Begitu sampai di rumah, Lingga langsung masuk. Menjabat tangan tamu papa Fandi yang sedang ngobrol di ruang tamu. Dia pamit masuk ke dalam dengan alasan ingin ke kamar mandi. Lingga menghela nafas saat ada beberapa orang di ruang tengah. Pengen nyari Nada, pengen ngomongin tentang testpack dan masih ada yang mau ia bahas lagi. Tapi kalau ada banyak orang begini, Lingga takut semua mencurigainya.
Santai kaya’ nggak ada masalah apa pun, Lingga melangkah ke kulkas. Mengambil botol air minum dingin dan menuangnya ke gelas. Melirik ke arah dapur untuk mencari keberadaan Nada. Dan sialnya di dapur Cuma ada Bu Sari sama ibu tetangga sebelah yang membantu mama Ajeng masak.
Memberanikan diri masuk ke dapur.
“Eh, Mas Lingga. Mau cari apa, Mas?” tanya bu Sari.
“Uumm,” gumam Lingga, menggaruk sisi kepala. “Nada di mana? Mau nanyain kemeja yang kemarin dia setrika.”
“Oh, si Nada tadi disuruh ibu beliin isi staples,” jawab Bu Sari.
Lingga menganggukkan kepala. Balik badan dan keluar dari dapur. Kesempatan bisa ngajakin Nada untuk bicara berdua. Lingga melangkah lebar, keluar dari rumah dan kembali masuk ke mobil. Mobilnya melaju pelan keluar gerbang dan berhenti di pinggir jalan gang yang menjadi jalan satu-satunya menuju ke rumahnya.
Lingga melangkah keluar saat melihat Nada yang muncul dari belokan jalan.
Kedua mata Nada melebar melihat Lingga yang mendekat. “Den,” jeritnya tertahan ketika tangannya langsung dicekal dan dia ditarik. “Den, lepaskan, Den!”
“Masuk,” suruh Lingga setelah membuka pintu.
Nada menggeleng, wajahnya terlihat takut. “Nyonya nunggu saya.”
Lingga menatap tajam tepat di kedua manik mata Nada. “Masuk. Ada banyak yang ingin aku bicarakan sama kamu.”
Dengan terpaksa dan takut Nada masuk ke mobil. Dia menoleh ketika Lingga menengadahkan tangan.
“Mana isi staplesnya?” pinta Lingga.
Nada menyerahkan plastik bening yang berisi beberapa isi staples. Dia menunduk, meremas tangan sendiri yang ada di pangkuan.
“Pak, keluar bentar,” suruh Lingga pada seseorang yang ditelpon. Cuma ngomong gitu dan langsung menarik hp dari telinga. Lingga membuka kaca mobil dan menyerahkan palstik itu ke pak Saidi. “Kasih ke mama. Bilang aja Nada ijin jenguk teman sakit yang kerja di daerah sini.” Kata Lingga.
Pak Saidi tersenyum melihat beberapa lembar uang untuk tutup mulut. “Siap, Den!”
Tak menunggu lagi, mobil hitam Lingga bergerak, menjauh dari area rumah tinggalnya. Tak ada obrolan, Lingga diam, begitu juga dengan Nada yang diam menunduk dan sesekali melirik ke kaca samping.
Mungkin sepuluh menit, Lingga masuk ke halaman gedung apartemen. Langsung ke basemen untuk parkir.
“Ayok, turun,” ajaknya, melirik ke Nada yang menatap ke kiri kanan.
Nada menurut, membuka pintu mobil dan turun. Mengikuti langkah Lingga yang menuju ke lorong untuk masuk ke gedung apartemen. Ikut masuk ke dalam lift. Aman di lift karna dia nggak Cuma sama Lingga saja. Di lantai 12 Lingga dan Nada keluar.
Lingga menoleh, menatap Nada yang terlihat takut. “Ayok, masuk.”
Bibir Nada gemetar. “Den, saya… saya—” tak melanjutkan kalimat karna tangannya ditarik untuk masuk ke dalam unit apartemen milik Lingga yang tidak diketahui mama atau siapa pun. Mesannya nggak pakai namanya, tapi pakai nama pak satpam di kantor, jadi nggak tercatat dan nggak bisa dilacak.
Nada dipepet di dinding sebelah pintu. Dadanya terlihat nyata jika berdebar menyepat. Kedua mata berair karna takut. Lalu menggelengkan kepala. “Saya nggak akan ngasih tau ke siapa pun kalau saya hamil, Den. Saya… saya akan berusaha membuat dia tak bertahan,” kata Nada dengan suara tertahan.
Kedua mata Lingga menajam. “Kamu berani menggugurkan anakku?”
Jantung Nada makin berdebar menyepat mendengar pertanyaan yang seperti menantang itu. Perlahan ia mengangkat wajah sampai mendongak karna kemungilannya tak sejajar dengan Lingga yang teramat tinggi. Tangannya mengepal karna banyakan bejatnya Lingga ketika merebut paksa kegadisannya terlintas. Rasanya marah, sakit hati dan… dan benci.
Nada meneguk ludahnya. “Saya nggak mau hamil. Saya masih ingin bekerja. Tujuan saya merantau ke Jakarta untuk mencari uang. Untuk biaya sekolah adik-adik saya dan berobat ibuk. Dan anda yang telah membuat tujuan saya itu jadi buyar. Makanya, saya akan berusaha sekeras mungkin untuk membuangnya—eeggh!”
Tak suka dengan kalimat panjang Nada, Lingga menakup wajah kecil Nada sampai bibir Nada mengerucut. Lalu mengecup bibir berwarna merah muda itu.
Tangan Nada bergerak memukuli bawah dada Lingga. Mencekal tangan Lingga, berusaha menarik tangan itu untuk membebaskan diri.
“Enggak, Den. Saya nggak mau! Enggak mau!” jerit Nada, menolak ketika dia ditarik untuk mengikuti Lingga yang masuk ke ruang tengah. “Aaa! Jangan, Den! Tolong, jangan! Hiks….”
Nada kembali pasrah saat rok dan kaosnya telah terlempar ke lantai. Dia memejam, menahan rasa aneh yang selalu muncul saat Lingga mulai mengerayahi tubuhnya.
“Aahh, Deh… jangan, Den….”
Sebenarnya nggak pengen mendesah, tapi permainan Lingga dan penyatuannya benar-benar membuat bibir Nada tak bisa dikontrol. Tangan Nada mencekal kedua lengan Lingga yang mengungkung tubuhnya. Bibirnya tak berhenti mendesah saat Lingga bergerak cepat. Bahkan ia menegang saat mencapai di titik puncaknya.
Untuk pertama kalinya lingga tersenyum melihat wajah polos Nada yang kesakitan dan penuh keringat. Dirasa dia sangat candu dengan Nada.
“Jangan pernah berfikir membunuh anakku, Nad,” bisik Lingga, tepat di atas wajah Nada yang masih mengatur nafas.
Ini Nada baru saja pelepasan dan lemesnya ibu hamil muda membuatnya amat lelah. Bulir mengalir melalui ujung mata. “Den,” lirih Nada dengan suara serak. “Saya… saya….”
“Aku akan tanggung jawab.” Putus Lingga.
Lingga menarik diri, menjatuhkan tubuh polosnya di sebelah Nada. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan tubuh Nada. Tangan kekarnya melingkar ke dada Nada, mendekapnya.
“Maksudnya tanggung jawab bagaimana?” tanya Nada, melirik Lingga. Dia berusaha menyingkirkan lengan tangan Lingga dan menggeser tubuh untuk menjaga jarak.
“Tetap lahirkan anakku. Aku akan membiayainya. Aku akan menganggap dia anakku.”
Nada memejam dalam mendengar jawaban itu. “Bagaimana kalau nyonya dan tuan bertanya. Saya harus jawab bagaiman soal kehamilan saya?”
“Tidak usah kembali ke rumah. Tinggallah di sini saja.”
Nada terbelalak mendengar ide Lingga. “Den—”
“Jangan membantahku, Nad. Kamu butuhnya uang, kan? Aku akan kirim uang ke orang tuamu setiap bulan. Jadi kamu tidak perlu berkerja. Cukup jaga anakku sampai lahir dan selamat.” Santai Lingga beranjak dari ranjang. Memunguti baju dan celana lalu membawanya masuk ke kamar mandi.
Nada mencengkeram pinggiran selimut yang menutupi tubuh polosnya. Ia menunduk, kembali menangis saat melihat tanda merah di salah satu gundukan dada.
“Ibu… maafkan aku….” Rintih Nada dengan hati hancur.
Jujur saja Nada bingung harus bagaimana. Kembali pulang ke kampung, itu teramat tak mungkin. Satu-satunya cara yang terlintas di kepala hanya menggugurkan kandungannya sebelum perut membesar. Dan ia bisa kembali bekerja tanpa rasa khawatir.
“Den,” panggil Nada ketika melihat Lingga sudah berpakaian rapi dan menggenggam kunci mobil. “Saya jangan ditinggal. Saya ikut pul—”“Kamu di sini saja. Nggak usah kembali ke rumahku.” Kata Lingga.Kedua mata Nada melebar mendengar kalimat itu. “Enggak, Den. Saya harus kembali. Saya—Den! Den Lingga!”Kedua bahu Nada melemah melihat Lingga yang langsung keluar dan menutup rapat pintu kamar. Mengejar sih masih bisa ya, tapi masalahnya Nada masih dalam posisi tak pakai baju. Rambutnya juga awut-awutan dan dia masih bau keringat.**“Eeggh….” Lengkuhan pelan keluar dari bibir Nada.Efek hamil muda dan sepertinya karna lelah menangis. Nada tertidur tanpa sempat membersihkan diri. Bahkan dia belum memakai pakaiannya kembali.Nada mulai menyipitkan kedua mata, menatap berkeliling. Mata terbuka lebar saat tau ruangan yang ia lihat bukanlah kamar yang biasa dipakai.
Ijab kobul yang berlangsung lancar, walau Lingga harus mengulanginya sampai tiga kali. Break sebentar untuk ganti kostum dan segera menuju ke aula party yang telah dipersiapkan dengan matang. Partynya mewah dan ramai oleh banyaknya tamu undangan dari berbagai daerah.Lingga si pebisnis muda, pak Fandi yang juga memiliki relasi bisnis pertama tentu teman-temannya juga ada banyak. Terlebih ini adalah pertama kali mereka memiliki acara besar.Pukul 8.30pmAdisti yang memang tidak sesehat orang-orang, sudah merasa amat lelah. Dia diantarkan Lauren untuk mundur. Istirahat di kamar pengantin; kamar hotel yang juga telah dipesan sebagai kamar pengantin.“Istirahat, kak. Nanti masih akan ada moment panjang lho,” goda Lauren sembari tertawa kecilAdisti nabok lengan Lauren pelan. “Iiihh, masih kecil juga!”“Hihihi… aku balik ke party lagi ya.”Adis menganggukkan kepala, membalas lambaian tangan Lauren. Menutup pintu kamar dan diam berdiri menatap ranjang king size berseprai putih di depannya.
Nada mengulum bibir, berusaha menahan desahan yang sebenarnya susah ditahan. Satu tangan yang tadi mencengkeram seprai itu berpindah, membekap mulut dan mendesah dalam persembunyian. Nafasnya memburu ketika Lingga berhenti bergerak, menjatuhkan tubuh berkeringat itu dan menindih tubuh kecil Nada.“Eeghh,” desah Nada tertahan ketika dadanya disesap terlalu kencang.Kembali lagi, Lingga meraih kedua tangan Nada, menggenggamnya dan bergerak maju mundur lebih cepat dari yang tadi.“Aahh….” Desahan panjang itu keluar dari bibir Lingga dan Nada ketika mereka berdua telah mencapai pada puncak permainan.Pelan-pelan Lingga menarik diri, menatap cairannya yang meluber karna terlalu penuh di dalam rahim Nada. Lingga mengambil celananya yang tergeletak di lantai. Dengan masih betelanjang ia mengusap layar hp yang menyala.“Hallo,” sapanya sembari menempelkan hp itu ke telinga.“Kamu di mana, Ling?” tanya Adis di seberang sana.Lingga mengasak-acak rambutnya yang basah karna keringat. “Aku di cof
Nada menyampirkan tas ransel ke bahu. Menatap kamar yang selama sebeberapa bulan telah menjadi tempat istirahatnya. Rasanya sudah amat nyaman di dalam kamar ini. walau memang kamar pembantu, tapi… setidaknya kamarnya tidak buruk.Tangan Nada mengusap kasur di atas ranjang kecil. Ia mendengus mengingat beberapa kejadian yang membuatnya harus terusir secara paksa dari rumah ini. Nada meremas seprai berwarna cokelat yang ia pegang. Wajah tampan Lingga dan kalimat manisnya terlintas di kepala. Terakhir Lingga telah berjanji untuk bertanggung jawab, untuk menceraikan Adis kemudian menikahinya. Tapi apa? Lingga malah pergi tanpa pamit. Pergi begitu saja….Dirasa terlalu lama merenungi semua itu, Nada melangkah keluar dari kamar. Satu tangannya menenteng tas berisi beberapa baju dan barangnya. Genggaman di tas mengerat ketika kedua mata melihat bu Marlin yang sedang duduk di ruang tengah, sedang ngobrol sama bu Ajeng dan Lauren.“Nad,” seru Lauren. Lalu dua wanita yang bersama dengannya itu
“Telpon mama nggak diangkat juga?” tanya Adis ketika melihat mama Ajeng menarik hp dari telinga.Mama Ajeng menatap lekat wajah menantunya yang dipenuhi emosi dan amarah. “Sebenarnya kamu dan Lingga ada masalah apa, Dis. Ayok duduk, ceritakan ke mama,” ajak mama Ajeng, menyentuh lengan Adis untuk mengajak duduk di sofa ruang tengah.Adis memejam dalam, memutar bola mata dan menarik nafas dengan posisi kedua tangan menekuk di pinggang. Benar-benar dia tak lagi bisa berpura lemah lembut selayaknya orang sakit-sakitan. Emosi dan amarahnya tak bisa dipendam lagi. Terlebih Lingga sudah mengatakan ‘cerai’ padanya. Katanya kata cerai dari bibir suami itu sama halnya talak satu, kan?Ah, tapi Adis tak peduli dengan talak seperti itu. Baginya, selama belum ada surat cerai, Lingga tetap sah miliknya sendiri.“Bu Sari, tolong ambilkan air putih!” suruh mama Ajeng, berteriak ke arah dapur.Tak lama bu Sari pengganti Nada, tergopoh-gopoh membawa segelas air putih dan meletakkannya di atas meja. “S
Nada mendorong Alfa sampai pelukan cowok yang seumuran dengannya itu terlepas. Wajah Nada terlihat kurang nyaman. “Nad, maaf. Aku… aku….” Alfa mengacak rambut bagian belakang. Terlihat salah tingkah dan malu. Saking kangennya sama Nada, Alfa sampai lupa kalau mereka ada di pinggir jalan. Faiz, adik Nada yang duduk di bangku SMA tertawa melihat tingkah Alfa. “Hadeww! Alay!” ledeknya. Lingga melangkah mendekat dan mengulurkan sebotol air putih ke Nada. Tatapannya terarah pada dua remaja yang jarak umurnya tak terlalu jauh. “Adiknya Nada?” tanya Lingga ke Alfa, karna yang tepat ada di hadapannya adalah Alfa. Sementara Faiz ada di tepi trotoar, nangkring di atas motor. Alfa melirik Nada dan keduanya beradu tatap. “Dia… dia dulu teman sekolah saya, Mas. Dan saya sama dia satu kampung beda Rt.” Nada yang menjawab. “Mas Lingga bonceng Alfa ya. Aku sama Faiz.” “Nad—” panggil Alfa, tapi Nada seperti menghindar. Gadis itu sudah melangkah menghampiri Faiz dan menepuk bahu Faiz, meminta untu
“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya pak ustad yang menikahkan Nada dan Lingga.“Sah!!” semua serempak menyahuti.“Alhamdulilahirobil’alamin….”Lalu doa dipanjatkan, orang-orang satu Rt telah menjadi saksi pernikahan Lingga dan Nada secara siri. Malam ini juga, dengan KTP Lingga yang statusnya ‘belum kawin’, pak Rt dan para bapak-bapak setempat percaya. Pernikahan yang tanpa rencana dan pernikahan dadakan telah terjadi. Bukan apa, semua mereka lakukan karna Nada sudah berbadan dua.“Mas,” panggil Nada yang duduk di tepi kasur, di dalam kamar Nada sendiri.Ini mereka status sudah suami istri, makanya bu Salma dan Faiz juga mengijinkan Nada sekamar sama Lingga. Nada menatap tak tega pada wajah Lingga yang membengkak. satu matanya sampai tak bisa terbuka karna bekas pukulan Faiz tadi.Dengan satu mata Lingga menatap Nada. Tangannya memegang tangan Nada, lalu menggenggamnya. “Maafkan aku, Nad….”Nada menunduk, menyembunyikan kedua mata yang ingin menangis. Setiap orang pasti memiliki pernik
“Mas, sarapan,” ajak Nada setelah masuk ke kamar yang dipakai Lingga.Lingga menaruh hpnya di atas meja, pelan ia menurunkan kedua kaki dan duduk menatap Nada yang berdiri di ambang pintu. “Nad,” panggilnya. “Aku harus kembali ke Jakarta nanti sore, karna ada pekerjaan yang nggak bisa aku tunda. Kamu ikut ya,” pintanya.Kedua mata Nada mengerjab, terlihat bingung. Nada belum siap menghadapi kemarahan bu Marlin, atau Adisti. Lalu bu Ajeng? Pak Fandi? Bagaimana jika mereka nekat mendatangi ibunya di sini dan mengatakan sesuatu yang salah? Iya, memang berkesan Nada telah merebut suami orang, tapi Nada nggak salah. Karna kejadiannya memang berasal dari Lingga. Soal ibu, itu tak akan masalah, tapi bagaimana dengan tetangga?“Kamu bisa tinggal di apartemenku yang waktu itu. Aku akan bicara baik-baik ke mama dan papa. Jika mereka sudah tau situasi yang sebenarnya, kita temui mereka. Oke?” bujuk Lingga yang enggak mau berjauhan sama Nada.Nada menggigit bibir bagian dalam, pelan-pelan ia mend
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
“Mamamama….”Pagi menyapa dan cerewetnya Yoona yang pertama masuk ke pendengaran Nada. Pelan-pelan ia membuka mata, menyipit dan tersenyum saat ternyata anaknya sudah bangun. Yoona duduk anteng di depannya sambil memainkan sesuatu.Sesuatu berupa bh yang dua cupnya berbentuk bunga mawar berwarna merah itu ditarik-tarik Yoona. Kaya’ yang gemes pengen lepasin bunga mawar itu dan membuangnya.Nada menepuk kening dan mencoba meminta barang dinasnya itu. “Na, mama minta.” Ia menengadahkan tangan.Yoona melirik, bibirnya mengerucut. bukannya memberikan, tapi bocah kecil yang tubuhnya berisi itu mengingsut duduk. Membelakangi mamanya dan kembali melakukan aktifitas, menarik-narik kelopak mawar merah itu.“Cckk, salahku sih. Kenapa juga nggak lempar itu di lantai aja. Sampai ditemuin sama Yoona.” Nada menggerutu sendiri. Ia bangun, kedua mata melebar saat bagian dadanya terekspos karna telanjang setelah semalam kembali dihabisi oleh suaminya.“Nen, mama nen.” Yoona menuding ke arah dada maman
“Suster Wati nggak telpon. Padahal ini udah hampir siang,” gumam Nada setelah melihat layar hp-nya yang sepi.Lingga menggeser kelapa muda yang milik Nada. “Berarti Yoona nggak rewel, sayang.”“Kurang percaya aku, Mas. Aku mau vidio call.” Nada memutuskan menekan tanda panggilan vidio di pojok layar.Tak lama layar hp Nada berubah menjadi wajahnya suster Wati. Seorang suster yang telah Lingga sewa untuk menjaga Yoona selama satu minggu di Bali ini.“Bu,” sapa suster Wati.“Yoona nggak rewel, mbak?” tanya Nada.Kamera beralih menjadi kamera belakang, memperlihatkan Yoona yang sibuk mainan pasir ajaib di sebuah ruangan yang khusus untuk bermain balita. Dan ada beberapa balita juga, nggak Cuma Yoona saja.“Dari tadi anteng, Bu. Sambil saya kasih roti sama minum susu.”Nada tersenyum dengan helaan penuh lega. “Jangan lupa nanti tidur siang ya, mbak.”“Iya, Bu. Ini udah jam sebelas lebih. bentar lagi, kalau Yoona udah makan siang. Saya nina bobo.” Jawab suster sopan.Nada menganggukkan kep
Bali.Yang Nada pilih adalah pulau Bali. Lingga sudah menawari untuk ke Prancis, atau ke Korea, atau ke negara yang lainnya. Tapi Nada tetep, pengennya ke Bali. Pengen mengunjungi yang masih ada di satu negara lebih dulu. Dan jika masih diberi waktu lagi, baru dia ingin mencoba ke luar negri.Lingga memilih villa yang privat. Hanya orang-orang penghuni villa VIP saja yang bisa mengunjungi pantai. Villanya ada tepat di tebing, di atas pantai dan bisa dikatakan jika ada di atas bebatuan tebing. Dengan lift mereka berdua turun.Nada tersenyum bahagia ketika kakinya yang memakai sendal jepit itu menginjak pasir putih, pasir pantai Bali. “Yaampun, indah banget….” Pujinya dengan wajah berbinar dan matanya mengelilingi pemandangan yang memang indah, sejuk serta … serasa dunia milik mereka berdua.Lingga memeluk Nada dari belakang, dagunya bertopan di bahu sebelah kanan sambil menikmati belaian angin pantai yang menerpa wajahnya.Nada memejamkan kedua mata, kedua tangan terlentang dan menghir
“Aaahh,” desah Lingga sambil terus bergerak di atas tubuh Nada. Tangannya memegangi kedua kaki Nada yang dikangkangkan lebar.Nada menggigit bibir, menutup mulut agar tidak mendesah kencang karna takut mengganggu tidur Yoona. Kepalanya menggeleng ketika pergerakan Lingga semakin cepat, dan dia sendiri sedikit menggelinjang karna telah mencapai titik puncak. Nada mengamati suami yang masih diam di depannya. Tubuh putih berotot Lingga dipenuhi oleh keringat. Rambutnya yang sedikit memanjang itu pun sampai basah dan ada keringat yang menetes dari pelipisnya.Pelan Lingga menarik barangnya sambil mengamati barang berharga milik istrinya yang ia tinggalkan. Cairan putih kentalnya mengalir keluar dari milik Nada. Lingga mengambil tissu, mengusap milik istrinya itu dengan tissu. Setelahnya membersihkan miliknya sendiri sambil duduk di tepi ranjang menunggu keringatnya habis.Nada beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi sambil membawa dress tidurnya. Cuma sebentar, karna Cuma membersihkan y
Caffe shop, caffe kecil yang ada di depan gedung perusahaan milik Lingga pribadi. Di sini Adis duduk menatap ke arah gedung perusahaan yang tentunya tidak sebesar perusahaan miliknya. Lebih tepatnya milik papa Fandi dan almarhum papanya.Adis menegakkan tubuh, merapikan penampilannya saat melihat mobil hitam yang memasuki halaman caffe shop. Awas ia menatap mobil itu. Mengulum bibir ketika melihat pintu bagian kemudi dibuka dan seorang lelaki yang memang ia tunggu telah melangkah turun.Lingga, lelaki yang sampai detik ini tetap paling tampan di mata Adis. Lelaki yang bagi Adis telah mendekati sempurna, tapi sayangnya… dia tak berjodoh.“Lingga,” sapa Adis, mengangkat sedikit tangannya.Lingga yang baru memasuki pintu caffe mendekat. Mengulurkan tangan ke Adis, mengajak jabatan.Tak langsung meraih tangan itu, Adis menunduk menatap telapak tangan yang mengarah padanya lebih dulu.“Lama sekali tak pernah bertemu. Kabar baik, kan hari ini?” tanya Lingga.Adis tersenyum, menyambut tangan