu
“Telpon mama nggak diangkat juga?” tanya Adis ketika melihat mama Ajeng menarik hp dari telinga.Mama Ajeng menatap lekat wajah menantunya yang dipenuhi emosi dan amarah. “Sebenarnya kamu dan Lingga ada masalah apa, Dis. Ayok duduk, ceritakan ke mama,” ajak mama Ajeng, menyentuh lengan Adis untuk mengajak duduk di sofa ruang tengah.Adis memejam dalam, memutar bola mata dan menarik nafas dengan posisi kedua tangan menekuk di pinggang. Benar-benar dia tak lagi bisa berpura lemah lembut selayaknya orang sakit-sakitan. Emosi dan amarahnya tak bisa dipendam lagi. Terlebih Lingga sudah mengatakan ‘cerai’ padanya. Katanya kata cerai dari bibir suami itu sama halnya talak satu, kan?Ah, tapi Adis tak peduli dengan talak seperti itu. Baginya, selama belum ada surat cerai, Lingga tetap sah miliknya sendiri.“Bu Sari, tolong ambilkan air putih!” suruh mama Ajeng, berteriak ke arah dapur.Tak lama bu Sari pengganti Nada, tergopoh-gopoh membawa segelas air putih dan meletakkannya di atas meja. “S
Nada mendorong Alfa sampai pelukan cowok yang seumuran dengannya itu terlepas. Wajah Nada terlihat kurang nyaman. “Nad, maaf. Aku… aku….” Alfa mengacak rambut bagian belakang. Terlihat salah tingkah dan malu. Saking kangennya sama Nada, Alfa sampai lupa kalau mereka ada di pinggir jalan. Faiz, adik Nada yang duduk di bangku SMA tertawa melihat tingkah Alfa. “Hadeww! Alay!” ledeknya. Lingga melangkah mendekat dan mengulurkan sebotol air putih ke Nada. Tatapannya terarah pada dua remaja yang jarak umurnya tak terlalu jauh. “Adiknya Nada?” tanya Lingga ke Alfa, karna yang tepat ada di hadapannya adalah Alfa. Sementara Faiz ada di tepi trotoar, nangkring di atas motor. Alfa melirik Nada dan keduanya beradu tatap. “Dia… dia dulu teman sekolah saya, Mas. Dan saya sama dia satu kampung beda Rt.” Nada yang menjawab. “Mas Lingga bonceng Alfa ya. Aku sama Faiz.” “Nad—” panggil Alfa, tapi Nada seperti menghindar. Gadis itu sudah melangkah menghampiri Faiz dan menepuk bahu Faiz, meminta untu