“Aaahh ….”
Lengkuhan panjang itu keluar dari bibir Lingga saat dia berhasil mendapatkan kepuasan yang dimau. “Jangan menangis, nanti aku akan memberimu uang,” katanya santai.
Dengan tanpa rasa bersalah Lingga beranjak dari atas ranjang. Memunguti baju dan celana yang berserakan di lantai. Menoleh sebentar, menatap gadis yang masih menangis dengan tangan yang mengenggam erat selimut. Matanya menatap ke arah seprai yang terdapat noda merah, menandakan jika ia baru saja merenggut keprawanan seorang gadis.
Ah, tapi Lingga tidak akan mengambil dengan gratis kok. Hari ini dia tidak memiliki uang cash, jadi dia harus pergi ke atm dulu untuk menarik uang. Membiarkan gadis itu begitu saja, memilih melangkah pergi, keluar dari kamar pembantu.
Sedangkan Nada, gadis berusia 20 tahun kurang beberapa bulan. Gadis yang baru sebulan bekerja di rumah besar ini, masih meringkuk di atas ranjang. Di usianya yang masih sangat muda, baru satu tahun lalu menyelesaikan sekolah di SMA. Pagi ini dia telah kehilangan kehormatannya. Hal yang paling dia jaga, hal yang selalu dibicarakan oleh sang ibu untuk tak memberikan pada sembarang lelaki, karna itu harus di berikan pada lelaki yang sudah sah menjadi suaminya kelak.
Lingga, anak pertama di keluarga Argata, telah merenggut harga dirinya dengan paksa. Ia memejamkan mata, membiarkan bulir-bulir tetap membasahi wajah, sampai menetes ke bantal yang ada di bawah kepalanya.
“Alfa ….” Lirihnya disela isakan. Makin erat ia mencengkram ujung selimut, menutup tubuhnya yang masih telanjang, tanpa penutup apa pun. “Maafin aku ….”
Isakannya makin tak bisa ia tahan. Bayangan wajah tampan dengan senyuman kalem itu selalu terbayang. Alfa Bastian ; lelaki yang berstatus pacar. Nada menjalin kasih dengan Alfa sejak awal masuk di kelas 12 SMA, hingga tiba ketika ia harus pergi bekerja demi membantu Ibu untuk membiayai kedua adiknya yang masih ada di bangku SMP dan SMA.
Menit berlalu, jarum jam pun telah berpindah angka. Dengan sangat malas, Nada berusaha untuk bangun. Walau seluruh tubuhnya terasa sakit, tapi ia memiliki tanggung jawab yang harus di kerjakan. Dengan kesusahan ia turun dari ranjang, menatap getir pada bajunya yang tergolek di lantai. Ia menggeleng, menutup wajah dengan kedua tangan. Bayangan majikannya yang menyusup ke dalam kamarnya lalu menyobek baju dan merenggut paksa semuanya kembali terlintas.
Teriak?
Nada sudah teriak, meminta pertolongan pada siapa pun yang mendengar. Sayang, di rumah besar berlantai dua ini mereka hanya berdua. Kebetulan kedua orang tua Lingga sedang ada acara di luar kota selama dua hari. Sementara adik Lingga yang masih menempuh pendidikan di bangku kuliah, menginap di rumah temannya. Bukankah itu waktu yang pas untuk Lingga ‘menghabisi’ Nada?
Menit berlalu, Nada memunguti pakaiannya, menarik seprai yang sudah kotor karena noda merah miliknya. Gegas ia masuk ke kamar mandi, membersihkan diri cukup lama.
Sekitar pukul enam, Nada baru keluar dari dalam kamar. Wajahnya tak seceria biasanya, bahkan kali ini terlihat pucat dan kedua matanya pun membengkak. ia terlonjak kaget saat baru membuka pintu sudah mendapati Lingga yang berdiri di depan kamarnya. Kedua mata terbelalak dengan mulut yang sedikit terbuka, terlihat sekali jika ia sangat ketakutan.
“Nih,” dengan tanpa dosa, Lingga menyerahkan uang beberapa lembar berwarna merah. Uang yang belum lama ia tarik dari atm terdekat.
Tak menerima, bahkan Nada tak menatap uang itu. Tatapannya tertuju ke arah wajah Lingga yang tanpa ekspresi apa-apa. Bahkan rasa bersalah pun tak ada. Ah, mungkin dia memang sudah sangat biasa melakukan hal seperti itu.
“Terima ini!” suruhnya, menarik tangan Nada, memaksanya untuk menerima uang yang ada di tangan.
Dengan tubuh yang bergetar, Nada mengenggam erat uang itu. Lalu melemparkan lembar-lembar uang merah itu hingga mengenai punggung Lingga yang akan pergi meninggalkannya.
Merasa punggungnya di lempar sesuatu, Lingga menoleh. Cukup terkejut melihat uangnya bercecer di lantai.
“Saya nggak jual diri!” teriaknya dengan suara yang lantang. Bibir pucatnya bergetar karna takut dan marah.
Lingga menyunggingkan senyum, sama sekali tak peduli dengan itu. Memilih memunguti uangnya, kembali memasukkan uang itu ke dalam dompet. “Yasudah kalau nggak mau dibayar. Makasih untuk yang semalam.” Mengedipkan satu mata, setelahnya ia berlalu dengan seenak jidat.
Melihat itu, rasa benci, dendam dan sakit semakin membuat Nada merasa ingin mengakhiri hidup. Tak ada yang bisa ia lakukan, bahkan dia bukanlah siapa-siapa. Dia hanya seorang pembantu yang berasal dari kampung.
**
Pukul 7.00am
Arsyaq Lingga Argata ; anak pertama dari keluarga Argata yang saat ini umurnya sudah menginjak di angka 27 tahun. Masih muda, tampan, pintar dan memiliki karir yang bagus. Setelah mendapatkan gelar sarjana di universitas ternama, Lingga langsung terjun ke perusahaan milik kakeknya.
Semalam, meniduri Nada bukanlah untuk pertama kalinya ia melakukan itu. Dia lelaki pecinta dunia malam. Belum lama ia mulai mengenal pergaulan bebas ini. Hanya karena pekerjaannya yang melelahkan, ternyata dia membutuhkan hal ini untuk sedikit melemaskan otak dan ‘kepuasan’.
Gadis yang sudah ia bayar semalam tidak memuaskan. Terlalu agresive dan menurutnya kurang menantang. Lingga lebih suka jika dia yang menjadi pemimpin dan lebih banyak berperan, bukan seperti yang semalam.
Bukankah sebuah kebetulan, ketika dia yang ada di mode on, ada Nada yang ternyata memenuhi apa yang ia mau. Bilqis Reanada ; gadis yang tinggi semampai dengan tubuh ideal tapi masih terlalu jauh dari kata ‘montok’. Karena Nada memang adalah gadis yang tinggal di perkampungan dan belum pernah tersentuh lelaki.
Lingga menuruni tangga sudah dengan setelan kerja. tangannya bergerak, mengambil ponsel yang ia simpan di dalam saku jas. Tersenyum ketika tau itu telpon masuk dari kekasihnya ; Adisti.
“Hallo,” sapanya seraya menempelkan ponsel ke telinga.
“Ling, jadwal dokter Gilang pagi ini, jam delapan.” Suara lembut dari sebrang sana membuat kening Lingga berlipat.
Ia menggaruk keningnya lebih dulu. “Uumm ….” Menatap jam yang melingkar di lengan kiri, mengingat jadwal kerjanya hari ini.
“Bagaimana? Apa kamu masih bisa menemaniku periksa?”
“Uumm, oke. Aku ke rumahmu sekarang.” Putusnya, karena pekerjaannya masih bisa di lemparkan ke Erlan -partner kerjanya-.
Terdengar helaan nafas penuh lega dari sebrang sana. “Iya, aku tunggu.”
Lingga menarik ponsel, mengusap layar tipis itu. Kembali menempelkannya di telinga saat sebuah nomor telah ia tekan untuk kemudian di telfon.
“Lo handle pertemuan dengan Brendse pagi ini. Gue ada kepentingan, keknya bakalan siang sampai kantor.” Begitu telponnya terhubung, tanpa basa-basi ia langsung mengatakan tujuannya.
“Ling,” di sebrang sana, yang tak lain adalah Erlan, ingin memulai untuk protes.
“Hari ini jadwal cek up Adis. Jadi pekerjaan ini lo yang handle dulu.” Sebelum mendengar protesnya Erlan, Lingga sudah memotongnya lebih dulu.
Erlan tau siapa Adis, karena mereka memang dulu berada dalam satu kampus yang sama. Sementara Lingga dan Adis, mereka adalah teman masa kecil.
“Ya,” jawab Erlan dengan berat.
Sudut bibir Lingga tertarik ke atas, menciptakan sebuah senyuman. Tanpa bicara lagi, ia menutup telpon lalu menyimpan ponsel di saku jas. Langkahnya terhenti saat melihat Nada yang berjalan keluar dari rumah. Sepertinya gadis itu hendak membuang sampah di gerbang depan. Ia membuang nafas panjang. Melihat cara jalan Nada yang berbeda dari biasanya, itu mengingatkan kelakuannya semalam.
‘Shit!’ umpatnya dalam hati.
Ini bukan penyesalan, tapi ada rasa menggebu yang tetiba muncul. Rasa yang kembali menginginkan kegiatan itu lagi.
**
Rumah sakit.
Dokter Gilang masih diam, membaca hasil pemeriksaan kesehatan Adisti bulan ini. Setelah selesai, dokter melepas kaca mata, menyimpannya di atas meja lalu menatap Adis dan Lingga.
“Apa keadaan ginjal saya sudah lebih baik, Dok?” tanya Adis dengan cukup penasaran.
Dokter Gilang tersenyum tipis. “Sudah lebih baik, mbak. Tapi jangan sampai kecapekan ya. Harus hati-hati dan banyak istirahat. Karena hidup dengan satu ginjal itu tidak seperti hidup dengan dua ginjal.”
Lingga ikut tersenyum lega, menoleh, menatap kekasihnya yang wajahnya berbinar. Pasti sangat lega mendengar kabar jika kesehatannya telah membaik. Dari kecil Adis selalu sakit-sakitan, baru beberapa bulan lalu ia mendapatkan pendonor yang cocok.
Senyum bahagia mengembang di bibir manis Adis. “Aku udah sehat, Ling. Kita bisa menikah secepatnya.”
“Iya, kita akan segera menikah,” balas Lingga dengan senyum bahagia.
Mobil warna hitam yang Lingga kendarai berhenti tepat di depan rumah besar tempat tinggal Adis. Lingga menoleh tanpa mematikan mesin mobil.“Aku langsung ke kantor ya,” katanya.Ada rasa ingin protes. Jam longgar Lingga enggak banyak dan seringnya mereka berdua bisa jalan jika menemani Adis cek up seperti tadi itu. Setelahnya, Lingga akan kembali sibuk di kantor. Bukankah wajar seorang kekasih menginginkan banyak waktu berduaan?“Uumm, enggak mampir? Mama ada di rumah.” Adis menawari dan sangat berharap Lingga bisa duduk sebentar di rumahnya.Lingga mengangkat tangan kiri, menatap jam yang melingkar di sana. “Jam sepuluh aku ada janji temu sama pak Ragil. Aku harus nyiapin berkas dan file yang mau kupresentasikan ke beliau. Aku mampirnya kapan-kapan aja, oke?”Kedua bahu Adis melemah, jelas terlihat kalau dia kecewa.Lingga tersenyum manis, menarik tengkuk Adis dan mendaratkan kecupan di kening Adis cukup lama. “Jangan cemberut gitu. Cantiknya luntur.” Gombalnya sembari mencubit manja
Slep! “Aaa!” jerit Nada, berusaha melepaskan tangan Lingga yang mencekal lengannya. “Eeggh!” dia menggerang karna bibirnya dibekap dengan telapak tangan besar milik Lingga. Lalu menggelengkan kepala. Wajahnya sudah berderai air mata. Lingga memepet Nada di tembok sebelah jendela yang belum sempat dibuka. “Jangan teriak! Aku bisa membunuhmu dan membuang jasadmu di laut lepas sana! Setelahnya, keluargamu di kampung sana akan menerima akibatnya!” ancam Lingga. Bulir menetes begitu saja di pipi putih Nada. Takut dan dalam dadanya sana terasa sakit karna perlakuan Lingga ini. Tangannya yang berusaha menarik lengan tanggan Lingga itu sedikit melemah. “Kamu tinggal diam, menikmati apa yang aku lakukan. Jangan menolak karna aku akan membayarmu. Aku tidak mengambil kenikmatan itu dengan gratis, kan?” satu sudut bibir Lingga tertarik ke atas. “Kamu saja yang sok-sok’an tidak mau menerima uangku. Padahal kamu ada di sini karna mencari uang.” Mata Nada yang tergenang embun bening itu melebar
Gelas keramik khusus yang memang udah jadi takaran kopinya Lingga. Gula dan kopi udah melekat di tangan Nada. Maksudnya si Nada udah hafal seberapa takar kesukaan Lingga. Pelan Nada melangkah menaiki undakan tangga. Kedua tangan membawa nampan berisi segelas kopi. Kepala Nada sibuk dengan bayangan detik-detik di depan mata. Setelah pagi hari yang waktu itu, Lingga tidak pernah menyusup ke kamarnya lagi. Nada juga berhasil menjauh dan hampir tidak pernah bertemu dengan Lingga walau ada di satu rumah. Kedua kaki Nada berdiri tepat di depan pintu kamar Lingga. Beberapa kali Nada meneguk ludah. Menarik nafas dalam dan membuangnya pelan-pelan. Nada celingukan menatap ke kiri kanan. Lantai atas sepi, benar-benar sepi karna Lauren ada di bawah. Saudara-saudara pak Fandi sedang keluar, jalan-jalan entah ke mana. “Den—aaa—eeggh!” Mulut Nada baru saja terbuka, baru memanggil dan akan berteriak. Tapi pintu di depannya terbuka cepat. Tangan Nada langsung ditarik. Nampan yang miring dan gelasny
Lingga melepaskan cekalan tangannya, melangkah lebar ke arah skat dapur. "Adis," serunya saat melihat Adis yang jongkok sambil memunguti pecahan gelas.Adis mendongak, tersenyum palsu. "Licin gelasnya, pas mau nyalain dispenser malah jatuh—aaww!"Adis ngangkat jarinya yang berdarah. Pecahan belih yang tadi ia ambil terlalu runcing dan membuat jari telunjuknya terluka."Yaampun kak Adis, udah nggak usah diberesin. Nada! Nad!" Lauren yang menghampiri langsung berteriak. Ia meraih kedia bahu Adis, membantunya untuk berdiri."Iya, non." Nada muncul dari skat dapur, berdiri di sebelah Lingga."Ini gelasnya pecah. Bersihin ya," suruh Lauren dan menuntuk Adis menuju ke kursi makan. "Gue ambilin obat."Nada meremas jari-jemarinya. Ada rasa takut di dalam dada sana. Takut kalau Adis tadi mendengar perbincangannya sama Lingga. Hampir melangkah masuk ke dapur untuk mengambil sapu, tapi tangannya dicekal Lingga. Nada mendongak.Bibir Lingga sedikit terbuka, terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi
Begitu sampai di rumah, Lingga langsung masuk. Menjabat tangan tamu papa Fandi yang sedang ngobrol di ruang tamu. Dia pamit masuk ke dalam dengan alasan ingin ke kamar mandi. Lingga menghela nafas saat ada beberapa orang di ruang tengah. Pengen nyari Nada, pengen ngomongin tentang testpack dan masih ada yang mau ia bahas lagi. Tapi kalau ada banyak orang begini, Lingga takut semua mencurigainya. Santai kaya’ nggak ada masalah apa pun, Lingga melangkah ke kulkas. Mengambil botol air minum dingin dan menuangnya ke gelas. Melirik ke arah dapur untuk mencari keberadaan Nada. Dan sialnya di dapur Cuma ada Bu Sari sama ibu tetangga sebelah yang membantu mama Ajeng masak. Memberanikan diri masuk ke dapur. “Eh, Mas Lingga. Mau cari apa, Mas?” tanya bu Sari. “Uumm,” gumam Lingga, menggaruk sisi kepala. “Nada di mana? Mau nanyain kemeja yang kemarin dia setrika.” “Oh, si Nada tadi disuruh ibu beliin isi staples,” jawab Bu Sari. Lingga mengangguk
“Den,” panggil Nada ketika melihat Lingga sudah berpakaian rapi dan menggenggam kunci mobil. “Saya jangan ditinggal. Saya ikut pul—”“Kamu di sini saja. Nggak usah kembali ke rumahku.” Kata Lingga.Kedua mata Nada melebar mendengar kalimat itu. “Enggak, Den. Saya harus kembali. Saya—Den! Den Lingga!”Kedua bahu Nada melemah melihat Lingga yang langsung keluar dan menutup rapat pintu kamar. Mengejar sih masih bisa ya, tapi masalahnya Nada masih dalam posisi tak pakai baju. Rambutnya juga awut-awutan dan dia masih bau keringat.**“Eeggh….” Lengkuhan pelan keluar dari bibir Nada.Efek hamil muda dan sepertinya karna lelah menangis. Nada tertidur tanpa sempat membersihkan diri. Bahkan dia belum memakai pakaiannya kembali.Nada mulai menyipitkan kedua mata, menatap berkeliling. Mata terbuka lebar saat tau ruangan yang ia lihat bukanlah kamar yang biasa dipakai.
Ijab kobul yang berlangsung lancar, walau Lingga harus mengulanginya sampai tiga kali. Break sebentar untuk ganti kostum dan segera menuju ke aula party yang telah dipersiapkan dengan matang. Partynya mewah dan ramai oleh banyaknya tamu undangan dari berbagai daerah.Lingga si pebisnis muda, pak Fandi yang juga memiliki relasi bisnis pertama tentu teman-temannya juga ada banyak. Terlebih ini adalah pertama kali mereka memiliki acara besar.Pukul 8.30pmAdisti yang memang tidak sesehat orang-orang, sudah merasa amat lelah. Dia diantarkan Lauren untuk mundur. Istirahat di kamar pengantin; kamar hotel yang juga telah dipesan sebagai kamar pengantin.“Istirahat, kak. Nanti masih akan ada moment panjang lho,” goda Lauren sembari tertawa kecilAdisti nabok lengan Lauren pelan. “Iiihh, masih kecil juga!”“Hihihi… aku balik ke party lagi ya.”Adis menganggukkan kepala, membalas lambaian tangan Lauren. Menutup pintu kamar dan diam berdiri menatap ranjang king size berseprai putih di depannya.
Nada mengulum bibir, berusaha menahan desahan yang sebenarnya susah ditahan. Satu tangan yang tadi mencengkeram seprai itu berpindah, membekap mulut dan mendesah dalam persembunyian. Nafasnya memburu ketika Lingga berhenti bergerak, menjatuhkan tubuh berkeringat itu dan menindih tubuh kecil Nada.“Eeghh,” desah Nada tertahan ketika dadanya disesap terlalu kencang.Kembali lagi, Lingga meraih kedua tangan Nada, menggenggamnya dan bergerak maju mundur lebih cepat dari yang tadi.“Aahh….” Desahan panjang itu keluar dari bibir Lingga dan Nada ketika mereka berdua telah mencapai pada puncak permainan.Pelan-pelan Lingga menarik diri, menatap cairannya yang meluber karna terlalu penuh di dalam rahim Nada. Lingga mengambil celananya yang tergeletak di lantai. Dengan masih betelanjang ia mengusap layar hp yang menyala.“Hallo,” sapanya sembari menempelkan hp itu ke telinga.“Kamu di mana, Ling?” tanya Adis di seberang sana.Lingga mengasak-acak rambutnya yang basah karna keringat. “Aku di cof
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
“Mamamama….”Pagi menyapa dan cerewetnya Yoona yang pertama masuk ke pendengaran Nada. Pelan-pelan ia membuka mata, menyipit dan tersenyum saat ternyata anaknya sudah bangun. Yoona duduk anteng di depannya sambil memainkan sesuatu.Sesuatu berupa bh yang dua cupnya berbentuk bunga mawar berwarna merah itu ditarik-tarik Yoona. Kaya’ yang gemes pengen lepasin bunga mawar itu dan membuangnya.Nada menepuk kening dan mencoba meminta barang dinasnya itu. “Na, mama minta.” Ia menengadahkan tangan.Yoona melirik, bibirnya mengerucut. bukannya memberikan, tapi bocah kecil yang tubuhnya berisi itu mengingsut duduk. Membelakangi mamanya dan kembali melakukan aktifitas, menarik-narik kelopak mawar merah itu.“Cckk, salahku sih. Kenapa juga nggak lempar itu di lantai aja. Sampai ditemuin sama Yoona.” Nada menggerutu sendiri. Ia bangun, kedua mata melebar saat bagian dadanya terekspos karna telanjang setelah semalam kembali dihabisi oleh suaminya.“Nen, mama nen.” Yoona menuding ke arah dada maman
“Suster Wati nggak telpon. Padahal ini udah hampir siang,” gumam Nada setelah melihat layar hp-nya yang sepi.Lingga menggeser kelapa muda yang milik Nada. “Berarti Yoona nggak rewel, sayang.”“Kurang percaya aku, Mas. Aku mau vidio call.” Nada memutuskan menekan tanda panggilan vidio di pojok layar.Tak lama layar hp Nada berubah menjadi wajahnya suster Wati. Seorang suster yang telah Lingga sewa untuk menjaga Yoona selama satu minggu di Bali ini.“Bu,” sapa suster Wati.“Yoona nggak rewel, mbak?” tanya Nada.Kamera beralih menjadi kamera belakang, memperlihatkan Yoona yang sibuk mainan pasir ajaib di sebuah ruangan yang khusus untuk bermain balita. Dan ada beberapa balita juga, nggak Cuma Yoona saja.“Dari tadi anteng, Bu. Sambil saya kasih roti sama minum susu.”Nada tersenyum dengan helaan penuh lega. “Jangan lupa nanti tidur siang ya, mbak.”“Iya, Bu. Ini udah jam sebelas lebih. bentar lagi, kalau Yoona udah makan siang. Saya nina bobo.” Jawab suster sopan.Nada menganggukkan kep
Bali.Yang Nada pilih adalah pulau Bali. Lingga sudah menawari untuk ke Prancis, atau ke Korea, atau ke negara yang lainnya. Tapi Nada tetep, pengennya ke Bali. Pengen mengunjungi yang masih ada di satu negara lebih dulu. Dan jika masih diberi waktu lagi, baru dia ingin mencoba ke luar negri.Lingga memilih villa yang privat. Hanya orang-orang penghuni villa VIP saja yang bisa mengunjungi pantai. Villanya ada tepat di tebing, di atas pantai dan bisa dikatakan jika ada di atas bebatuan tebing. Dengan lift mereka berdua turun.Nada tersenyum bahagia ketika kakinya yang memakai sendal jepit itu menginjak pasir putih, pasir pantai Bali. “Yaampun, indah banget….” Pujinya dengan wajah berbinar dan matanya mengelilingi pemandangan yang memang indah, sejuk serta … serasa dunia milik mereka berdua.Lingga memeluk Nada dari belakang, dagunya bertopan di bahu sebelah kanan sambil menikmati belaian angin pantai yang menerpa wajahnya.Nada memejamkan kedua mata, kedua tangan terlentang dan menghir
“Aaahh,” desah Lingga sambil terus bergerak di atas tubuh Nada. Tangannya memegangi kedua kaki Nada yang dikangkangkan lebar.Nada menggigit bibir, menutup mulut agar tidak mendesah kencang karna takut mengganggu tidur Yoona. Kepalanya menggeleng ketika pergerakan Lingga semakin cepat, dan dia sendiri sedikit menggelinjang karna telah mencapai titik puncak. Nada mengamati suami yang masih diam di depannya. Tubuh putih berotot Lingga dipenuhi oleh keringat. Rambutnya yang sedikit memanjang itu pun sampai basah dan ada keringat yang menetes dari pelipisnya.Pelan Lingga menarik barangnya sambil mengamati barang berharga milik istrinya yang ia tinggalkan. Cairan putih kentalnya mengalir keluar dari milik Nada. Lingga mengambil tissu, mengusap milik istrinya itu dengan tissu. Setelahnya membersihkan miliknya sendiri sambil duduk di tepi ranjang menunggu keringatnya habis.Nada beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi sambil membawa dress tidurnya. Cuma sebentar, karna Cuma membersihkan y
Caffe shop, caffe kecil yang ada di depan gedung perusahaan milik Lingga pribadi. Di sini Adis duduk menatap ke arah gedung perusahaan yang tentunya tidak sebesar perusahaan miliknya. Lebih tepatnya milik papa Fandi dan almarhum papanya.Adis menegakkan tubuh, merapikan penampilannya saat melihat mobil hitam yang memasuki halaman caffe shop. Awas ia menatap mobil itu. Mengulum bibir ketika melihat pintu bagian kemudi dibuka dan seorang lelaki yang memang ia tunggu telah melangkah turun.Lingga, lelaki yang sampai detik ini tetap paling tampan di mata Adis. Lelaki yang bagi Adis telah mendekati sempurna, tapi sayangnya… dia tak berjodoh.“Lingga,” sapa Adis, mengangkat sedikit tangannya.Lingga yang baru memasuki pintu caffe mendekat. Mengulurkan tangan ke Adis, mengajak jabatan.Tak langsung meraih tangan itu, Adis menunduk menatap telapak tangan yang mengarah padanya lebih dulu.“Lama sekali tak pernah bertemu. Kabar baik, kan hari ini?” tanya Lingga.Adis tersenyum, menyambut tangan