Drttt...Suara handphone berdering mengejutkan Mirna yang sedang buang air kecil dari dalam kamar mandi. "Duh, siapa, sih yang telpon, ganggu aja," gumam Mirna seraya mengambil gayung yang tercebur kedalam bak besar.Usai membersihkan diri, Mirna keluar dengan hati yang plong. Ia pun langsung mengecek nomor siapa yang masuk ke handphonenya. Di rasa tak mengenali nomor tersebut Mirna mengabaikan panggilan itu hingga tujuh kali."Mirna, siapa yang telpon? Angkat saja. Siapa tahu dari orang penting," ujar sang ibu sembari menaruh ranting kayu yang sudah kering dekat tungku api."Gak ah, Bu! Takut orang stres yang telpon.""Ih, kamu tuh jangan begitu. Udah cepat angkat. Berisik ibu dengarnya."Setelah menimbang-nimbang, Mirna pun mau mengangkat telepon tersebut dengan malas."Dengan siapa ini?" tanya Mirna dengan nada ketus."Assalamualaikum. Ini Nani, Mbak. Gimana kabar semuanya? Ya Allah, kangen banget aku, Mbak! Akhirnya aku bisa telpon, Mbak juga. Gimana dengan anak-anak? Ajril dan An
Nani sangat senang setelah mendapat kabar tentang anak-anaknya di kampung, yang rupanya keadaannya baik-baik saja. Rindunya sedikit terobati. Perasaannya serasa plong seakan beban-beban yang selama ini bersemayam dipikirannya telah terbebaskan. Nani sudah tak sabar ingin segera berjumpa dengan anak dan ibu serta kakaknya di kampung. "Nani!" panggil Darwan. Nani menoleh."Ada apa, Pak?" tanya Nani sembari menaruh ponselnya di meja."Ini uang yang saya janjikan untuk kamu!" Nani melongo. Darwan menyerahkan dua gepok uang kepada Nani. "Banyak sekali, Pak. Tapi, kemarin itu bapak sudah belanjakan banyak barang untuk, saya. Duh, bagi saya semua itu lebih dari cukup," tolak Nani dengan cara sopan."Tapi, Nani! Itu gak ada apa-apanya di banding kamu sudah bekerja keras berakting di depan mantan isteri saya.""Ya ampun, Pak! Saya jadi malu. Saya, kan cuma mengikuti perintah, Bapak. Kan, bapak sendiri yang ajarkan.""Meskipun begitu, saya ingin kamu terima ini, Nani. Tolong, jangan menolak!"
"Nani, kamu sedang apa?" tanya Darwan, menghampiri Nani yang tengah membungkuk di bawah meja. Nani sempat kaget. Kepalanya terbentur atap meja yang lumayan membuat ubun-ubun Nani berdenyut."Ambil pisau dapur! Tadi gak sengaja jatuh, Mas," kata Nani sembari meringis dan mengusap kepalanya yang terasa sakit."Kamu gak apa-apa?" tanya Darwan sembari tersenyum menahan tawa."Gak apa-apa, Mas!" Nani kembali membungkuk dan cepat mengambil pisau dapur itu. "Ada apa, Mas? Butuh sesuatu, kah?""Begini, nanti siang ibu saya mau datang. Tolong, kamu masak yang enak-enak, ya? Ibu saya itu paling suka sayur asem, ikan asin dan sambal terasi. Menu yang lainnya bisa kamu inisiatif sendiri! Yang panting tiga menu itu jangan sampai ketinggalan," tutur Darwan. Nani manggut-manggut."Kalau gitu saya mau belanja ke pasar dulu, Mas?""Iya! Makasih sebelumnya, Nani!" Nani mengangguk sembari tersenyum sopan....Nani sampai di sebuah pasar tradisional, setelah ia turun dari angkutan umum. Jarak dari rumah
"Masakan kamu gak terlalu buruk. Yah... Bisa di bilang lumayanlah," ujar Bu Antena sembari mencicipi hidangan yang lain. Nani tersenyum lega. Setidaknya hari ini ia bisa mengatasi masalah masakannya yang cukup menguras tenaga itu. Bahkan untuk dirinya sendiri, Nani belum mengisi perutnya yang sedari tadi sudah keroncongan. "Ini benar kamu yang masak sendiri?" tanya Bu Antena lagi dengan halis beradu."Iya, Nyonya! Saya sendiri yang masak," sahut Nani meyakinkan."Awas ya kalau kamu bohong! Soalnya masakan sebanyak ini saya kurang percaya kamu mengerjakannya sendiri."Bagi Nani, memasak adalah hobinya. Ia tak pernah merasa sulit jika untuk keperluan perut yang semestinya di isi. Maka dari itu, Nani selain senang memasak, ia juga dulu senang makan. Belum juga makanan itu tersaji dengan utuh, makanan yang sudah dimasaknya itu selalu tersisa sedikit. Jangan heran jika Ramlan, mantan suaminya sering marah, karena porsi hidangannya jadi mengurang."Enggak, ko, Nyonya. Ini semua saya yang m
"Mirna, Ajril dan Angga belum bangun?" tanya Nek Idah berbisik pelan."Belum, Bu! Semalam anak-anak bergadang main congklak. Kenapa, Bu?""ibu mau kepasar! Kamu jaga Ajril dan Angga di rumah," kata Nek Idah sembari menentang tas yang sudah lusuh."Tapi, Mirna mau keladang," sahut Mirna yang kini sudah bersiap membawa keranjang dan golok di tangan."Hari ini tak perlu keladang. Ibu ingin memberikan hadiah untuk Ajril yang sedang ulang tahun hari ini. Kamu lupa, ya? Keponakan kamu itu sudah berusia enam tahun," tutur sang ibu."Memangnya ibu punya uang?" tanya Mirna."Kan, ibu dapat uang dari Nani!""Oh, iya. Mirna lupa, Bu. Kalau begitu ibu pergi aja kepasar, biar mereka Mirna yang jaga.""Ya! Ibu hanya pergi sebentar, ko.""Mirna nitip ya, Bu!""Titip apa?" dahi Nek Idah merenggut."Kue lapis!" Mirna nyengir."Aish... Ibu kira kamu nitip apa," gerutu Nek Idah."Pria lajang juga gak apa-apa,Bu. Mirna, sih ikhlas-ikhlas aja menerima!""Iya. Lelaki botak dan bergigi ompong nanti yang ibu
Alex tengah memandang video hingga raut wajahnya memanas, menahan amarah. Video itu kini sedang menjadi tranding topik dan ramai diperbincangkan. Hal yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Rencana yang seharusnya berhasil malah seolah membanting hidupnya pada kehancuran. Alex tak menyangka akan menjadi serumit ini. Ia menyadari tandingannya bukanlah orang sembarangan."Heh, Sialan kamu, Alex!" Alex terperanjat bukan main. Mendapati Panji dan Almira nyelonong masuk kamar hotel miliknya sembarangan. Alex mengumpat. Rupanya Panji dan Almira memaksa pelayan hotel untuk membuka pintu kamar miliknya. Bisa dilihat, wajah dua pelayan itu seperti ketakutan."Mau apa kalian ke sini?" tanya Alex geram pada Panji dan Almira. "Heh, pelayan! Kalian jangan diam aja. Bawa pergi mereka berdua dari sini," perintah Alex pada dua pelayan hotel. Dan, itu langsung mendapat isyarat dari Panji. Dua pelayan itu keluar tanpa peduli perintah dari Alex dan justru hanya menanggapi perintah dari Panji."Mereka gak
Nani tengah memotong wortel di dapur. Dari kamar, Bu Antena menjerit begitu nyaring. Ia berlari keluar dan memanggil Nani cukup keras. Namun yang dipanggil malah anteng dengar musik dari ponselnya."Nani... !" teriak Bu Antena usai melepas handset dari telinga Nani. Repleks Nani kaget. Ia pun langsung menghentikan aktifitas memasaknya."Ada apa, Nyonya?""Ada apa, ada apa. Pantes aja gak dengar panggilan saya, tahunya lagi pakai handset," bentak Bu Antena sambil melotot."Maaf, Nyonya," kata Nani seraya menunduk."Kamu gimana, sih bersihkan kamar saya? Masih kotor tau gak! Cepat bersihkan kecoak itu dari kamar saya!" cerocos Bu Antena. Nada bicaranya selalu tinggi."Kecoak, Nyonya? Gak mungkin di kamar, Nyonya ada kecoak. Saya bersihkan kamar Nonya sampai benar-benar bersih, ko," ucap Nani meyakinkan."Terus, kecoak itu datangnya dari mana jika kamar saya bersih? Kalau di kamar itu ada kecoaknya, artinya kamarnya kotor!" bentak Bu Antena."Kalau gitu saya cek dulu, Nyonya.""Ya sudah s
Angga dan Ajril duduk berdampingan, menikmati nasi kuning buatan nenek. Rasanya sangat lezat. Patut diacungi jempol, sebab masakan nenek tak pernah gagal soal rasa. Sala satunya, Angga yang begitu lahap saat memakan makanannya.Nenek dan Mirna ikut berbaur menemani dua bocah itu. Namun ada yang kurang mengenakan dari wajah Ajril. Bocah itu belum juga mau bicara dan wajahnya sejak tadi masih ditekuk masam."Loh, cucu Nenek kenapa diam aja? Rasanya kurang enak, ya?" tanya sang nenek."Enak ko, Nek! Angga suka!" Angga menanggapi ucapan sang Nenek. Sementara Ajril masih terdiam, tetapi terus menyuap tiap sendok nasi kuning kedalam mulutnya."Nenek bicara sama Ajril, bukan sama kamu," timpal Mirna ketus."Angga mau nambah lagi?" tanya Nenek."Udah kenyang, Nek!" Angga menjawab."Kalau, Ajril mau nambah?" Ajril melirik sang nenek. Beberapa saat hanya terdiam sembari menatap."Mau nambah, Nak?" lagi sang nenek bertanya."Mau, Nek!" sahut Ajril sembari tersenyum.Senyum Nek idah merekah. Ia s
Arya mengangkat telepon. Itu dari Ayahnya. Jelas sekali suara ayahnya terdengar panik. Arya menoleh pada kakaknya. Tersirat jelas jika ia juga tak bisa memungkiri kekhawatiran pada seseorang.Setelah akhirnya ia memutuskan telepon dari sebrang sana. Arya buru-buru mendekati sang kakak."Mamah Ratna hilang," ungkap Arya. Darwan terkejut. " Aku harus segera pulang, Kak!""Kita pulang bersama," kata Darwan. Ia melirik Nani sekilas. " Saya akan datang lagi untuk menagih jawaban dari kamu," ucap Darwan pada Nani. Nani hanya bisa tersenyum tipis.Usai Arya dan Darwan berpamitan pada semua orang, mereka pun akhirnya pergi. Di tengah perjalanan Arya merasa bersalah tak membiarkan kakaknya tetap berada di sana bersama Nani. Bukankah mereka datang kesana untuk melancarkan aksi kakaknya untuk melamar Nani, lantas mengapa jadi begini."Kak, maafin aku karena hal ini rencana kakak jadi gagal terhadap Mbak Nani. seharusnya kakak gak usah menemani aku mencari Mamah. Aku masih bisa mencari sendiri,"
"Kesempatan bagus nih! Gimana kalau kita beri kejutan juga buat Mbak, Nani?" usul Arya. Darwan tak menanggapi. Dirinya tengah memperhatikan photo Nani yang begitu tampak mempesona di acara pernikahan Kakaknya. Ia dapat semua photo itu dari media sosial. Rupanya ada pula beberapa wartawan yang meliput acara tersebut dikediaman keluarga Nani secara diam-diam. "Eh, Kak?" Arya melirik ponsel Kakaknya. Lalu mengulum senyum. Arya pun melajukan kendaraannya sebelum Darwan menyadari sesuatu. "Ya ampun sampai segitunya memandang photo calon isteri," oceh Arya, usai mereka sampai di sebuah toko Emas. Darwan menggelengkan kepala sembari tersenyum. Matanya beralih pada toko Emas di depan. Halisnya bertaut heran. "Mau ngapain ke sini?" tanya Darwan sembari melirik Arya. "Ada yang mau aku beli! Tunggu sebentar ya, Kak."Arya keluar turun dari mobil. Kemudian berjalan masuk kedalam Toko Emas. Darwan seolah terpancing. Lelaki itu pun ikut turun mengikuti Arya masuk kedalam Toko. "Silahkan, Ma
Bel rumah Nani berbunyi. Cukup mengganggu kenyamanan mereka yang sedang beristirahat. Hari ini tak ada yang beraktivitas di luar. Semuanya melakukan kegiatan di dalam rumah, termasuk Nek Idah yang sedang selonjoran menonton televisi bersama Angga dan Ajril. "Nek, biar Angga aja yang buka pintu!" Nek Idah mengangguk setuju. Angga berlari ke arah pintu bersiap untuk membukanya. "Assalamu'alaikum?""Wa'alaikumussalam! Ada yang bisa dibantu? Tante cari siapa?" Angga dengan sopan bertanya pada sang tamu. Ia diajari sang Ibu untuk bersikap sopan dan melayani tamu yang datang ke rumah. "Tante mau ketemu-" Belum sempat wanita itu berucap, Mirna muncul dari dalam rumah dengan raut wajah tak senang. "Ada perlu apa datang ke sini?" tanya Mirna tanpa basa-basi. Lestari tersenyum menanggapi. Kini wanita itu sudah duduk di sambut baik oleh keluarga Mirna, terkecuali Mirna sendiri. Ia bersikap acuh terhadap Lestari. "Silahkan di minum, Mbak," kata Nani. "Terima kasih!" ucap Lestari gugup. Na
"Bu, itu Tante," ucap Angga sembari mengarahkan telunjuknya. Nani mengikuti arah telunjuk anaknya. Halis Nani mengernyit heran. Mirna terus menggerutu panjang. mendekati Nani dan kedua ponakannya secara tergesa. Sementara Roji mengekori Mirna dari belakang. "Mbak, mau kemana?" tanya Nani. Sementara Mirna melenggang melewati Nani tanpa berniat menoleh sedikitpun. Kemudian, Mirna masuk mobil dengan wajah ditekuk. "Bayiku!"Seorang wanita berteriak panik mengejar kereta bayi berhenti tepat di tengah jalan. Mirna mendengar suara teriakan wanita itu dari kejauhan. Tepat di sebelah mobilnya, roda kereta bayi itu rupanya berhenti karena terjebak di sebuah lubang kecil. Mirna langsung keluar dari dalam mobil dan bergegas menyelamatkan bayi itu. Benar saja, sebuah truk hampir mendekat. BrakkkKereta bayi itu hancur akibat tertabrak mobil. Sang ibu bayi itu menjerit histeris dan langsung mendekati kereta bayinya. Rupanya ibu dari sang bayi itu belum mengetahui jika anaknya telah diselamatk
"Gimana, Mbak udah seneng, kan sekarang?" tanya Nani. Usai beres berbelanja. Mirna cengar-cengir setelah memborong puas barang-barang mahal di sebuah pusat berbelanjan. Nani tak mempermasalahkan keinginan Kakaknya, sebab hari ini ia harus membuat mood kakaknya bahagia. "Udah dong. Happy banget! Terima kasih, ya sudah membelikan banyak barang untuk, Mbak?""Iya sama-sama!""Ngomong-ngomong apa gak papa kamu belanjakan, Mbak banyak barang begini, harganya mahal, Nani? Takut uang kamu habis.""Mbak gak perlu pikirkan itu. Aku gak mungkin belanjakan Mbak barang-barang mahal jika aku gak mampu.""Wah, hebat kamu. Ibu udah gak mempermasalahkan kamu untuk jadi terkenal lagi, kan?""Sepertinya sih, enggak.""Berkat Arya semua jadi terungkap. Pantas saja ibu selama ini terlihat beda menyayangi kamu.""Mbak bicara apa, sih. Ibu tak pernah membedakan kita. Walaupun aku pun agak kecewa mengetahui kebenaran ini!" Nani tampak sedih. "Ah, udah gak usah dibahas lagi. Kamu itu tetap keluarga kami. T
"Mah, aku pulang!" teriak Arya usai sampai dirumah. Bu Antena yang sedang menangis lantas terkejut mendapati anaknya kini sudah pulang. "Arya!" Bu Antena berlari kecil menghampiri Arya. Arya sendiri sudah merentangkan tangan, namun bukannya dapat pelukan dirinya malah dapat pukulan bertubi-tubi dari sang ibu. "Dasar anak gak tahu diri. Susah payah, Mamah besarin kamu, didik kamu dengan penuh kasih sayang, tapi balasan kamu seperti ini sama, Mamah. Beberapa hari ini Mamah hampir gila gara-gara mikirin kamu!" omel Bu Antena membabi buta memukuli anaknya. Kini pukulan itu berpindah ke Darwan, sebab Arya bersembunyi dibalik punggung kakaknya. Arya bukannya bersalah malah tertawa kecil. "Udah, Mah. Percuma ngomel, anak seperti Arya ini gak mempan dimarahi. Buang-buang emosi aja!" gerutu Darwan mulai kesal. Darwan lantas menarik tali ransel dipunggung Arya dengan sekali hentakan. "Tanggung jawab," sambung Darwan sembari menghindar dari Bu Antena. Arya kembali hendak dipukuli oleh Bu An
Arya membantu Nek Idah dan pekerja lainnya memetik cabai yang sudah merah dari kebun Nek Idah. Cabai tersebut sudah mulai dipanen. Hasil cabainya akan Nek Idah jual ke Distributor. Usai dari kebun Arya dan Nek Idah pun pulang kerumah. Mereka tampak lelah dan bersiap membersihkan tubuh mereka yang begitu berkeringat. Sebelum Nek Idah masuk kamar. Tanpa sengaja ia melewati kamar Nani. Ia mendengar samar, Nani tengah berbicara sendiri dari dalam kamar. Sontak hal itu membuat kecurigaan pada Nek Idah. Diam-diam Nek Idah masuk dan memergoki Nani sedang siaran langsung di media sosialnya. "Nani!" Nek Idah sudah diambang pintu. Sorot matanya kian tajam. Tersirat jika ia kini sedang marah pada Nani. "Ibu!" buru-buru Nani mematikan ponselnya. Nek Idah pergi keluar. Tangannya ia kepal kuat. Rasa sesak mulai menyelimuti relung hatinya. "Bu!""Berusaha untuk jadi Artis kembali, begitu?" tanya Nek Idah dengan ketus."Nani, minta maaf, Bu! Nani-""Cukup. Ibu gak mau dengar apapun lagi. Begini
Arya kini tinggal bersama keluarga Nani. Nek Idah pun tak keberatan soal itu. Justru mereka sangat senang adanya Arya yang rajin membantu Nek Idah di perkebunan dan Nani di toko baju . Di lain tempat, Darwan dan Bu Antena semakin cemas. Karena sudah dua hari ini Arya tak memberitahu keberadaannya. Hal tersebut membuat Bu Antena sempat ingin melapor ke kantor polisi namun Darwan mencegah, ia mengatakan baru mendapat kabar dari Nani jika Arya ada bersamanya. Itu pun Nani meminta Darwan untuk jangan mengkhawatirkan Arya karena saat ini Arya tak ingin di ganggu. Arya sedang ingin menenangkan diri untuk sementara waktu di kampung Nani. Nani bisa bicara seperti itu sebab, Arya sudah bercerita tentang permasalahannya. Maka dari itu, Nani diam-diam memberitahu keberadaan Arya agar Darwan tak mengkhawatirkan adiknya lagi. Darwan dan Bu Antena akhirnya bisa tenang. Mereka mempercayakan Arya kepada Nani. Jika Arya sekarang baik-baik saja. . . . Janet mengurung diri di kamar. Ramlan sibuk m
Sebelum Arya datang menemui Nani di kampung. Darwan terlebih dahulu menghubungi Arya untuk pulang ke Indonesia. Sehingga, Arya tak bisa menolak permintaan sang kakak. Ia pun langsung terbang ke Indonesia. Saat sampai di rumah Darwan dan Bu Antena langsung menceritakan semuanya tentang siapa Arya yang sebenarnya. Hal itu membuat Arya bergeming. Arya tak percaya jika ia hanya anak angkat Bu Antena. Darwan dan Bu Antena menjelaskan semuanya, berusaha agar Arya memahami keadaan orang tuanya. Akan tetapi, tetap saja, Arya menganggap Kakak dan ibunya hanya bercanda. "Darwan!" teriak Bu Antena dengan turun tergesa-gesa dari lantai dua. "Apa ada, Mah?" "Arya gak ada di kamar! Mamah hubungi juga nomornya gak aktif. Mamah khawatir, Darwan," Bu Antena tampak gelisah. "Mamah, tenang dulu. Mungkin Arya cuma keluar sebentar."Rupanya Arya pergi ke kampung halaman Nani. Ia mengira, dengan bersembunyi di rumah Nani, kakak dan ibunya tak tahu keberadaannya. Arya sudah lama tahu jika Nani tak be