"Bu, Ajril di sini!" teriak Ajril melambai. Nani celingukan, sebelum menyadari suara anaknya berada tak jauh dari dirinya berdiri."Ajril, tunggu ibu!" Nani segera berlari kecil ke arah anaknya. Ia sangat bahagia bisa bertemu dengan Ajril. Buliran cairan bening menumpahkan segala kerinduan pada bocah lelaki itu. "Ibu sekarang sudah berubah, jadi cantik dan gak punya badan gentong lagi!" Ajril berkomentar seraya cekikikan.Nani menggeleng. Mencium puncak kepala anaknya penuh kasih sayang. "Dimana Abangmu?" tanya Nani mencari Angga di sekitar itu. Tapi, wajah anak sulungnya itu tak terlihat."Abang lagi sama Nenek! Ayo ikut Ajril!" Ajril menarik tangan ibunya, sehingga Nani menurut mengikuti.Langkah kecil bocah laki-laki itu belum juga berhenti. Anehnya, jalan yang ditempuh Nani pun tampak begitu asing di penglihatannya. Sesekali Ajril melirik sang ibu dengan wajah sumringah. "Ibu gak akan pergi lagi kan?" tanya Ajril menatap ibunya penuh harap.Nani berhenti. Terdiam memandangi anak
"Ibu kalian gak pernah ajarkan kalian tentang huruf, ya?" tanya Mirna pada kedua bocah laki-laki itu yang langsung di balas gelengan oleh mereka. "Pantas aja, kalian belum bisa baca dan tulis."Angga dan Ajril tak bohong perihal itu. Itu sebabnya mengapa Angga yang sudah berusia enam tahun belum siap sekolah, karena ia belum mengerti apapun soal belajar. Nani pun belum pernah mengajari kedua anaknya. aktivitasnya selalu diganggu Ramlan dan berakhir perdebatan. Maka dari itu Nani maupun Ramlan lupa untuk berpikir menyekolahkan anaknya. Belum lagi, sekolah di desa itu terbilang masih sedikit. Jarak untuk sampai kesekolah pun terbilang cukup jauh dilalui. Dari masing-masing orangtua akan mengantar anak-anaknya memakai kendaraan. Itu pun sebagian akan menebeng atau membayar orang yang memiliki kendaraan untuk bisa mengantar anak-anaknya kesekolah. Jadi, sangat jarang melihat anak sekolah berjalan kaki melewati rumah Ramlan. Angga dan Ajril kini udah lebih bisa mengerti dengan keadaannya.
Darwan memeriksa notif pesan di ponselnya. Matanya terbuka lebar, ketika mendapati adik semata wayangnya tengah melakukan hal tak senonoh pada seorang wanita. Ia mulai bergerak. Keluar dari kamar untuk menemui sang adik."Ini apa maksudnya?" tanya Darwan sembari menyodorkan ponsel miliknya kearah Arya yang tengah memainkan ponsel di kamar.Arya melirik sejenak. Akan tetapi ekpresinya hanya biasa tak memperlihatkan keterkejutan sedikitpun."Apa benar, laki-laki di video ini adalah kamu?" lagi-lagi Darwan bertanya. Rahangnya kian mengeras, menyembunyikan kekecewaannya."Iya! Itu aku," jawab Arya santai. Ponselnya diletakan di meja nakas. Kemudian Arya mengajak sang kakak untuk duduk bersebelahan dengannya."Biar aku jelaskan sedikit. Laki-laki di video itu memang aku, tapi kenyataannya aku dijebak oleh seseorang," ucap Arya menerangkan."Kamu punya musuh di sana?" tanya Darwan. Ekpresinya masih terlihat kesal pada sang adik.Bagaimana Darwan tak marah dengan kelakuan sang adik. Ia adalah
Nani menyuguhkan tiga gelas kopi kepada teman-teman Majikannya. Ketiga pria itu terkagum-kagum memandangi Nani dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tubuh ramping dan berisi itu begitu mempesona di mata mereka.Nani yang merasa diperhatikan oleh tiga pria tersebut merasa risih. Bahkan hanya sekali lirikan oleh Nani, tiga lelaki itu membeku di tempat. "Makasih, Nani," ucap Darwan sembari mengulas senyum. "Sama-sama, Pak!" Nani menjawab sopan. Ia pun pamit kembali kedapur.Tiga pria itu terus memandangi Nani tanpa berkedip. Darwan yang menyadari ada yang tak beres pada tatapan teman-temannya, berdehem."Diminum Gil, Dion, Parel," kata Darwan, sembari mendekatkan kopi-kopi itu di hadapan teman-temannya."I-iya! Makasih, Wan," ucap Ragil gelagapan.Dion meminum kopi itu tanpa menyadari jika kopinya masih sangat panas. Repleks, Dion terkejut bukan main. Lidahnya ia julurkan karena saking panasnya."Panas!" rintih Dion. Semua yang ada di situ tertawa melihat tingkah Dion yang ceroboh."Mas
"Jadi calon isteri, Bapak? Ini beneran?" tanya Nani dengan wajah yang sudah memerah. "Saya serius! Tapi hanya pura-pura, ko."Nani hampir kegeeran ketika sang majikannya ingin menjadikannya calon isteri. Nyatanya Darwan memintanya hanya untuk bersandiwara."Kenapa, bapak ingin melakukan itu? Kayanya, bapak lebih baik cari perempuan yang benar-benar dianggap sebagai calon isteri, deh.""Masalahnya saya belum menemukan perempuan yang saya sukai. Apalagi waktunya tinggal sehari. Saya gak ada waktu. Kamu mau, kan Nani? Saya akan bayar kamu berapapun jika bonus yang saya berikan kurang di mata kamu.""Tapi, Pak. Gimana kalau saya gak becus berakting? Saya malu dan takut.""Kamu gak perlu takut. Kan ada saya!" Darwan tak sadar telah menyentuh bahu Nani, membuat jantung Nani berdebar begitu cepat. "Kamu mau, kan, Nani?" "Kalau gitu, saya mau, Pak!" Nani, pun akhirnya setuju, dan Darwan sangat senang mendapat jawaban dari Nani. Ini kabar baik untuknya. Almira pasti akan merasa tersaingi..
Acara pesta pernikahan mulai digelar amat meriah oleh sepasang dua pembelai pengantin yang tengah berada di atas pelaminan. Almira atau yang kini sudah menjadi mantan dari isteri Darwan sangat antusias menyambut para tamu yang hadir, tanpa terkecuali sahabat dan rekan bisnis dari suami barunya."Selamat, ya? Cantik banget, sih," ujar para sahabat Almira memberi selamat. "Makasih, loh! Kalian juga sama cantiknya malam ini," sahut Almira sembari menyunggingkan senyum termanisnya.Mereka semua tampak juga menikmati hidangan yang sudah tersedia. Beberapa tamu berbondong-bondong untuk mengantri makanan yang diinginkannya. Sala satunya anak pejabat yang sedari tadi diam mengamati makanan di depannya. Bahkan tak kunjung sedikitpun memakan hidangan tersebut."Kenapa cuma dilihat, sayang? Mau Mamah suapi?" tanya sang ibu pada gadis kecil yang cantik berusia lima tahun itu."Aku gak suka singkong, Mah!" gadis itu beranjak. Kemudian menemui teman-teman sebayanya yang elit."Padahal singkong ini
Drttt...Suara handphone berdering mengejutkan Mirna yang sedang buang air kecil dari dalam kamar mandi. "Duh, siapa, sih yang telpon, ganggu aja," gumam Mirna seraya mengambil gayung yang tercebur kedalam bak besar.Usai membersihkan diri, Mirna keluar dengan hati yang plong. Ia pun langsung mengecek nomor siapa yang masuk ke handphonenya. Di rasa tak mengenali nomor tersebut Mirna mengabaikan panggilan itu hingga tujuh kali."Mirna, siapa yang telpon? Angkat saja. Siapa tahu dari orang penting," ujar sang ibu sembari menaruh ranting kayu yang sudah kering dekat tungku api."Gak ah, Bu! Takut orang stres yang telpon.""Ih, kamu tuh jangan begitu. Udah cepat angkat. Berisik ibu dengarnya."Setelah menimbang-nimbang, Mirna pun mau mengangkat telepon tersebut dengan malas."Dengan siapa ini?" tanya Mirna dengan nada ketus."Assalamualaikum. Ini Nani, Mbak. Gimana kabar semuanya? Ya Allah, kangen banget aku, Mbak! Akhirnya aku bisa telpon, Mbak juga. Gimana dengan anak-anak? Ajril dan An
Nani sangat senang setelah mendapat kabar tentang anak-anaknya di kampung, yang rupanya keadaannya baik-baik saja. Rindunya sedikit terobati. Perasaannya serasa plong seakan beban-beban yang selama ini bersemayam dipikirannya telah terbebaskan. Nani sudah tak sabar ingin segera berjumpa dengan anak dan ibu serta kakaknya di kampung. "Nani!" panggil Darwan. Nani menoleh."Ada apa, Pak?" tanya Nani sembari menaruh ponselnya di meja."Ini uang yang saya janjikan untuk kamu!" Nani melongo. Darwan menyerahkan dua gepok uang kepada Nani. "Banyak sekali, Pak. Tapi, kemarin itu bapak sudah belanjakan banyak barang untuk, saya. Duh, bagi saya semua itu lebih dari cukup," tolak Nani dengan cara sopan."Tapi, Nani! Itu gak ada apa-apanya di banding kamu sudah bekerja keras berakting di depan mantan isteri saya.""Ya ampun, Pak! Saya jadi malu. Saya, kan cuma mengikuti perintah, Bapak. Kan, bapak sendiri yang ajarkan.""Meskipun begitu, saya ingin kamu terima ini, Nani. Tolong, jangan menolak!"