"Bu, itu Tante," ucap Angga sembari mengarahkan telunjuknya. Nani mengikuti arah telunjuk anaknya. Halis Nani mengernyit heran. Mirna terus menggerutu panjang. mendekati Nani dan kedua ponakannya secara tergesa. Sementara Roji mengekori Mirna dari belakang. "Mbak, mau kemana?" tanya Nani. Sementara Mirna melenggang melewati Nani tanpa berniat menoleh sedikitpun. Kemudian, Mirna masuk mobil dengan wajah ditekuk. "Bayiku!"Seorang wanita berteriak panik mengejar kereta bayi berhenti tepat di tengah jalan. Mirna mendengar suara teriakan wanita itu dari kejauhan. Tepat di sebelah mobilnya, roda kereta bayi itu rupanya berhenti karena terjebak di sebuah lubang kecil. Mirna langsung keluar dari dalam mobil dan bergegas menyelamatkan bayi itu. Benar saja, sebuah truk hampir mendekat. BrakkkKereta bayi itu hancur akibat tertabrak mobil. Sang ibu bayi itu menjerit histeris dan langsung mendekati kereta bayinya. Rupanya ibu dari sang bayi itu belum mengetahui jika anaknya telah diselamatk
Bel rumah Nani berbunyi. Cukup mengganggu kenyamanan mereka yang sedang beristirahat. Hari ini tak ada yang beraktivitas di luar. Semuanya melakukan kegiatan di dalam rumah, termasuk Nek Idah yang sedang selonjoran menonton televisi bersama Angga dan Ajril. "Nek, biar Angga aja yang buka pintu!" Nek Idah mengangguk setuju. Angga berlari ke arah pintu bersiap untuk membukanya. "Assalamu'alaikum?""Wa'alaikumussalam! Ada yang bisa dibantu? Tante cari siapa?" Angga dengan sopan bertanya pada sang tamu. Ia diajari sang Ibu untuk bersikap sopan dan melayani tamu yang datang ke rumah. "Tante mau ketemu-" Belum sempat wanita itu berucap, Mirna muncul dari dalam rumah dengan raut wajah tak senang. "Ada perlu apa datang ke sini?" tanya Mirna tanpa basa-basi. Lestari tersenyum menanggapi. Kini wanita itu sudah duduk di sambut baik oleh keluarga Mirna, terkecuali Mirna sendiri. Ia bersikap acuh terhadap Lestari. "Silahkan di minum, Mbak," kata Nani. "Terima kasih!" ucap Lestari gugup. Na
"Kesempatan bagus nih! Gimana kalau kita beri kejutan juga buat Mbak, Nani?" usul Arya. Darwan tak menanggapi. Dirinya tengah memperhatikan photo Nani yang begitu tampak mempesona di acara pernikahan Kakaknya. Ia dapat semua photo itu dari media sosial. Rupanya ada pula beberapa wartawan yang meliput acara tersebut dikediaman keluarga Nani secara diam-diam. "Eh, Kak?" Arya melirik ponsel Kakaknya. Lalu mengulum senyum. Arya pun melajukan kendaraannya sebelum Darwan menyadari sesuatu. "Ya ampun sampai segitunya memandang photo calon isteri," oceh Arya, usai mereka sampai di sebuah toko Emas. Darwan menggelengkan kepala sembari tersenyum. Matanya beralih pada toko Emas di depan. Halisnya bertaut heran. "Mau ngapain ke sini?" tanya Darwan sembari melirik Arya. "Ada yang mau aku beli! Tunggu sebentar ya, Kak."Arya keluar turun dari mobil. Kemudian berjalan masuk kedalam Toko Emas. Darwan seolah terpancing. Lelaki itu pun ikut turun mengikuti Arya masuk kedalam Toko. "Silahkan, Ma
BrakkkSuara hempasan pintu terhempas begitu kasar."Nani, cepat keluar!" Terdengar seruan Ramlan menerobos masuk rumah dengan nada cukup keras."Iya, Bang." Nani berjalan menghampiri suaminya dari arah dapur, sambil membawa semangkuk mie instan.Melihat isteri gembulnya dari ujung kaki hingga kepala. Kemudian matanya beralih pada mie instan di tangan Nani. Ramlan terlihat sangat kesal. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menunjuk telunjuknya tepat di wajah Nani."Pusing aku lihat kamu yang kerjaannya makan terus. Gak berguna!" bentak Ramlan sembari melotot."Astaghfirullah. Ko, Abang bicara begitu? Ya habisnya Nani laper, Bang dari pagi belum sarapan," cicit Nani memelas."Alasan! Bilang aja ini sarapan kamu yang kelima kali. Ngaku aja kamu?" Di tengah amarah Ramlan yang membuncah, membuat kaki Nani bergetar hebat."Enggak, Bang, Nani gak bohong. Bahkan persediaan makanan tinggal mie instan satu biji, sedangkan beras dan yang lainnya sudah pada habis, Bang.""Ah, sudah. Mulai hari ini
Angga dan Ajril tak tahu harus berbuat apa pada ibunya, agar sang ibu kembali bangun. segala cara Angga sudah lakukan, mulai membangunkan dengan cara memberi pewangian dari kentutnya, mencabut bulu ketiak milik ibunya serta mencubit hidung mancung sang ibu, tetapi hasilnya tetap sama. sang ibu enggan bangun dari pingsan.Sudah hampir satu jam lebih Nani belum sadarkan diri juga. Angga menggeram kewalahan dan hanya duduk terdiam menatap sang ibu.Kini giliran Ajril yang mencoba membangunkan. Ia pun berinisiatif mendekati telinga sang ibu dan membisikan sesuatu, membuat Angga memiringkan kepala terheran-heran.Benar saja yang dilakukan Ajril. Tak berselang lama, sang ibu langsung membuka matanya sambil beringsut bangun."Dimana tempatnya?" ujar Nani antusias. Ia menarik lengan anaknya dengan gesit.Sedangkan Ajril hanya tertawa cekikikan, sembari menahan lengan sang ibu."Ada apa, ko berhenti?" tanya Nani sembari menautkan halis."Jadi, dimana tempat warung makan gratisnya?" tanya Nani
"Angga bantuin ya, bu!" ujar Angga. tangannya mengambil piring yang masih basah, mengelap, dan menatanya ditumpukan piring yang sudah bersih."Makasih ya nak, udah mau bantuin, ibu?" sahut Nani sambil tersenyum. Kemudian dibalas hangat oleh putranya."Ibu jangan sedih lagi. Kalau ayah jahat sama ibu bilang aja sama, Angga.""Memang kamu mau ngapain, ayah?""Mau Angga pelorotin celananya!" spontan gelak tawa sang ibu mencairkan suasana. Nani begitu bersyukur meski sudah ditinggal suami, tapi setidanya masih ada buah hatinya untuk menghibur lara yang terluka."Bentar lagi ibu selesai! Kita langsung pergi dari sini, ya!" "kita mau pergi kemana lagi, bu?" tanya Angga."Mungkin untuk sementara waktu kita tinggal di rumah nenek dan tante Mirna," jawab Nani pasrah."Adik, kamu mana, Angga?" tanya Nani celingukan keluar dapur."Itu, lagi bantuin ibu yang punya warung di depan," jawab Angga sembari menunjuk.Sementara Nani hanya geleng-geleng kepalanya...."Ini ada sedikit makanan untuk di
Diperjalanan, Nani terus menangis. Sesekali menoleh kebelakang berharap kedua anaknya masih nampak terlihat dikejauhan sana. "Memang berat meninggalkan orang-orang terkasih. Aku juga ngerasain itu mbak dulu, tapi sekarang udah engga, karena sudah terbiasa." ujar wanita beramput pendek yang sering dipanggil Lili."Aku cuma pikirin anak-anakku, Mbak. Malang sekali nasib mereka," isak Nani makin menjadi-jadi."Makin malang lagi nasibnya kalau kamu ga bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anakmu di masa depan," sahut Lili, seraya menaburkan bedak dipipi kanan dan kirinya yang sudah semakin tebal oleh riasan."Mbak benar, Aku gak boleh menyerah. Aku gak boleh jadi wanita lemah. Aku harus kuat. Iya, kan mbak!" Tanpa sengaja, Nani menyentuh pundak Lili cukup keras, menimbulkan bedak yang tengah Lili pakai terjatuh berhamburan."Astaga!" Mata Lili melotot tajam. Sedangkan Nani melongo dengan mulut menganga lebar. "Maaf, Mbak? Ga sengaja."...Setelah berjam-jam melewati perjalanan yang l
Sore menjelang Malam. Nani manarik napas lelah. Matanya yang sayu, berdiri di depan cermin menatap bayangannya yang bertubuh semakin gempal. Jantungnya berdesir secara tiba-tiba, seperti dirinya terjatuh dan melayang bebas di udara. Ia teringat akan kedua anaknya dikampung. Setetes air mata terjatuh, bibirnya ikut bergetar. Rindu telah melingkupi relung hatinya di malam sunyi dan di malam pertamanya menjejakan kaki di kota.Sayang seribu sayang, Nani tidak punya telepon genggam lagi semenjak Ramlan mantan suaminya menyita serta menjual ponselnya dengan paksa. Alasannya untuk meringankan pengeluaran biaya untuk hal tidak penting seperti membeli isi paketan atau pulsa.Mau tak mau, Nani terpaksa mengalah dari pada harus setiap hari ribut membuat onar sampai-sampai ember, gayung dan panci ikut turun berdendang meramaikan kegaduhan suasana yang semakin panas.Kembali, Nani hanya merenung terdiam sendiri dalam kerinduan. Kedua pipinya sudah banjir oleh air mata. Sesak terasa menyayat hati