Prang!
Suara menggelegar terdengar ketika aku sedang menyendokkan nasi ke dalam piring. "Udah berapa tahun kamu belajar masak, Adriana?" Aku yang rasanya sudah muak memilih diam tak berniat membalas ataupun menjawab ucapan pria itu. Kembali duduk dan menikmati makanan yang sudah tersedia di atas meja makan. "Bertahun-tahun kerjaan cuma jadi tukang masak, tetap saja nggak becus!" Lagi-lagi cacian yang harus kuterima setiap kali ia ada di rumah. 'Aku benci sama kamu, Mas! Kenapa, sih, cepat sekali kamu kembali ke rumah?' bisik hatiku dalam diam. "Udah nggak bisa ngasih aku keturunan, nggak bisa ngatur uang belanja, masak pun nggak pernah bener!" Mendengar kata-kata tajamnya yang selalu menyalahkanku perihal anak, membuatku naik pitam. Aku berhenti mengunyah makanan yang ada di dalam mulut dan menelannya dengan susah payah. Meletakkan sendok ke atas piring dengan kasar dan memandang wajah pria yang sudah membersamaiku sejak tiga tahun yang lalu itu dengan berani tanpa peduli adanya ayah mertua yang baru kembali dari kebun belakang rumah. "Mas, aku tahu kamu itu capek kerja banting tulang buat aku, tapi apa kamu peduli bagaimana keadaanku saat ini? Apa kamu peduli pada perasaanku saat ini? Setidaknya, apa kamu pernah menanyakan keadaanku ketika aku sakit? Enggak, kan? "Aku juga capek mengurus rumah ini sendirian, memasak sendirian tanpa ada yang mau membantu padahal banyak penghuni rumah ini, mendengar ceramah dan sindiran dari ibumu. Belum lagi cacian dan hinaan dari bibirmu yang dulu berjanji akan membahagiakanku! Mana janjimu itu, Mas? Mana?!" Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk menguasai diri. "Soal uang belanja. Gimana mau cukup, kalau yang dikasih makan itu orang satu rumah. Semuanya aku yang nanggung, mulai dari makanan, air, listrik, bahkan jajan adik-adikmu kadang aku juga yang menanggung. Sedangkan uang yang kamu kasih itu cuma dua juta untuk sebulan! Sadar, Mas, sadar!" Terlahir sebagai seorang wanita dengan rahim yang cukup dalam membuatku sulit untuk memiliki keturunan. Bukan hal yang mustahil, tapi nyatanya sampai sejauh ini kami melangkah, belum juga ada hasil yang menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Mungkin, stres yang berlebihan juga menjadi salah satu penyebabnya. "Adriana!" teriaknya tepat di depan wajahku. Tatapannya tajam bak pisau yang baru saja di asah. "Apa?!" Tak kalah berteriak, aku juga memandang matanya dengan tajam. Aku sudah bertekad dalam hati, tak ingin lagi menjadi wanita yang lemah dan tunduk pada suami toxic seperti dirinya. "Berani kamu melawan pada suamimu, Adriana binti Ruslan? Mau jadi istri durhaka kamu?!" ucapnya mencengkram pipiku dengan kuat sehingga membuatku meringis kesakitan. "Lepasin, Mas! Sakit!" ucapku berusaha melepaskan diri dari cengkramannya. "Aku nggak akan lepasin sebelum kamu tarik kata-katamu tadi!" "Semua itu fakta, Mas! Kamu nggak akan bisa ngelak!" Pria itu melepaskanku setelah ayah mertua berkata, "sudah, Den. Kamu boleh marah, tapi jangan pernah kasar kepada istrimu!" "Tapi, Yah—" "Sudah, selesaikan dengan cara baik-baik!" Tanpa berkata apapun lagi, aku bangkit dan meninggalkan meja makan dengan perasaan benci yang semakin membuncah. Rasa lapar yang sejak tadi kutahan ketika sedang memasak, kini hilang begitu saja. "Adriana, kembali! Aku belum selesai bicara!" Teriakkan itu tak aku acuhkan sedikitpun. Langkah kupercepat meninggalkan ruangan itu menuju ke luar rumah. Aku berjalan menuju salah satu sungai yang ada di kampung ini. Kampung yang beberapa tahun lalu aku jadikan sebagai tempat peraduan setelah menikah dengan Mas Denny. Duduk di atas batu yang ada di pinggir sungai dan menjuntaikan kaki ke dalamnya. Air sungai yang dingin sedikit demi sedikit mampu mengembalikan ketenangan dalam hati. Aku merogoh ponsel yang ada di dalam saku celana. Memeriksa aplikasi chat yang ada di dalamnya, berharap mendapatkan sebuah pesan yang sedari kemarin aku nantikan. Bohong jika tak ada yang mengirimkan pesan padaku, tapi bukan dari dia, orang yang beberapa hari ini membuat mood-ku berantakan karena hilangnya kabar darinya. Mengambil gambar kaki yang tengah berendam di air dan mengirimkan pesan padanya dengan keterangan, "sungguh menenangkan duduk di tepian sungai dengan air yang sedingin es ini. Apalagi bila bersamamu, pasti akan lebih menyenangkan." Aku tahu, pasti hasilnya akan sama dengan pesan-pesanku yang sebelumnya, yaitu centang satu. Pertanda pesan itu belum sampai kepada si penerima. Tak pantang menyerah, aku terus mengirimkan banyak pesan. Tak peduli ia akan marah karena spam chat dariku. [Bang.] [Abang.] [Abang kemana, sih?] [Kenapa nggak ada kabar?] [Adek rindu, tau!] [Abang, aktifin, dong, nomornya!] [*emoticon sedih dan menangis.*] Itulah sebagian spam chat yang aku kirimkan padanya. Akan tetapi, belum ada satupun pesan yang terkirim. Entah apa yang terjadi padanya, sehingga menghilang bak ditelan bumi. Aku memandang gerombolan ikan yang sedang menikmati makananan dari seorang anak berusia sekitar 5 tahun. Lihatlah, ikan-ikan terlihat begitu bahagia ketika anak itu kembali melemparkan jajanan yang ada di tangannya. Tiba-tiba, pikiran ingin kabur menyusup ke dalam angan-anganku. "Apa aku kabur aja, ya, dan kembali ke rumah bapak? Tapi ... bagaimana kalau Mas Denny datang dan marah-marah pada mereka? Enggak-enggak! Bisa-bisa mereka juga akan memarahiku karena dulu tak patuh padanya. Terus, aku harus bagaimana sekarang?" Entahlah. Terkadang aku berpikir bahwa diriku ini cukup beruntung mempunyai suami pekerja keras seperti Mas Denny, tapi di sisi lain, aku merasa menjadi wanita hina yang selalu dipandang rendah oleh keluarganya. Tak jarang, aku akan berlari ke tempat ini demi menenangkan pikiran yang sedang kalut. Tak ada yang aku lakukan. Mungkin, hanya sekedar duduk dan melihat ikan-ikan yang ada di dalam sungai ini. Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 15. 25 WIB. Beberapa orang akan datang ke tempat ini yang kebetulan ada masjid di belakang sungai. Suara azan berkumandang menandakan telah tiba waktu salat. Aku bangkit dan menuju ke arah kamar mandi untuk berwudhu sebelum melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba. Imam telah memulai salat, tapi aku tak bisa fokus sedikitpun. Hinaan yang selalu diucapkan oleh Mas Denny kembali menari di ingatan. Tanpa sadar, aku menangis dalam sujud dengan harapan Sang Maha Kuasa mendengar tangisan kesakitan ini. "Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sayang, tapi tersiksa. Tunjukkanlah jalan-Mu, agar aku tak salah dalam mengambil keputusan. Aamiin." "Adriana!" panggil seseorang dari arah belakang. Suaranya seperti wanita, tapi ... siapa? Aku menoleh demi melihat siapa orang itu. Ternyata dia adalah .... *** Bersambung."Adriana!" panggil seseorang dari arah belakang. Suaranya seperti wanita, tapi ... siapa? Aku menoleh demi melihat siapa orang itu. 'Oh, dia. Pasti Mas Denny mengadu padanya ketika aku pergi tadi,' bisikku dalam hati. Tanpa memperdulikan wanita itu, aku kembali melanjutkan melipat mukena yang tadi aku pakai untuk salat. Setelah selesai, kuletakkan kembali pada tempat semula. "Heh, mantu kurang ajar! Berani-beraninya kamu menghina anakku! Apa maksudnya kamu bilang kalau kamu memberi makan orang satu rumah?!" Aku tak mempedulikan ocehan wanita yang berstatus sebagai ibu mertuaku dan berjalan keluar meninggalkan tempat ibadah itu. "Heh, wanita mandul!" Kakiku berhenti tepat di langkah ke lima. Aku yakin wanita itu masih berada di pelataran masjid ketika mengucapkan kata-kata keji itu. Terdengar langkah kakinya mendekat ke arahku. "Apa? Mau ngelak? Memang begitu, kan, kenyataannya?" "Maaf, ya, Ibu Mertua yang terhormat. Saya tidak mandul! Anda ingat, saya pernah memeri
3"Baiklah, permisi!" Aku yang telah selesai memasukkan kembali pakaianku ke dalam koper, mulai melangkah menuju pintu. Belum sempat menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Mas Denny menarikku dengan kuat. Akibatnya, aku yang terhuyung harus merasakan perih di sekitar tulang pelipis. Samar-samar mendengar seseorang memanggil namaku, tapi aku tak bisa mengenali suara itu hingga akhirnya semuanya gelap dan aku tak bisa mendengar ataupun melihat apapun lagi. "Adriana, bangun, Nak! Apa kamu tidak lelah tertidur selama ini? Apa kamu tidak ingin bangun dan menikmati keindahan senja lagi?" "Siapa itu? Apa maksud dari ucapanmu?" teriakku pada orang itu. "Di mana aku? Ini ada di mana?" tanyaku ketika menyadari bahwa saat ini berada di tempat asing. "Bangunlah, Nak! Jika kamu bangun, maka Ibu akan membawamu pulang bersama kami. Kamu nggak akan terkena tekanan batin lagi tinggal bersama mereka. Ayo lah, Nak, bangun!" Lagi-lagi aku mendengar suara itu. Tunggu-tunggu, sepertinya aku tak asing deng
"Bu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku. Tak tahan lagi jika harus menunggu kembali ke rumah hanya untuk mendapatkan penjelasan tentang keadaanku. "Nak, sebenarnya kenapa kamu bisa ada di rumah sakit ini, semua karena suami dan mertua toxic kamu itu. Awalnya mereka tak mau mengakui perihal kecelakaan yang menimpa kamu, tapi keraguan menyelimuti hati kami. Hingga akhirnya Bapak turun tangan menyelidiki semuanya," jelas Ibu. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang cantik. "Kecelakaan? Tapi bagaimana bisa, Bu? Seingatku kemarin pas mau buka pintu, Mas Denny melarang, tapi setelah itu aku nggak tau lagi apa yang terjadi hingga saat ini." "Iya, Nak. Denny narik tangan kamu kuat sampai kepalamu terbentur sudut meja. Gara-gara kecelakaan itu, kamu harus menjalani operasi di bagian kepala dan akhirnya terbaring di rumah sakit ini sejak satu Minggu yang lalu," jedanya, "dan setelah di selidiki, ternyata awalnya mereka tak mau membawa kamu ke rumah sakit. Mereka sengaja merahasiaka
"Siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?" tanyaku penasaran. "Seseorang yang sangat dipercayai Bapak mampu membahagiakan kamu." Orang kepercayaan Bapak? Yang mampu membahagiakan aku? Apa maksud Ibu sebenarnya? "Apa maksud Ibu?" "Mksud Ibu—" Tok tok tok. Tiba-tiba pintu diketuk sebelum sempat Ibu menjelaskan. "Sebentar, ya, Sayang, Ibu bukain pintu dulu. Siapa tahu orang itu sudah datang." Wanita yang paling aku sayangi itu melangkah menjauhiku menuju ke arah pintu dengan senyum yang begitu mengembang. "Assalamualaikum," ucap seorang pria yang ada di depan pintu. "Waalaikumsalam," jawab Ibu menyambut uluran tangannya. Pria itu menyalami tangan Ibu dengan takzim. "Waalaikumsalam," jawabku dengan lirih. Mereka masuk setelah sedikit berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. "Di, kenalin, ini Sandi. Dosen di salah satu universitas terkenal di Sulawesi Barat. Sandi ini termasuk dosen kebanggan universitas karena pr
Dering ponsel menyadarkanku dari tidur siang ini. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi indah itu tanpa peduli siapa yang menghubungi. Namun, benda pipih itu kembali berdering sebelum sempat aku kembali ke alam bawah sadar. "Siapa, sih, telepon siang bolong begini?" tanyaku dengan suara khas orang yang baru bangun tidur. "Bangun, Dek! Kamu nggak rindu, kah, sama Abang?" Mendengar suara itu, mataku langsung terbuka dengan lebar. Rasa kantuk pun seakan menguap begitu saja. "Bang Renal? Ini beneran Abang?" tanyaku tak percaya. "Kebiasaan, deh, kalau jawab panggilan nggak di cek dulu," protes pria itu. "Ngantuk, Abang. Jadi nggak fokus buat ngecek panggilan. Mana lagi mimpi indah banget lagi tadi itu." "Jadi, Abang ganggu, nih? Yaudah, Abang matiin aja kalau gitu." Terdengar dari ucapannya bahwa pria itu sangat menyesal. "Eh, jangan, dong! Udah dari kemarin tauk aku nungguin telepon dari Abang." Kubuat suaraku semanja mungkin. Aku tahu, aku juga sadar, bahwa ini semua salah
Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk. “Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi? “Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku. “Baik,” jawabku cuek. “Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah. Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali. “Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku. “Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah. “Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju k
“Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya. “Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini. “Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana. “Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.” ‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’ Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik. “Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—” “Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?” “Kamu yakin nggak papa
Aku masih tak percaya bahwa Ibu memaksaku untuk pergi ke pulau seberang untuk menemui seorang wanita yang tengah koma setelah mengalami KDRT oleh suami dan mertuanya. “Wanita itu adalah anak dari sahabat ayah kamu, Bang. Dulu sebelum meninggal, Pak Ruslan dan Ayah kamu sudah menjodohkan kalian—” “Tapi, kan, kejadiannya udah lima belas tahun yang lalu. Aku udah dewasa, Bu, bisa cari jodoh sendiri,” tolakku dengan halus. Aku adalah tulang punggung keluarga sejak usia delapan belas tahun. Tepatnya setelah kelulusan SMA. Aku yang memiliki dua orang adik tak mungkin melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan dan membiarkan Ibu bekerja seorang diri, tapi memang rezeki yang tak kemana, Allah memberikan aku jalan. Seorang pria yang berasal dari pulau seberang memberikanku modal yang cukup besar untuk memulai usaha. Alhamdulillah, usaha toko kelontong yang aku bangun berkembang pesat dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Hingga akhirnya keinginanku untuk kuliah yang dulu hanya di an
--- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,
---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut
Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te
Malam semakin larut, tapi kami semua masih terjaga di ruang tamu. Iqbal terus sibuk dengan laptopnya, mencoba menggali lebih dalam tentang petunjuk yang ia temukan. Bang Sandi duduk di sampingku, tangannya tak pernah lepas menggenggamku seolah takut aku menghilang. "Ini dia," kata Iqbal tiba-tiba, membuat kami berdua terlonjak, "aku nemu sesuatu yang menarik." "Apa?" tanyaku, mendekat ke arahnya. Iqbal memutar layar laptopnya ke arah kami. "Email kalian sempat menerima pesan mencurigakan sebulan lalu, tapi langsung terhapus. Untungnya, ada log yang tersimpan." Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Kalian nggak akan bisa lari dari masa lalu." Aku merasakan darahku membeku. "Masa lalu? Maksudnya apa?" Iqbal menggeleng. "Itu yang harus kita cari tahu. Pesan ini dikirim dari jaringan umum di sekitar kampus, sama seperti alamat IP yang tadi." Bang Sandi tampak berpikir keras. "Jaringan umum? Berarti pelaku bisa siapa saja." "Tepat," sahut Iqbal, "tapi ada satu hal aneh. Aku
Pagi itu, suasana rumah terasa tegang. Aku duduk di meja makan memandangi secangkir kopi yang hampir dingin. Bang Sandi berada di seberangku, menatapku dengan pandangan penuh perhatian. Dia tahu aku masih terguncang oleh foto-foto yang kami temukan tadi malam. "Sayang, kamu yakin nggak mau makan dulu?" tanyanya dengan suaranya yang lembut. Aku menggeleng pelan. "Aku nggak lapar, Bang" Ia mendesah, lalu bangkit dari kursinya dan berjongkok di sampingku. Tangannya menggenggam tanganku erat. "Kamu harus kuat, Sayang. Abang janji kita akan selesaikan ini sama-sama. Abang nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu." Aku menatapnya, mataku mulai berkaca-kaca, "tapi aku takut, Bang. Orang ini tahu segalanya tentang kita. Dia bahkan masuk ke rumah kita, ke kamar kita .…"Bang Sandi mengusap pipiku dengan ibu jarinya. "Abang nggak akan biarin dia nyakitin kamu. Kamu percaya sama Abang, kan?" Aku mengangguk pelan, tapi rasa takut itu tetap ada, seperti duri yang menancap di hatiku. Iqbal
--- Aku menggenggam erat tangan Bang Sandi saat kami kembali ke kantor polisi membawa bukti baru, foto pernikahan yang dirusak dan rekaman kamera pengawas. Pak Ridwan memeriksa semuanya dengan wajah serius, sesekali berdiskusi dengan rekan-rekannya. "Ini jelas tindakan yang disengaja dan terencana," ujarnya sambil menatap kami, "kami akan mencoba melacak orang ini dari jejak yang ditinggalkannya, tapi butuh waktu." Iqbal yang ikut menemani kami ke kantor polisi dan tampak tak sabar. "Pak, apa nggak ada cara lebih cepat? Orang ini udah terlalu berani!" Pak Ridwan menghela napas. "Kami akan memprioritaskan kasus ini, tapi kalian juga harus membantu kami. Ada sesuatu yang mencurigakan atau siapa saja yang pernah bermasalah dengan kalian?" Aku dan Bang Sandi saling berpandangan. Pertanyaan itu menggantung seperti beban di udara. "Aku nggak tahu, Pak," jawabku akhirnya, "kami nggak punya musuh. Kehidupan kami biasa saja." Di sisi lain, Bang Sandi tampak berpikir keras. Ia m
Pagi itu, suasana rumah begitu sunyi meski matahari sudah mulai menembus tirai. Aku duduk di ruang tamu dengan cangkir kopi yang hampir tak kusentuh. Bang Sandi berdiri di dekat jendela, memerhatikan jalan di luar dengan wajah yang sulit dibaca. Ketegangan di antara kami begitu tebal hingga sulit bernapas. “Sayang, kita harus segera ke kantor polisi,” ujarnya tiba-tiba, memecah keheningan. Aku hanya mengangguk tanpa bicara. Semalaman aku hampir tak tidur, memikirkan pesan menyeramkan itu. Siapa pun pelakunya, dia jelas bukan orang sembarangan. Setelah bersiap, kami berangkat ke kantor polisi dengan membawa semua bukti yang ada: foto-foto, pesan di ponsel, dan kertas yang ditemukan di kamar kami. Petugas yang menangani laporan kami, seorang pria bernama Pak Ridwan, terlihat serius mendengarkan cerita kami. “Kami akan menyelidiki ini,” ujarnya sambil mencatat, "tapi seperti yang Anda ketahui, prosesnya mungkin membutuhkan waktu. Sementara itu, saya sarankan Anda lebih berhati-hat
Ketika aku membukanya, isinya membuat darahku mendidih. Isi dari paket itu adalah foto-foto Bang Sandi bersama Rani di masa lalu. Foto-foto itu diambil di berbagai tempat, seperti taman dan kafe. Aku menunjukkan foto itu pada Bang Sandi dengan air mata mengalir. “Bang, aku nggak ngerti kenapa orang ini terus-terusan ganggu kita. Apa yang mereka mau?” Wajah Bang Sandi memerah karena marah. Dia langsung meraih ponsel dan menelepon seseorang. Aku hanya bisa duduk dan merasa ketakutan. Setelah menutup telepon, dia duduk di sampingku dan memelukku erat. “Sayang, Abang minta maaf kamu harus ngalamin ini semua. Abang janji, nggak akan biarin siapa pun rusak rumah tangga kita. Kita cari tahu siapa yang main-main ini, ya?” Aku mengangguk pelan, meski hatiku masih penuh kekhawatiran. “Bang, aku cuma pengen kita hidup tenang. Apa itu terlalu sulit?” Dia menggeleng, lalu mengecup keningku. “Kita akan dapatkan ketenangan itu, Sayang. Abang janji.” --- Hari berikutnya, kami memutuskan
Pria tampan yang berdiri di sampingku itu menggenggam tanganku erat. “Rani, aku ingin kamu tahu, aku menghargai apa yang pernah kita miliki, tapi itu masa lalu. Sekarang, aku adalah suami Adriana, dan dia adalah satu-satunya wanita yang aku cintai.” “Tapi Sandi, kita pernah punya mimpi bersama,” balas Rani dengan suara bergetar. “Mimpi itu sudah mati, Rani,” jawab Bang Sandi tegas, “aku sadar, perasaan itu hanya rasa sayang pada adik sebagai Kakak, bukan kepada pasangan yang diharapkan menjadi pendamping hidup. Aku bahagia dengan Adriana, Ran, dan aku tidak akan biarkan apa pun merusak hubungan kami.” Rani menatap kami dengan tatapan terluka. "Kamu jahat, Sandi! Kamu tega ninggalin aku demi wanita ini!" ucapnya menunjuk tanpa menoleh ke arahku. Bang Sandi melepaskan pegangan tangannya padaku dan berjalan mendekati Rani. "Ran, kamu wanita yang baik. Jujur, aku sayang sama kamu