Share

Bab 5

Sore menjelang Malam. Nani manarik napas lelah. Matanya yang sayu, berdiri di depan cermin menatap bayangannya yang bertubuh semakin gempal. Jantungnya berdesir secara tiba-tiba, seperti dirinya terjatuh dan melayang bebas di udara. Ia teringat akan kedua anaknya dikampung.

Setetes air mata terjatuh, bibirnya ikut bergetar. Rindu telah melingkupi relung hatinya di malam sunyi dan di malam pertamanya menjejakan kaki di kota.

Sayang seribu sayang, Nani tidak punya telepon genggam lagi semenjak Ramlan mantan suaminya menyita serta menjual ponselnya dengan paksa. Alasannya untuk meringankan pengeluaran biaya untuk hal tidak penting seperti membeli isi paketan atau pulsa.

Mau tak mau, Nani terpaksa mengalah dari pada harus setiap hari ribut membuat onar sampai-sampai ember, gayung dan panci ikut turun berdendang meramaikan kegaduhan suasana yang semakin panas.

Kembali, Nani hanya merenung terdiam sendiri dalam kerinduan. Kedua pipinya sudah banjir oleh air mata. Sesak terasa menyayat hati tatkala ingatan kenangan bersama Ramlan kembali berputar di memori.

"Angga, Ajril, Ibu kangen nak!" gumam Nani terisak pilu. Nani merosot terduduk lemas bersandar di sisi meja.

Sementara di sisi lain, Angga dan Ajril juga menangis dalam diam sembari pura-pura tertidur di pangkuan neneknya.

Matanya sengaja ia pejamkan tetapi air matanya terus saja menitikan, membasahi baju gamis sang nenek. Merasa ada sesuatu yang basah dipahanya, sang nenek lantas melirik bocah itu.

"Ajril lagi buat danau dipaha nenek ya?"

"Engga ko nek!" Jawab Ajril datar. Suaranya terdengar parau.

"Mungkin perasaan nenek aja. Ajrilkan gak lagi main air comberan. Mana bisa bikin danau," seru Ajril lagi dengan polos. Tangannya mengusap pipinya yang basah.

"Maksud nenek, Air liur kamu kena baju nenek, itu yang nenek maksud buat danau."

"Ini bukan air liur nek, ini air mata," timpal Angga seraya bangun dari pangkuan sang nenek. Neneknya menatap mata Angga yang telah memerah.

"Angga rindu ibu nek, kapan ibu pulang?" isak Angga sesunggukan.

"Ajril juga nek huhu.... Ajril kepingin ikut ibu, Ajril janji nek gak akan nakal lagi!" Mereka berdua menangis makin menjadi, membuat neneknya merasa kasihan dan ikut bersedih.

"Ya Allah jadi kalian sedari tadi menangis karena kangen ibu kalian?" Tanya neneknya. Kedua bocah itu mengangguk bersamaan.

"Mir... Mirna!" sang nenek celingukan sambil memanggil Mirna dengan suara yang hampir tersendat.

"Iya bu, ada apa?" tanya Mirna dari dalam kamarnya.

"Kamu bisa gak telpon Nani sebentar? Kasihan Angga dan Ajril rindu ibunya."

"Loh, kan ibu juga tau, Nani, kan udah ga punya hape!" Mirna berucap seraya keluar dari kamarnya. Rambutnya sedikit berantakan oleh catokan gulung yang ditata asal.

"Ibu sampai lupa. Hmm... gimana kalau kamu telepon Lili aja, siapa tau dia bisa bantu."

"Sebentar ya Mirna coba!"

Tangan Mirna lihai mengutak atik ponselnya dengan cepat dan langsung ia tempelkan benda pipih itu kesebelah telinganya.

"Assalamualaikum Mbak, aku bisa ngobrol sama Nani sebentar, bisa?" ujar Mirna seraya berjalan mondar mandir mengitari Angga, Ajril dan neneknya.

"Waalaikumsalam. Memang ada apa Mbak Mirna? Kebetulan saya lagi gak sama Nani, kemungkinan kalau Mbak mau ngomong sama Nani bisa besok nanti!" terdengar penuturan jelas dari Lili disebrang sana. Mirna sengaja membesarkan speaker ponselnya agar semuanya bisa langsung mendengar seksama.

"Wah ga bisa sekarang gitu Mbak? Soalnya ini penting?"

"Aduh maaf ga bisa! kalau boleh tau penting karena ada apa ya?"

"Ada deh, biasa ponakan lagi pengen ngobrol sebentar sama induknya!"

"Haduh kasiannya. Tapi sayangnya aku beneran gak bisa loh Mbak, gimana kalau nanti besok aja?" Mirna terdiam beberapa saat sembari melirik kedua bocah yang hampir sayu karena mengantuk.

"Ya udah deh ga apa-apa! Besok juga ga masalah."

"Ok, kalau gitu aku tutup dulu telponnya ya Mbak! Assalamualaikum," pamit Lili sebelum akhirnya memutuskan sambungan teleponnya.

"Waalaikumsalam," sahut mereka berbarengan.

"Tuh, kalian denger sendiri, kan! Malam ini gak bisa ngobrol sama ibu kalian dulu, bisanya nanti besok. Kalian harus sabar ya?"

"Ya tante. Tapi janji ya, besok ibu telpon?" Lagi-lagi Ajril masih merengek belum sepenuhnya percaya.

"Kalau tante bohong, kalian boleh tidur di kamar tante, sementara tante tidur di luar sebagai jaminannya!" cetus Mirna meyakinkan.

"Ah, begitu doang ga seru. Lebih seru tante jadi topeng monyet aja sebagai jaminannya!" Angga menimpali.

"Eh ngomong apa barusan. Enak aja cantik-cantik gini disuruh jadi topeng monyet apa kata dunia."

"Dunia pasti bakal bilang kalau tante itu emang cocok jadi topeng monyet."

"Heh, sembarangan kalau ngomong!" Mirna melotot sembari berkacak pinggang.

Sang nenek menutup mulut Ajril yang sedari tadi tak mau kalah nyerocos ngilir kidul dengan tantenya.

"Hustt... sudah-sudah, jangan ribut," cebik sang nenek pada cucu dan anaknya. Kedua bocah itu justru malah menertawakan Mirna.

"Awas ya kalian!" ketus Mirna semakin garang.

Bagi kedua bocah itu, tantenya memang kurang cantik dengan bibir yang maju kedepan alis mencuat tebal. Tetapi masih terlihat manis jika dilihat dari samping.

Mirna adalah wanita yang belum menikah. Orang sekitar sering menjulukinya perawan tua. Karena memang seharusnya ia sudah berkepala tiga. Hanya saja jodohnya belum juga ketemu apalagi sekedar mampir kegubuk jeleknya.

Padahal Mirna sudah sangat ingin memiliki pendamping hidup. Lagi-lagi ia juga sering merasa minder dengan penampilannya, yang memang jika dibandingkan dengan Nani justru Nani lebih cantik meskipun tubuhnya tak lagi seperti senar goyang yang langsing.

"Tante kapan nikahnya?" Ajril lagi-lagi bertanya seperti mengejek. Jelas sang tante langsung melotot kearahnya.

"Ajril!" seru nenek menarik lengan cucunya untuk kembali tidur dipangkuannya.

"Yang pasti tante bakal nikah secepatnya, kalian gak usah khawatir, tante udah punya calon yang ganteng juga tajir melintir!" ujar Mirna dengan angkuh.

"Wah, tante hebat. Siapa tante?" tanya Angga antusias.

"Limintol tau, kan artis papan atas dari korea!" Angga menggeleng.

"Ah, payah. Masa gitu aja gak tau, gak pernah nonton tv ya?"

"Emang gak punya! Sekalinya punya malah dijual sama ayah. Apa-apa selalu dijual sama ayah. Ajril sebel jadinya ga bisa nonton superhero kesukaan Ajril." celoteh Ajril seraya melipat kedua lengannya didada.

"Emang apa tontonan kesukaan Ajril?" tanya sang nenek seraya mengelus puncak kepala Ajril dengan lembut.

"Pokemon!" Ujarnya polos.

Mirna tertawa terbahak-bahak sampai melintir menggebrak pintu kamarnya hingga bergoyang seperti akan roboh.

Sementara ketiga lainnya hanya melongo menatap Mirna nanar.

Saking sedapnya Mirna tertawa, iapun tanpa terasa meneteskan air mata begitu mengingat beberapa tahun lalu. Ia pernah bertemu dengan pria idamannya. di sebuah ladang orang saat ia akan memetik sayuran kacang panjang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status