Lauren menghentikan mobil, menajamkan penglihatan ke spion. Tepatnya pada mobil papanya yang benar-benar melaju masuk ke halaman hotel. Tangan yang menggenggam stir itu mengencang, menahan amarah di dadanya.Tadi itu, dengan sangat entang papanya bilang kalau ada lembur di kantor, kan? Dari situ bohongnya udah keliatan. Ada di mobil, pas ditanya jawab kalau ada di kantor. Mama Ajeng sudah mencoba berfikir positif tentang hal itu, tapi pikiran positif itu telah diruntuhkan oleh pak Fandi sendiri.Jalannya kan searah ya, dan masih ada trotoar yang sedikit lebar. Lauren memundurkan mobil pelan-pelan.Mama Ajeng mencekal tangan Lauren. “Ren.”“Ma, aku harus tau. Tadi itu mobil papa dibawa sama siapa,” ucap Lauren, balas menatap mamanya. “Kalau nggak nyamperin ke sana, kita nggak akan tau kebenarannya.”Mama Ajeng berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar amat cepat. Ya, dia pun merasa kalau suaminya itu berubah. Hanya saja mama berusaha berfikir positif untuk membuat hatinya selalu te
Kedua tangan Lauren memegang stir erat. Dia dan mama Ajeng sudah ada di dalam mobil setelah mendapatnya bukti nyata perselingkuhan papa Fandi dan bu Marlin, mertua Lingga.mobil masih ada di tempat, mesinnya pun belum menyala karna Lauren masih diam mengatur amarah dan emosi di dadanya. Dan ternyata menahan emosi tentang masalah serius seperti ini teramat sulit.Lauren menjatuhkan kening ke stir, terisak meluapkan sakit di dadanya. Kata orang, cinta pertama anak gadis itu adalah ayahnya. Dan itu benar. Sejak kecil Lauren sayang dan begitu kagum akan sosok papa. Bahkan sejauh ini, sampai umurnya 21 tahun ini, mama dan papanya selalu harmonis. Mereka tidak pernah bertengkar atau ribuk soal apa pun. Mama Ajeng yang bisa dikatakan kerap mengalah dan papa yang perhatian serta bertanggung jawab. Hari ini, Tuhan telah menunjukkan dihadapannya. Seperti apa sosok papa yang sejauh ini sangat ia kagumi.Mama Ajeng mengusap lembut punggung Lauren yang bergetar. Dia juga menangis, tapi masih bisa
“Mas, gimana kalau Lauren nanti memposting vivio itu? Aku bakalan malu banget. Efeknya bakalan ke rumah makanku lho, Mas. Investorku pasti membatalkan kerjasama. Hiks, aku nggak mau itu terjadi, Mas. Aku bergantung sama rentoranku itu.” Seperginya Lauren dan Bu Ajeng dari kamar hotel ini, Pak Fandi jadi pusing. Bu Marlin mengeluh, merengek tanpa henti dan itu membuat pak Fandi susah mikir. Dia sih nggak takut cerai dari bu Ajeng, karna pak Fandi akan tetap bisa hidup seperti biasanya. Perusahaan yang di pinpin Lingga selama beberapa tahun itu masih menjadi miliknya. Perusahaan cabang juga masih jalan dan itu adalah miliknya. Terkecuali satu anak atau cabang perusahaan yang belum lama diresmikan, itu milik Lingga. Walau uang pembangunannya bukan seratus persen dari Lingga, tapi tetap. Kepemilikan dan modal utamanya dari dompetnya Lingga. “Mas, kamu harus bisa ambil hp Lauren dan hapus vidionya. Jangan sampai anakmu itu nekat!” kembali, bu Marlin merengek sembari menarik-narik lengan p
Mobil yang dikendarai bu Marlin berhenti di garasi rumah tinggalnya. Rumah peninggalan suaminya yang telah diatas namakan Adisti sebagai anak satu-satunya. Bu Marlin turun dari mobil dan melangkah memasuki teras rumah. Ini sudah dini hari, jadi sudah pasti rumah sepi karna yang ada di dalam rumah hanya Adis saja.Bu Marlin mengunci pintu setelah masuk. Sebagai ibu yang baik, hal pertama yang ia lakukan adalah mengecek kamar anaknya. Takut kalau anaknya nggak ada di rumah. Karna walau pun status Adis adalah seorang istri, Adis telah dicampakan oleh suami.Ceklek!Begitu membuka pintu kamar, kedua mata bu Marlin terbelalak melihat keadaan kamar Adis yang hancur berantakan. Semua yang biasanya tertata rapi di meja itu menggelinding di lantai. Cermin riasnya pun sudah pecah, tak bisa lagi dipakai untuk berkaca. Pecahannya telah berserakan di meja dan lantai. Adis sendiri meringkuk di atas ranjang dengan kedua mata yang memejam.“Adis!” seru bu Marlin dengan sedikit berteriak. Ia melangkah
Lingga menatap beberapa tumpuk kardus yang sudah dikeluarkan dari ruangan Erlan. Mindahin barang-barangnya juga baru kemarin. Eh, pagi ini barang-barangnya sudah harus di keluarkan lagi.“Ling,” panggil Erlan yang baru saja dari toilet.Lingga tak mengatakan apa-apa. Bablas, dia melangkah menuju ke ruangan CEO. Ruangan yang sekarang ditempati oleh pak Fandi; papa tirinya.Ceklek!Begitu membuka pintu, kedua mata Lingga berhadapan dengan pak Fandi yang duduk di kursi kebanggaan dengan punggung yang menyandar di sandaran kursi itu. Tanpa perlu dipersilakan Lingga melangkah masuk dan berdiri di depan meja kerja yang dulu telah menjadi meja kerjanya.“Pa, yakin? Minta aku untuk keluar dari sini?” tanya Lingga, menatap serius papa tirinya.Pak Fandi menyunggingkan senyum dengan mencibir. “Memang kamu sepenting apa sampai saya harus mempertahankanmu di sini? Kamu Cuma pekerja di sini yang kebetulan berstatus anakku. Makanya kamu bisa duduk di kursi sini!” tajam kata-kata itu disertai dengan
Nada tersenyum saat melihat gerbang rumah yang dibuka. Buru-buru ia melangkah menuruni undakan tangga untuk menyambut suaminya yang baru pulang kerja. Membuka pintu depan, melangkah keluar dan berdiri di teras depan rumah dengan senyum manisnya.Lingga keluar dari mobil dengan tangan yang menenteng tas kerjanya. Meraih kepala Nada dan mengecup keningnya cukup lama. “Benar-benar nggak tidur?”Nada melingkarkan tangan ke pinggang Lingga. Melangkah bersebelahan dengan Lingga untuk masuk ke dalam rumah. “Nungguin kamu pulang. Masa’ kamu capek sendirian sih, Mas.”Lingga tertawa kecil mendengar kalimat itu. “Ya nggak apa-apa. Yang penting kamu sama dedek sehat, itu prioritasku.”Nada mendongak dengan bibir mengerucut.“Nah, yang dari tadi ditungguin sudah pulang, kan,” di sofa depan tv sini mama Ajeng berseru.Nada tersenyum malu. “Mau langsung makan? Atau… istirahat dulu?”“Makan. Dikit aja. Sama… teh hangat.”Nada mengangguk dan melangkah menuju ke dapur. sementara Lingga, mendekati mama
“Pak ada kurir yang mengantarkan surat untuk bapak.” Fani menyerahkan amplop coklat yang tadi diberaikan oleh kurir baju orange.Pak Fandi menerimanya, menyobek amplop itu dan mengambil kertas di dalamnya. Kedua mata melotot tajam saat membaca isi surat dari pengadilan agama itu.Merasa mood bossnya tak baik, Fani mundur dan keluar dari ruangan Ceo ini.“Kurang ajar kamu Ajeng!” marah pak Fandi. Kertas yang ada di tangan itu diremas, menunjukkan emosinya yang meletup. “Berani juga menggugatku ke pengadilan!” sudut bibirnya tertarik, menciptakan seringai tajam. “Cuma punya toko kecil saja sudah sombong! Lihat saja, kamu tidak akan bisa memenuhi kebutuhanmu dan Lauren!”Pluk!Kertas yang teremas itu dilemparkan dan masuk ke dalam tempat sampah yang ada di pojok belakang ruangan. Pak Fandi memejamkan kedua mata, mencoba mengatur emosi yang menggebu agar tidak membuat pekerjaannya menjadi kacau.Setelahnya pak Fandi menghembuskan nafas panjang melalui mulut. Mengambil hp dan mencari nomor
Glek! Glek! Glek!“Buka pintunya, Saidi!” pak Fandi berteriak lagi dengan kedua tangan yang menggoyang-goyangkan gerbang depan.Beruntungnya pak Saidi selalu mengunci gembok gerbang itu, jadi nggak bisa asal orang masuk. Ini juga atas perintah Lingga karna Lingga nggak mau sampai bu Marlin atau malah papanya tetiba datang dan menemui Nada yang hanya berdiam di rumah. Lingga nggak mau Nada kenapa-napa dan berakhir dirinya sendiri yang menyesal.Nada mengusap perut bagian bawah berulang kali. Nafasnya terdengar kasar karna menahan mulas yang mulai terasa. Padahal tadi sebelum melihat pak Fandi, mulasnya nggak terasa. Dipakai jalan kaki di halaman samping rumah sini juga masih biasa saja. Eh, nggak nyangka banget. Kedatangan pak Fandi justru membuat kontraksinya muncul.Dengan hati-hati Nada melangkah menuju ke undakan kecil menuju teras. Lalu mendudukkan pantat di tepian teras dengan kedua kaki yang lurus, terlentang.“Mbak Nada udah kerasa mau lahiran?” tanya pak Saidi saat melihat waj