Ddrtt… ddrtt….Kesibukan Lingga terhenti ketika hp yang ada di sebelah laptopnya menyala dan bergetar. Ia mengambil, menatap layar yang menampilkan nama kontak ‘Mama’. Tanpa ragu Lingga menggeser tombol untuk mengangkat telpon.“Hallo, Ma, sapanya sambil memasang earphone ke telinga.“Sehat, Ling?”Pertanyaan yang membuat Lingga sedikit mengulas senyum. “Aku lagi sibuk, Ma, belum bisa pulang,” jawabnya, karna tau kalau dia sedang disindir.“Nggak apa-apa. Yang penting kamunya sehat.”“Iya, Ma, aku sehat. Mama gimana? Sehat, kan?” Lingga balik bertanya.“Iya, sehat.” Terjeda untuk beberapa saat. Keduanya tak ada yang memulai bicara. “Kamu sama Adis, bagaimana? Kenapa mama lihat kalian ini semakin… semakin nggak dekat?” tanyanya dengan begitu hati-hati.Lingga menghela nafas, meletakkan mousenya dan menjatuhkan punggung ke sandaran kursinya. “Pasti mama juga udah tau apa alasanku. Aku… aku memang nggak baik, tapi aku menginginkan istri yang lebih baik dari aku. Seorang wanita yang baik,
“Lho, kok kita malah ngejar mobilnya Lingga sih, Dis? Malah bagus kan Lingga pergi, jadi kita bisa coba nemui pembantu itu.” Mama Marlin melambatkan laju mobilnya. Adis menepuk lengan mamanya pelan. “Aku liat pembantu itu duduk di kursi sampingnya Lingga, Ma.” Kembali kaki Mama Marlin makin menginjak gasnya. “Bener, Dis?” “Iya, aku liat tadi.” Adis meyakinkan. “Cuma tampilannya agak beda gitu sih, Ma.” Bu Marlin berdecak lirih. “Si Lingga seleranya benar-benar rendahan. Nggak nyangka mama. Masa’ ngajakin pembantu jalan barengan. Apa dia nggak malu kalau ngenalin pembantu itu ke teman-temannya? Mau dikenalin sebagai apa? Dia yang CEO perusahaan masa’ bawa pembantu. Milih pembantu dari pada kamu. Mana kehamilan pembantu itu juga bukan anak kandungnya si Lingga kan?” Adis mendengus kasar, detik kemudian menganggukkan kepala. Setuju sama apa yang terucap dari mamanya. Kedua mata mama Marlin awas melihat mobil milik Lingga yang lajunya mulai melambat. Mobil hitam itu memasuki halaman
Adis dan bu Marlin celingukan di lorong hotel, tepat di depan pintu lift. Mereka berdua sudah ada di sebelah pintu lift tepat saat lifft-nya terbuka. Tadi mau masuk, tapi hotelnya kan ada 15 lantai mereka bingung nanti mau turun di lantai yang mana. Memutuskan untuk mengecek ke arah restoran hotel yang ada di samping gedung. Lalu berpindah karna di samping gedung itu nggak ada Lingga. Sampai akhirnya mereka berdua diam berdiri di lobby hotel karna kesal, kehilangan jejak.“Kok Lingga ilangnya cepet banget ya, Ma,” keluh Adis, menatap ke luar halaman hotel.Bu AMrlin menarik nafas dalam, terlihat menahan kesal karna lelah jalan ke sana kemari tapi nggak ada hasil. “Kita tunggu mereka di basemen aja. Pasti pulangnya bakalan ke sana buat ambil mobilnya, kan?”Adis setuju, mengikuti langkah mamanya kembali ke basemen.“Hah?! Kok mobilnya Lingga udah nggak ada?” pekik Adis, sangat terkejut karna tak melihat mobil hitam Lingga. Dia sampai melangkah ke tempat yang tadi dipakai Lingga parkir.
Lauren menghentikan mobil, menajamkan penglihatan ke spion. Tepatnya pada mobil papanya yang benar-benar melaju masuk ke halaman hotel. Tangan yang menggenggam stir itu mengencang, menahan amarah di dadanya.Tadi itu, dengan sangat entang papanya bilang kalau ada lembur di kantor, kan? Dari situ bohongnya udah keliatan. Ada di mobil, pas ditanya jawab kalau ada di kantor. Mama Ajeng sudah mencoba berfikir positif tentang hal itu, tapi pikiran positif itu telah diruntuhkan oleh pak Fandi sendiri.Jalannya kan searah ya, dan masih ada trotoar yang sedikit lebar. Lauren memundurkan mobil pelan-pelan.Mama Ajeng mencekal tangan Lauren. “Ren.”“Ma, aku harus tau. Tadi itu mobil papa dibawa sama siapa,” ucap Lauren, balas menatap mamanya. “Kalau nggak nyamperin ke sana, kita nggak akan tau kebenarannya.”Mama Ajeng berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar amat cepat. Ya, dia pun merasa kalau suaminya itu berubah. Hanya saja mama berusaha berfikir positif untuk membuat hatinya selalu te
Kedua tangan Lauren memegang stir erat. Dia dan mama Ajeng sudah ada di dalam mobil setelah mendapatnya bukti nyata perselingkuhan papa Fandi dan bu Marlin, mertua Lingga.mobil masih ada di tempat, mesinnya pun belum menyala karna Lauren masih diam mengatur amarah dan emosi di dadanya. Dan ternyata menahan emosi tentang masalah serius seperti ini teramat sulit.Lauren menjatuhkan kening ke stir, terisak meluapkan sakit di dadanya. Kata orang, cinta pertama anak gadis itu adalah ayahnya. Dan itu benar. Sejak kecil Lauren sayang dan begitu kagum akan sosok papa. Bahkan sejauh ini, sampai umurnya 21 tahun ini, mama dan papanya selalu harmonis. Mereka tidak pernah bertengkar atau ribuk soal apa pun. Mama Ajeng yang bisa dikatakan kerap mengalah dan papa yang perhatian serta bertanggung jawab. Hari ini, Tuhan telah menunjukkan dihadapannya. Seperti apa sosok papa yang sejauh ini sangat ia kagumi.Mama Ajeng mengusap lembut punggung Lauren yang bergetar. Dia juga menangis, tapi masih bisa
“Mas, gimana kalau Lauren nanti memposting vivio itu? Aku bakalan malu banget. Efeknya bakalan ke rumah makanku lho, Mas. Investorku pasti membatalkan kerjasama. Hiks, aku nggak mau itu terjadi, Mas. Aku bergantung sama rentoranku itu.” Seperginya Lauren dan Bu Ajeng dari kamar hotel ini, Pak Fandi jadi pusing. Bu Marlin mengeluh, merengek tanpa henti dan itu membuat pak Fandi susah mikir. Dia sih nggak takut cerai dari bu Ajeng, karna pak Fandi akan tetap bisa hidup seperti biasanya. Perusahaan yang di pinpin Lingga selama beberapa tahun itu masih menjadi miliknya. Perusahaan cabang juga masih jalan dan itu adalah miliknya. Terkecuali satu anak atau cabang perusahaan yang belum lama diresmikan, itu milik Lingga. Walau uang pembangunannya bukan seratus persen dari Lingga, tapi tetap. Kepemilikan dan modal utamanya dari dompetnya Lingga. “Mas, kamu harus bisa ambil hp Lauren dan hapus vidionya. Jangan sampai anakmu itu nekat!” kembali, bu Marlin merengek sembari menarik-narik lengan p
Mobil yang dikendarai bu Marlin berhenti di garasi rumah tinggalnya. Rumah peninggalan suaminya yang telah diatas namakan Adisti sebagai anak satu-satunya. Bu Marlin turun dari mobil dan melangkah memasuki teras rumah. Ini sudah dini hari, jadi sudah pasti rumah sepi karna yang ada di dalam rumah hanya Adis saja.Bu Marlin mengunci pintu setelah masuk. Sebagai ibu yang baik, hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek kamar anaknya. Takut kalau anaknya nggak ada di rumah. Karna walau pun status Adis adalah seorang istri, Adis telah dicampakan oleh suami.Ceklek!Begitu membuka pintu kamar, kedua mata bu Marlin terbelalak melihat keadaan kamar Adis yang hancur berantakan. Semua yang biasanya tertata rapi di meja itu menggelinding di lantai. Cermin riasnya pun sudah pecah, tak bisa lagi dipakai untuk berkaca. Pecahannya telah berserakan di meja dan lantai. Adis sendiri meringkuk di atas ranjang dengan kedua mata yang memejam.“Adis!” seru bu Marlin dengan sedikit berteriak. Ia melangkah
Lingga menatap beberapa tumpuk kardus yang sudah dikeluarkan dari ruangan Erlan. Mindahin barang-barangnya juga baru kemarin. Eh, pagi ini barang-barangnya sudah harus di keluarkan lagi.“Ling,” panggil Erlan yang baru saja dari toilet.Lingga tak mengatakan apa-apa. Bablas, dia melangkah menuju ke ruangan CEO. Ruangan yang sekarang ditempati oleh pak Fandi; papa tirinya.Ceklek!Begitu membuka pintu, kedua mata Lingga berhadapan dengan pak Fandi yang duduk di kursi kebanggaan dengan punggung yang menyandar di sandaran kursi itu. Tanpa perlu dipersilakan Lingga melangkah masuk dan berdiri di depan meja kerja yang dulu telah menjadi meja kerjanya.“Pa, yakin? Minta aku untuk keluar dari sini?” tanya Lingga, menatap serius papa tirinya.Pak Fandi menyunggingkan senyum dengan mencibir. “Memang kamu sepenting apa sampai saya harus mempertahankanmu di sini? Kamu Cuma pekerja di sini yang kebetulan berstatus anakku. Makanya kamu bisa duduk di kursi sini!” tajam kata-kata itu disertai dengan