Share

Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin
Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin
Penulis: Rarha Ira

Bab 1

Prang!

Suara menggelegar terdengar ketika aku sedang menyendokkan nasi ke dalam piring. "Udah berapa tahun kamu belajar masak, Adriana?"

Aku yang rasanya sudah muak memilih diam tak berniat membalas ataupun menjawab ucapan pria itu. Kembali duduk dan menikmati makanan yang sudah tersedia di atas meja makan.

"Bertahun-tahun kerjaan cuma jadi tukang masak, tetap saja nggak becus!" Lagi-lagi cacian yang harus kuterima setiap kali ia ada di rumah.

'Aku benci sama kamu, Mas! Kenapa, sih, cepat sekali kamu kembali ke rumah?' bisik hatiku dalam diam.

"Udah nggak bisa ngasih aku keturunan, nggak bisa ngatur uang belanja, masak pun nggak pernah bener!"

Mendengar kata-kata tajamnya yang selalu menyalahkanku perihal anak, membuatku naik pitam. Aku berhenti mengunyah makanan yang ada di dalam mulut dan menelannya dengan susah payah. Meletakkan sendok ke atas piring dengan kasar dan memandang wajah pria yang sudah membersamaiku sejak tiga tahun yang lalu itu dengan berani tanpa peduli adanya ayah mertua yang baru kembali dari kebun belakang rumah.

"Mas, aku tahu kamu itu capek kerja banting tulang buat aku, tapi apa kamu peduli bagaimana keadaanku saat ini? Apa kamu peduli pada perasaanku saat ini? Setidaknya, apa kamu pernah menanyakan keadaanku ketika aku sakit? Enggak, kan?

"Aku juga capek mengurus rumah ini sendirian, memasak sendirian tanpa ada yang mau membantu padahal banyak penghuni rumah ini, mendengar ceramah dan sindiran dari ibumu. Belum lagi cacian dan hinaan dari bibirmu yang dulu berjanji akan membahagiakanku! Mana janjimu itu, Mas? Mana?!"

Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk menguasai diri.

"Soal uang belanja. Gimana mau cukup, kalau yang dikasih makan itu orang satu rumah. Semuanya aku yang nanggung, mulai dari makanan, air, listrik, bahkan jajan adik-adikmu kadang aku juga yang menanggung. Sedangkan uang yang kamu kasih itu cuma dua juta untuk sebulan! Sadar, Mas, sadar!"

Terlahir sebagai seorang wanita dengan rahim yang cukup dalam membuatku sulit untuk memiliki keturunan. Bukan hal yang mustahil, tapi nyatanya sampai sejauh ini kami melangkah, belum juga ada hasil yang menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Mungkin, stres yang berlebihan juga menjadi salah satu penyebabnya.

"Adriana!" teriaknya tepat di depan wajahku. Tatapannya tajam bak pisau yang baru saja di asah.

"Apa?!" Tak kalah berteriak, aku juga memandang matanya dengan tajam. Aku sudah bertekad dalam hati, tak ingin lagi menjadi wanita yang lemah dan tunduk pada suami toxic seperti dirinya.

"Berani kamu melawan pada suamimu, Adriana binti Ruslan? Mau jadi istri durhaka kamu?!" ucapnya mencengkram pipiku dengan kuat sehingga membuatku meringis kesakitan.

"Lepasin, Mas! Sakit!" ucapku berusaha melepaskan diri dari cengkramannya.

"Aku nggak akan lepasin sebelum kamu tarik kata-katamu tadi!"

"Semua itu fakta, Mas! Kamu nggak akan bisa ngelak!"

Pria itu melepaskanku setelah ayah mertua berkata, "sudah, Den. Kamu boleh marah, tapi jangan pernah kasar kepada istrimu!"

"Tapi, Yah—"

"Sudah, selesaikan dengan cara baik-baik!"

Tanpa berkata apapun lagi, aku bangkit dan meninggalkan meja makan dengan perasaan benci yang semakin membuncah. Rasa lapar yang sejak tadi kutahan ketika sedang memasak, kini hilang begitu saja.

"Adriana, kembali! Aku belum selesai bicara!" Teriakkan itu tak aku acuhkan sedikitpun. Langkah kupercepat meninggalkan ruangan itu menuju ke luar rumah.

Aku berjalan menuju salah satu sungai yang ada di kampung ini. Kampung yang beberapa tahun lalu aku jadikan sebagai tempat peraduan setelah menikah dengan Mas Denny. Duduk di atas batu yang ada di pinggir sungai dan menjuntaikan kaki ke dalamnya. Air sungai yang dingin sedikit demi sedikit mampu mengembalikan ketenangan dalam hati.

Aku merogoh ponsel yang ada di dalam saku celana. Memeriksa aplikasi chat yang ada di dalamnya, berharap mendapatkan sebuah pesan yang sedari kemarin aku nantikan. Bohong jika tak ada yang mengirimkan pesan padaku, tapi bukan dari dia, orang yang beberapa hari ini membuat mood-ku berantakan karena hilangnya kabar darinya.

Mengambil gambar kaki yang tengah berendam di air dan mengirimkan pesan padanya dengan keterangan, "sungguh menenangkan duduk di tepian sungai dengan air yang sedingin es ini. Apalagi bila bersamamu, pasti akan lebih menyenangkan."

Aku tahu, pasti hasilnya akan sama dengan pesan-pesanku yang sebelumnya, yaitu centang satu. Pertanda pesan itu belum sampai kepada si penerima.

Tak pantang menyerah, aku terus mengirimkan banyak pesan. Tak peduli ia akan marah karena spam chat dariku.

[Bang.]

[Abang.]

[Abang kemana, sih?]

[Kenapa nggak ada kabar?]

[Adek rindu, tau!]

[Abang, aktifin, dong, nomornya!]

[*emoticon sedih dan menangis.*]

Itulah sebagian spam chat yang aku kirimkan padanya. Akan tetapi, belum ada satupun pesan yang terkirim. Entah apa yang terjadi padanya, sehingga menghilang bak ditelan bumi.

Aku memandang gerombolan ikan yang sedang menikmati makananan dari seorang anak berusia sekitar 5 tahun. Lihatlah, ikan-ikan terlihat begitu bahagia ketika anak itu kembali melemparkan jajanan yang ada di tangannya. Tiba-tiba, pikiran ingin kabur menyusup ke dalam angan-anganku.

"Apa aku kabur aja, ya, dan kembali ke rumah bapak? Tapi ... bagaimana kalau Mas Denny datang dan marah-marah pada mereka? Enggak-enggak! Bisa-bisa mereka juga akan memarahiku karena dulu tak patuh padanya. Terus, aku harus bagaimana sekarang?"

Entahlah. Terkadang aku berpikir bahwa diriku ini cukup beruntung mempunyai suami pekerja keras seperti Mas Denny, tapi di sisi lain, aku merasa menjadi wanita hina yang selalu dipandang rendah oleh keluarganya.

Tak jarang, aku akan berlari ke tempat ini demi menenangkan pikiran yang sedang kalut. Tak ada yang aku lakukan. Mungkin, hanya sekedar duduk dan melihat ikan-ikan yang ada di dalam sungai ini.

Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 15. 25 WIB. Beberapa orang akan datang ke tempat ini yang kebetulan ada masjid di belakang sungai.

Suara azan berkumandang menandakan telah tiba waktu salat. Aku bangkit dan menuju ke arah kamar mandi untuk berwudhu sebelum melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba.

Imam telah memulai salat, tapi aku tak bisa fokus sedikitpun. Hinaan yang selalu diucapkan oleh Mas Denny kembali menari di ingatan. Tanpa sadar, aku menangis dalam sujud dengan harapan Sang Maha Kuasa mendengar tangisan kesakitan ini.

"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sayang, tapi tersiksa. Tunjukkanlah jalan-Mu, agar aku tak salah dalam mengambil keputusan. Aamiin."

"Adriana!" panggil seseorang dari arah belakang. Suaranya seperti wanita, tapi ... siapa? Aku menoleh demi melihat siapa orang itu. Ternyata dia adalah ....

***

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status