“Mas, gimana kalau Lauren nanti memposting vivio itu? Aku bakalan malu banget. Efeknya bakalan ke rumah makanku lho, Mas. Investorku pasti membatalkan kerjasama. Hiks, aku nggak mau itu terjadi, Mas. Aku bergantung sama rentoranku itu.” Seperginya Lauren dan Bu Ajeng dari kamar hotel ini, Pak Fandi jadi pusing. Bu Marlin mengeluh, merengek tanpa henti dan itu membuat pak Fandi susah mikir. Dia sih nggak takut cerai dari bu Ajeng, karna pak Fandi akan tetap bisa hidup seperti biasanya. Perusahaan yang di pinpin Lingga selama beberapa tahun itu masih menjadi miliknya. Perusahaan cabang juga masih jalan dan itu adalah miliknya. Terkecuali satu anak atau cabang perusahaan yang belum lama diresmikan, itu milik Lingga. Walau uang pembangunannya bukan seratus persen dari Lingga, tapi tetap. Kepemilikan dan modal utamanya dari dompetnya Lingga. “Mas, kamu harus bisa ambil hp Lauren dan hapus vidionya. Jangan sampai anakmu itu nekat!” kembali, bu Marlin merengek sembari menarik-narik lengan p
Mobil yang dikendarai bu Marlin berhenti di garasi rumah tinggalnya. Rumah peninggalan suaminya yang telah diatas namakan Adisti sebagai anak satu-satunya. Bu Marlin turun dari mobil dan melangkah memasuki teras rumah. Ini sudah dini hari, jadi sudah pasti rumah sepi karna yang ada di dalam rumah hanya Adis saja.Bu Marlin mengunci pintu setelah masuk. Sebagai ibu yang baik, hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek kamar anaknya. Takut kalau anaknya nggak ada di rumah. Karna walau pun status Adis adalah seorang istri, Adis telah dicampakan oleh suami.Ceklek!Begitu membuka pintu kamar, kedua mata bu Marlin terbelalak melihat keadaan kamar Adis yang hancur berantakan. Semua yang biasanya tertata rapi di meja itu menggelinding di lantai. Cermin riasnya pun sudah pecah, tak bisa lagi dipakai untuk berkaca. Pecahannya telah berserakan di meja dan lantai. Adis sendiri meringkuk di atas ranjang dengan kedua mata yang memejam.“Adis!” seru bu Marlin dengan sedikit berteriak. Ia melangkah
Lingga menatap beberapa tumpuk kardus yang sudah dikeluarkan dari ruangan Erlan. Mindahin barang-barangnya juga baru kemarin. Eh, pagi ini barang-barangnya sudah harus di keluarkan lagi.“Ling,” panggil Erlan yang baru saja dari toilet.Lingga tak mengatakan apa-apa. Bablas, dia melangkah menuju ke ruangan CEO. Ruangan yang sekarang ditempati oleh pak Fandi; papa tirinya.Ceklek!Begitu membuka pintu, kedua mata Lingga berhadapan dengan pak Fandi yang duduk di kursi kebanggaan dengan punggung yang menyandar di sandaran kursi itu. Tanpa perlu dipersilakan Lingga melangkah masuk dan berdiri di depan meja kerja yang dulu telah menjadi meja kerjanya.“Pa, yakin? Minta aku untuk keluar dari sini?” tanya Lingga, menatap serius papa tirinya.Pak Fandi menyunggingkan senyum dengan mencibir. “Memang kamu sepenting apa sampai saya harus mempertahankanmu di sini? Kamu Cuma pekerja di sini yang kebetulan berstatus anakku. Makanya kamu bisa duduk di kursi sini!” tajam kata-kata itu disertai dengan
Nada tersenyum saat melihat gerbang rumah yang dibuka. Buru-buru ia melangkah menuruni undakan tangga untuk menyambut suaminya yang baru pulang kerja. Membuka pintu depan, melangkah keluar dan berdiri di teras depan rumah dengan senyum manisnya.Lingga keluar dari mobil dengan tangan yang menenteng tas kerjanya. Meraih kepala Nada dan mengecup keningnya cukup lama. “Benar-benar nggak tidur?”Nada melingkarkan tangan ke pinggang Lingga. Melangkah bersebelahan dengan Lingga untuk masuk ke dalam rumah. “Nungguin kamu pulang. Masa’ kamu capek sendirian sih, Mas.”Lingga tertawa kecil mendengar kalimat itu. “Ya nggak apa-apa. Yang penting kamu sama dedek sehat, itu prioritasku.”Nada mendongak dengan bibir mengerucut.“Nah, yang dari tadi ditungguin sudah pulang, kan,” di sofa depan tv sini mama Ajeng berseru.Nada tersenyum malu. “Mau langsung makan? Atau… istirahat dulu?”“Makan. Dikit aja. Sama… teh hangat.”Nada mengangguk dan melangkah menuju ke dapur. sementara Lingga, mendekati mama
“Pak ada kurir yang mengantarkan surat untuk bapak.” Fani menyerahkan amplop coklat yang tadi diberaikan oleh kurir baju orange.Pak Fandi menerimanya, menyobek amplop itu dan mengambil kertas di dalamnya. Kedua mata melotot tajam saat membaca isi surat dari pengadilan agama itu.Merasa mood bossnya tak baik, Fani mundur dan keluar dari ruangan Ceo ini.“Kurang ajar kamu Ajeng!” marah pak Fandi. Kertas yang ada di tangan itu diremas, menunjukkan emosinya yang meletup. “Berani juga menggugatku ke pengadilan!” sudut bibirnya tertarik, menciptakan seringai tajam. “Cuma punya toko kecil saja sudah sombong! Lihat saja, kamu tidak akan bisa memenuhi kebutuhanmu dan Lauren!”Pluk!Kertas yang teremas itu dilemparkan dan masuk ke dalam tempat sampah yang ada di pojok belakang ruangan. Pak Fandi memejamkan kedua mata, mencoba mengatur emosi yang menggebu agar tidak membuat pekerjaannya menjadi kacau.Setelahnya pak Fandi menghembuskan nafas panjang melalui mulut. Mengambil hp dan mencari nomor
Glek! Glek! Glek!“Buka pintunya, Saidi!” pak Fandi berteriak lagi dengan kedua tangan yang menggoyang-goyangkan gerbang depan.Beruntungnya pak Saidi selalu mengunci gembok gerbang itu, jadi nggak bisa asal orang masuk. Ini juga atas perintah Lingga karna Lingga nggak mau sampai bu Marlin atau malah papanya tetiba datang dan menemui Nada yang hanya berdiam di rumah. Lingga nggak mau Nada kenapa-napa dan berakhir dirinya sendiri yang menyesal.Nada mengusap perut bagian bawah berulang kali. Nafasnya terdengar kasar karna menahan mulas yang mulai terasa. Padahal tadi sebelum melihat pak Fandi, mulasnya nggak terasa. Dipakai jalan kaki di halaman samping rumah sini juga masih biasa saja. Eh, nggak nyangka banget. Kedatangan pak Fandi justru membuat kontraksinya muncul.Dengan hati-hati Nada melangkah menuju ke undakan kecil menuju teras. Lalu mendudukkan pantat di tepian teras dengan kedua kaki yang lurus, terlentang.“Mbak Nada udah kerasa mau lahiran?” tanya pak Saidi saat melihat waj
“Jangan ngejan dulu ya, Nad.” Mama Ajeng ikut mengusap-usap perut Nada. Menatap tak tega pada menantunya yang beberapa kali melengkuh panjang menahan sakit.Nada menegakkan tubuh dengan kedua kaki yang mengangkang karna perutnya udah kebawah. “Pak, mobilnya basah, nggak apa-apa?”Pak sopir sedikit menoleh. “Nggak apa-apa, mbak. Nanti bisa di cuci.”“Nanti saya tambahi bayarannya, Pak,” sahut mama Ajeng. “Kontraksinya udah sering, Nad?”Nada menganggukkan kepala. Memejam dan mengusap-usap perut bagian bawahnya untuk mengurangi rasa sakit yang hadir lagi. “Sebenarnya udah ngeflek dari tadi pagi, Ma. Aku udah chat ke bidan Lia. Dia menyarankanku untuk jalan-jalan di sekitaran rumah. Aku tadi jalan-jalan di halaman. Pas pak Saidi telpon mama tadi, itu pas kontraksinya mulai terasa sering datang.”Nada kembali diam menarik nafas dan membuangnya pelan-pelan melalui mulut. Begitu terus ia lakukan sampai mobil taxi telah berhenti di klinik bidan Lia. Seorang asisten bidan yang berjaga di dala
“Nggak mau turun dari gendongan?” tanya mama Ajeng, menatap baby Yoona yang tertidur di gendongan suster Ani.“Iya, bu. Badannya pasti kerasa nggak nyaman karna habis suntik imunisasi tadi pagi.” Suster Ani menjelaskan sambil menepuk-nepuk pelan pantat baby Yoona.Mama Ajeng melirik ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka.“Mbak Nada belum lama tidur. Ini baby Yoona baru selesai minum asi.” Kata suster Ani yang kerjanya nginap di rumah ini. Enggak tiap malam nginap sih. Nginapnya kalau Yoona lagi rewel atau Nada Cuma sendirian di rumah dan nggak lagi nggak bisa ngurusin Yoona. “Ibuk istirahat dulu. Belum lama pulang dari kerja, pasti capek banget.”Mama Ajeng menepuk lengan bahu suster Ani. “Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk membangunkan saya ya, sus.”“Iya, Bu,” jawab suster Ani dengan mengangguk.Mama Ajeng melangkah masuk ke dapur untuk mengambil minum. Terbiasa kalau tidur harus ada minum di kamar. Jadi sewaktu-waktu kalau haus, dia nggak perlu ngeluyur keluar kamar.Ddrtt