Diperjalanan, Nani terus menangis. Sesekali menoleh kebelakang berharap kedua anaknya masih nampak terlihat dikejauhan sana.
"Memang berat meninggalkan orang-orang terkasih. Aku juga ngerasain itu mbak dulu, tapi sekarang udah engga, karena sudah terbiasa." ujar wanita beramput pendek yang sering dipanggil Lili."Aku cuma pikirin anak-anakku, Mbak. Malang sekali nasib mereka," isak Nani makin menjadi-jadi."Makin malang lagi nasibnya kalau kamu ga bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anakmu di masa depan," sahut Lili, seraya menaburkan bedak dipipi kanan dan kirinya yang sudah semakin tebal oleh riasan."Mbak benar, Aku gak boleh menyerah. Aku gak boleh jadi wanita lemah. Aku harus kuat. Iya, kan mbak!" Tanpa sengaja, Nani menyentuh pundak Lili cukup keras, menimbulkan bedak yang tengah Lili pakai terjatuh berhamburan."Astaga!" Mata Lili melotot tajam. Sedangkan Nani melongo dengan mulut menganga lebar."Maaf, Mbak? Ga sengaja."...Setelah berjam-jam melewati perjalanan yang lumayan panjang. Berganti kendaraan tiap kendaraan untuk sampai ketempat tujuan. Nani dan Lili akhirnya sampai di sebuah rumah mewah, bak istana. Rumah itu berdindingkan cat berwarna ungu senada dengan pagarnya."Jadi ini rumahnya ya, Mbak?" tanya Nani takjub. Matanya melebar mengagumi rumah tersebut. Tangannya aktif menyentuh pagar yang hampir mirip ular naga itu."Iya ini rumahnya!""Besar ya, Mbak?""Namanya juga rumah holang kaya. Sini aku beritahu. Berhubung yang punya rumahnya belum pulang dari kantor, kamu tunggu dia sampai pulang nanti sore, ya! Sambil nunggu, kamu kerjain aja apa yang perlu dibenahi di rumah ini. Semisal ada cucian piring atau lantai kotor kamu bersihin sampe kinclong, kamu pahamkan, Mbak maksud aku?" tutur Lili."Paham, Mbak!" Nani mengangguk mengerti."Yuk, masuk!" Ajak Lili. Menggiring Nani untuk masuk kerumah besar itu.Nani celingukan mengitari setiap ruangan. Menatap takjub pada benda-benda yang besar berjejer rapi tiap dindingnya.Matanya membulat, kala mendapati sebuah benda yang beda dari yang lain. Yaitu, sebuah patung Burung berkepala kerbau. Nani bergidik ngeri. Buru-buru ia berlari kearah Lili berada."Ada apa? Ko mukanya tegang begitu?" tanya Lili sembari menautkan halis."Itu loh Mbak, Masa ada burung tapi kepalanya bertanduk mirip kerbau," sahut Nani gemetaran."Ah kamu ini, gitu aja aneh!" Lili tertawa mengejek."Beneran Mbak, orang aku liat barusan. Serem tau Mbak.""Ya namanya juga patung. Kamu pasti bakalan terbiasa kalau udah tinggal di sini!" Lili menyentuh bahu Nani."Terbiasa ngeri ya, Mbak?""Terbiasa digangguin nanti hihi....""Mbak..." Nani menjerit takut. Sementara Lili malah terkikik menahan perutnya untuk tidak jungkir balik tertawa bersama lantai."Aku serius tau.""Iya, maaf! Cuma berjanda ko!" Lily menampilkan jarinya berbentuk V, tersenyum manis mirip seperti anak TK."Ga usah disebutin Mbak, emang kita janda ko!" Nani merengut kesal."Janda yang penting berkualitas, ya,kan!" Lili mulai menggoda."Au ah."Lili pamit pada Nani setelah memberitahu apa saja yang harus dikerjakan di rumah itu. Lili pun memberikan kunci cadangan ketangan Nani. Lili percaya Nani wanita baik. Sekalipun berniat melakukan hal Kriminal, itu tak akan bisa. Sebab setiap sudut rumah terpasang CCTV dimana-mana.Maklum saja, pemilik rumah tersebut adalah seorang duda tanpa anak. Ia tinggal seorang diri di rumah besar itu. Mantan istrinya yang dahulu pergi karena mengetahui jika mantan suaminya divonis tak bisa memiliki seorang anak alias Mandul. pada akhirnya Ia bertekad pergi dengan selingkuhannya, meninggalkan seberkas surat gugatan cerai.Begitulah yang Lili ceritakan pada Nani.Nani mulai membersihkan Rumah mewah tersebut. Mulai dari memebersihkan debu-debu yang menempel dipermukaan barang-barang besar yang menurut Nani menyeramkan. Beralih menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak dan lain-lain.Sudah lama sekali rumah itu tak dirawat oleh seorang pembantu. Sementara majikannya hanya memebereskan seperlunya saja. Sebab ia pun sibuk dengan pekerjaannya yang ada di kantor. Oleh karena itu, pemilik rumah tersebut jarang membersihkan rumah.Jam sudah menunjukan pukul lima sore. Sang Tuan rumah belum juga pulang. Nani menunggu majikannya, menyambi menyirami tanaman bunga yang mulai bermekaran di halaman rumah.Selang beberapa menit sebuah mobil menelaksonnya dari luar pagar, membuka pintu kaca mobilnya, lalu memanggil Nani dengan sebutan Mbak."Bapak, panggil saya?" sahut Nani."Tolong bukakan pintu pagarnya!" seru lelaki itu.Nani langsung membuka lebar-lebar pintu pagar dan mobil mewah tersebut itu pun masuk kepekarangan, membuat Nani mengernyit bingung. Sedetik kemudian ia tersadar jika lelaki itu adalah majikannya. Nani tersenyum senang. Akhirnya Nani bisa merasa lega karena majikannya sudah pulang.Pintu mobil terbuka menampilkan sosok lelaki tampan bertubuh tinggi tegap hampir mirip seperti artis Bollywood idolanya."Selamat sore, pak?" Nani menyapa seraya mendekat."Sore!" sahut lelaki itu dengan ramah."Kamu pasti orang yang dari kampung itu ya?""Betul pak, saya orangnya!" Nani menjawab malu-malu."Sudah tahu, kan apa saja yang harus kamu kerjakan?""Alhamdulillah sudah, pak!""Bagus saya senang dengernya. Kenalkan, nama saya, Naga Darwan. Tapi biasa orang-orang memanggil saya Darwan. Kalau kamu?""Saya Nani, pak!, Biasa orang manggil saya Nani.""Gak ada panjangannya?""Enggak ada, Pak!" Pak Darwan terkekeh."Owh begitu. Nani saya bisa minta tolong? Saya ingin kamu bawakan tas kerja saya kedalam.""Siap, pak!" Nani mengambil tas majikannya yang masih di dalam mobil. Lalu menutup pintu pagar kembali, setelah itu ia langsung membawanya tas itu kedalam, sembari mengikuti sang majikan yang sudah lebih dulu masuk kedalam rumah.Darwan berhenti di ruang makan. Terpampang aneka makanan tersaji rapi dan harumnya menguar di setiap sudut ruangan, membuat perut Darwan memberontak minta jatah diisi."Bapak mau makan? Biar saya ambilkan?" tanya Nani."Oh, boleh!" Darwan Duduk dikursi makan. Sementara Nani mengambilkan Nasi dan Lauk pauknya dipiring.Satu kali suap Darwan tampak menikmati makanan tersebut sampai merem melek."Wah, enak juga masakan kamu!" celoteh Darwan. Lagi-lagi Nani tersenyum malu-malu.Darwan merasa dirinya seperti mengulang kembali suasana dimana saat dirinya masih bersama mantan istrinya. Terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi rasa itu hanya bisa ia kenang dengan penuh kekecewaan yang mendalam. Darwan tak menyangka rumah tangganya hancur karena masalah keturunan.Banyak wanita yang kerap kali hadir untuk mengisi relung hatinya, namun lagi-lagi harus tandas karena ketidakcocokan satu sama lain dan berakhir pada hubungan tanpa status.Darwan memperhatikan penampilan Nani dari ujung rambut sampai ujung kaki. Cantik, sebuah kata yang terlintas di benak Darwan. Hanya saja Nani terlalu gemuk sampai tak terlihat lekukan pinggang ditubuhnya sama sekali. Nani merasa risih diperhatikan. Ia pun menunduk malu. Takut, jika sang tuan berpikir dirinya mirip seperti kerbau.Sore menjelang Malam. Nani manarik napas lelah. Matanya yang sayu, berdiri di depan cermin menatap bayangannya yang bertubuh semakin gempal. Jantungnya berdesir secara tiba-tiba, seperti dirinya terjatuh dan melayang bebas di udara. Ia teringat akan kedua anaknya dikampung. Setetes air mata terjatuh, bibirnya ikut bergetar. Rindu telah melingkupi relung hatinya di malam sunyi dan di malam pertamanya menjejakan kaki di kota.Sayang seribu sayang, Nani tidak punya telepon genggam lagi semenjak Ramlan mantan suaminya menyita serta menjual ponselnya dengan paksa. Alasannya untuk meringankan pengeluaran biaya untuk hal tidak penting seperti membeli isi paketan atau pulsa.Mau tak mau, Nani terpaksa mengalah dari pada harus setiap hari ribut membuat onar sampai-sampai ember, gayung dan panci ikut turun berdendang meramaikan kegaduhan suasana yang semakin panas.Kembali, Nani hanya merenung terdiam sendiri dalam kerinduan. Kedua pipinya sudah banjir oleh air mata. Sesak terasa menyayat hati
"Abang, kapan mau nikahin Mirna?" tanya Mirna sembari bergelayut manja pada kekasihnya."Sejujurnya Abang juga udah gak sabar buat segera nikahin kamu, tapi,""Tapi kenapa Bang?""Abang belum bicarakan ini pada orangtua Abang!""Jadi begitu." Mirna menunduk lesu."Kamu mau, kan Abang kenalin langsung ke mereka?" Dengan tersipu malu, Mirna mengangguk."Sekarang saja! Tapi sebelum itu boleh tidak Abang buka masker kamu? Abang ingin melihat wajah cantikmu sebentar saja, sayang!" Di panggil sayang oleh sang kekasih membuat Mirna hampir melayang. Seandainya ini negri dongeng, pastilah ia menyanyi dan menari bersama dengan para monyet."Sayang, ko malah bengong?" Lelaki itu mengguncang bahu Mirna. Tampaknya ia khawatir melihat ekspresi wajah Mirna yang kaku."Engga Bang! Mirna belum bisa sekarang.""Tapi Mirna, memangnya kamu gak mau menikah dengan Abang. Meskipun kita baru kenal dan menjalin hubungan baru dua hari, tapi Abang merasa kita seperti sudah berhubungan sangat lama. Kita telah di
7Ting Nong...Suara bel berbunyi cukup nyaring sampai ke halaman belakang di mana kini Nani berada. Wanita gembul itu tengah memotong rumput yang sudah meninggi juga lebat. Ia gelagapan dan berlari secepat yang dia bisa, sebab beban tubuhnya memberi efek sulit mengayunkan kaki.Jantungnya mulai berdebar, kala pintu hendak di buka Nani. Takut, jika sang tuan terlalu lama menunggu di luar.Namun, bukannya Majikan yang didapati, Nani malah dikejutkan oleh seorang wanita cantik yang usianya hampir sepantar dengannya."Maaf, mau cari siapa?" tanya Nani, saat wanita berambut panjang itu nyelonong masuk ke dalam rumah."Saya mau bertemu dengan pemilik rumah ini," jawab wanita itu dengan angkuh. Ia terlebih dahulu duduk di sofa sebelum di persilahkan. "Kamu siapa? Pembantu baru, kah di rumah ini?""Iya, Bu. Saya masih baru bekerja di rumah ini.""Oh. Kalau begitu, cepat kamu buatkan minuman untuk saya!" Bak seorang Nyonya, wanita itu meminta Nani untuk dibuatkan minuman. Nani menggaruk ten
"Nani?" Pagi-pagi sekali Nani dikejutkan oleh suara Majikannya dari luar kamar. Ia baru selesai shalat subuh. Mukenanya pun baru usai di bereskan. Wanita tambun itu cepat membukakan pintu setelah menjepit rambut dengan asal."Iya, Pak!" "Hari ini adik saya mau datang, mungkin beberapa hari akan menginap di sini. Tolong nanti rapihkan kamar ruang tamu atas ya?" "Siap, Pak! Kalau boleh tau, adiknya laki-laki atau perempuan?""Laki-laki! Muda, ganteng juga masih lajang," terang Darwan sambil terkekeh."Ya ampun, sampai detail begitu, Pak!" gumam Nani tersenyum malu."Biar kamu gak penasaran," sahut Darwan santuy sambil berlalu.____Waktu sudah menunjukan pukul dua belas siang. Saatnya Nani untuk beristirahat sejenak setelah setengah hari mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Saat hendak merebahkan diri di kasur, tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi, membuat Nani kembali terlonjak bukan main. Entah kenapa, bagi Nani suara bel seperti panggilan maut yang sanggup membuat
"Bu, Ajril di sini!" teriak Ajril melambai. Nani celingukan, sebelum menyadari suara anaknya berada tak jauh dari dirinya berdiri."Ajril, tunggu ibu!" Nani segera berlari kecil ke arah anaknya. Ia sangat bahagia bisa bertemu dengan Ajril. Buliran cairan bening menumpahkan segala kerinduan pada bocah lelaki itu. "Ibu sekarang sudah berubah, jadi cantik dan gak punya badan gentong lagi!" Ajril berkomentar seraya cekikikan.Nani menggeleng. Mencium puncak kepala anaknya penuh kasih sayang. "Dimana Abangmu?" tanya Nani mencari Angga di sekitar itu. Tapi, wajah anak sulungnya itu tak terlihat."Abang lagi sama Nenek! Ayo ikut Ajril!" Ajril menarik tangan ibunya, sehingga Nani menurut mengikuti.Langkah kecil bocah laki-laki itu belum juga berhenti. Anehnya, jalan yang ditempuh Nani pun tampak begitu asing di penglihatannya. Sesekali Ajril melirik sang ibu dengan wajah sumringah. "Ibu gak akan pergi lagi kan?" tanya Ajril menatap ibunya penuh harap.Nani berhenti. Terdiam memandangi anak
"Ibu kalian gak pernah ajarkan kalian tentang huruf, ya?" tanya Mirna pada kedua bocah laki-laki itu yang langsung di balas gelengan oleh mereka. "Pantas aja, kalian belum bisa baca dan tulis."Angga dan Ajril tak bohong perihal itu. Itu sebabnya mengapa Angga yang sudah berusia enam tahun belum siap sekolah, karena ia belum mengerti apapun soal belajar. Nani pun belum pernah mengajari kedua anaknya. aktivitasnya selalu diganggu Ramlan dan berakhir perdebatan. Maka dari itu Nani maupun Ramlan lupa untuk berpikir menyekolahkan anaknya. Belum lagi, sekolah di desa itu terbilang masih sedikit. Jarak untuk sampai kesekolah pun terbilang cukup jauh dilalui. Dari masing-masing orangtua akan mengantar anak-anaknya memakai kendaraan. Itu pun sebagian akan menebeng atau membayar orang yang memiliki kendaraan untuk bisa mengantar anak-anaknya kesekolah. Jadi, sangat jarang melihat anak sekolah berjalan kaki melewati rumah Ramlan. Angga dan Ajril kini udah lebih bisa mengerti dengan keadaannya.
Darwan memeriksa notif pesan di ponselnya. Matanya terbuka lebar, ketika mendapati adik semata wayangnya tengah melakukan hal tak senonoh pada seorang wanita. Ia mulai bergerak. Keluar dari kamar untuk menemui sang adik."Ini apa maksudnya?" tanya Darwan sembari menyodorkan ponsel miliknya kearah Arya yang tengah memainkan ponsel di kamar.Arya melirik sejenak. Akan tetapi ekpresinya hanya biasa tak memperlihatkan keterkejutan sedikitpun."Apa benar, laki-laki di video ini adalah kamu?" lagi-lagi Darwan bertanya. Rahangnya kian mengeras, menyembunyikan kekecewaannya."Iya! Itu aku," jawab Arya santai. Ponselnya diletakan di meja nakas. Kemudian Arya mengajak sang kakak untuk duduk bersebelahan dengannya."Biar aku jelaskan sedikit. Laki-laki di video itu memang aku, tapi kenyataannya aku dijebak oleh seseorang," ucap Arya menerangkan."Kamu punya musuh di sana?" tanya Darwan. Ekpresinya masih terlihat kesal pada sang adik.Bagaimana Darwan tak marah dengan kelakuan sang adik. Ia adalah
Nani menyuguhkan tiga gelas kopi kepada teman-teman Majikannya. Ketiga pria itu terkagum-kagum memandangi Nani dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tubuh ramping dan berisi itu begitu mempesona di mata mereka.Nani yang merasa diperhatikan oleh tiga pria tersebut merasa risih. Bahkan hanya sekali lirikan oleh Nani, tiga lelaki itu membeku di tempat. "Makasih, Nani," ucap Darwan sembari mengulas senyum. "Sama-sama, Pak!" Nani menjawab sopan. Ia pun pamit kembali kedapur.Tiga pria itu terus memandangi Nani tanpa berkedip. Darwan yang menyadari ada yang tak beres pada tatapan teman-temannya, berdehem."Diminum Gil, Dion, Parel," kata Darwan, sembari mendekatkan kopi-kopi itu di hadapan teman-temannya."I-iya! Makasih, Wan," ucap Ragil gelagapan.Dion meminum kopi itu tanpa menyadari jika kopinya masih sangat panas. Repleks, Dion terkejut bukan main. Lidahnya ia julurkan karena saking panasnya."Panas!" rintih Dion. Semua yang ada di situ tertawa melihat tingkah Dion yang ceroboh."Mas