Nada mendorong Alfa sampai pelukan cowok yang seumuran dengannya itu terlepas. Wajah Nada terlihat kurang nyaman. “Nad, maaf. Aku… aku….” Alfa mengacak rambut bagian belakang. Terlihat salah tingkah dan malu. Saking kangennya sama Nada, Alfa sampai lupa kalau mereka ada di pinggir jalan. Faiz, adik Nada yang duduk di bangku SMA tertawa melihat tingkah Alfa. “Hadeww! Alay!” ledeknya. Lingga melangkah mendekat dan mengulurkan sebotol air putih ke Nada. Tatapannya terarah pada dua remaja yang jarak umurnya tak terlalu jauh. “Adiknya Nada?” tanya Lingga ke Alfa, karna yang tepat ada di hadapannya adalah Alfa. Sementara Faiz ada di tepi trotoar, nangkring di atas motor. Alfa melirik Nada dan keduanya beradu tatap. “Dia… dia dulu teman sekolah saya, Mas. Dan saya sama dia satu kampung beda Rt.” Nada yang menjawab. “Mas Lingga bonceng Alfa ya. Aku sama Faiz.” “Nad—” panggil Alfa, tapi Nada seperti menghindar. Gadis itu sudah melangkah menghampiri Faiz dan menepuk bahu Faiz, meminta untu
“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya pak ustad yang menikahkan Nada dan Lingga.“Sah!!” semua serempak menyahuti.“Alhamdulilahirobil’alamin….”Lalu doa dipanjatkan, orang-orang satu Rt telah menjadi saksi pernikahan Lingga dan Nada secara siri. Malam ini juga, dengan KTP Lingga yang statusnya ‘belum kawin’, pak Rt dan para bapak-bapak setempat percaya. Pernikahan yang tanpa rencana dan pernikahan dadakan telah terjadi. Bukan apa, semua mereka lakukan karna Nada sudah berbadan dua.“Mas,” panggil Nada yang duduk di tepi kasur, di dalam kamar Nada sendiri.Ini mereka status sudah suami istri, makanya bu Salma dan Faiz juga mengijinkan Nada sekamar sama Lingga. Nada menatap tak tega pada wajah Lingga yang membengkak. satu matanya sampai tak bisa terbuka karna bekas pukulan Faiz tadi.Dengan satu mata Lingga menatap Nada. Tangannya memegang tangan Nada, lalu menggenggamnya. “Maafkan aku, Nad….”Nada menunduk, menyembunyikan kedua mata yang ingin menangis. Setiap orang pasti memiliki pernik
“Mas, sarapan,” ajak Nada setelah masuk ke kamar yang dipakai Lingga.Lingga menaruh hpnya di atas meja, pelan ia menurunkan kedua kaki dan duduk menatap Nada yang berdiri di ambang pintu. “Nad,” panggilnya. “Aku harus kembali ke Jakarta nanti sore, karna ada pekerjaan yang nggak bisa aku tunda. Kamu ikut ya,” pintanya.Kedua mata Nada mengerjab, terlihat bingung. Nada belum siap menghadapi kemarahan bu Marlin, atau Adisti. Lalu bu Ajeng? Pak Fandi? Bagaimana jika mereka nekat mendatangi ibunya di sini dan mengatakan sesuatu yang salah? Iya, memang berkesan Nada telah merebut suami orang, tapi Nada nggak salah. Karna kejadiannya memang berasal dari Lingga. Soal ibu, itu tak akan masalah, tapi bagaimana dengan tetangga?“Kamu bisa tinggal di apartemenku yang waktu itu. Aku akan bicara baik-baik ke mama dan papa. Jika mereka sudah tau situasi yang sebenarnya, kita temui mereka. Oke?” bujuk Lingga yang enggak mau berjauhan sama Nada.Nada menggigit bibir bagian dalam, pelan-pelan ia mend
Pagi menyapa. Seperti pada kebiasaannya, Nada bangun jam setengah lima pagi. Kedua mata menyipit, terbuka cepat saat menemukan ada sesuatu yang menumpang di perutnya. Nada menggigit bibir, menekan dada yang tiba-tiba berdebar. Menit kemudian ia tersenyum malu smapai pipinya merona. Ini untuk pertama kali ia tidur seranjang dengan Lingga. Dan di kelonin seperti ini. Hangat, nyaman dan perutnya yang kalau pagi sering terasa mual itu menghilang. Rasanya lain dari biasanya. Kedua mata Nada melebar ketika tangan Lingga makin memeluk dan membuat punggungnya teramat mepet dengan tubuh Lingga. Pelan Nada menoleh, terkejut karna ternyata Lingga sudah terjaga. Memejam sebentar saat Lingga mendaratkan kecupan di pipinya. “Bisa tidur?” tanya Lingga, jari-jemari di perut Nada bergerak kecil. mengusap-usap perut Nada yang terlapisi kaos warna putih. Nada meneguk ludah, mengangguk dengan begitu meyakinkan. Nada mengubah posisi, yang tadinya miring sekarang jadi terlentang dan menatap Lingga yang
Seharian bebersih rumah yang sebenarnya nggak begitu kotor. Lingga membayar jasa ceaning service untuk membersihkan unit apartemen seminggu sekali. Jarang ditempati, tentunya tidak akan terlalu kotor. Hanya beberapa debu yang butuh usapan.Sekarang Nada mengusap perut yang terasa kenyang. Hati yang bahagia membuatnya tidak merasakan mual lagi. Sungguh berbeda jauh saat ia masih bekerja di rumah orang tua Lingga dulu.Nada melirik jam dinding yang menunjuk di angka tujuh. Suaminya belum pulang, padahal Lingga bilang akan pulang cepat. Mendadak mulai kepikiran sama Adis yang tentu masih menjadi istri sahnya Lingga. Sementara dirinya malah hanya istri siri.Nada menatap hp yang hening. Biasanya akan ada chat dari Alfa, tapi semenjak pulangnya kemarin itu, Alfa sudah menghilang. Dan ternyata hampa itu mulai terasa. Bukannya egois, tapi dijauhi oleh orang yang biasanya peduli, kosongnya tuh beneran kerasa banget.Nada menghela nafasnya. Memilih beranjak dari sofa ruang tengah dan melangkah
Lingga memerhatikan Adis yang mendesah dengan permainannya sendiri. Ya, Lingga tetap diam, diam mengamati istrinya yang sudah bugil dan sedang sibuk mencari kepuasannya sendiri.“Aaahh, aahhh,” desahan itu beberapa kali keluar dengan wajah manja penuh nafsu.Satu tangan Adis mengusap-usap milik Lingga yang berhasil berdiri. Sementara satu tangan yang lain mengusap daging kecil miliknya sendiri dengan posisi mengangkang di atas tubuh Lingga.“Aaahh….” Kedua mata Adis memejam, tubuhnya menegang dan meliuk merasakan rasa geli dari permainan tangannya. Tak menunggu cairannya keluar, cepat Adis memposisikan diri. “Aaah….” Kembali ia melengkuh saat berhasil memasukkan milik suami ke dalam rumah miliknya. Detik kemudian Adis menjatuhkan tubuh mengecupi kulit tubuh Lingga yang berotot. “Ling, aku tau kamu juga pengen. Ayo, Ling, mainain aku,” pintanya meraba-raba bibir Lingga.Lingga melengos ketika bibir Adis hampir menyentuh bibirnya.Ditolak suami sendiri itu rasanya nggak enak. Apa lagi d
Pagi menyapa.Nada terusik saat ada yang mengusap-usap bagian bawah perutnya. ia membuka mata, menoleh sedikit dan mendapati suami yang langsung mengecup pipi.“Mas,” lirih Nada dengan suara khas bangun tidur.“Aku pengen, Nad,” pinta Lingga, tepat di telinga Nada.Tangannya menelusup masuk ke celana pendek yang Nada pakai. Mengusap-usap bagian bawah Nada. Bibirnya bergerak mengecupi leher Nada, lalu menyingkap kaos yang Nada pakai dan mulai asik di dada Nada yang bertambah bulat.“Mass, aeegh—” Nada menutup mulut dengan tangan. Tetap tak tahan akan rasa geli dari permainan tangan Lingga yang terus-terusan menekan-nekan daging kecilnya, Nada melengkuh lirih. Ia mencengkeram bahu Lingga dan menggelengkan kepala. “Mas, aku pengen pipis, udah… eeghh,” pintanya, tak tahan.Bukannya berhenti, tapi Lingga justru memasukkan satu jadi tengahnya ke lubang di bawah sana. bergerak pelan keluar masuk sampai dirasa milik Nada telah basah. Lingga menarik diri, menarik celana Nada dan membantu istri
Pak Fandi menatap berkeliling di ruang tamu, tanpa mempedulikan Nda, ia melangkah lebih masuk ke dalam. Menatap ke setiap sudut ruang tengah dan tatapannya terhenti pada pintu kamar yang sedikit terbuka.“Enak, dari babu jadi ratu?” tanya pak Fandi, menoleh dan menatap sinis ke Nada.Nada meremas-remas jari-jemari sendiri dengan dada yang berdebar tak normal. Di kepalanya ada banyak rangkaian kata yang akan ia gunakan menjawab setiap kata yang nanti dilontarkan pak Fandi, papa mertuanya.Pak Fandi menarik kursi di meja makan. Mejanya belum selesai Nada rapikan. “Habis makan siang barengan,” kata pak Fandi, lalu mendudukkan pantat di kursi dengan satu kaki yang menumpang ke kakinya yang lain. “Kamu pernah memikirkan perasaan Adis?”“Saya tidak pernah meminta Mas Lingga untuk meniduri saya. Saya juga tidak merencanakan untuk hamil, tapi saya sudah hamil sebelum mas Lingga dan mbak Adis menikah.”Kedua m