"Nani, kamu sedang apa?" tanya Darwan, menghampiri Nani yang tengah membungkuk di bawah meja. Nani sempat kaget. Kepalanya terbentur atap meja yang lumayan membuat ubun-ubun Nani berdenyut."Ambil pisau dapur! Tadi gak sengaja jatuh, Mas," kata Nani sembari meringis dan mengusap kepalanya yang terasa sakit."Kamu gak apa-apa?" tanya Darwan sembari tersenyum menahan tawa."Gak apa-apa, Mas!" Nani kembali membungkuk dan cepat mengambil pisau dapur itu. "Ada apa, Mas? Butuh sesuatu, kah?""Begini, nanti siang ibu saya mau datang. Tolong, kamu masak yang enak-enak, ya? Ibu saya itu paling suka sayur asem, ikan asin dan sambal terasi. Menu yang lainnya bisa kamu inisiatif sendiri! Yang panting tiga menu itu jangan sampai ketinggalan," tutur Darwan. Nani manggut-manggut."Kalau gitu saya mau belanja ke pasar dulu, Mas?""Iya! Makasih sebelumnya, Nani!" Nani mengangguk sembari tersenyum sopan....Nani sampai di sebuah pasar tradisional, setelah ia turun dari angkutan umum. Jarak dari rumah
"Masakan kamu gak terlalu buruk. Yah... Bisa di bilang lumayanlah," ujar Bu Antena sembari mencicipi hidangan yang lain. Nani tersenyum lega. Setidaknya hari ini ia bisa mengatasi masalah masakannya yang cukup menguras tenaga itu. Bahkan untuk dirinya sendiri, Nani belum mengisi perutnya yang sedari tadi sudah keroncongan. "Ini benar kamu yang masak sendiri?" tanya Bu Antena lagi dengan halis beradu."Iya, Nyonya! Saya sendiri yang masak," sahut Nani meyakinkan."Awas ya kalau kamu bohong! Soalnya masakan sebanyak ini saya kurang percaya kamu mengerjakannya sendiri."Bagi Nani, memasak adalah hobinya. Ia tak pernah merasa sulit jika untuk keperluan perut yang semestinya di isi. Maka dari itu, Nani selain senang memasak, ia juga dulu senang makan. Belum juga makanan itu tersaji dengan utuh, makanan yang sudah dimasaknya itu selalu tersisa sedikit. Jangan heran jika Ramlan, mantan suaminya sering marah, karena porsi hidangannya jadi mengurang."Enggak, ko, Nyonya. Ini semua saya yang m
"Mirna, Ajril dan Angga belum bangun?" tanya Nek Idah berbisik pelan."Belum, Bu! Semalam anak-anak bergadang main congklak. Kenapa, Bu?""ibu mau kepasar! Kamu jaga Ajril dan Angga di rumah," kata Nek Idah sembari menentang tas yang sudah lusuh."Tapi, Mirna mau keladang," sahut Mirna yang kini sudah bersiap membawa keranjang dan golok di tangan."Hari ini tak perlu keladang. Ibu ingin memberikan hadiah untuk Ajril yang sedang ulang tahun hari ini. Kamu lupa, ya? Keponakan kamu itu sudah berusia enam tahun," tutur sang ibu."Memangnya ibu punya uang?" tanya Mirna."Kan, ibu dapat uang dari Nani!""Oh, iya. Mirna lupa, Bu. Kalau begitu ibu pergi aja kepasar, biar mereka Mirna yang jaga.""Ya! Ibu hanya pergi sebentar, ko.""Mirna nitip ya, Bu!""Titip apa?" dahi Nek Idah merenggut."Kue lapis!" Mirna nyengir."Aish... Ibu kira kamu nitip apa," gerutu Nek Idah."Pria lajang juga gak apa-apa,Bu. Mirna, sih ikhlas-ikhlas aja menerima!""Iya. Lelaki botak dan bergigi ompong nanti yang ibu
Alex tengah memandang video hingga raut wajahnya memanas, menahan amarah. Video itu kini sedang menjadi tranding topik dan ramai diperbincangkan. Hal yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Rencana yang seharusnya berhasil malah seolah membanting hidupnya pada kehancuran. Alex tak menyangka akan menjadi serumit ini. Ia menyadari tandingannya bukanlah orang sembarangan."Heh, Sialan kamu, Alex!" Alex terperanjat bukan main. Mendapati Panji dan Almira nyelonong masuk kamar hotel miliknya sembarangan. Alex mengumpat. Rupanya Panji dan Almira memaksa pelayan hotel untuk membuka pintu kamar miliknya. Bisa dilihat, wajah dua pelayan itu seperti ketakutan."Mau apa kalian ke sini?" tanya Alex geram pada Panji dan Almira. "Heh, pelayan! Kalian jangan diam aja. Bawa pergi mereka berdua dari sini," perintah Alex pada dua pelayan hotel. Dan, itu langsung mendapat isyarat dari Panji. Dua pelayan itu keluar tanpa peduli perintah dari Alex dan justru hanya menanggapi perintah dari Panji."Mereka gak
Nani tengah memotong wortel di dapur. Dari kamar, Bu Antena menjerit begitu nyaring. Ia berlari keluar dan memanggil Nani cukup keras. Namun yang dipanggil malah anteng dengar musik dari ponselnya."Nani... !" teriak Bu Antena usai melepas handset dari telinga Nani. Repleks Nani kaget. Ia pun langsung menghentikan aktifitas memasaknya."Ada apa, Nyonya?""Ada apa, ada apa. Pantes aja gak dengar panggilan saya, tahunya lagi pakai handset," bentak Bu Antena sambil melotot."Maaf, Nyonya," kata Nani seraya menunduk."Kamu gimana, sih bersihkan kamar saya? Masih kotor tau gak! Cepat bersihkan kecoak itu dari kamar saya!" cerocos Bu Antena. Nada bicaranya selalu tinggi."Kecoak, Nyonya? Gak mungkin di kamar, Nyonya ada kecoak. Saya bersihkan kamar Nonya sampai benar-benar bersih, ko," ucap Nani meyakinkan."Terus, kecoak itu datangnya dari mana jika kamar saya bersih? Kalau di kamar itu ada kecoaknya, artinya kamarnya kotor!" bentak Bu Antena."Kalau gitu saya cek dulu, Nyonya.""Ya sudah s
Angga dan Ajril duduk berdampingan, menikmati nasi kuning buatan nenek. Rasanya sangat lezat. Patut diacungi jempol, sebab masakan nenek tak pernah gagal soal rasa. Sala satunya, Angga yang begitu lahap saat memakan makanannya.Nenek dan Mirna ikut berbaur menemani dua bocah itu. Namun ada yang kurang mengenakan dari wajah Ajril. Bocah itu belum juga mau bicara dan wajahnya sejak tadi masih ditekuk masam."Loh, cucu Nenek kenapa diam aja? Rasanya kurang enak, ya?" tanya sang nenek."Enak ko, Nek! Angga suka!" Angga menanggapi ucapan sang Nenek. Sementara Ajril masih terdiam, tetapi terus menyuap tiap sendok nasi kuning kedalam mulutnya."Nenek bicara sama Ajril, bukan sama kamu," timpal Mirna ketus."Angga mau nambah lagi?" tanya Nenek."Udah kenyang, Nek!" Angga menjawab."Kalau, Ajril mau nambah?" Ajril melirik sang nenek. Beberapa saat hanya terdiam sembari menatap."Mau nambah, Nak?" lagi sang nenek bertanya."Mau, Nek!" sahut Ajril sembari tersenyum.Senyum Nek idah merekah. Ia s
"Mamah, pamit pulang, ya?" kata Bu Antena. Darwan mencium tangan sang ibu penuh takzim."Iya, Mah!" sahut Darwan sembari tersenyum."Mamah akan kembali lagi nanti, membawa calon isteri pilihan mamah buat kamu," ucap Bu Antena antusias."Gak usah, Mah! Makasih. Darwan bisa cari sendiri!" Tolak Darwan lembut."Oh, tidak bisa. Pokoknya calon isteri pilihan mamah kali ini harus kamu terima. Kalau enggak, mamah akan coret nama kamu dari hati mamah.""Uh, sadis!" Nani berkomentar pelan dibelakang sang majikan."Tapi, Mah. Darwan masih mau sendiri! Darwan belum kepikiran untuk menikah lagi tuk saat ini," ungkap Darwan dengan nada semakin lembut."Iya... tapi, kan kamu bisa saling mengenal dulu lebih dekat. Setelah itu kamu tinggal pikirkan hal lebih jauh bersama dia.""Oke! Darwan ikuti kemauan, mamah. Asal, bila Darwan tak cocok dengan perempuan itu, mamah gak boleh memaksa Darwan, gimana?""Baik!" sang ibu tersenyum sembari masuk kedalam mobil. Darwan melambai kepada Bu Antena. Memandangi m
Entah sudah berapa lama, Nani membuntuti Darwan dari belakang. Matanya tak lepas memperhatikan para perempuan cantik dan para lelaki tampan seperti menunggu antrian sembako. Sayangnya mereka semua tengah menunggu giliran untuk casting.Awalnya semua tak menghiraukan Nani. Namun sejurus kemudian, Darwan justru membuat suasana menjadi hening sejenak."Saya mau kamu jadikan, Nani sebagai pemeran utama di film baru kita," kata Darwan pada Yono sang sutradara."Gak bisa lah, dia mesti ikut casting juga seperti yang lain. Sebab, gue gak tahu kemampuan dia dalam berakting sampai mana," terang Yono."Oh, ya udah. Kamu bisa bawa dia untuk casting terlebih dahulu. Untuk hasilnya saya yakin dia yang terbaik.""Ok! Kita lihat nanti."Beberapa orang, terutama bagi perempuan, mereka memandang remeh Nani dan tersenyum sinis. Namun tak banyak juga beberapa dari mereka hanya terdiam memandangi Nani yang di suruh maju kedepan usai di berikan dialog oleh Yono.Nani masih belum mencerna apa yang baru saja