Kedua tangan Lauren memegang stir erat. Dia dan mama Ajeng sudah ada di dalam mobil setelah mendapatnya bukti nyata perselingkuhan papa Fandi dan bu Marlin, mertua Lingga.mobil masih ada di tempat, mesinnya pun belum menyala karna Lauren masih diam mengatur amarah dan emosi di dadanya. Dan ternyata menahan emosi tentang masalah serius seperti ini teramat sulit.Lauren menjatuhkan kening ke stir, terisak meluapkan sakit di dadanya. Kata orang, cinta pertama anak gadis itu adalah ayahnya. Dan itu benar. Sejak kecil Lauren sayang dan begitu kagum akan sosok papa. Bahkan sejauh ini, sampai umurnya 21 tahun ini, mama dan papanya selalu harmonis. Mereka tidak pernah bertengkar atau ribuk soal apa pun. Mama Ajeng yang bisa dikatakan kerap mengalah dan papa yang perhatian serta bertanggung jawab. Hari ini, Tuhan telah menunjukkan dihadapannya. Seperti apa sosok papa yang sejauh ini sangat ia kagumi.Mama Ajeng mengusap lembut punggung Lauren yang bergetar. Dia juga menangis, tapi masih bisa
“Mas, gimana kalau Lauren nanti memposting vivio itu? Aku bakalan malu banget. Efeknya bakalan ke rumah makanku lho, Mas. Investorku pasti membatalkan kerjasama. Hiks, aku nggak mau itu terjadi, Mas. Aku bergantung sama rentoranku itu.” Seperginya Lauren dan Bu Ajeng dari kamar hotel ini, Pak Fandi jadi pusing. Bu Marlin mengeluh, merengek tanpa henti dan itu membuat pak Fandi susah mikir. Dia sih nggak takut cerai dari bu Ajeng, karna pak Fandi akan tetap bisa hidup seperti biasanya. Perusahaan yang di pinpin Lingga selama beberapa tahun itu masih menjadi miliknya. Perusahaan cabang juga masih jalan dan itu adalah miliknya. Terkecuali satu anak atau cabang perusahaan yang belum lama diresmikan, itu milik Lingga. Walau uang pembangunannya bukan seratus persen dari Lingga, tapi tetap. Kepemilikan dan modal utamanya dari dompetnya Lingga. “Mas, kamu harus bisa ambil hp Lauren dan hapus vidionya. Jangan sampai anakmu itu nekat!” kembali, bu Marlin merengek sembari menarik-narik lengan p
Mobil yang dikendarai bu Marlin berhenti di garasi rumah tinggalnya. Rumah peninggalan suaminya yang telah diatas namakan Adisti sebagai anak satu-satunya. Bu Marlin turun dari mobil dan melangkah memasuki teras rumah. Ini sudah dini hari, jadi sudah pasti rumah sepi karna yang ada di dalam rumah hanya Adis saja.Bu Marlin mengunci pintu setelah masuk. Sebagai ibu yang baik, hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek kamar anaknya. Takut kalau anaknya nggak ada di rumah. Karna walau pun status Adis adalah seorang istri, Adis telah dicampakan oleh suami.Ceklek!Begitu membuka pintu kamar, kedua mata bu Marlin terbelalak melihat keadaan kamar Adis yang hancur berantakan. Semua yang biasanya tertata rapi di meja itu menggelinding di lantai. Cermin riasnya pun sudah pecah, tak bisa lagi dipakai untuk berkaca. Pecahannya telah berserakan di meja dan lantai. Adis sendiri meringkuk di atas ranjang dengan kedua mata yang memejam.“Adis!” seru bu Marlin dengan sedikit berteriak. Ia melangkah
Lingga menatap beberapa tumpuk kardus yang sudah dikeluarkan dari ruangan Erlan. Mindahin barang-barangnya juga baru kemarin. Eh, pagi ini barang-barangnya sudah harus di keluarkan lagi.“Ling,” panggil Erlan yang baru saja dari toilet.Lingga tak mengatakan apa-apa. Bablas, dia melangkah menuju ke ruangan CEO. Ruangan yang sekarang ditempati oleh pak Fandi; papa tirinya.Ceklek!Begitu membuka pintu, kedua mata Lingga berhadapan dengan pak Fandi yang duduk di kursi kebanggaan dengan punggung yang menyandar di sandaran kursi itu. Tanpa perlu dipersilakan Lingga melangkah masuk dan berdiri di depan meja kerja yang dulu telah menjadi meja kerjanya.“Pa, yakin? Minta aku untuk keluar dari sini?” tanya Lingga, menatap serius papa tirinya.Pak Fandi menyunggingkan senyum dengan mencibir. “Memang kamu sepenting apa sampai saya harus mempertahankanmu di sini? Kamu Cuma pekerja di sini yang kebetulan berstatus anakku. Makanya kamu bisa duduk di kursi sini!” tajam kata-kata itu disertai dengan
Nada tersenyum saat melihat gerbang rumah yang dibuka. Buru-buru ia melangkah menuruni undakan tangga untuk menyambut suaminya yang baru pulang kerja. Membuka pintu depan, melangkah keluar dan berdiri di teras depan rumah dengan senyum manisnya.Lingga keluar dari mobil dengan tangan yang menenteng tas kerjanya. Meraih kepala Nada dan mengecup keningnya cukup lama. “Benar-benar nggak tidur?”Nada melingkarkan tangan ke pinggang Lingga. Melangkah bersebelahan dengan Lingga untuk masuk ke dalam rumah. “Nungguin kamu pulang. Masa’ kamu capek sendirian sih, Mas.”Lingga tertawa kecil mendengar kalimat itu. “Ya nggak apa-apa. Yang penting kamu sama dedek sehat, itu prioritasku.”Nada mendongak dengan bibir mengerucut.“Nah, yang dari tadi ditungguin sudah pulang, kan,” di sofa depan tv sini mama Ajeng berseru.Nada tersenyum malu. “Mau langsung makan? Atau… istirahat dulu?”“Makan. Dikit aja. Sama… teh hangat.”Nada mengangguk dan melangkah menuju ke dapur. sementara Lingga, mendekati mama
“Pak ada kurir yang mengantarkan surat untuk bapak.” Fani menyerahkan amplop coklat yang tadi diberaikan oleh kurir baju orange.Pak Fandi menerimanya, menyobek amplop itu dan mengambil kertas di dalamnya. Kedua mata melotot tajam saat membaca isi surat dari pengadilan agama itu.Merasa mood bossnya tak baik, Fani mundur dan keluar dari ruangan Ceo ini.“Kurang ajar kamu Ajeng!” marah pak Fandi. Kertas yang ada di tangan itu diremas, menunjukkan emosinya yang meletup. “Berani juga menggugatku ke pengadilan!” sudut bibirnya tertarik, menciptakan seringai tajam. “Cuma punya toko kecil saja sudah sombong! Lihat saja, kamu tidak akan bisa memenuhi kebutuhanmu dan Lauren!”Pluk!Kertas yang teremas itu dilemparkan dan masuk ke dalam tempat sampah yang ada di pojok belakang ruangan. Pak Fandi memejamkan kedua mata, mencoba mengatur emosi yang menggebu agar tidak membuat pekerjaannya menjadi kacau.Setelahnya pak Fandi menghembuskan nafas panjang melalui mulut. Mengambil hp dan mencari nomor
Glek! Glek! Glek!“Buka pintunya, Saidi!” pak Fandi berteriak lagi dengan kedua tangan yang menggoyang-goyangkan gerbang depan.Beruntungnya pak Saidi selalu mengunci gembok gerbang itu, jadi nggak bisa asal orang masuk. Ini juga atas perintah Lingga karna Lingga nggak mau sampai bu Marlin atau malah papanya tetiba datang dan menemui Nada yang hanya berdiam di rumah. Lingga nggak mau Nada kenapa-napa dan berakhir dirinya sendiri yang menyesal.Nada mengusap perut bagian bawah berulang kali. Nafasnya terdengar kasar karna menahan mulas yang mulai terasa. Padahal tadi sebelum melihat pak Fandi, mulasnya nggak terasa. Dipakai jalan kaki di halaman samping rumah sini juga masih biasa saja. Eh, nggak nyangka banget. Kedatangan pak Fandi justru membuat kontraksinya muncul.Dengan hati-hati Nada melangkah menuju ke undakan kecil menuju teras. Lalu mendudukkan pantat di tepian teras dengan kedua kaki yang lurus, terlentang.“Mbak Nada udah kerasa mau lahiran?” tanya pak Saidi saat melihat waj
“Jangan ngejan dulu ya, Nad.” Mama Ajeng ikut mengusap-usap perut Nada. Menatap tak tega pada menantunya yang beberapa kali melengkuh panjang menahan sakit.Nada menegakkan tubuh dengan kedua kaki yang mengangkang karna perutnya udah kebawah. “Pak, mobilnya basah, nggak apa-apa?”Pak sopir sedikit menoleh. “Nggak apa-apa, mbak. Nanti bisa di cuci.”“Nanti saya tambahi bayarannya, Pak,” sahut mama Ajeng. “Kontraksinya udah sering, Nad?”Nada menganggukkan kepala. Memejam dan mengusap-usap perut bagian bawahnya untuk mengurangi rasa sakit yang hadir lagi. “Sebenarnya udah ngeflek dari tadi pagi, Ma. Aku udah chat ke bidan Lia. Dia menyarankanku untuk jalan-jalan di sekitaran rumah. Aku tadi jalan-jalan di halaman. Pas pak Saidi telpon mama tadi, itu pas kontraksinya mulai terasa sering datang.”Nada kembali diam menarik nafas dan membuangnya pelan-pelan melalui mulut. Begitu terus ia lakukan sampai mobil taxi telah berhenti di klinik bidan Lia. Seorang asisten bidan yang berjaga di dala
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
“Mamamama….”Pagi menyapa dan cerewetnya Yoona yang pertama masuk ke pendengaran Nada. Pelan-pelan ia membuka mata, menyipit dan tersenyum saat ternyata anaknya sudah bangun. Yoona duduk anteng di depannya sambil memainkan sesuatu.Sesuatu berupa bh yang dua cupnya berbentuk bunga mawar berwarna merah itu ditarik-tarik Yoona. Kaya’ yang gemes pengen lepasin bunga mawar itu dan membuangnya.Nada menepuk kening dan mencoba meminta barang dinasnya itu. “Na, mama minta.” Ia menengadahkan tangan.Yoona melirik, bibirnya mengerucut. bukannya memberikan, tapi bocah kecil yang tubuhnya berisi itu mengingsut duduk. Membelakangi mamanya dan kembali melakukan aktifitas, menarik-narik kelopak mawar merah itu.“Cckk, salahku sih. Kenapa juga nggak lempar itu di lantai aja. Sampai ditemuin sama Yoona.” Nada menggerutu sendiri. Ia bangun, kedua mata melebar saat bagian dadanya terekspos karna telanjang setelah semalam kembali dihabisi oleh suaminya.“Nen, mama nen.” Yoona menuding ke arah dada maman
“Suster Wati nggak telpon. Padahal ini udah hampir siang,” gumam Nada setelah melihat layar hp-nya yang sepi.Lingga menggeser kelapa muda yang milik Nada. “Berarti Yoona nggak rewel, sayang.”“Kurang percaya aku, Mas. Aku mau vidio call.” Nada memutuskan menekan tanda panggilan vidio di pojok layar.Tak lama layar hp Nada berubah menjadi wajahnya suster Wati. Seorang suster yang telah Lingga sewa untuk menjaga Yoona selama satu minggu di Bali ini.“Bu,” sapa suster Wati.“Yoona nggak rewel, mbak?” tanya Nada.Kamera beralih menjadi kamera belakang, memperlihatkan Yoona yang sibuk mainan pasir ajaib di sebuah ruangan yang khusus untuk bermain balita. Dan ada beberapa balita juga, nggak Cuma Yoona saja.“Dari tadi anteng, Bu. Sambil saya kasih roti sama minum susu.”Nada tersenyum dengan helaan penuh lega. “Jangan lupa nanti tidur siang ya, mbak.”“Iya, Bu. Ini udah jam sebelas lebih. bentar lagi, kalau Yoona udah makan siang. Saya nina bobo.” Jawab suster sopan.Nada menganggukkan kep
Bali.Yang Nada pilih adalah pulau Bali. Lingga sudah menawari untuk ke Prancis, atau ke Korea, atau ke negara yang lainnya. Tapi Nada tetep, pengennya ke Bali. Pengen mengunjungi yang masih ada di satu negara lebih dulu. Dan jika masih diberi waktu lagi, baru dia ingin mencoba ke luar negri.Lingga memilih villa yang privat. Hanya orang-orang penghuni villa VIP saja yang bisa mengunjungi pantai. Villanya ada tepat di tebing, di atas pantai dan bisa dikatakan jika ada di atas bebatuan tebing. Dengan lift mereka berdua turun.Nada tersenyum bahagia ketika kakinya yang memakai sendal jepit itu menginjak pasir putih, pasir pantai Bali. “Yaampun, indah banget….” Pujinya dengan wajah berbinar dan matanya mengelilingi pemandangan yang memang indah, sejuk serta … serasa dunia milik mereka berdua.Lingga memeluk Nada dari belakang, dagunya bertopan di bahu sebelah kanan sambil menikmati belaian angin pantai yang menerpa wajahnya.Nada memejamkan kedua mata, kedua tangan terlentang dan menghir
“Aaahh,” desah Lingga sambil terus bergerak di atas tubuh Nada. Tangannya memegangi kedua kaki Nada yang dikangkangkan lebar.Nada menggigit bibir, menutup mulut agar tidak mendesah kencang karna takut mengganggu tidur Yoona. Kepalanya menggeleng ketika pergerakan Lingga semakin cepat, dan dia sendiri sedikit menggelinjang karna telah mencapai titik puncak. Nada mengamati suami yang masih diam di depannya. Tubuh putih berotot Lingga dipenuhi oleh keringat. Rambutnya yang sedikit memanjang itu pun sampai basah dan ada keringat yang menetes dari pelipisnya.Pelan Lingga menarik barangnya sambil mengamati barang berharga milik istrinya yang ia tinggalkan. Cairan putih kentalnya mengalir keluar dari milik Nada. Lingga mengambil tissu, mengusap milik istrinya itu dengan tissu. Setelahnya membersihkan miliknya sendiri sambil duduk di tepi ranjang menunggu keringatnya habis.Nada beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi sambil membawa dress tidurnya. Cuma sebentar, karna Cuma membersihkan y
Caffe shop, caffe kecil yang ada di depan gedung perusahaan milik Lingga pribadi. Di sini Adis duduk menatap ke arah gedung perusahaan yang tentunya tidak sebesar perusahaan miliknya. Lebih tepatnya milik papa Fandi dan almarhum papanya.Adis menegakkan tubuh, merapikan penampilannya saat melihat mobil hitam yang memasuki halaman caffe shop. Awas ia menatap mobil itu. Mengulum bibir ketika melihat pintu bagian kemudi dibuka dan seorang lelaki yang memang ia tunggu telah melangkah turun.Lingga, lelaki yang sampai detik ini tetap paling tampan di mata Adis. Lelaki yang bagi Adis telah mendekati sempurna, tapi sayangnya… dia tak berjodoh.“Lingga,” sapa Adis, mengangkat sedikit tangannya.Lingga yang baru memasuki pintu caffe mendekat. Mengulurkan tangan ke Adis, mengajak jabatan.Tak langsung meraih tangan itu, Adis menunduk menatap telapak tangan yang mengarah padanya lebih dulu.“Lama sekali tak pernah bertemu. Kabar baik, kan hari ini?” tanya Lingga.Adis tersenyum, menyambut tangan