Darwan memeriksa notif pesan di ponselnya. Matanya terbuka lebar, ketika mendapati adik semata wayangnya tengah melakukan hal tak senonoh pada seorang wanita. Ia mulai bergerak. Keluar dari kamar untuk menemui sang adik."Ini apa maksudnya?" tanya Darwan sembari menyodorkan ponsel miliknya kearah Arya yang tengah memainkan ponsel di kamar.Arya melirik sejenak. Akan tetapi ekpresinya hanya biasa tak memperlihatkan keterkejutan sedikitpun."Apa benar, laki-laki di video ini adalah kamu?" lagi-lagi Darwan bertanya. Rahangnya kian mengeras, menyembunyikan kekecewaannya."Iya! Itu aku," jawab Arya santai. Ponselnya diletakan di meja nakas. Kemudian Arya mengajak sang kakak untuk duduk bersebelahan dengannya."Biar aku jelaskan sedikit. Laki-laki di video itu memang aku, tapi kenyataannya aku dijebak oleh seseorang," ucap Arya menerangkan."Kamu punya musuh di sana?" tanya Darwan. Ekpresinya masih terlihat kesal pada sang adik.Bagaimana Darwan tak marah dengan kelakuan sang adik. Ia adalah
Nani menyuguhkan tiga gelas kopi kepada teman-teman Majikannya. Ketiga pria itu terkagum-kagum memandangi Nani dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tubuh ramping dan berisi itu begitu mempesona di mata mereka.Nani yang merasa diperhatikan oleh tiga pria tersebut merasa risih. Bahkan hanya sekali lirikan oleh Nani, tiga lelaki itu membeku di tempat. "Makasih, Nani," ucap Darwan sembari mengulas senyum. "Sama-sama, Pak!" Nani menjawab sopan. Ia pun pamit kembali kedapur.Tiga pria itu terus memandangi Nani tanpa berkedip. Darwan yang menyadari ada yang tak beres pada tatapan teman-temannya, berdehem."Diminum Gil, Dion, Parel," kata Darwan, sembari mendekatkan kopi-kopi itu di hadapan teman-temannya."I-iya! Makasih, Wan," ucap Ragil gelagapan.Dion meminum kopi itu tanpa menyadari jika kopinya masih sangat panas. Repleks, Dion terkejut bukan main. Lidahnya ia julurkan karena saking panasnya."Panas!" rintih Dion. Semua yang ada di situ tertawa melihat tingkah Dion yang ceroboh."Mas
"Jadi calon isteri, Bapak? Ini beneran?" tanya Nani dengan wajah yang sudah memerah. "Saya serius! Tapi hanya pura-pura, ko."Nani hampir kegeeran ketika sang majikannya ingin menjadikannya calon isteri. Nyatanya Darwan memintanya hanya untuk bersandiwara."Kenapa, bapak ingin melakukan itu? Kayanya, bapak lebih baik cari perempuan yang benar-benar dianggap sebagai calon isteri, deh.""Masalahnya saya belum menemukan perempuan yang saya sukai. Apalagi waktunya tinggal sehari. Saya gak ada waktu. Kamu mau, kan Nani? Saya akan bayar kamu berapapun jika bonus yang saya berikan kurang di mata kamu.""Tapi, Pak. Gimana kalau saya gak becus berakting? Saya malu dan takut.""Kamu gak perlu takut. Kan ada saya!" Darwan tak sadar telah menyentuh bahu Nani, membuat jantung Nani berdebar begitu cepat. "Kamu mau, kan, Nani?" "Kalau gitu, saya mau, Pak!" Nani, pun akhirnya setuju, dan Darwan sangat senang mendapat jawaban dari Nani. Ini kabar baik untuknya. Almira pasti akan merasa tersaingi..
Acara pesta pernikahan mulai digelar amat meriah oleh sepasang dua pembelai pengantin yang tengah berada di atas pelaminan. Almira atau yang kini sudah menjadi mantan dari isteri Darwan sangat antusias menyambut para tamu yang hadir, tanpa terkecuali sahabat dan rekan bisnis dari suami barunya."Selamat, ya? Cantik banget, sih," ujar para sahabat Almira memberi selamat. "Makasih, loh! Kalian juga sama cantiknya malam ini," sahut Almira sembari menyunggingkan senyum termanisnya.Mereka semua tampak juga menikmati hidangan yang sudah tersedia. Beberapa tamu berbondong-bondong untuk mengantri makanan yang diinginkannya. Sala satunya anak pejabat yang sedari tadi diam mengamati makanan di depannya. Bahkan tak kunjung sedikitpun memakan hidangan tersebut."Kenapa cuma dilihat, sayang? Mau Mamah suapi?" tanya sang ibu pada gadis kecil yang cantik berusia lima tahun itu."Aku gak suka singkong, Mah!" gadis itu beranjak. Kemudian menemui teman-teman sebayanya yang elit."Padahal singkong ini
Drttt...Suara handphone berdering mengejutkan Mirna yang sedang buang air kecil dari dalam kamar mandi. "Duh, siapa, sih yang telpon, ganggu aja," gumam Mirna seraya mengambil gayung yang tercebur kedalam bak besar.Usai membersihkan diri, Mirna keluar dengan hati yang plong. Ia pun langsung mengecek nomor siapa yang masuk ke handphonenya. Di rasa tak mengenali nomor tersebut Mirna mengabaikan panggilan itu hingga tujuh kali."Mirna, siapa yang telpon? Angkat saja. Siapa tahu dari orang penting," ujar sang ibu sembari menaruh ranting kayu yang sudah kering dekat tungku api."Gak ah, Bu! Takut orang stres yang telpon.""Ih, kamu tuh jangan begitu. Udah cepat angkat. Berisik ibu dengarnya."Setelah menimbang-nimbang, Mirna pun mau mengangkat telepon tersebut dengan malas."Dengan siapa ini?" tanya Mirna dengan nada ketus."Assalamualaikum. Ini Nani, Mbak. Gimana kabar semuanya? Ya Allah, kangen banget aku, Mbak! Akhirnya aku bisa telpon, Mbak juga. Gimana dengan anak-anak? Ajril dan An
Nani sangat senang setelah mendapat kabar tentang anak-anaknya di kampung, yang rupanya keadaannya baik-baik saja. Rindunya sedikit terobati. Perasaannya serasa plong seakan beban-beban yang selama ini bersemayam dipikirannya telah terbebaskan. Nani sudah tak sabar ingin segera berjumpa dengan anak dan ibu serta kakaknya di kampung. "Nani!" panggil Darwan. Nani menoleh."Ada apa, Pak?" tanya Nani sembari menaruh ponselnya di meja."Ini uang yang saya janjikan untuk kamu!" Nani melongo. Darwan menyerahkan dua gepok uang kepada Nani. "Banyak sekali, Pak. Tapi, kemarin itu bapak sudah belanjakan banyak barang untuk, saya. Duh, bagi saya semua itu lebih dari cukup," tolak Nani dengan cara sopan."Tapi, Nani! Itu gak ada apa-apanya di banding kamu sudah bekerja keras berakting di depan mantan isteri saya.""Ya ampun, Pak! Saya jadi malu. Saya, kan cuma mengikuti perintah, Bapak. Kan, bapak sendiri yang ajarkan.""Meskipun begitu, saya ingin kamu terima ini, Nani. Tolong, jangan menolak!"
"Nani, kamu sedang apa?" tanya Darwan, menghampiri Nani yang tengah membungkuk di bawah meja. Nani sempat kaget. Kepalanya terbentur atap meja yang lumayan membuat ubun-ubun Nani berdenyut."Ambil pisau dapur! Tadi gak sengaja jatuh, Mas," kata Nani sembari meringis dan mengusap kepalanya yang terasa sakit."Kamu gak apa-apa?" tanya Darwan sembari tersenyum menahan tawa."Gak apa-apa, Mas!" Nani kembali membungkuk dan cepat mengambil pisau dapur itu. "Ada apa, Mas? Butuh sesuatu, kah?""Begini, nanti siang ibu saya mau datang. Tolong, kamu masak yang enak-enak, ya? Ibu saya itu paling suka sayur asem, ikan asin dan sambal terasi. Menu yang lainnya bisa kamu inisiatif sendiri! Yang panting tiga menu itu jangan sampai ketinggalan," tutur Darwan. Nani manggut-manggut."Kalau gitu saya mau belanja ke pasar dulu, Mas?""Iya! Makasih sebelumnya, Nani!" Nani mengangguk sembari tersenyum sopan....Nani sampai di sebuah pasar tradisional, setelah ia turun dari angkutan umum. Jarak dari rumah
"Masakan kamu gak terlalu buruk. Yah... Bisa di bilang lumayanlah," ujar Bu Antena sembari mencicipi hidangan yang lain. Nani tersenyum lega. Setidaknya hari ini ia bisa mengatasi masalah masakannya yang cukup menguras tenaga itu. Bahkan untuk dirinya sendiri, Nani belum mengisi perutnya yang sedari tadi sudah keroncongan. "Ini benar kamu yang masak sendiri?" tanya Bu Antena lagi dengan halis beradu."Iya, Nyonya! Saya sendiri yang masak," sahut Nani meyakinkan."Awas ya kalau kamu bohong! Soalnya masakan sebanyak ini saya kurang percaya kamu mengerjakannya sendiri."Bagi Nani, memasak adalah hobinya. Ia tak pernah merasa sulit jika untuk keperluan perut yang semestinya di isi. Maka dari itu, Nani selain senang memasak, ia juga dulu senang makan. Belum juga makanan itu tersaji dengan utuh, makanan yang sudah dimasaknya itu selalu tersisa sedikit. Jangan heran jika Ramlan, mantan suaminya sering marah, karena porsi hidangannya jadi mengurang."Enggak, ko, Nyonya. Ini semua saya yang m