Share

Saatnya mengepakkan sayap

“Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya.

“Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini.

“Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana.

“Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.”

‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’

Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik.

“Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—”

“Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?”

“Kamu yakin nggak papa?” Aku mengangguk dengan pasti demi meyakinkannya.

“Lalu, kenapa kamu memukul-mukul kepala?”

“I–itu … sudahlah, lupakan saja!” Aku berusaha bangkit dari tidurku, duduk dan menghadap ke arahnya. “Aku mau cerita sama Abang, boleh?”

Pria itu mengangguk dan berkata, “tentu saja. Ceritakanlah apapun yang ingin kamu ceritakan!”

“Mati rasa terhadap pasangan itu … wajar nggak, sih, menurut Abang?”

“Menurutku wajar, sih. Apalagi kalau dia kasar, cuek, dan tidak ada respect sama kita.”

“Nah, sebenarnya aku udah sejak lama hilang rasa terhadap Mas Denny. Tahun pertama pernikahan, aku pernah keluar dari rumah karena ucapannya yang begitu menyakiti hati. Cacian dan makian selalu aku terima setiap harinya. Bukan hanya darinya, tapi dari seluruh keluarganya. Aku tak masalah jika hanya dari keluarganya, tapi jika sudah pasangan yang begitu, rasanya duniaku hancur.

“Makanan kurang garam, salah. Terlalu banyak garam, juga salah. Jika itu terjadi setiap hari, masih wajar ia marah, tapi ini hanya sesekali. Manusiawi kalau masih buat kesalahan. Makan maunya yang enak-enak, tapi dia selalu menyalahkanku ketika uang yang diberikannya tak cukup.

“Padahal selama ini aku sudah mengorbankan seluruh hidupku untuknya. Merelakan uang belanja yang tak seberapa untuk memenuhi kebutuhan dapur yang tak ada habisnya. Membagi makanan untuk keluarga besarnya, untuk kedua orang tua dan juga adik-adiknya yang tak tahu diri.

“Masak, menyapu, mengepel, membersihkan seluruh ruangan, mencuci pakaian mereka semua. Bahkan, celana dalam mereka pun aku yang mencuci.” Aku menjeda ucapanku, menarik napas perlahan demi menetralkan perasaan. Air mata pun tak sanggup lagi kutahan.

“Kamu tidak pernah mengadu atau membicarakan itu semua pada suami?” tanya Bang Sandi menghapus air mataku. Kebetulan, letak tissue lebih dekat darinya. Astaga! Manis sekali perlakuannya.

“Pernah, tapi jawaban yang aku terima membuatku menyesal telah mengadu padanya.”

“Apa yang ia katakan?”

“Ia mengatakan, ‘mereka itu keluargaku, jadi sudah sewajarnya mereka ikut menikmati hartaku! Kamu saja yang orang lain, aku nafkahi, kok. Masa keluargaku sendiri enggak,’ begitulah ucapnya.” Terlihat wajah Bang Sandi berubah merah. Entah marah karena perlakuan Mas Denny, atau marah karena ceritaku?

“Bagaimana dengan mertuamu? Apa mereka tidak menasehati anaknya?”

Aku menggeleng pelan. “Aku pernah mengadu pada Ibu mertua tentang ucapan 1anaknya yang selalu kasar padaku. Bukan pembelaan yang aku terima, melainkan hinaan. ‘Biarlah! Dia, kan, anakku. Memang sudah betul apa yang ia ucapkan itu. Kamu itu keluarganya, sedangkan kamu hanya orang asing yang tak sengaja harus di urus oleh putraku.’ Begitulah ucapannya.”

Aku menarik napas dan menghembuskan ya pelan. “Untuk ayah mertua, aku tak begitu dekat dengannya. Hingga untuk mengadu, rasanya tidak mungkin.”

“Lantas, apa yang membuatmu bertahan sampai sejauh ini?”

“Aku pikir, cinta, ketulusan, dan pengorbananku selama ini mampu membuatnya luluh. Namun, ternyata aku salah. Cintaku yang begitu tulus ia jadikan senjata untuk mengunciku. Hingga akhirnya aku mengenal sosok pria yang baik hati dan perhatian. Tutur katanya yang lembut, mampu mengalihkan perhatianku dari Mas Denny. Kami tidak pacaran, hubungan antara kami hanya sekedar teman satu hobi.”

“Pasti dia orang yang spesial sehingga mampu mencuri seluruh perhatianmu.”

Aku tak menanggapi ucapannya. “Aku tahu kalau semua ini salah, tapi itu semua tak lekang dari perlakuan Mas Denny yang menurutku sudah keterlaluan.”

Aku memandang lurus ke arah pintu dengan tatapan kosong. Bibirku memang berbicara, tapi pikiranku kosong. Tiba-tiba kurasakan pelukan yang sangat hangat. Aku tak menolak pelukan itu, tapi tak juga membalasnya.

Aku terhanyut, Isak tangisku pun pecah dalam pelukannya. Pria itu mengelus punggungku dengan sangat lembut tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Siapa pria itu, Di? Apakah dia saingan yang harus aku kalahkan?” tanyanya setelah aku sedikit tenang.

“Dia berasal dari daerah yang sama denganmu, Bang. Namanya Renal Setiawan namanya. Pria yang aku kenal dari salah satu grup di aplikasi biru, kebetulan kami juga satu grup di aplikasi chat berwarna hijau. Kesukaan kami sama, yaitu anime.”

Tiba-tiba Bang Sandi mendorong tubuhku cukup kuat, hingga membuatku hampir terjatuh karena terkejut.

“Eh, maaf. Aku nggak sengaja,” ucapnya menahan tubuhku agar tidak jatuh.

“Aku tahu, pasti setelah ini Abang akan menjauh dan menganggapku wanita yang tidak setia hingga tak pantas diperjuangkan. Aku cukup sadar diri akan hal itu, kok,” ucapku lirih.

“Eh, enggak. Bukan gitu. A–aku, aku ….”

Tok tok tok.

Belum sempat Bang Sandi menyelesaikan ucapannya, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian kami.

“Aldo! Kapan kamu datang? Kenapa nggak kasih kabar ke Kakak?” tanyaku menyambut uluran tangannya dengan pelukan. Sudah sekitar enam bulan tak bertemu, rasanya rindu sekali padanya.

“Aku udah telepon Kakak, loh, tapi nggak ada jawaban. Jadi, ya, aku tanya sama petugas rumah sakit saja dimana ruangan Kakak.” Sontak aku langsung memeriksa ponsel yang ada di atas nakas. Benar saja, ada sepuluh panggilan tak terjawab darinya.

“Ah, iya. Maaf, ya, Kakak nggak denger,” ucapku cengengesan.

“Iya lah. Orang Kakak asik pacaran, kok.” Aku menyikut perutnya yang berada dekat denganku.

“Yaudah, Di, aku pamit dulu, ya! Sudah ada Aldo yang menemanimu di sini,” pamit Bang Sandi dan aku iyakan dengan anggukan.

“Terima kasih banyak atas waktunya, ya, Bang.” Pria itu mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan ini.

“Siapa, tuh, Kak? Kelihatannya dia suka, deh, sama Kakak.”

“Ngaco kamu ah. Mana mungkin dia suka sama Kakak.”

“Kenapa nggak mungkin? Coba, deh, perhatiin tatapannya, dalam banget. Kayak ada sesuatu yang terpendam gitu.”

“Kami baru kenal beberapa hari, Do, itupun karena Ibu yang ngenalin. Jadi, nggak mungkin secepat itu dia suka sama Kakak. Lagipula, status Kakak sekarang juga belum jelas. Entah istri orang, entah pula seorang janda.” Aku mencoba sekuat hati menahan genangan air yang sudah ada di sudut mata agar tak tumpah di hadapan pria kedua yang aku cintai setelah Bapak.

Gender kami memang berbeda, tapi perbedaan usia yang tak terpaut jauh membuat kami begitu dekat. Sedari masa sekolah, Aldo adalah pelindung dari teman-teman yang jahil. Kini, entah apa yang akan ia lakukan setelah tahu perlakuan Mas Denny dan keluarganya yang semena-mena.

Aldo adalah pria yang mandiri, ia sudah terbiasa bekerja sejak tamat sekolah dasar. Setiap sepulang sekolah, ia akan pergi ke ladang-ladang tetangga untuk membantu mereka. Ia akan mendapatkan upah sebesar Rp.30.000-50.000 hingga pukul lima sore. Tak jarang, uang jajanku ke sekolah pun ia yang memberi.

Baru setelah setahun, bisnis mebel Bapak berkembang pesat. Banyak perusahaan besar yang memesan meja, kursi, dan barang-barang lain padanya. Akan tetapi, kemajuan usaha Bapak tak lantas membuat Aldo berpangku tangan. Ia tetap menjadi Aldo yang pekerja keras.

Hingga sampai saat ini, ia sudah memiliki usaha sablon dan membiayai kuliahnya sendiri. Pekerjanya pun banyak dari kalangan mahasiswa tempatnya menimba ilmu.

“Kak, ceritakan padaku kronologi kejadiannya! Akan kubuat pria itu merasakan apa yang Kakak rasakan!” ucap pria itu dengan mata elangnya yang menatap tajam ke luar jendela.

“Jangan, So. Kalau kita membalas mereka dengan perbuatan yang sama, terus, apa bedanya kita dengan mereka?”

“Tapi, Kak—”

“Sudah, tak perlu mengambil alih tugas alam. Biarkan Allah yang memberi mereka balasan. Yang terpenting sekarang adalah, sebentar lagi Kakak akan terbebas dari keluarga toxic itu!”

“Syukurlah kalau Kakak sudah sadar. Hatimu terlalu baik untuk mereka yang tak punya hati!”

Ya, kamu benar, Do. Cukup selama ini mata hatiku tertutup oleh cinta. Sekarang, sudah saatnya aku mengepakkan sayap dan terbang tinggi ke langit yang biru.

Mas Denny, terima kasih tiga tahun yang menyakitkan ini. Kalau bukan karena kalian, mungkin sampai saat ini aku masih menjadi wanita yang lemah.

***

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status