Share

Ditiduri Majikan
Ditiduri Majikan
Author: Yuwen aqsa

Eps 1. Pertama

“Aaahh ….”

Lengkuhan panjang itu keluar dari bibir Lingga saat dia berhasil mendapatkan kepuasan yang dimau. “Jangan menangis, nanti aku akan memberimu uang,” katanya santai.

Dengan tanpa rasa bersalah Lingga beranjak dari atas ranjang. Memunguti baju dan celana yang berserakan di lantai. Menoleh sebentar, menatap gadis yang masih menangis dengan tangan yang mengenggam erat selimut. Matanya menatap ke arah seprai yang terdapat noda merah, menandakan jika ia baru saja merenggut keprawanan seorang gadis.

Ah, tapi Lingga tidak akan mengambil dengan gratis kok. Hari ini dia tidak memiliki uang cash, jadi dia harus pergi ke atm dulu untuk menarik uang. Membiarkan gadis itu begitu saja, memilih melangkah pergi, keluar dari kamar pembantu.

Sedangkan Nada, gadis berusia 20 tahun kurang beberapa bulan. Gadis yang baru sebulan bekerja di rumah besar ini, masih meringkuk di atas ranjang. Di usianya yang masih sangat muda, baru satu tahun lalu menyelesaikan sekolah di SMA. Pagi ini dia telah kehilangan kehormatannya. Hal yang paling dia jaga, hal yang selalu dibicarakan oleh sang ibu untuk tak memberikan pada sembarang lelaki, karna itu harus di berikan pada lelaki yang sudah sah menjadi suaminya kelak.

Lingga, anak pertama di keluarga Argata, telah merenggut harga dirinya dengan paksa. Ia memejamkan mata, membiarkan bulir-bulir tetap membasahi wajah, sampai menetes ke bantal yang ada di bawah kepalanya.

“Alfa ….” Lirihnya disela isakan. Makin erat ia mencengkram ujung selimut, menutup tubuhnya yang masih telanjang, tanpa penutup apa pun. “Maafin aku ….”

Isakannya makin tak bisa ia tahan. Bayangan wajah tampan dengan senyuman kalem itu selalu terbayang. Alfa Bastian ; lelaki yang berstatus pacar. Nada menjalin kasih dengan Alfa sejak awal masuk di kelas 12 SMA, hingga tiba ketika ia harus pergi bekerja demi membantu Ibu untuk membiayai kedua adiknya yang masih ada di bangku SMP dan SMA.

Menit berlalu, jarum jam pun telah berpindah angka. Dengan sangat malas, Nada berusaha untuk bangun. Walau seluruh tubuhnya terasa sakit, tapi ia memiliki tanggung jawab yang harus di kerjakan. Dengan kesusahan ia turun dari ranjang, menatap getir pada bajunya yang tergolek di lantai. Ia menggeleng, menutup wajah dengan kedua tangan. Bayangan majikannya yang menyusup ke dalam kamarnya lalu menyobek baju dan merenggut paksa semuanya kembali terlintas.

Teriak?

Nada sudah teriak, meminta pertolongan pada siapa pun yang mendengar. Sayang, di rumah besar berlantai dua ini mereka hanya berdua. Kebetulan kedua orang tua Lingga sedang ada acara di luar kota selama dua hari. Sementara adik Lingga yang masih menempuh pendidikan di bangku kuliah, menginap di rumah temannya. Bukankah itu waktu yang pas untuk Lingga ‘menghabisi’ Nada?

Menit berlalu, Nada memunguti pakaiannya, menarik seprai yang sudah kotor karena noda merah miliknya. Gegas ia masuk ke kamar mandi, membersihkan diri cukup lama.

Sekitar pukul enam, Nada baru keluar dari dalam kamar. Wajahnya tak seceria biasanya, bahkan kali ini terlihat pucat dan kedua matanya pun membengkak. ia terlonjak kaget saat baru membuka pintu sudah mendapati Lingga yang berdiri di depan kamarnya. Kedua mata terbelalak dengan mulut yang sedikit terbuka, terlihat sekali jika ia sangat ketakutan.

“Nih,” dengan tanpa dosa, Lingga menyerahkan uang beberapa lembar berwarna merah. Uang yang belum lama ia tarik dari atm terdekat.

Tak menerima, bahkan Nada tak menatap uang itu. Tatapannya tertuju ke arah wajah Lingga yang tanpa ekspresi apa-apa. Bahkan rasa bersalah pun tak ada. Ah, mungkin dia memang sudah sangat biasa melakukan hal seperti itu.

“Terima ini!” suruhnya, menarik tangan Nada, memaksanya untuk menerima uang yang ada di tangan.

Dengan tubuh yang bergetar, Nada mengenggam erat uang itu. Lalu melemparkan lembar-lembar uang merah itu hingga mengenai punggung Lingga yang akan pergi meninggalkannya.

Merasa punggungnya di lempar sesuatu, Lingga menoleh. Cukup terkejut melihat uangnya bercecer di lantai.

“Saya nggak jual diri!” teriaknya dengan suara yang lantang. Bibir pucatnya bergetar karna takut dan marah.

Lingga menyunggingkan senyum, sama sekali tak peduli dengan itu. Memilih memunguti uangnya, kembali memasukkan uang itu ke dalam dompet. “Yasudah kalau nggak mau dibayar. Makasih untuk yang semalam.” Mengedipkan satu mata, setelahnya ia berlalu dengan seenak jidat.

Melihat itu, rasa benci, dendam dan sakit semakin membuat Nada merasa ingin mengakhiri hidup. Tak ada yang bisa ia lakukan, bahkan dia bukanlah siapa-siapa. Dia hanya seorang pembantu yang berasal dari kampung.

**

Pukul 7.00am

Arsyaq Lingga Argata ; anak pertama dari keluarga Argata yang saat ini umurnya sudah menginjak di angka 27 tahun. Masih muda, tampan, pintar dan memiliki karir yang bagus. Setelah mendapatkan gelar sarjana di universitas ternama, Lingga langsung terjun ke perusahaan milik kakeknya.

Semalam, meniduri Nada bukanlah untuk pertama kalinya ia melakukan itu. Dia lelaki pecinta dunia malam. Belum lama ia mulai mengenal pergaulan bebas ini. Hanya karena pekerjaannya yang melelahkan, ternyata dia membutuhkan hal ini untuk sedikit melemaskan otak dan ‘kepuasan’.

Gadis yang sudah ia bayar semalam tidak memuaskan. Terlalu agresive dan menurutnya kurang menantang. Lingga lebih suka jika dia yang menjadi pemimpin dan lebih banyak berperan, bukan seperti yang semalam.

Bukankah sebuah kebetulan, ketika dia yang ada di mode on, ada Nada yang ternyata memenuhi apa yang ia mau. Bilqis Reanada ; gadis yang tinggi semampai dengan tubuh ideal tapi masih terlalu jauh dari kata ‘montok’. Karena Nada memang adalah gadis yang tinggal di perkampungan dan belum pernah tersentuh lelaki.

Lingga menuruni tangga sudah dengan setelan kerja. tangannya bergerak, mengambil ponsel yang ia simpan di dalam saku jas. Tersenyum ketika tau itu telpon masuk dari kekasihnya ; Adisti.

“Hallo,” sapanya seraya menempelkan ponsel ke telinga.

“Ling, jadwal dokter Gilang pagi ini, jam delapan.” Suara lembut dari sebrang sana membuat kening Lingga berlipat.

Ia menggaruk keningnya lebih dulu. “Uumm ….” Menatap jam yang melingkar di lengan kiri, mengingat jadwal kerjanya hari ini.

“Bagaimana? Apa kamu masih bisa menemaniku periksa?”

“Uumm, oke. Aku ke rumahmu sekarang.” Putusnya, karena pekerjaannya masih bisa di lemparkan ke Erlan -partner kerjanya-.

Terdengar helaan nafas penuh lega dari sebrang sana. “Iya, aku tunggu.”

Lingga menarik ponsel, mengusap layar tipis itu. Kembali menempelkannya di telinga saat sebuah nomor telah ia tekan untuk kemudian di telfon.

“Lo handle pertemuan dengan Brendse pagi ini. Gue ada kepentingan, keknya bakalan siang sampai kantor.” Begitu telponnya terhubung, tanpa basa-basi ia langsung mengatakan tujuannya.

“Ling,” di sebrang sana, yang tak lain adalah Erlan, ingin memulai untuk protes.

“Hari ini jadwal cek up Adis. Jadi pekerjaan ini lo yang handle dulu.” Sebelum mendengar protesnya Erlan, Lingga sudah memotongnya lebih dulu.

Erlan tau siapa Adis, karena mereka memang dulu berada dalam satu kampus yang sama. Sementara Lingga dan Adis, mereka adalah teman masa kecil.

“Ya,” jawab Erlan dengan berat.

Sudut bibir Lingga tertarik ke atas, menciptakan sebuah senyuman. Tanpa bicara lagi, ia menutup telpon lalu menyimpan ponsel di saku jas. Langkahnya terhenti saat melihat Nada yang berjalan keluar dari rumah. Sepertinya gadis itu hendak membuang sampah di gerbang depan. Ia membuang nafas panjang. Melihat cara jalan Nada yang berbeda dari biasanya, itu mengingatkan kelakuannya semalam.

‘Shit!’ umpatnya dalam hati.

Ini bukan penyesalan, tapi ada rasa menggebu yang tetiba muncul. Rasa yang kembali menginginkan kegiatan itu lagi.

**

Rumah sakit.

Dokter Gilang masih diam, membaca hasil pemeriksaan kesehatan Adisti bulan ini. Setelah selesai, dokter melepas kaca mata, menyimpannya di atas meja lalu menatap Adis dan Lingga.

“Apa keadaan ginjal saya sudah lebih baik, Dok?” tanya Adis dengan cukup penasaran.

Dokter Gilang tersenyum tipis. “Sudah lebih baik, mbak. Tapi jangan sampai kecapekan ya. Harus hati-hati dan banyak istirahat. Karena hidup dengan satu ginjal itu tidak seperti hidup dengan dua ginjal.”

Lingga ikut tersenyum lega, menoleh, menatap kekasihnya yang wajahnya berbinar. Pasti sangat lega mendengar kabar jika kesehatannya telah membaik. Dari kecil Adis selalu sakit-sakitan, baru beberapa bulan lalu ia mendapatkan pendonor yang cocok.

Senyum bahagia mengembang di bibir manis Adis. “Aku udah sehat, Ling. Kita bisa menikah secepatnya.”

“Iya, kita akan segera menikah,” balas Lingga dengan senyum bahagia.

Comments (26)
goodnovel comment avatar
affaafifufefo
siang Mak Yuwen, akhirnya gabung juga disini
goodnovel comment avatar
VeyBy_Donken
ikut absen ... erlan siapa ya ? kaya familiar namanya..
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
Arsyaq Lingga Argata
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status