Arya membantu Nek Idah dan pekerja lainnya memetik cabai yang sudah merah dari kebun Nek Idah. Cabai tersebut sudah mulai dipanen. Hasil cabainya akan Nek Idah jual ke Distributor. Usai dari kebun Arya dan Nek Idah pun pulang kerumah. Mereka tampak lelah dan bersiap membersihkan tubuh mereka yang begitu berkeringat. Sebelum Nek Idah masuk kamar. Tanpa sengaja ia melewati kamar Nani. Ia mendengar samar, Nani tengah berbicara sendiri dari dalam kamar. Sontak hal itu membuat kecurigaan pada Nek Idah. Diam-diam Nek Idah masuk dan memergoki Nani sedang siaran langsung di media sosialnya. "Nani!" Nek Idah sudah diambang pintu. Sorot matanya kian tajam. Tersirat jika ia kini sedang marah pada Nani. "Ibu!" buru-buru Nani mematikan ponselnya. Nek Idah pergi keluar. Tangannya ia kepal kuat. Rasa sesak mulai menyelimuti relung hatinya. "Bu!""Berusaha untuk jadi Artis kembali, begitu?" tanya Nek Idah dengan ketus."Nani, minta maaf, Bu! Nani-""Cukup. Ibu gak mau dengar apapun lagi. Begini
"Mah, aku pulang!" teriak Arya usai sampai dirumah. Bu Antena yang sedang menangis lantas terkejut mendapati anaknya kini sudah pulang. "Arya!" Bu Antena berlari kecil menghampiri Arya. Arya sendiri sudah merentangkan tangan, namun bukannya dapat pelukan dirinya malah dapat pukulan bertubi-tubi dari sang ibu. "Dasar anak gak tahu diri. Susah payah, Mamah besarin kamu, didik kamu dengan penuh kasih sayang, tapi balasan kamu seperti ini sama, Mamah. Beberapa hari ini Mamah hampir gila gara-gara mikirin kamu!" omel Bu Antena membabi buta memukuli anaknya. Kini pukulan itu berpindah ke Darwan, sebab Arya bersembunyi dibalik punggung kakaknya. Arya bukannya bersalah malah tertawa kecil. "Udah, Mah. Percuma ngomel, anak seperti Arya ini gak mempan dimarahi. Buang-buang emosi aja!" gerutu Darwan mulai kesal. Darwan lantas menarik tali ransel dipunggung Arya dengan sekali hentakan. "Tanggung jawab," sambung Darwan sembari menghindar dari Bu Antena. Arya kembali hendak dipukuli oleh Bu An
"Gimana, Mbak udah seneng, kan sekarang?" tanya Nani. Usai beres berbelanja. Mirna cengar-cengir setelah memborong puas barang-barang mahal di sebuah pusat berbelanjan. Nani tak mempermasalahkan keinginan Kakaknya, sebab hari ini ia harus membuat mood kakaknya bahagia. "Udah dong. Happy banget! Terima kasih, ya sudah membelikan banyak barang untuk, Mbak?""Iya sama-sama!""Ngomong-ngomong apa gak papa kamu belanjakan, Mbak banyak barang begini, harganya mahal, Nani? Takut uang kamu habis.""Mbak gak perlu pikirkan itu. Aku gak mungkin belanjakan Mbak barang-barang mahal jika aku gak mampu.""Wah, hebat kamu. Ibu udah gak mempermasalahkan kamu untuk jadi terkenal lagi, kan?""Sepertinya sih, enggak.""Berkat Arya semua jadi terungkap. Pantas saja ibu selama ini terlihat beda menyayangi kamu.""Mbak bicara apa, sih. Ibu tak pernah membedakan kita. Walaupun aku pun agak kecewa mengetahui kebenaran ini!" Nani tampak sedih. "Ah, udah gak usah dibahas lagi. Kamu itu tetap keluarga kami. T
"Bu, itu Tante," ucap Angga sembari mengarahkan telunjuknya. Nani mengikuti arah telunjuk anaknya. Halis Nani mengernyit heran. Mirna terus menggerutu panjang. mendekati Nani dan kedua ponakannya secara tergesa. Sementara Roji mengekori Mirna dari belakang. "Mbak, mau kemana?" tanya Nani. Sementara Mirna melenggang melewati Nani tanpa berniat menoleh sedikitpun. Kemudian, Mirna masuk mobil dengan wajah ditekuk. "Bayiku!"Seorang wanita berteriak panik mengejar kereta bayi berhenti tepat di tengah jalan. Mirna mendengar suara teriakan wanita itu dari kejauhan. Tepat di sebelah mobilnya, roda kereta bayi itu rupanya berhenti karena terjebak di sebuah lubang kecil. Mirna langsung keluar dari dalam mobil dan bergegas menyelamatkan bayi itu. Benar saja, sebuah truk hampir mendekat. BrakkkKereta bayi itu hancur akibat tertabrak mobil. Sang ibu bayi itu menjerit histeris dan langsung mendekati kereta bayinya. Rupanya ibu dari sang bayi itu belum mengetahui jika anaknya telah diselamatk
Bel rumah Nani berbunyi. Cukup mengganggu kenyamanan mereka yang sedang beristirahat. Hari ini tak ada yang beraktivitas di luar. Semuanya melakukan kegiatan di dalam rumah, termasuk Nek Idah yang sedang selonjoran menonton televisi bersama Angga dan Ajril. "Nek, biar Angga aja yang buka pintu!" Nek Idah mengangguk setuju. Angga berlari ke arah pintu bersiap untuk membukanya. "Assalamu'alaikum?""Wa'alaikumussalam! Ada yang bisa dibantu? Tante cari siapa?" Angga dengan sopan bertanya pada sang tamu. Ia diajari sang Ibu untuk bersikap sopan dan melayani tamu yang datang ke rumah. "Tante mau ketemu-" Belum sempat wanita itu berucap, Mirna muncul dari dalam rumah dengan raut wajah tak senang. "Ada perlu apa datang ke sini?" tanya Mirna tanpa basa-basi. Lestari tersenyum menanggapi. Kini wanita itu sudah duduk di sambut baik oleh keluarga Mirna, terkecuali Mirna sendiri. Ia bersikap acuh terhadap Lestari. "Silahkan di minum, Mbak," kata Nani. "Terima kasih!" ucap Lestari gugup. Na
"Kesempatan bagus nih! Gimana kalau kita beri kejutan juga buat Mbak, Nani?" usul Arya. Darwan tak menanggapi. Dirinya tengah memperhatikan photo Nani yang begitu tampak mempesona di acara pernikahan Kakaknya. Ia dapat semua photo itu dari media sosial. Rupanya ada pula beberapa wartawan yang meliput acara tersebut dikediaman keluarga Nani secara diam-diam. "Eh, Kak?" Arya melirik ponsel Kakaknya. Lalu mengulum senyum. Arya pun melajukan kendaraannya sebelum Darwan menyadari sesuatu. "Ya ampun sampai segitunya memandang photo calon isteri," oceh Arya, usai mereka sampai di sebuah toko Emas. Darwan menggelengkan kepala sembari tersenyum. Matanya beralih pada toko Emas di depan. Halisnya bertaut heran. "Mau ngapain ke sini?" tanya Darwan sembari melirik Arya. "Ada yang mau aku beli! Tunggu sebentar ya, Kak."Arya keluar turun dari mobil. Kemudian berjalan masuk kedalam Toko Emas. Darwan seolah terpancing. Lelaki itu pun ikut turun mengikuti Arya masuk kedalam Toko. "Silahkan, Ma
BrakkkSuara hempasan pintu terhempas begitu kasar."Nani, cepat keluar!" Terdengar seruan Ramlan menerobos masuk rumah dengan nada cukup keras."Iya, Bang." Nani berjalan menghampiri suaminya dari arah dapur, sambil membawa semangkuk mie instan.Melihat isteri gembulnya dari ujung kaki hingga kepala. Kemudian matanya beralih pada mie instan di tangan Nani. Ramlan terlihat sangat kesal. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menunjuk telunjuknya tepat di wajah Nani."Pusing aku lihat kamu yang kerjaannya makan terus. Gak berguna!" bentak Ramlan sembari melotot."Astaghfirullah. Ko, Abang bicara begitu? Ya habisnya Nani laper, Bang dari pagi belum sarapan," cicit Nani memelas."Alasan! Bilang aja ini sarapan kamu yang kelima kali. Ngaku aja kamu?" Di tengah amarah Ramlan yang membuncah, membuat kaki Nani bergetar hebat."Enggak, Bang, Nani gak bohong. Bahkan persediaan makanan tinggal mie instan satu biji, sedangkan beras dan yang lainnya sudah pada habis, Bang.""Ah, sudah. Mulai hari ini
Angga dan Ajril tak tahu harus berbuat apa pada ibunya, agar sang ibu kembali bangun. segala cara Angga sudah lakukan, mulai membangunkan dengan cara memberi pewangian dari kentutnya, mencabut bulu ketiak milik ibunya serta mencubit hidung mancung sang ibu, tetapi hasilnya tetap sama. sang ibu enggan bangun dari pingsan.Sudah hampir satu jam lebih Nani belum sadarkan diri juga. Angga menggeram kewalahan dan hanya duduk terdiam menatap sang ibu.Kini giliran Ajril yang mencoba membangunkan. Ia pun berinisiatif mendekati telinga sang ibu dan membisikan sesuatu, membuat Angga memiringkan kepala terheran-heran.Benar saja yang dilakukan Ajril. Tak berselang lama, sang ibu langsung membuka matanya sambil beringsut bangun."Dimana tempatnya?" ujar Nani antusias. Ia menarik lengan anaknya dengan gesit.Sedangkan Ajril hanya tertawa cekikikan, sembari menahan lengan sang ibu."Ada apa, ko berhenti?" tanya Nani sembari menautkan halis."Jadi, dimana tempat warung makan gratisnya?" tanya Nani