Angga dan Ajril tak tahu harus berbuat apa pada ibunya, agar sang ibu kembali bangun. segala cara Angga sudah lakukan, mulai membangunkan dengan cara memberi pewangian dari kentutnya, mencabut bulu ketiak milik ibunya serta mencubit hidung mancung sang ibu, tetapi hasilnya tetap sama. sang ibu enggan bangun dari pingsan.
Sudah hampir satu jam lebih Nani belum sadarkan diri juga. Angga menggeram kewalahan dan hanya duduk terdiam menatap sang ibu.Kini giliran Ajril yang mencoba membangunkan. Ia pun berinisiatif mendekati telinga sang ibu dan membisikan sesuatu, membuat Angga memiringkan kepala terheran-heran.Benar saja yang dilakukan Ajril. Tak berselang lama, sang ibu langsung membuka matanya sambil beringsut bangun."Dimana tempatnya?" ujar Nani antusias. Ia menarik lengan anaknya dengan gesit.Sedangkan Ajril hanya tertawa cekikikan, sembari menahan lengan sang ibu."Ada apa, ko berhenti?" tanya Nani sembari menautkan halis."Jadi, dimana tempat warung makan gratisnya?" tanya Nani sambil celingukan kanan kiri. Ajril diam tak menjawab."Ajril, kamu bohong sama ibu, ya?""Maaf bu!" Ajril mulai menundukan pandangannya."Astaga!" Nani menepuk dahinya kesal."Ibu jangan marah. Ajril cuman takut ibu kenapa-napa. Ajril takut ibu mati!" tutur Ajril. Nani mendongkak menatap putranya."Ajril, ibu ga akan mati semudah itu," ujar Nani seraya tersenyum kecut, sorot matanya terpancar tajam. direlung hatinya amatlah menggebu-gebu. Tapi ini bukan soal kasmaran, melainkan perasaan dendam terhadap mantan suaminya."Ajril lupa, ibukan punya banyak simpanan buat ketahanan tubuh.""Maksud kamu?" Nani menyipitkan matanyaAjril tak menjawab, hanya bola matanya mengarah pada perut ibunya yang bulat maju kedepan. Nani mengikuti arah mata itu. Setelah mengerti, sebuah cubitan mendarat sempurna dipipi Ajril, membuat Ajril menjerit kesakitan."Aw... sakit bu," rintih Ajril mengusap pipinya yang gembul memerah."Pokonya ibu ga mau kamu coba bohongin ibu lagi!" gertak Nani melotot."Iya bu! Ajril minta maaf." Ajril mencium punggung tangan ibunya dengan takzim. suara cekikikan Angga membuatnya menoleh.Nani yang begitu menyayangi anak-anaknya, Ia tak akan mudah marah pada putra-putranya jika hanya masalah kecil. Ia akan berusaha membuat anak-anaknya mengerti dengan caranya sendiri. Nani pun tersenyum lembut, usai mengelus puncak rambut Ajril dengan sayang."Ya sudah. Ayo kita lanjut.""Tapi bu, kita mau pergi kemana? Ajril haus tau bu," ujar Ajril memajukan bibirnya. Nani diam beberapa saat."Bu, kita mampir sebentar kewarung ya, bu!" Ajril kembali merengek."Iya bu, ayo bu." timpal Angga. dia mengangkut tas besar ibunya dengan dipikul, disusul Ajril yang ikut bergerak beriringan berjalan dibelakang Angga.Nani mengambil tas besar yang satunya, dan membawanya sambil berjalan lemah. keringat mulai bercucuran dari pelipisnya. bukan lapar lagi yang Nani rasakan melainkan dibarengi rasa haus yang mendera kerongkongannya yang kering.Sesampainya mereka di sebuah warung makan yang ramai pengunjung. Nani mulai gelisah sendiri setelah melihat di warung tersebut terdapat aneka jajanan atau cemilan yang terjejer rapi. Nani menelan saliva. Aroma masakan menguar hebat diindra penciuman mereka. Tanpa basa- basi, Angga dan Ajril masuk kedalam dan meminta air putih pada pelayan warung."Ibu sini!" panggil Angga dan Ajril pada ibunya yang masih diam mematung dari diluar.Nani terpaksa masuk kedalam dan mencolek kedua anaknya berbarengan."Sudah kenyang minumnya, kan? sekarang, ayo kita pergi lagi," bisik Nani. Angga enggan keluar dari warung."Ibu, Angga lapar.""Sama bu, Ajril juga," ucap mereka berbarengan.Hati Nani begitu sedih melihat kedua putranya merengek minta makan. tapi apa boleh buat, Nani tidak mampu membayarnya.Tiba-tiba Nani tersenyum. Baru terpikir sebuah ide muncul seketika."Bu, kebetulan saya dan juga anak saya ingin makan, tapi saya ga bisa bayar pake uang. Gimana kalau saya bayar pake jasa tenaga? Saya bisa ngerjain pekerjaan apa saja, asalkan kami bisa makan," ucap Nani pada Ibu pemilik warung."Yakin mau ngerjain apa aja?" tanya ibu warung itu."Yakin! saya sanggup." jawab Nani cepat dengan wajah sumringah.Ibu pemilik warung menerima tawaran Nani. tak lupa Nani mengucap syukur. Nani sangat senang melihat kedua buah hatinya makan dengan lahap. sampai dentingan piring dan sendok saling beradu."Pelan-pelan makannya, nak," ujar Nani mengingatkan pada kedua anaknya. Ajril meneguk air putih sampai tandas."Ah mantap," kata Ajril seraya membersihkan sisa makanan yang menempel disela-sela bibirnya."Yang baik itu ucapkan Alhamdulillah, Ajril!" Sang ibu mengingatkan ditengah-tengah kunyahannya."Oh, iya. Ajril lupa! Alhamdulilahi Robbil 'Alamin," ucap Ajril penuh khidmat."Sehabis ini, ibu mau beres-beres dulu. Kalian jangan pada nakal ya? Setelah itu, baru kita pergi lagi," tutur sang ibu seraya menyuap satu sendok makan yang terakhir."Iya bu," sahut Ajril dan Angga dengan kompak."Bu, ayah lagi marah sama kita ya? Sampai kita harus pergi dari rumah?" tanya Angga menatap ibunya sendu."Bukan bang, ayah tuh udah ga sayang sama kita," sahut Ajril menimpali."Ko, ayah jahat sih, bu?" tanya Angga lagi. raut wajahnya masih penasaran."Udah kalian ga perlu tanya-tanya lagi tentang ayah. Biarin ayah lagi marah atau lagi kerasukan pun, kalian ga usah peduli. mulai sekarang ibu yang akan menanggung kehidupan kalian, paham?" tutur Nani geram, seraya membereskan piring-piring kotor dan mengangkatnya untuk dibawa kedapur."Abang sih, ibu jadi marah,kan!" celoteh Ajril pada kakaknya."Abang, kan cuma tanya," sahut Angga seraya mengangkat bahu tanpa bersalah.Tik....Tik....Tetesan air mata ikut tergenang menyatu dalam bak penuh berisi air. piring kotor menumpuk didepan. dengan linangan air mata, Nani tetap mencuci piring-piring tersebut satu persatu sampai bersih.Rasa sakit hati Nani terhadap mantan suaminya mengendap begitu dalam hanya masalah karena ia suka makan. Ramlan tega menceraikannya. padahal Ramlan sudah tahu kebiasaan istrinya, yang selalu makan sehari sampai beberapa porsi sehari. sehingga tubuh yang tadinya cukup terbilang ideal menjadi tubuh yang gempal.Nani menyadari hal itu. akan tetapi kebiasaannya yang makan banyak tidak bisa dihentikan. justru semakin meningkat hingga 6 porsi dalam sehari. meski sering diejek dan dihina Ramlan. Nani tak pernah memperdulikannya. itu membuat Ramlan pusing. karena setiap menyediakan persediaan bahan pangan untuk satu bulan, habis dalam waktu dua minggu.Sementara Ramlan hanya seorang buruh pabrik biasa yang penghasilannya tidak terlalu besar dan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dalam satu bulan. ditambah penampilan Nani yang sudah tidak menarik lagi dimatanya, membuat Ramlan tergoda dengan wanita lain yang lebih aduhai.Ada rasa penyesalan dalam hati Nani. Seandainya dia bisa berhasil diet waktu itu, Ramlan mungkin masih menjadi suaminya. tapi semua sudah terjadi. Yang, Nani ingin lakukan sekarang berusaha membahagiakan kedua anak-anaknya."Angga bantuin ya, bu!" ujar Angga. tangannya mengambil piring yang masih basah, mengelap, dan menatanya ditumpukan piring yang sudah bersih."Makasih ya nak, udah mau bantuin, ibu?" sahut Nani sambil tersenyum. Kemudian dibalas hangat oleh putranya."Ibu jangan sedih lagi. Kalau ayah jahat sama ibu bilang aja sama, Angga.""Memang kamu mau ngapain, ayah?""Mau Angga pelorotin celananya!" spontan gelak tawa sang ibu mencairkan suasana. Nani begitu bersyukur meski sudah ditinggal suami, tapi setidanya masih ada buah hatinya untuk menghibur lara yang terluka."Bentar lagi ibu selesai! Kita langsung pergi dari sini, ya!" "kita mau pergi kemana lagi, bu?" tanya Angga."Mungkin untuk sementara waktu kita tinggal di rumah nenek dan tante Mirna," jawab Nani pasrah."Adik, kamu mana, Angga?" tanya Nani celingukan keluar dapur."Itu, lagi bantuin ibu yang punya warung di depan," jawab Angga sembari menunjuk.Sementara Nani hanya geleng-geleng kepalanya...."Ini ada sedikit makanan untuk di
Diperjalanan, Nani terus menangis. Sesekali menoleh kebelakang berharap kedua anaknya masih nampak terlihat dikejauhan sana. "Memang berat meninggalkan orang-orang terkasih. Aku juga ngerasain itu mbak dulu, tapi sekarang udah engga, karena sudah terbiasa." ujar wanita beramput pendek yang sering dipanggil Lili."Aku cuma pikirin anak-anakku, Mbak. Malang sekali nasib mereka," isak Nani makin menjadi-jadi."Makin malang lagi nasibnya kalau kamu ga bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anakmu di masa depan," sahut Lili, seraya menaburkan bedak dipipi kanan dan kirinya yang sudah semakin tebal oleh riasan."Mbak benar, Aku gak boleh menyerah. Aku gak boleh jadi wanita lemah. Aku harus kuat. Iya, kan mbak!" Tanpa sengaja, Nani menyentuh pundak Lili cukup keras, menimbulkan bedak yang tengah Lili pakai terjatuh berhamburan."Astaga!" Mata Lili melotot tajam. Sedangkan Nani melongo dengan mulut menganga lebar. "Maaf, Mbak? Ga sengaja."...Setelah berjam-jam melewati perjalanan yang l
Sore menjelang Malam. Nani manarik napas lelah. Matanya yang sayu, berdiri di depan cermin menatap bayangannya yang bertubuh semakin gempal. Jantungnya berdesir secara tiba-tiba, seperti dirinya terjatuh dan melayang bebas di udara. Ia teringat akan kedua anaknya dikampung. Setetes air mata terjatuh, bibirnya ikut bergetar. Rindu telah melingkupi relung hatinya di malam sunyi dan di malam pertamanya menjejakan kaki di kota.Sayang seribu sayang, Nani tidak punya telepon genggam lagi semenjak Ramlan mantan suaminya menyita serta menjual ponselnya dengan paksa. Alasannya untuk meringankan pengeluaran biaya untuk hal tidak penting seperti membeli isi paketan atau pulsa.Mau tak mau, Nani terpaksa mengalah dari pada harus setiap hari ribut membuat onar sampai-sampai ember, gayung dan panci ikut turun berdendang meramaikan kegaduhan suasana yang semakin panas.Kembali, Nani hanya merenung terdiam sendiri dalam kerinduan. Kedua pipinya sudah banjir oleh air mata. Sesak terasa menyayat hati
"Abang, kapan mau nikahin Mirna?" tanya Mirna sembari bergelayut manja pada kekasihnya."Sejujurnya Abang juga udah gak sabar buat segera nikahin kamu, tapi,""Tapi kenapa Bang?""Abang belum bicarakan ini pada orangtua Abang!""Jadi begitu." Mirna menunduk lesu."Kamu mau, kan Abang kenalin langsung ke mereka?" Dengan tersipu malu, Mirna mengangguk."Sekarang saja! Tapi sebelum itu boleh tidak Abang buka masker kamu? Abang ingin melihat wajah cantikmu sebentar saja, sayang!" Di panggil sayang oleh sang kekasih membuat Mirna hampir melayang. Seandainya ini negri dongeng, pastilah ia menyanyi dan menari bersama dengan para monyet."Sayang, ko malah bengong?" Lelaki itu mengguncang bahu Mirna. Tampaknya ia khawatir melihat ekspresi wajah Mirna yang kaku."Engga Bang! Mirna belum bisa sekarang.""Tapi Mirna, memangnya kamu gak mau menikah dengan Abang. Meskipun kita baru kenal dan menjalin hubungan baru dua hari, tapi Abang merasa kita seperti sudah berhubungan sangat lama. Kita telah di
7Ting Nong...Suara bel berbunyi cukup nyaring sampai ke halaman belakang di mana kini Nani berada. Wanita gembul itu tengah memotong rumput yang sudah meninggi juga lebat. Ia gelagapan dan berlari secepat yang dia bisa, sebab beban tubuhnya memberi efek sulit mengayunkan kaki.Jantungnya mulai berdebar, kala pintu hendak di buka Nani. Takut, jika sang tuan terlalu lama menunggu di luar.Namun, bukannya Majikan yang didapati, Nani malah dikejutkan oleh seorang wanita cantik yang usianya hampir sepantar dengannya."Maaf, mau cari siapa?" tanya Nani, saat wanita berambut panjang itu nyelonong masuk ke dalam rumah."Saya mau bertemu dengan pemilik rumah ini," jawab wanita itu dengan angkuh. Ia terlebih dahulu duduk di sofa sebelum di persilahkan. "Kamu siapa? Pembantu baru, kah di rumah ini?""Iya, Bu. Saya masih baru bekerja di rumah ini.""Oh. Kalau begitu, cepat kamu buatkan minuman untuk saya!" Bak seorang Nyonya, wanita itu meminta Nani untuk dibuatkan minuman. Nani menggaruk ten
"Nani?" Pagi-pagi sekali Nani dikejutkan oleh suara Majikannya dari luar kamar. Ia baru selesai shalat subuh. Mukenanya pun baru usai di bereskan. Wanita tambun itu cepat membukakan pintu setelah menjepit rambut dengan asal."Iya, Pak!" "Hari ini adik saya mau datang, mungkin beberapa hari akan menginap di sini. Tolong nanti rapihkan kamar ruang tamu atas ya?" "Siap, Pak! Kalau boleh tau, adiknya laki-laki atau perempuan?""Laki-laki! Muda, ganteng juga masih lajang," terang Darwan sambil terkekeh."Ya ampun, sampai detail begitu, Pak!" gumam Nani tersenyum malu."Biar kamu gak penasaran," sahut Darwan santuy sambil berlalu.____Waktu sudah menunjukan pukul dua belas siang. Saatnya Nani untuk beristirahat sejenak setelah setengah hari mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Saat hendak merebahkan diri di kasur, tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi, membuat Nani kembali terlonjak bukan main. Entah kenapa, bagi Nani suara bel seperti panggilan maut yang sanggup membuat
"Bu, Ajril di sini!" teriak Ajril melambai. Nani celingukan, sebelum menyadari suara anaknya berada tak jauh dari dirinya berdiri."Ajril, tunggu ibu!" Nani segera berlari kecil ke arah anaknya. Ia sangat bahagia bisa bertemu dengan Ajril. Buliran cairan bening menumpahkan segala kerinduan pada bocah lelaki itu. "Ibu sekarang sudah berubah, jadi cantik dan gak punya badan gentong lagi!" Ajril berkomentar seraya cekikikan.Nani menggeleng. Mencium puncak kepala anaknya penuh kasih sayang. "Dimana Abangmu?" tanya Nani mencari Angga di sekitar itu. Tapi, wajah anak sulungnya itu tak terlihat."Abang lagi sama Nenek! Ayo ikut Ajril!" Ajril menarik tangan ibunya, sehingga Nani menurut mengikuti.Langkah kecil bocah laki-laki itu belum juga berhenti. Anehnya, jalan yang ditempuh Nani pun tampak begitu asing di penglihatannya. Sesekali Ajril melirik sang ibu dengan wajah sumringah. "Ibu gak akan pergi lagi kan?" tanya Ajril menatap ibunya penuh harap.Nani berhenti. Terdiam memandangi anak
"Ibu kalian gak pernah ajarkan kalian tentang huruf, ya?" tanya Mirna pada kedua bocah laki-laki itu yang langsung di balas gelengan oleh mereka. "Pantas aja, kalian belum bisa baca dan tulis."Angga dan Ajril tak bohong perihal itu. Itu sebabnya mengapa Angga yang sudah berusia enam tahun belum siap sekolah, karena ia belum mengerti apapun soal belajar. Nani pun belum pernah mengajari kedua anaknya. aktivitasnya selalu diganggu Ramlan dan berakhir perdebatan. Maka dari itu Nani maupun Ramlan lupa untuk berpikir menyekolahkan anaknya. Belum lagi, sekolah di desa itu terbilang masih sedikit. Jarak untuk sampai kesekolah pun terbilang cukup jauh dilalui. Dari masing-masing orangtua akan mengantar anak-anaknya memakai kendaraan. Itu pun sebagian akan menebeng atau membayar orang yang memiliki kendaraan untuk bisa mengantar anak-anaknya kesekolah. Jadi, sangat jarang melihat anak sekolah berjalan kaki melewati rumah Ramlan. Angga dan Ajril kini udah lebih bisa mengerti dengan keadaannya.