Brakkk
Suara hempasan pintu terhempas begitu kasar."Nani, cepat keluar!"Terdengar seruan Ramlan menerobos masuk rumah dengan nada cukup keras."Iya, Bang."Nani berjalan menghampiri suaminya dari arah dapur, sambil membawa semangkuk mie instan.Melihat isteri gembulnya dari ujung kaki hingga kepala. Kemudian matanya beralih pada mie instan di tangan Nani. Ramlan terlihat sangat kesal. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menunjuk telunjuknya tepat di wajah Nani."Pusing aku lihat kamu yang kerjaannya makan terus. Gak berguna!" bentak Ramlan sembari melotot."Astaghfirullah. Ko, Abang bicara begitu? Ya habisnya Nani laper, Bang dari pagi belum sarapan," cicit Nani memelas."Alasan! Bilang aja ini sarapan kamu yang kelima kali. Ngaku aja kamu?"Di tengah amarah Ramlan yang membuncah, membuat kaki Nani bergetar hebat."Enggak, Bang, Nani gak bohong. Bahkan persediaan makanan tinggal mie instan satu biji, sedangkan beras dan yang lainnya sudah pada habis, Bang.""Ah, sudah. Mulai hari ini kamu urus diri kamu sendiri dan jangan lupa bawa anak-anak juga untuk pergi dari rumah ini. Aku udah gak tahan punya isteri seperti kamu, yang kerjanya makan terus. Bisanya cuma nyusahin doang," usir Ramlan pada Nani.Mendengar penuturan kejam suaminya, Nani hanya bisa menangis hingga mangkuk berisi mie instan itu terjatuh berhamburan di lantai."Abang," lirih Nani. Air matanya rembes membanjiri pipi. Nani berusaha menggapai lengan suaminya, akan tetapi Ramlan dengan cepat menepisnya."Abang tega dengan, Nani. Tega mengusir, Nani dan juga anak-anak hanya karena masalah sepele," ucap Nani dengan nada suara yang sedikit bergetar."Aku udah gak peduli sama kamu, jadi sekarang cepat beresin semua barang-barang kamu dan angkat kaki dari rumah ini.""Bang, jangan usir kami, Bang. Kasihan anak-anak masih kecil. Nanti kami tidur dimana?""Itu bukan urusanku lagi! Aku udah gak peduli sama kamu dan juga anak-anak. Aku muak dengan kalian.""Tapi, Bang-"Belum sempat Nani berlutut. Kakinya tiba-tiba tersandung baju daster yang dikenakannya. bukannya kaki Ramlan yang ia gapai, justru celana suaminya yang melorot sampai kelutut. Sehingga menampilkan celana boxer bergambar kupu-kupu sedang terbang."NANI...!" jerit Ramlan.Mata Nani melotot lebar. Antara ingin tertawa dan juga sedih, Nani hanya mampu menahan keduanya. Ia, pun berdiri sembari mengatup bibirnya rapat-rapat....Isakan tangis mulai terdengar memilukan. Nani pasrah. Ia pun masuk ke kamar, membenahi semua pakaian termasuk pakaian anak-anaknya kedalam tas."Bang, Ramlan jahat. Sungguh tega dan gak berperasaan," gumam Nani sembari menangis. Tangannya aktif memasukan pakaian dengan kasar."Belum juga makan udah di usir. Huh, suami macam apa, Bang Ramlan? Sesuka hati membuang isteri juga anaknya seperti barang sampah. Dia gak ingat perjuangannya saat ingin mendapatkanku, giliran sudah berhasil malah menyia-nyiakanku begitu saja." gerutu Nani lagi. Sementara kedua anaknya tengah asyik bermain sembari berlarian kesana kemari."Haduuuh bisa diem ga sih, kalian ini!" teriak Nani prustasi.Sontak kedua anaknya, Angga dan Ajril berhenti berlarian dan langsung menoleh pada ibunya."Ibu belum makan yah?" tanya Ajril sambil mendekati Nani."Ko tau sih!" jawab ibunya. Wajahnya merengut kesal."Abis ibu rese kalau lagi laper."Ajril dengan polosnya melengos pergi. Sedangkan sang ibu malah kembali menangis dengan suara yang lebih keras. Duduk menyandar pada ranjang kayu yang hampir reot.Selang beberapa menit kemudian, Nani keluar bersama kedua anaknya sembari menyeret dua tas besar sekaligus. Sebelum kakinya melewati pekarangan rumah, Nani menoleh kebelakang. Ia melihat Ramlan tersenyum sinis kearahnya."Oh, ya, sampe lupa aku. Berhubung sebentar lagi aku akan menikah dengan wanita lain, dengan ini aku menyatakan...kamu, aku Talak Nani. Kamu bukan lagi istriku!" Ramlan dengan lantang membusungkan dada usai menjatuhkan talak pada Nani. Raut wajahnya seakan lepas dari beban."Terserah abang!" sahut Nani geram."Ayo Angga, Ajril kita pergi dari sini.""Tapi Bu, kita mau pergi kemana? Terus ayah ga ikut?" tanya Angga."Iya ayah ko ga ikut sih, Bu? Kalau ayah ga ikut Ajril juga ga mau ikut ah," timpal Ajril. langkahnya mundur beberapa langkah menghampiri ayahnya namun Nani langsung melarang."Kalian ga mau ikut sama ibu?" Kedua bocah itu menggeleng pasti."Yakin ga mau ikut?" Lagi, Angga dan Ajril kembali menggeleng mantap."Kalau gitu ibu cari anak orang lain ajah yang mau diajak pergi!" Nani melengos kesal, berjalan meninggalkan Angga dan Ajril.Belum sempat bocah umur lima dan enam tahun itu saling beradu pandang, mereka menatap mata ayahnya seakan mencari penjelasan. Namun yang mereka dapat malah sorotan mata tajam kearah mereka. Seolah Ajril mengerti arah pikiran ayahnya, Ajril mencolek lengan kakaknya. Kemudian keduanya bergegas berlari mengejar sang ibu yang sudah ketinggalan jauh."Ibu tunggu!" Teriak bocah-bocah itu berbarengan mengejar sang ibu...."Bu, kita mau kemana sih? Kaki Angga pegel bu!" keluh Angga disela perjalanan."Iya bu, Ajril juga, tenggorokan Ajril juga kering, Bu. Ajril kepingin minum," rengek Ajril menimpali."Bu....""Ibu...."Krik.... krik"Ibuuu..." rengek keduanya secara berbarengan. Ajril mencegah langkah sang ibu untuk berhenti dengan spontan. Sontak Nani hampir terjungkal dan menoleh pada kedua anaknya secara bergantian."Kenapa nak?" tanya Nani menampilkan wajah pucat dan bibir yang kering."Angga sama Ajril cape, bu. Kita istirahat dulu ya, bu? Tapi Angga ingin di warung!" Angga dengan antusias menampilkan gigi tak rapihnya menatap sang ibu.Nani menelan ludah cemas. Bukan maksud hati membuat buah hatinya kelelahan, tapi Nani pun tengah kebingungan. Kemana dia harus pergi. Sedangkan ia tak punya arah tujuan. Belum lagi, Nani tak punya uang sepeserpun.Ingin rasanya Nani menangis, namun menangis tidak akan mengubah dirinya kembali pada suaminya. Ups...ralat mantan suami maksudnya.Nani bisa saja kembali pulang kerumah ibunya. Akan tetapi, dia tak tega dengan keadaan sang ibu, yang akan membuat bebannya semakin bertambah dengan kehadiran Nani dan anak-anak.Memang Nani masih punya ibu dan kakaknya. Tetapi ibunya sudah tua. Dan memilih tinggal dengan kakaknya Nani. Mirna namanya.Sedangkan ayah Nani sudah lama tiada, semenjak tragedi penyerangan kerbau terhadap ayah Nani sampai terperosok masuk kejurang hingga tewas.Nani limbung terduduk lemas dipinggir jalan, perutnya sudah memberontak minta diisi. Tapi entah apa yang mau disantap. Di sebelah sisi kanan kirinya hanya ada rerumputan dan batu kerikil. Ditambah wajah polos tak berdosa dari kedua putranya yang juga sama kelelahannya.Pandangan semakin kabur, sampai-sampai Nani membayangkan didepannya ada sebuah rumah makan restoran ayam geprek. Tiba-tiba matanya tertutup rapat tanpa menunggu hitungan detik.Brukkk....Nani ambruk dan pingsan. Kedua putranya saling pandang. Angga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sedangkan Ajril hanya memandangi sang ibu yang pingsan."Bang Angga, tolong bangunin ibu! Bilangin jangan bobo dijalan," ucap Ajril polos.Angga dan Ajril tak tahu harus berbuat apa pada ibunya, agar sang ibu kembali bangun. segala cara Angga sudah lakukan, mulai membangunkan dengan cara memberi pewangian dari kentutnya, mencabut bulu ketiak milik ibunya serta mencubit hidung mancung sang ibu, tetapi hasilnya tetap sama. sang ibu enggan bangun dari pingsan.Sudah hampir satu jam lebih Nani belum sadarkan diri juga. Angga menggeram kewalahan dan hanya duduk terdiam menatap sang ibu.Kini giliran Ajril yang mencoba membangunkan. Ia pun berinisiatif mendekati telinga sang ibu dan membisikan sesuatu, membuat Angga memiringkan kepala terheran-heran.Benar saja yang dilakukan Ajril. Tak berselang lama, sang ibu langsung membuka matanya sambil beringsut bangun."Dimana tempatnya?" ujar Nani antusias. Ia menarik lengan anaknya dengan gesit.Sedangkan Ajril hanya tertawa cekikikan, sembari menahan lengan sang ibu."Ada apa, ko berhenti?" tanya Nani sembari menautkan halis."Jadi, dimana tempat warung makan gratisnya?" tanya Nani
"Angga bantuin ya, bu!" ujar Angga. tangannya mengambil piring yang masih basah, mengelap, dan menatanya ditumpukan piring yang sudah bersih."Makasih ya nak, udah mau bantuin, ibu?" sahut Nani sambil tersenyum. Kemudian dibalas hangat oleh putranya."Ibu jangan sedih lagi. Kalau ayah jahat sama ibu bilang aja sama, Angga.""Memang kamu mau ngapain, ayah?""Mau Angga pelorotin celananya!" spontan gelak tawa sang ibu mencairkan suasana. Nani begitu bersyukur meski sudah ditinggal suami, tapi setidanya masih ada buah hatinya untuk menghibur lara yang terluka."Bentar lagi ibu selesai! Kita langsung pergi dari sini, ya!" "kita mau pergi kemana lagi, bu?" tanya Angga."Mungkin untuk sementara waktu kita tinggal di rumah nenek dan tante Mirna," jawab Nani pasrah."Adik, kamu mana, Angga?" tanya Nani celingukan keluar dapur."Itu, lagi bantuin ibu yang punya warung di depan," jawab Angga sembari menunjuk.Sementara Nani hanya geleng-geleng kepalanya...."Ini ada sedikit makanan untuk di
Diperjalanan, Nani terus menangis. Sesekali menoleh kebelakang berharap kedua anaknya masih nampak terlihat dikejauhan sana. "Memang berat meninggalkan orang-orang terkasih. Aku juga ngerasain itu mbak dulu, tapi sekarang udah engga, karena sudah terbiasa." ujar wanita beramput pendek yang sering dipanggil Lili."Aku cuma pikirin anak-anakku, Mbak. Malang sekali nasib mereka," isak Nani makin menjadi-jadi."Makin malang lagi nasibnya kalau kamu ga bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anakmu di masa depan," sahut Lili, seraya menaburkan bedak dipipi kanan dan kirinya yang sudah semakin tebal oleh riasan."Mbak benar, Aku gak boleh menyerah. Aku gak boleh jadi wanita lemah. Aku harus kuat. Iya, kan mbak!" Tanpa sengaja, Nani menyentuh pundak Lili cukup keras, menimbulkan bedak yang tengah Lili pakai terjatuh berhamburan."Astaga!" Mata Lili melotot tajam. Sedangkan Nani melongo dengan mulut menganga lebar. "Maaf, Mbak? Ga sengaja."...Setelah berjam-jam melewati perjalanan yang l
Sore menjelang Malam. Nani manarik napas lelah. Matanya yang sayu, berdiri di depan cermin menatap bayangannya yang bertubuh semakin gempal. Jantungnya berdesir secara tiba-tiba, seperti dirinya terjatuh dan melayang bebas di udara. Ia teringat akan kedua anaknya dikampung. Setetes air mata terjatuh, bibirnya ikut bergetar. Rindu telah melingkupi relung hatinya di malam sunyi dan di malam pertamanya menjejakan kaki di kota.Sayang seribu sayang, Nani tidak punya telepon genggam lagi semenjak Ramlan mantan suaminya menyita serta menjual ponselnya dengan paksa. Alasannya untuk meringankan pengeluaran biaya untuk hal tidak penting seperti membeli isi paketan atau pulsa.Mau tak mau, Nani terpaksa mengalah dari pada harus setiap hari ribut membuat onar sampai-sampai ember, gayung dan panci ikut turun berdendang meramaikan kegaduhan suasana yang semakin panas.Kembali, Nani hanya merenung terdiam sendiri dalam kerinduan. Kedua pipinya sudah banjir oleh air mata. Sesak terasa menyayat hati
"Abang, kapan mau nikahin Mirna?" tanya Mirna sembari bergelayut manja pada kekasihnya."Sejujurnya Abang juga udah gak sabar buat segera nikahin kamu, tapi,""Tapi kenapa Bang?""Abang belum bicarakan ini pada orangtua Abang!""Jadi begitu." Mirna menunduk lesu."Kamu mau, kan Abang kenalin langsung ke mereka?" Dengan tersipu malu, Mirna mengangguk."Sekarang saja! Tapi sebelum itu boleh tidak Abang buka masker kamu? Abang ingin melihat wajah cantikmu sebentar saja, sayang!" Di panggil sayang oleh sang kekasih membuat Mirna hampir melayang. Seandainya ini negri dongeng, pastilah ia menyanyi dan menari bersama dengan para monyet."Sayang, ko malah bengong?" Lelaki itu mengguncang bahu Mirna. Tampaknya ia khawatir melihat ekspresi wajah Mirna yang kaku."Engga Bang! Mirna belum bisa sekarang.""Tapi Mirna, memangnya kamu gak mau menikah dengan Abang. Meskipun kita baru kenal dan menjalin hubungan baru dua hari, tapi Abang merasa kita seperti sudah berhubungan sangat lama. Kita telah di
7Ting Nong...Suara bel berbunyi cukup nyaring sampai ke halaman belakang di mana kini Nani berada. Wanita gembul itu tengah memotong rumput yang sudah meninggi juga lebat. Ia gelagapan dan berlari secepat yang dia bisa, sebab beban tubuhnya memberi efek sulit mengayunkan kaki.Jantungnya mulai berdebar, kala pintu hendak di buka Nani. Takut, jika sang tuan terlalu lama menunggu di luar.Namun, bukannya Majikan yang didapati, Nani malah dikejutkan oleh seorang wanita cantik yang usianya hampir sepantar dengannya."Maaf, mau cari siapa?" tanya Nani, saat wanita berambut panjang itu nyelonong masuk ke dalam rumah."Saya mau bertemu dengan pemilik rumah ini," jawab wanita itu dengan angkuh. Ia terlebih dahulu duduk di sofa sebelum di persilahkan. "Kamu siapa? Pembantu baru, kah di rumah ini?""Iya, Bu. Saya masih baru bekerja di rumah ini.""Oh. Kalau begitu, cepat kamu buatkan minuman untuk saya!" Bak seorang Nyonya, wanita itu meminta Nani untuk dibuatkan minuman. Nani menggaruk ten
"Nani?" Pagi-pagi sekali Nani dikejutkan oleh suara Majikannya dari luar kamar. Ia baru selesai shalat subuh. Mukenanya pun baru usai di bereskan. Wanita tambun itu cepat membukakan pintu setelah menjepit rambut dengan asal."Iya, Pak!" "Hari ini adik saya mau datang, mungkin beberapa hari akan menginap di sini. Tolong nanti rapihkan kamar ruang tamu atas ya?" "Siap, Pak! Kalau boleh tau, adiknya laki-laki atau perempuan?""Laki-laki! Muda, ganteng juga masih lajang," terang Darwan sambil terkekeh."Ya ampun, sampai detail begitu, Pak!" gumam Nani tersenyum malu."Biar kamu gak penasaran," sahut Darwan santuy sambil berlalu.____Waktu sudah menunjukan pukul dua belas siang. Saatnya Nani untuk beristirahat sejenak setelah setengah hari mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Saat hendak merebahkan diri di kasur, tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi, membuat Nani kembali terlonjak bukan main. Entah kenapa, bagi Nani suara bel seperti panggilan maut yang sanggup membuat
"Bu, Ajril di sini!" teriak Ajril melambai. Nani celingukan, sebelum menyadari suara anaknya berada tak jauh dari dirinya berdiri."Ajril, tunggu ibu!" Nani segera berlari kecil ke arah anaknya. Ia sangat bahagia bisa bertemu dengan Ajril. Buliran cairan bening menumpahkan segala kerinduan pada bocah lelaki itu. "Ibu sekarang sudah berubah, jadi cantik dan gak punya badan gentong lagi!" Ajril berkomentar seraya cekikikan.Nani menggeleng. Mencium puncak kepala anaknya penuh kasih sayang. "Dimana Abangmu?" tanya Nani mencari Angga di sekitar itu. Tapi, wajah anak sulungnya itu tak terlihat."Abang lagi sama Nenek! Ayo ikut Ajril!" Ajril menarik tangan ibunya, sehingga Nani menurut mengikuti.Langkah kecil bocah laki-laki itu belum juga berhenti. Anehnya, jalan yang ditempuh Nani pun tampak begitu asing di penglihatannya. Sesekali Ajril melirik sang ibu dengan wajah sumringah. "Ibu gak akan pergi lagi kan?" tanya Ajril menatap ibunya penuh harap.Nani berhenti. Terdiam memandangi anak