Sore menjelang Malam. Nani manarik napas lelah. Matanya yang sayu, berdiri di depan cermin menatap bayangannya yang bertubuh semakin gempal. Jantungnya berdesir secara tiba-tiba, seperti dirinya terjatuh dan melayang bebas di udara. Ia teringat akan kedua anaknya dikampung.
Setetes air mata terjatuh, bibirnya ikut bergetar. Rindu telah melingkupi relung hatinya di malam sunyi dan di malam pertamanya menjejakan kaki di kota.Sayang seribu sayang, Nani tidak punya telepon genggam lagi semenjak Ramlan mantan suaminya menyita serta menjual ponselnya dengan paksa. Alasannya untuk meringankan pengeluaran biaya untuk hal tidak penting seperti membeli isi paketan atau pulsa.Mau tak mau, Nani terpaksa mengalah dari pada harus setiap hari ribut membuat onar sampai-sampai ember, gayung dan panci ikut turun berdendang meramaikan kegaduhan suasana yang semakin panas.Kembali, Nani hanya merenung terdiam sendiri dalam kerinduan. Kedua pipinya sudah banjir oleh air mata. Sesak terasa menyayat hati tatkala ingatan kenangan bersama Ramlan kembali berputar di memori."Angga, Ajril, Ibu kangen nak!" gumam Nani terisak pilu. Nani merosot terduduk lemas bersandar di sisi meja.Sementara di sisi lain, Angga dan Ajril juga menangis dalam diam sembari pura-pura tertidur di pangkuan neneknya.Matanya sengaja ia pejamkan tetapi air matanya terus saja menitikan, membasahi baju gamis sang nenek. Merasa ada sesuatu yang basah dipahanya, sang nenek lantas melirik bocah itu."Ajril lagi buat danau dipaha nenek ya?""Engga ko nek!" Jawab Ajril datar. Suaranya terdengar parau."Mungkin perasaan nenek aja. Ajrilkan gak lagi main air comberan. Mana bisa bikin danau," seru Ajril lagi dengan polos. Tangannya mengusap pipinya yang basah."Maksud nenek, Air liur kamu kena baju nenek, itu yang nenek maksud buat danau.""Ini bukan air liur nek, ini air mata," timpal Angga seraya bangun dari pangkuan sang nenek. Neneknya menatap mata Angga yang telah memerah."Angga rindu ibu nek, kapan ibu pulang?" isak Angga sesunggukan."Ajril juga nek huhu.... Ajril kepingin ikut ibu, Ajril janji nek gak akan nakal lagi!" Mereka berdua menangis makin menjadi, membuat neneknya merasa kasihan dan ikut bersedih."Ya Allah jadi kalian sedari tadi menangis karena kangen ibu kalian?" Tanya neneknya. Kedua bocah itu mengangguk bersamaan."Mir... Mirna!" sang nenek celingukan sambil memanggil Mirna dengan suara yang hampir tersendat."Iya bu, ada apa?" tanya Mirna dari dalam kamarnya."Kamu bisa gak telpon Nani sebentar? Kasihan Angga dan Ajril rindu ibunya.""Loh, kan ibu juga tau, Nani, kan udah ga punya hape!" Mirna berucap seraya keluar dari kamarnya. Rambutnya sedikit berantakan oleh catokan gulung yang ditata asal."Ibu sampai lupa. Hmm... gimana kalau kamu telepon Lili aja, siapa tau dia bisa bantu.""Sebentar ya Mirna coba!"Tangan Mirna lihai mengutak atik ponselnya dengan cepat dan langsung ia tempelkan benda pipih itu kesebelah telinganya."Assalamualaikum Mbak, aku bisa ngobrol sama Nani sebentar, bisa?" ujar Mirna seraya berjalan mondar mandir mengitari Angga, Ajril dan neneknya."Waalaikumsalam. Memang ada apa Mbak Mirna? Kebetulan saya lagi gak sama Nani, kemungkinan kalau Mbak mau ngomong sama Nani bisa besok nanti!" terdengar penuturan jelas dari Lili disebrang sana. Mirna sengaja membesarkan speaker ponselnya agar semuanya bisa langsung mendengar seksama."Wah ga bisa sekarang gitu Mbak? Soalnya ini penting?""Aduh maaf ga bisa! kalau boleh tau penting karena ada apa ya?""Ada deh, biasa ponakan lagi pengen ngobrol sebentar sama induknya!""Haduh kasiannya. Tapi sayangnya aku beneran gak bisa loh Mbak, gimana kalau nanti besok aja?" Mirna terdiam beberapa saat sembari melirik kedua bocah yang hampir sayu karena mengantuk."Ya udah deh ga apa-apa! Besok juga ga masalah.""Ok, kalau gitu aku tutup dulu telponnya ya Mbak! Assalamualaikum," pamit Lili sebelum akhirnya memutuskan sambungan teleponnya."Waalaikumsalam," sahut mereka berbarengan."Tuh, kalian denger sendiri, kan! Malam ini gak bisa ngobrol sama ibu kalian dulu, bisanya nanti besok. Kalian harus sabar ya?""Ya tante. Tapi janji ya, besok ibu telpon?" Lagi-lagi Ajril masih merengek belum sepenuhnya percaya."Kalau tante bohong, kalian boleh tidur di kamar tante, sementara tante tidur di luar sebagai jaminannya!" cetus Mirna meyakinkan."Ah, begitu doang ga seru. Lebih seru tante jadi topeng monyet aja sebagai jaminannya!" Angga menimpali."Eh ngomong apa barusan. Enak aja cantik-cantik gini disuruh jadi topeng monyet apa kata dunia.""Dunia pasti bakal bilang kalau tante itu emang cocok jadi topeng monyet.""Heh, sembarangan kalau ngomong!" Mirna melotot sembari berkacak pinggang.Sang nenek menutup mulut Ajril yang sedari tadi tak mau kalah nyerocos ngilir kidul dengan tantenya."Hustt... sudah-sudah, jangan ribut," cebik sang nenek pada cucu dan anaknya. Kedua bocah itu justru malah menertawakan Mirna."Awas ya kalian!" ketus Mirna semakin garang.Bagi kedua bocah itu, tantenya memang kurang cantik dengan bibir yang maju kedepan alis mencuat tebal. Tetapi masih terlihat manis jika dilihat dari samping.Mirna adalah wanita yang belum menikah. Orang sekitar sering menjulukinya perawan tua. Karena memang seharusnya ia sudah berkepala tiga. Hanya saja jodohnya belum juga ketemu apalagi sekedar mampir kegubuk jeleknya.Padahal Mirna sudah sangat ingin memiliki pendamping hidup. Lagi-lagi ia juga sering merasa minder dengan penampilannya, yang memang jika dibandingkan dengan Nani justru Nani lebih cantik meskipun tubuhnya tak lagi seperti senar goyang yang langsing."Tante kapan nikahnya?" Ajril lagi-lagi bertanya seperti mengejek. Jelas sang tante langsung melotot kearahnya."Ajril!" seru nenek menarik lengan cucunya untuk kembali tidur dipangkuannya."Yang pasti tante bakal nikah secepatnya, kalian gak usah khawatir, tante udah punya calon yang ganteng juga tajir melintir!" ujar Mirna dengan angkuh."Wah, tante hebat. Siapa tante?" tanya Angga antusias."Limintol tau, kan artis papan atas dari korea!" Angga menggeleng."Ah, payah. Masa gitu aja gak tau, gak pernah nonton tv ya?""Emang gak punya! Sekalinya punya malah dijual sama ayah. Apa-apa selalu dijual sama ayah. Ajril sebel jadinya ga bisa nonton superhero kesukaan Ajril." celoteh Ajril seraya melipat kedua lengannya didada."Emang apa tontonan kesukaan Ajril?" tanya sang nenek seraya mengelus puncak kepala Ajril dengan lembut."Pokemon!" Ujarnya polos.Mirna tertawa terbahak-bahak sampai melintir menggebrak pintu kamarnya hingga bergoyang seperti akan roboh.Sementara ketiga lainnya hanya melongo menatap Mirna nanar.Saking sedapnya Mirna tertawa, iapun tanpa terasa meneteskan air mata begitu mengingat beberapa tahun lalu. Ia pernah bertemu dengan pria idamannya. di sebuah ladang orang saat ia akan memetik sayuran kacang panjang."Abang, kapan mau nikahin Mirna?" tanya Mirna sembari bergelayut manja pada kekasihnya."Sejujurnya Abang juga udah gak sabar buat segera nikahin kamu, tapi,""Tapi kenapa Bang?""Abang belum bicarakan ini pada orangtua Abang!""Jadi begitu." Mirna menunduk lesu."Kamu mau, kan Abang kenalin langsung ke mereka?" Dengan tersipu malu, Mirna mengangguk."Sekarang saja! Tapi sebelum itu boleh tidak Abang buka masker kamu? Abang ingin melihat wajah cantikmu sebentar saja, sayang!" Di panggil sayang oleh sang kekasih membuat Mirna hampir melayang. Seandainya ini negri dongeng, pastilah ia menyanyi dan menari bersama dengan para monyet."Sayang, ko malah bengong?" Lelaki itu mengguncang bahu Mirna. Tampaknya ia khawatir melihat ekspresi wajah Mirna yang kaku."Engga Bang! Mirna belum bisa sekarang.""Tapi Mirna, memangnya kamu gak mau menikah dengan Abang. Meskipun kita baru kenal dan menjalin hubungan baru dua hari, tapi Abang merasa kita seperti sudah berhubungan sangat lama. Kita telah di
7Ting Nong...Suara bel berbunyi cukup nyaring sampai ke halaman belakang di mana kini Nani berada. Wanita gembul itu tengah memotong rumput yang sudah meninggi juga lebat. Ia gelagapan dan berlari secepat yang dia bisa, sebab beban tubuhnya memberi efek sulit mengayunkan kaki.Jantungnya mulai berdebar, kala pintu hendak di buka Nani. Takut, jika sang tuan terlalu lama menunggu di luar.Namun, bukannya Majikan yang didapati, Nani malah dikejutkan oleh seorang wanita cantik yang usianya hampir sepantar dengannya."Maaf, mau cari siapa?" tanya Nani, saat wanita berambut panjang itu nyelonong masuk ke dalam rumah."Saya mau bertemu dengan pemilik rumah ini," jawab wanita itu dengan angkuh. Ia terlebih dahulu duduk di sofa sebelum di persilahkan. "Kamu siapa? Pembantu baru, kah di rumah ini?""Iya, Bu. Saya masih baru bekerja di rumah ini.""Oh. Kalau begitu, cepat kamu buatkan minuman untuk saya!" Bak seorang Nyonya, wanita itu meminta Nani untuk dibuatkan minuman. Nani menggaruk ten
"Nani?" Pagi-pagi sekali Nani dikejutkan oleh suara Majikannya dari luar kamar. Ia baru selesai shalat subuh. Mukenanya pun baru usai di bereskan. Wanita tambun itu cepat membukakan pintu setelah menjepit rambut dengan asal."Iya, Pak!" "Hari ini adik saya mau datang, mungkin beberapa hari akan menginap di sini. Tolong nanti rapihkan kamar ruang tamu atas ya?" "Siap, Pak! Kalau boleh tau, adiknya laki-laki atau perempuan?""Laki-laki! Muda, ganteng juga masih lajang," terang Darwan sambil terkekeh."Ya ampun, sampai detail begitu, Pak!" gumam Nani tersenyum malu."Biar kamu gak penasaran," sahut Darwan santuy sambil berlalu.____Waktu sudah menunjukan pukul dua belas siang. Saatnya Nani untuk beristirahat sejenak setelah setengah hari mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Saat hendak merebahkan diri di kasur, tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi, membuat Nani kembali terlonjak bukan main. Entah kenapa, bagi Nani suara bel seperti panggilan maut yang sanggup membuat
"Bu, Ajril di sini!" teriak Ajril melambai. Nani celingukan, sebelum menyadari suara anaknya berada tak jauh dari dirinya berdiri."Ajril, tunggu ibu!" Nani segera berlari kecil ke arah anaknya. Ia sangat bahagia bisa bertemu dengan Ajril. Buliran cairan bening menumpahkan segala kerinduan pada bocah lelaki itu. "Ibu sekarang sudah berubah, jadi cantik dan gak punya badan gentong lagi!" Ajril berkomentar seraya cekikikan.Nani menggeleng. Mencium puncak kepala anaknya penuh kasih sayang. "Dimana Abangmu?" tanya Nani mencari Angga di sekitar itu. Tapi, wajah anak sulungnya itu tak terlihat."Abang lagi sama Nenek! Ayo ikut Ajril!" Ajril menarik tangan ibunya, sehingga Nani menurut mengikuti.Langkah kecil bocah laki-laki itu belum juga berhenti. Anehnya, jalan yang ditempuh Nani pun tampak begitu asing di penglihatannya. Sesekali Ajril melirik sang ibu dengan wajah sumringah. "Ibu gak akan pergi lagi kan?" tanya Ajril menatap ibunya penuh harap.Nani berhenti. Terdiam memandangi anak
"Ibu kalian gak pernah ajarkan kalian tentang huruf, ya?" tanya Mirna pada kedua bocah laki-laki itu yang langsung di balas gelengan oleh mereka. "Pantas aja, kalian belum bisa baca dan tulis."Angga dan Ajril tak bohong perihal itu. Itu sebabnya mengapa Angga yang sudah berusia enam tahun belum siap sekolah, karena ia belum mengerti apapun soal belajar. Nani pun belum pernah mengajari kedua anaknya. aktivitasnya selalu diganggu Ramlan dan berakhir perdebatan. Maka dari itu Nani maupun Ramlan lupa untuk berpikir menyekolahkan anaknya. Belum lagi, sekolah di desa itu terbilang masih sedikit. Jarak untuk sampai kesekolah pun terbilang cukup jauh dilalui. Dari masing-masing orangtua akan mengantar anak-anaknya memakai kendaraan. Itu pun sebagian akan menebeng atau membayar orang yang memiliki kendaraan untuk bisa mengantar anak-anaknya kesekolah. Jadi, sangat jarang melihat anak sekolah berjalan kaki melewati rumah Ramlan. Angga dan Ajril kini udah lebih bisa mengerti dengan keadaannya.
Darwan memeriksa notif pesan di ponselnya. Matanya terbuka lebar, ketika mendapati adik semata wayangnya tengah melakukan hal tak senonoh pada seorang wanita. Ia mulai bergerak. Keluar dari kamar untuk menemui sang adik."Ini apa maksudnya?" tanya Darwan sembari menyodorkan ponsel miliknya kearah Arya yang tengah memainkan ponsel di kamar.Arya melirik sejenak. Akan tetapi ekpresinya hanya biasa tak memperlihatkan keterkejutan sedikitpun."Apa benar, laki-laki di video ini adalah kamu?" lagi-lagi Darwan bertanya. Rahangnya kian mengeras, menyembunyikan kekecewaannya."Iya! Itu aku," jawab Arya santai. Ponselnya diletakan di meja nakas. Kemudian Arya mengajak sang kakak untuk duduk bersebelahan dengannya."Biar aku jelaskan sedikit. Laki-laki di video itu memang aku, tapi kenyataannya aku dijebak oleh seseorang," ucap Arya menerangkan."Kamu punya musuh di sana?" tanya Darwan. Ekpresinya masih terlihat kesal pada sang adik.Bagaimana Darwan tak marah dengan kelakuan sang adik. Ia adalah
Nani menyuguhkan tiga gelas kopi kepada teman-teman Majikannya. Ketiga pria itu terkagum-kagum memandangi Nani dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tubuh ramping dan berisi itu begitu mempesona di mata mereka.Nani yang merasa diperhatikan oleh tiga pria tersebut merasa risih. Bahkan hanya sekali lirikan oleh Nani, tiga lelaki itu membeku di tempat. "Makasih, Nani," ucap Darwan sembari mengulas senyum. "Sama-sama, Pak!" Nani menjawab sopan. Ia pun pamit kembali kedapur.Tiga pria itu terus memandangi Nani tanpa berkedip. Darwan yang menyadari ada yang tak beres pada tatapan teman-temannya, berdehem."Diminum Gil, Dion, Parel," kata Darwan, sembari mendekatkan kopi-kopi itu di hadapan teman-temannya."I-iya! Makasih, Wan," ucap Ragil gelagapan.Dion meminum kopi itu tanpa menyadari jika kopinya masih sangat panas. Repleks, Dion terkejut bukan main. Lidahnya ia julurkan karena saking panasnya."Panas!" rintih Dion. Semua yang ada di situ tertawa melihat tingkah Dion yang ceroboh."Mas
"Jadi calon isteri, Bapak? Ini beneran?" tanya Nani dengan wajah yang sudah memerah. "Saya serius! Tapi hanya pura-pura, ko."Nani hampir kegeeran ketika sang majikannya ingin menjadikannya calon isteri. Nyatanya Darwan memintanya hanya untuk bersandiwara."Kenapa, bapak ingin melakukan itu? Kayanya, bapak lebih baik cari perempuan yang benar-benar dianggap sebagai calon isteri, deh.""Masalahnya saya belum menemukan perempuan yang saya sukai. Apalagi waktunya tinggal sehari. Saya gak ada waktu. Kamu mau, kan Nani? Saya akan bayar kamu berapapun jika bonus yang saya berikan kurang di mata kamu.""Tapi, Pak. Gimana kalau saya gak becus berakting? Saya malu dan takut.""Kamu gak perlu takut. Kan ada saya!" Darwan tak sadar telah menyentuh bahu Nani, membuat jantung Nani berdebar begitu cepat. "Kamu mau, kan, Nani?" "Kalau gitu, saya mau, Pak!" Nani, pun akhirnya setuju, dan Darwan sangat senang mendapat jawaban dari Nani. Ini kabar baik untuknya. Almira pasti akan merasa tersaingi..