"Angga bantuin ya, bu!" ujar Angga. tangannya mengambil piring yang masih basah, mengelap, dan menatanya ditumpukan piring yang sudah bersih.
"Makasih ya nak, udah mau bantuin, ibu?" sahut Nani sambil tersenyum. Kemudian dibalas hangat oleh putranya."Ibu jangan sedih lagi. Kalau ayah jahat sama ibu bilang aja sama, Angga.""Memang kamu mau ngapain, ayah?""Mau Angga pelorotin celananya!" spontan gelak tawa sang ibu mencairkan suasana. Nani begitu bersyukur meski sudah ditinggal suami, tapi setidanya masih ada buah hatinya untuk menghibur lara yang terluka."Bentar lagi ibu selesai! Kita langsung pergi dari sini, ya!""kita mau pergi kemana lagi, bu?" tanya Angga."Mungkin untuk sementara waktu kita tinggal di rumah nenek dan tante Mirna," jawab Nani pasrah."Adik, kamu mana, Angga?" tanya Nani celingukan keluar dapur."Itu, lagi bantuin ibu yang punya warung di depan," jawab Angga sembari menunjuk.Sementara Nani hanya geleng-geleng kepalanya...."Ini ada sedikit makanan untuk diperjalanan," ucap Ibu pemilik warung sambil menyerahkan kantung kresek kepada Nani."Ga usah repot-repot bu, saya udah dikasih makan ajah udah bersyukur," ujar Nani terharu."Ga apa-apa! Anggap aja ini sisa bayarannya.""Alhamdulillah, makasih ya, bu?" Nani menggapai tangan ibu pemilik warung tersebut."Sama-sama!" sahut Ibu pemilik warung sambil berlalu pergi untuk menyambut pengunjung lain yang baru datang."Ibu yang punya warung tadi baik, yah?" celoteh Ajril menatap sang ibu yang tengah berjalan meninggalkan warung makan itu."Iya nak! Alhamdulillah masih ada orang baik," tutur sang ibu sambil menggandeng putranya dikanan dan dikiri."Astagfirullah..." Nani tersentak, membuat kedua bocahnya saling beradu pandang."Ibu lupa, tas ibu ketinggalan." Nani dengan cepat Nani berbalik arah, kembali menuju warung makan tadi sambil berlari kecil....Tok.... Tokpintu terbuka. Menampilkan wanita yang sudah lanjut usia dengan kulit kian keriput. Iatersenyum lembut kearah Nani dan kedua bocah cilik didepannya."Nenek!" Serempak Angga dan Ajril berbarengan memeluk sang nenek. Tentu, nenek menyambutnya hangat. Ikut membalas memeluk kedua bocah itu dengan sayang."Hmm... bau," celetuk Ajril. Kemudian melepas tangan yang melingkar dipinggang neneknya."Nenek kayanya belum mandi," ujar Ajril seraya menyumbat hidungnya rapat."Ajril ga boleh gitu, yang sopan sama nenek," sahut Nani tegas."Memang bener ko, bu. Iya, kan nek?" tanya Ajril pada sang nenek tak mau kalah. sementara si nenek hanya nyengir."Kalian tumben kemari. Ada apa?" tanya sang nenek seraya menuntun kedua cucunya masuk kedalam rumah. Nani mengikuti dari belakang."Anu, bu!" sahut Nani menunduk sedih."Ada apa sama si anu?" tanya wanita renta itu semakin penasaran."Anu bu, anu Nani sudah berbuat salah!" jawab Nani seraya terisak."Memangnya apa yang dilakukan sama si anu? Anu itu siapa?" Mereka berempat duduk dibangku yang sudah reot."Bukan begitu, bu. Maksud Nani, ini tentang bang Ramlan! Bang Ramlan mentalak aku, bu!" Nani mulai terisak."Astagfirullah. Kamu serius, Nani?""Bener, bu! Sekarang, Nani ga tau harus gimana!""Memangnya apa yang sudah kamu lakukan? kamu berselingkuh?""Engga, bu!" Nani menggelengkan kepala. Dan setelah itu ia pun menjelaskan semuanya.Wanita yang sudah berumur hampir 80 tahun itu marah dan kesal. Terlihat dari dia beranjak dari tempat duduknya dengan tergesa berjalan kearah dapur mencari sesuatu dibalik pintu."Ibu! ibu mau apa?" tanya Nani tergagap ngeri melihat ibunya kembali membawa golok keluar."Ibu mau samperin tuh, si Ramlan!""Jangan, bu! Ga usah diperpanjang. lagian Ibu juga ngapain bawa-bawa golok segala, kan bikin Nani takut, bu," cegah Nani seraya menghalangi pintu keluar."Kamu juga jangan halangin ibu. Ibu mau kasih pelajaran sama si Ramlan itu, biar dia ga semena-mena sama kamu dan juga anak-anak. Ibu ga bisa diem aja ngeliat anak dan cucu ibu dicampakan hanya gegara kamu makan banyak," tutur Ibunya Nani yang hampir menangis."Sabar, bu. Toh, Nani juga udah ikhlas ko, bu. Udah ga apa-apa, kita serahin aja semuanya sama Allah. Biar Allah yang balas," sahut Nani lemah. Iapun mengambil golok dari tangan sang ibu namun sayang wanita tua itu enggan melepasnya."Tapi ibu kesel, Nani. Ibu ga bisa diginiin!" Teriak ibu Nani melampiaskan amarahnya dengan menangis."Sabar bu."Nani berusaha menenangkan sang ibu dengan mengusap serta memeluk tubuh ringkih itu kian bergetar."Assalamualaikum!" Seru Mirna. Kakak Nani sambil membuka pintu."Astagfiruallah, ada apa ini?" tanya Mirna. Matanya tak lepas menatap golok yang digenggam ibunya itu.Semua yang ada dirumah itu terdiam tanpa terkecuali bocah-bocah itu terlebih dahulu terkapar tidur pulas di kursi reot.Selang beberapa menit situasi di rumah itu kembali normal. Meskipun masih menyisakan sedikit amarah, Nani dan juga ibunya masih bisa mengendalikan. Hal itu berkat sebuah ide yang meluncur dari otak Mirna."Mbak yakin bakal berhasil?" tanya Nani, raut wajahnya menyimpan kecemasan."Seratus persen yakin dong. Kita liat aja nanti," sahut Mirna tersenyum sinis seraya membisikan sesuatu, menyusun sebuah rencana, untuk membalaskan perbuatan mantan suami Nani."Besok Mbak akan antar kamu ketempat teman, Mbak," Ujar Mirna."Tapi kita bukan kerumah dukun, kan?" tanya Nani."Ya, enggalah! Ngapain juga kita kerumah dukun," cetus Mirna seraya menyeruput teh hangatnya."Mau nyantet Mas Ramlan," ucap Nani polos."Ngaco kamu!" Mirna melotot garang kearah Nani."Ya, kali aja mbak punya pikiran buat serang bang Ramlan pake santet," Celoteh Nani kemudian."Ngapain repot-repot nyantet. Bantai aja sekalian, Nani. Ukh, kamu tuh!" Mirna menjitak kepala Nani dengan gemas. Sementara Nani hanya cengar-cengir menanggapinya...."Ibu! huhu...," tangis Ajril dan Angga pecah berbarengan."Sudah! Kalian ga usah nangis lagi, ibu kalian pasti bakal kembali," seru Mirna menenangkan kedua bocah itu yang hampir berlari mengejar mobil yang telah membawa Nani pergi."Tapi Ibu mau pergi kemana Tante?" tanya Angga menatap sang Nenek dan Tantenya bergantian."Ibu kalian mau cari uang banyak," jawab neneknya."Mau cari ayah baru!" timpal Mirna. Kedua bocah kecil itu menatap Tantenya dengan serempak."Maksudnya, ibu kalian mau ke kota," jawab Mirna kemudian."Ko, kami ga diajak?" lirih Ajril."Ibu...," tangis Angga semakin kencang."Aduh, udah dong kalian jangan pada nangis terus. Tante bingung mesti ngapain," seru Mirna menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Sudah-sudah. Nenek punya sesuatu di dalam, ikut nenek yuk!" ajak sang nenek, mencoba membujuk bocah-bocah itu untuk berhenti menangis."Ga mau!" pungkas Ajril seraya menatap jalanan yang sudah tak berlalu lalang kendaraan."Ayo dong sayang, masa cucu nenek cengeng sih apa kata supermin nanti.""Udah. Ayo, pada masuk!" ajak Mirna sembari memaksa kedua bocah itu dengan merangkul pundak Angga dan Ajril."Tapi Tante-" Belum sempat Angga melanjutkan ucapannya, lengannya sudah dituntun masuk kedalam rumah oleh sang Tante."Ayo Ajril!" Nenek ikut menuntun Ajril untuk ikut masuk kedalam rumah bersamaan. Namun bocah itu tak menggubris. Hanya diam menatap jalanan sepi itu.Diperjalanan, Nani terus menangis. Sesekali menoleh kebelakang berharap kedua anaknya masih nampak terlihat dikejauhan sana. "Memang berat meninggalkan orang-orang terkasih. Aku juga ngerasain itu mbak dulu, tapi sekarang udah engga, karena sudah terbiasa." ujar wanita beramput pendek yang sering dipanggil Lili."Aku cuma pikirin anak-anakku, Mbak. Malang sekali nasib mereka," isak Nani makin menjadi-jadi."Makin malang lagi nasibnya kalau kamu ga bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anakmu di masa depan," sahut Lili, seraya menaburkan bedak dipipi kanan dan kirinya yang sudah semakin tebal oleh riasan."Mbak benar, Aku gak boleh menyerah. Aku gak boleh jadi wanita lemah. Aku harus kuat. Iya, kan mbak!" Tanpa sengaja, Nani menyentuh pundak Lili cukup keras, menimbulkan bedak yang tengah Lili pakai terjatuh berhamburan."Astaga!" Mata Lili melotot tajam. Sedangkan Nani melongo dengan mulut menganga lebar. "Maaf, Mbak? Ga sengaja."...Setelah berjam-jam melewati perjalanan yang l
Sore menjelang Malam. Nani manarik napas lelah. Matanya yang sayu, berdiri di depan cermin menatap bayangannya yang bertubuh semakin gempal. Jantungnya berdesir secara tiba-tiba, seperti dirinya terjatuh dan melayang bebas di udara. Ia teringat akan kedua anaknya dikampung. Setetes air mata terjatuh, bibirnya ikut bergetar. Rindu telah melingkupi relung hatinya di malam sunyi dan di malam pertamanya menjejakan kaki di kota.Sayang seribu sayang, Nani tidak punya telepon genggam lagi semenjak Ramlan mantan suaminya menyita serta menjual ponselnya dengan paksa. Alasannya untuk meringankan pengeluaran biaya untuk hal tidak penting seperti membeli isi paketan atau pulsa.Mau tak mau, Nani terpaksa mengalah dari pada harus setiap hari ribut membuat onar sampai-sampai ember, gayung dan panci ikut turun berdendang meramaikan kegaduhan suasana yang semakin panas.Kembali, Nani hanya merenung terdiam sendiri dalam kerinduan. Kedua pipinya sudah banjir oleh air mata. Sesak terasa menyayat hati
"Abang, kapan mau nikahin Mirna?" tanya Mirna sembari bergelayut manja pada kekasihnya."Sejujurnya Abang juga udah gak sabar buat segera nikahin kamu, tapi,""Tapi kenapa Bang?""Abang belum bicarakan ini pada orangtua Abang!""Jadi begitu." Mirna menunduk lesu."Kamu mau, kan Abang kenalin langsung ke mereka?" Dengan tersipu malu, Mirna mengangguk."Sekarang saja! Tapi sebelum itu boleh tidak Abang buka masker kamu? Abang ingin melihat wajah cantikmu sebentar saja, sayang!" Di panggil sayang oleh sang kekasih membuat Mirna hampir melayang. Seandainya ini negri dongeng, pastilah ia menyanyi dan menari bersama dengan para monyet."Sayang, ko malah bengong?" Lelaki itu mengguncang bahu Mirna. Tampaknya ia khawatir melihat ekspresi wajah Mirna yang kaku."Engga Bang! Mirna belum bisa sekarang.""Tapi Mirna, memangnya kamu gak mau menikah dengan Abang. Meskipun kita baru kenal dan menjalin hubungan baru dua hari, tapi Abang merasa kita seperti sudah berhubungan sangat lama. Kita telah di
7Ting Nong...Suara bel berbunyi cukup nyaring sampai ke halaman belakang di mana kini Nani berada. Wanita gembul itu tengah memotong rumput yang sudah meninggi juga lebat. Ia gelagapan dan berlari secepat yang dia bisa, sebab beban tubuhnya memberi efek sulit mengayunkan kaki.Jantungnya mulai berdebar, kala pintu hendak di buka Nani. Takut, jika sang tuan terlalu lama menunggu di luar.Namun, bukannya Majikan yang didapati, Nani malah dikejutkan oleh seorang wanita cantik yang usianya hampir sepantar dengannya."Maaf, mau cari siapa?" tanya Nani, saat wanita berambut panjang itu nyelonong masuk ke dalam rumah."Saya mau bertemu dengan pemilik rumah ini," jawab wanita itu dengan angkuh. Ia terlebih dahulu duduk di sofa sebelum di persilahkan. "Kamu siapa? Pembantu baru, kah di rumah ini?""Iya, Bu. Saya masih baru bekerja di rumah ini.""Oh. Kalau begitu, cepat kamu buatkan minuman untuk saya!" Bak seorang Nyonya, wanita itu meminta Nani untuk dibuatkan minuman. Nani menggaruk ten
"Nani?" Pagi-pagi sekali Nani dikejutkan oleh suara Majikannya dari luar kamar. Ia baru selesai shalat subuh. Mukenanya pun baru usai di bereskan. Wanita tambun itu cepat membukakan pintu setelah menjepit rambut dengan asal."Iya, Pak!" "Hari ini adik saya mau datang, mungkin beberapa hari akan menginap di sini. Tolong nanti rapihkan kamar ruang tamu atas ya?" "Siap, Pak! Kalau boleh tau, adiknya laki-laki atau perempuan?""Laki-laki! Muda, ganteng juga masih lajang," terang Darwan sambil terkekeh."Ya ampun, sampai detail begitu, Pak!" gumam Nani tersenyum malu."Biar kamu gak penasaran," sahut Darwan santuy sambil berlalu.____Waktu sudah menunjukan pukul dua belas siang. Saatnya Nani untuk beristirahat sejenak setelah setengah hari mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Saat hendak merebahkan diri di kasur, tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi, membuat Nani kembali terlonjak bukan main. Entah kenapa, bagi Nani suara bel seperti panggilan maut yang sanggup membuat
"Bu, Ajril di sini!" teriak Ajril melambai. Nani celingukan, sebelum menyadari suara anaknya berada tak jauh dari dirinya berdiri."Ajril, tunggu ibu!" Nani segera berlari kecil ke arah anaknya. Ia sangat bahagia bisa bertemu dengan Ajril. Buliran cairan bening menumpahkan segala kerinduan pada bocah lelaki itu. "Ibu sekarang sudah berubah, jadi cantik dan gak punya badan gentong lagi!" Ajril berkomentar seraya cekikikan.Nani menggeleng. Mencium puncak kepala anaknya penuh kasih sayang. "Dimana Abangmu?" tanya Nani mencari Angga di sekitar itu. Tapi, wajah anak sulungnya itu tak terlihat."Abang lagi sama Nenek! Ayo ikut Ajril!" Ajril menarik tangan ibunya, sehingga Nani menurut mengikuti.Langkah kecil bocah laki-laki itu belum juga berhenti. Anehnya, jalan yang ditempuh Nani pun tampak begitu asing di penglihatannya. Sesekali Ajril melirik sang ibu dengan wajah sumringah. "Ibu gak akan pergi lagi kan?" tanya Ajril menatap ibunya penuh harap.Nani berhenti. Terdiam memandangi anak
"Ibu kalian gak pernah ajarkan kalian tentang huruf, ya?" tanya Mirna pada kedua bocah laki-laki itu yang langsung di balas gelengan oleh mereka. "Pantas aja, kalian belum bisa baca dan tulis."Angga dan Ajril tak bohong perihal itu. Itu sebabnya mengapa Angga yang sudah berusia enam tahun belum siap sekolah, karena ia belum mengerti apapun soal belajar. Nani pun belum pernah mengajari kedua anaknya. aktivitasnya selalu diganggu Ramlan dan berakhir perdebatan. Maka dari itu Nani maupun Ramlan lupa untuk berpikir menyekolahkan anaknya. Belum lagi, sekolah di desa itu terbilang masih sedikit. Jarak untuk sampai kesekolah pun terbilang cukup jauh dilalui. Dari masing-masing orangtua akan mengantar anak-anaknya memakai kendaraan. Itu pun sebagian akan menebeng atau membayar orang yang memiliki kendaraan untuk bisa mengantar anak-anaknya kesekolah. Jadi, sangat jarang melihat anak sekolah berjalan kaki melewati rumah Ramlan. Angga dan Ajril kini udah lebih bisa mengerti dengan keadaannya.
Darwan memeriksa notif pesan di ponselnya. Matanya terbuka lebar, ketika mendapati adik semata wayangnya tengah melakukan hal tak senonoh pada seorang wanita. Ia mulai bergerak. Keluar dari kamar untuk menemui sang adik."Ini apa maksudnya?" tanya Darwan sembari menyodorkan ponsel miliknya kearah Arya yang tengah memainkan ponsel di kamar.Arya melirik sejenak. Akan tetapi ekpresinya hanya biasa tak memperlihatkan keterkejutan sedikitpun."Apa benar, laki-laki di video ini adalah kamu?" lagi-lagi Darwan bertanya. Rahangnya kian mengeras, menyembunyikan kekecewaannya."Iya! Itu aku," jawab Arya santai. Ponselnya diletakan di meja nakas. Kemudian Arya mengajak sang kakak untuk duduk bersebelahan dengannya."Biar aku jelaskan sedikit. Laki-laki di video itu memang aku, tapi kenyataannya aku dijebak oleh seseorang," ucap Arya menerangkan."Kamu punya musuh di sana?" tanya Darwan. Ekpresinya masih terlihat kesal pada sang adik.Bagaimana Darwan tak marah dengan kelakuan sang adik. Ia adalah