Share

Saatnya mengepakkan sayap

Author: Rarha Ira
last update Last Updated: 2024-10-18 06:25:30

“Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya.

“Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini.

“Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana.

“Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.”

‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’

Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik.

“Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—”

“Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?”

“Kamu yakin nggak papa?” Aku mengangguk dengan pasti demi meyakinkannya.

“Lalu, kenapa kamu memukul-mukul kepala?”

“I–itu … sudahlah, lupakan saja!” Aku berusaha bangkit dari tidurku, duduk dan menghadap ke arahnya. “Aku mau cerita sama Abang, boleh?”

Pria itu mengangguk dan berkata, “tentu saja. Ceritakanlah apapun yang ingin kamu ceritakan!”

“Mati rasa terhadap pasangan itu … wajar nggak, sih, menurut Abang?”

“Menurutku wajar, sih. Apalagi kalau dia kasar, cuek, dan tidak ada respect sama kita.”

“Nah, sebenarnya aku udah sejak lama hilang rasa terhadap Mas Denny. Tahun pertama pernikahan, aku pernah keluar dari rumah karena ucapannya yang begitu menyakiti hati. Cacian dan makian selalu aku terima setiap harinya. Bukan hanya darinya, tapi dari seluruh keluarganya. Aku tak masalah jika hanya dari keluarganya, tapi jika sudah pasangan yang begitu, rasanya duniaku hancur.

“Makanan kurang garam, salah. Terlalu banyak garam, juga salah. Jika itu terjadi setiap hari, masih wajar ia marah, tapi ini hanya sesekali. Manusiawi kalau masih buat kesalahan. Makan maunya yang enak-enak, tapi dia selalu menyalahkanku ketika uang yang diberikannya tak cukup.

“Padahal selama ini aku sudah mengorbankan seluruh hidupku untuknya. Merelakan uang belanja yang tak seberapa untuk memenuhi kebutuhan dapur yang tak ada habisnya. Membagi makanan untuk keluarga besarnya, untuk kedua orang tua dan juga adik-adiknya yang tak tahu diri.

“Masak, menyapu, mengepel, membersihkan seluruh ruangan, mencuci pakaian mereka semua. Bahkan, celana dalam mereka pun aku yang mencuci.” Aku menjeda ucapanku, menarik napas perlahan demi menetralkan perasaan. Air mata pun tak sanggup lagi kutahan.

“Kamu tidak pernah mengadu atau membicarakan itu semua pada suami?” tanya Bang Sandi menghapus air mataku. Kebetulan, letak tissue lebih dekat darinya. Astaga! Manis sekali perlakuannya.

“Pernah, tapi jawaban yang aku terima membuatku menyesal telah mengadu padanya.”

“Apa yang ia katakan?”

“Ia mengatakan, ‘mereka itu keluargaku, jadi sudah sewajarnya mereka ikut menikmati hartaku! Kamu saja yang orang lain, aku nafkahi, kok. Masa keluargaku sendiri enggak,’ begitulah ucapnya.” Terlihat wajah Bang Sandi berubah merah. Entah marah karena perlakuan Mas Denny, atau marah karena ceritaku?

“Bagaimana dengan mertuamu? Apa mereka tidak menasehati anaknya?”

Aku menggeleng pelan. “Aku pernah mengadu pada Ibu mertua tentang ucapan 1anaknya yang selalu kasar padaku. Bukan pembelaan yang aku terima, melainkan hinaan. ‘Biarlah! Dia, kan, anakku. Memang sudah betul apa yang ia ucapkan itu. Kamu itu keluarganya, sedangkan kamu hanya orang asing yang tak sengaja harus di urus oleh putraku.’ Begitulah ucapannya.”

Aku menarik napas dan menghembuskan ya pelan. “Untuk ayah mertua, aku tak begitu dekat dengannya. Hingga untuk mengadu, rasanya tidak mungkin.”

“Lantas, apa yang membuatmu bertahan sampai sejauh ini?”

“Aku pikir, cinta, ketulusan, dan pengorbananku selama ini mampu membuatnya luluh. Namun, ternyata aku salah. Cintaku yang begitu tulus ia jadikan senjata untuk mengunciku. Hingga akhirnya aku mengenal sosok pria yang baik hati dan perhatian. Tutur katanya yang lembut, mampu mengalihkan perhatianku dari Mas Denny. Kami tidak pacaran, hubungan antara kami hanya sekedar teman satu hobi.”

“Pasti dia orang yang spesial sehingga mampu mencuri seluruh perhatianmu.”

Aku tak menanggapi ucapannya. “Aku tahu kalau semua ini salah, tapi itu semua tak lekang dari perlakuan Mas Denny yang menurutku sudah keterlaluan.”

Aku memandang lurus ke arah pintu dengan tatapan kosong. Bibirku memang berbicara, tapi pikiranku kosong. Tiba-tiba kurasakan pelukan yang sangat hangat. Aku tak menolak pelukan itu, tapi tak juga membalasnya.

Aku terhanyut, Isak tangisku pun pecah dalam pelukannya. Pria itu mengelus punggungku dengan sangat lembut tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Siapa pria itu, Di? Apakah dia saingan yang harus aku kalahkan?” tanyanya setelah aku sedikit tenang.

“Dia berasal dari daerah yang sama denganmu, Bang. Namanya Renal Setiawan namanya. Pria yang aku kenal dari salah satu grup di aplikasi biru, kebetulan kami juga satu grup di aplikasi chat berwarna hijau. Kesukaan kami sama, yaitu anime.”

Tiba-tiba Bang Sandi mendorong tubuhku cukup kuat, hingga membuatku hampir terjatuh karena terkejut.

“Eh, maaf. Aku nggak sengaja,” ucapnya menahan tubuhku agar tidak jatuh.

“Aku tahu, pasti setelah ini Abang akan menjauh dan menganggapku wanita yang tidak setia hingga tak pantas diperjuangkan. Aku cukup sadar diri akan hal itu, kok,” ucapku lirih.

“Eh, enggak. Bukan gitu. A–aku, aku ….”

Tok tok tok.

Belum sempat Bang Sandi menyelesaikan ucapannya, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian kami.

“Aldo! Kapan kamu datang? Kenapa nggak kasih kabar ke Kakak?” tanyaku menyambut uluran tangannya dengan pelukan. Sudah sekitar enam bulan tak bertemu, rasanya rindu sekali padanya.

“Aku udah telepon Kakak, loh, tapi nggak ada jawaban. Jadi, ya, aku tanya sama petugas rumah sakit saja dimana ruangan Kakak.” Sontak aku langsung memeriksa ponsel yang ada di atas nakas. Benar saja, ada sepuluh panggilan tak terjawab darinya.

“Ah, iya. Maaf, ya, Kakak nggak denger,” ucapku cengengesan.

“Iya lah. Orang Kakak asik pacaran, kok.” Aku menyikut perutnya yang berada dekat denganku.

“Yaudah, Di, aku pamit dulu, ya! Sudah ada Aldo yang menemanimu di sini,” pamit Bang Sandi dan aku iyakan dengan anggukan.

“Terima kasih banyak atas waktunya, ya, Bang.” Pria itu mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan ini.

“Siapa, tuh, Kak? Kelihatannya dia suka, deh, sama Kakak.”

“Ngaco kamu ah. Mana mungkin dia suka sama Kakak.”

“Kenapa nggak mungkin? Coba, deh, perhatiin tatapannya, dalam banget. Kayak ada sesuatu yang terpendam gitu.”

“Kami baru kenal beberapa hari, Do, itupun karena Ibu yang ngenalin. Jadi, nggak mungkin secepat itu dia suka sama Kakak. Lagipula, status Kakak sekarang juga belum jelas. Entah istri orang, entah pula seorang janda.” Aku mencoba sekuat hati menahan genangan air yang sudah ada di sudut mata agar tak tumpah di hadapan pria kedua yang aku cintai setelah Bapak.

Gender kami memang berbeda, tapi perbedaan usia yang tak terpaut jauh membuat kami begitu dekat. Sedari masa sekolah, Aldo adalah pelindung dari teman-teman yang jahil. Kini, entah apa yang akan ia lakukan setelah tahu perlakuan Mas Denny dan keluarganya yang semena-mena.

Aldo adalah pria yang mandiri, ia sudah terbiasa bekerja sejak tamat sekolah dasar. Setiap sepulang sekolah, ia akan pergi ke ladang-ladang tetangga untuk membantu mereka. Ia akan mendapatkan upah sebesar Rp.30.000-50.000 hingga pukul lima sore. Tak jarang, uang jajanku ke sekolah pun ia yang memberi.

Baru setelah setahun, bisnis mebel Bapak berkembang pesat. Banyak perusahaan besar yang memesan meja, kursi, dan barang-barang lain padanya. Akan tetapi, kemajuan usaha Bapak tak lantas membuat Aldo berpangku tangan. Ia tetap menjadi Aldo yang pekerja keras.

Hingga sampai saat ini, ia sudah memiliki usaha sablon dan membiayai kuliahnya sendiri. Pekerjanya pun banyak dari kalangan mahasiswa tempatnya menimba ilmu.

“Kak, ceritakan padaku kronologi kejadiannya! Akan kubuat pria itu merasakan apa yang Kakak rasakan!” ucap pria itu dengan mata elangnya yang menatap tajam ke luar jendela.

“Jangan, So. Kalau kita membalas mereka dengan perbuatan yang sama, terus, apa bedanya kita dengan mereka?”

“Tapi, Kak—”

“Sudah, tak perlu mengambil alih tugas alam. Biarkan Allah yang memberi mereka balasan. Yang terpenting sekarang adalah, sebentar lagi Kakak akan terbebas dari keluarga toxic itu!”

“Syukurlah kalau Kakak sudah sadar. Hatimu terlalu baik untuk mereka yang tak punya hati!”

Ya, kamu benar, Do. Cukup selama ini mata hatiku tertutup oleh cinta. Sekarang, sudah saatnya aku mengepakkan sayap dan terbang tinggi ke langit yang biru.

Mas Denny, terima kasih tiga tahun yang menyakitkan ini. Kalau bukan karena kalian, mungkin sampai saat ini aku masih menjadi wanita yang lemah.

***

Bersambung.

Related chapters

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    POV Sandi 1. Nama yang sama

    Aku masih tak percaya bahwa Ibu memaksaku untuk pergi ke pulau seberang untuk menemui seorang wanita yang tengah koma setelah mengalami KDRT oleh suami dan mertuanya. “Wanita itu adalah anak dari sahabat ayah kamu, Bang. Dulu sebelum meninggal, Pak Ruslan dan Ayah kamu sudah menjodohkan kalian—” “Tapi, kan, kejadiannya udah lima belas tahun yang lalu. Aku udah dewasa, Bu, bisa cari jodoh sendiri,” tolakku dengan halus. Aku adalah tulang punggung keluarga sejak usia delapan belas tahun. Tepatnya setelah kelulusan SMA. Aku yang memiliki dua orang adik tak mungkin melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan dan membiarkan Ibu bekerja seorang diri, tapi memang rezeki yang tak kemana, Allah memberikan aku jalan. Seorang pria yang berasal dari pulau seberang memberikanku modal yang cukup besar untuk memulai usaha. Alhamdulillah, usaha toko kelontong yang aku bangun berkembang pesat dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Hingga akhirnya keinginanku untuk kuliah yang dulu hanya di an

    Last Updated : 2024-10-18
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Awal Perkenalan

    Saat ini, aku sudah berada di bandara. Penerbanganku masih sekitar tiga puluh menit lagi. Terlihat raut wajah ibu yang begitu bahagia duduk di sebelahku. “Nak, sampaikan salam Ibu pada Adriana dan kedua orang tuanya. Jangan lupa berikan ini padanya.” Wanita surgaku itu menyerahkan sebuah kotak. Aku yakin pasti isinya adalah gelang yang dibuatnya tadi malam. Aku menerima kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. “Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa salat, jangan telat makan, jangan juga lupa kabarin ibu.” “Bu, doain Sandi, ya.” “Doa ibu selalu ada untukmu, Nak.” “Diberitahukan kepada seluruh penumpang dengan tujuan Pekanbaru, pesawat akan lepas landas dalam waktu sepuluh menit lagi. Diharapkan untuk seluruh penumpang segera menuju ke pesawat.” Itu pesawat yang akan aku naiki. “Bu, Sandi berangkat dulu, ya.” Ku cium tangan ibu dengan takzim. “Hati-hati, ya, Nak,” ucap Ibu mengusap kepalaku. Aku mengangguk menanggapi ucapan ibuAku menoleh pada Silvia, mengulurkan tangan pa

    Last Updated : 2024-10-19
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    (POV Sandi end) Rahasia Sandi

    “Nak Sandi, ibu tinggal sebentar, ya, mau cari makan dulu. Kalian ngobrol aja dulu siapa tahu cocok dan bisa jadi pasangan.” Bu Mila tersenyum. “Ba–baik, Bu,” jawabku sedikit gugup. Terlihat senyum tipis di wajahnya dan kemudian beliau mengusap puncak kepala putrinya. Melangkah keluar menuju pintu dan menghilang dibaliknya. Rasa canggung yang semula ada, bertambah besar setelah Bu Mila keluar dari ruangan ini. Bagaimana tidak, dua orang yang baru saling mengenal kini berada di suatu ruangan yang sama hanya berdua saja. Ya, hanya berdua saja! Kalian tahu bagaimana keadaan dan perasaanku saat ini? Berdebar-debar seperti maling yang tengah menghindar dan bersembunyi dari polisi. Aku menyerahkan sebuah kotak yang berisi gelang pemberian Ibu tadi pagi. “Ketika Ibu mendengar aku akan datang hari ini, beliau membuatkan itu untukmu hanya dalam waktu semalam.” “Wah, cantik sekali.” Wanita itu mengeluarkan gelang itu. “Serius hanya semalam? Aku pernah mencoba membuatnya, tapi selalu

    Last Updated : 2024-10-20
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    (POV Adriana) Pria asing

    Keesokan harinya, ibu datang bersama Bang Sandi. Raut wajah Mereka tampak sumringah, tapi …. “Bu, di mana bapak dan Aldo?” tanyaku pada wanita paruh baya kesayanganku itu. “Mereka sedang mengurus administrasi. Hari ini juga, kamu sudah boleh pulang.” Terlihat wajah Ibu begitu bahagia. “Ibu serius?” Aku bangkit dan mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang. Saking bahagianya, rasa sakit yang masih sedikit terasa pun tak ku hiraukan. Tak sengaja aku melirik ke arah Bang Sandi, pria itu terlihat tak kalah bahagianya dengan ibu. Mata teduhnya menatap lekat ke arah kami. Namun, Iya segera menyembunyikan wajahnya ketika sadar aku memperhatikannya. Ada rasa kagum yang diam-diam merasuk ke dalam pikiranku. Bang sandi membantu ibu untuk membereskan barang-barangku. Awalnya aku ingin ikut membantu, tapi mereka melarang. Setelah semuanya selesai dan kami bersiap untuk keluar, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. “Apa yang terjadi di luar?” tanya Ibu memelukku. “Aku akan

    Last Updated : 2024-10-22
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Tentang perjodohan

    Ibu menuntun dan membantuku masuk ke kamar merebahkan tubuh kemah ini diatas kasur yang hampir setahun ini tak kutiduri. “Bu, sebenarnya siapa pria tadi?” Lagi aku bertanya setelah Ibu selesai menyusun barang-barangku ke dalam lemari. “Entahlah, Nak. Ibu juga tidak tahu. Mungkin itu menyangkut urusan bisnis. Sudahlah, tak perlu kamu pikirkan lagi.” Ucapan Ibu ada benarnya juga. Mungkin pria itu adalah salah satu pesaing Bapak di dunia bisnis. Semoga ia tak memiliki niat buruk dan semoga tak akan ada hal buruk yang akan datang. Aamiin. “Ibu ke belakang dulu, ya, ambilin buah buat kamu,” ucap Ibu tersenyum padaku. Aku pun mengangguk dan membalas senyuman Ibu. Wanita kesayanganku itu pun melangkah keluar meninggalkan diriku seorang diri. Tak lama setelah Ibu pergi, terdengar suara ketukan di jendela. Aku terkejut sekaligus takut, karena Ibu bilang, belakangan ini banyak tindak kejahatan di sekitar sini. Namun, rasa penasaran ini jauh lebih besar dari rasa takut itu. Aku bangkit dan

    Last Updated : 2024-10-23
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kedatangan keluarga Sandi

    “Apa yang dikatakan Bang Sandi? Mengapa ibu terlihat bahagia sekali?” tanyaku dengan rasa yang teramat penasaran. Belum sempat ibu menjawab, pria itu pun datang bersama dengan Bapak. Wajah mereka semua terlihat bahagia sekali dengan senyum yang merekah. “Nak, sudah Bapak bilang, kan, kalau Sandi ini pria yang baik. Bapak yakin, bahwa dia akan memberikanmu kasih sayang dan juga kebahagiaan yang berlimpah.” Bapak menepuk pundak Bang Sandi pelan, sedangkan pria itu hanya tersenyum. Perkataan mereka semakin membuatku bingung. “Bu?” Aku melihat ke arah ibu demi meminta penjelasan darinya. Namun, bukannya mendapatkan penjelasan, ucapan ibu semakin membuatku kebingungan. “Udah, kamu tenang aja!” ucap wanita paruh baya itu tersenyum padaku, “yaudah, yuk, kita mulai mempersiapkan semuanya. Soalnya waktu kita nggak banyak. Jangan sampai nanti keteteran pas harinya udah dekat.” Bapak tersenyum, sedangkan Bang Sandi menunduk demi menyembunyikan semu merah di wajahnya yang tampan.

    Last Updated : 2024-10-24
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Siapa dia?

    “Kakak tenang aja, Bang Sandi orangnya baik dan nggak pernah pilih kasih, kok.” Tiba-tiba sebuah suara menimpali dan membuat kami menoleh ke arahnya. “Maaf, bukannya ingin lancang, aku tadi berniat mau ke kamar mandi dan nggak sengaja dengar obrolan kalian.” “Nak Via?” “Via?” ucapku dan Ibu hampir bersamaan. “Sekali lagi maaf, ya, aku benar-benar nggak ada niat buat nguping pembicaraan kalian,” ucap wanita itu menangkupkan tangannya di dada. Aku menghampiri wanita itu dan menurunkan tangannya. “Tak perlu meminta maaf, yang seharusnya berkata seperti itu adalah aku karena meragukan kalian.” “Itu hal yang wajar ketika akan melangsungkan pernikahan, Kak. Teman-temanku juga berpikiran seperti itu ketika akan menikah. Takut bahwa keluarga calon suaminya tak bisa menerima dirinya, tapi, kan, setiap manusia itu berbeda sifat dan pemikirannya, Kak.” Kami membantu Bi Minah mempersiapkan hidangan sambil terus bercerita. Silvia ingin membantu juga, tapi aku melarangnya dan akhirnya wanita

    Last Updated : 2024-10-25
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Tetangga julid

    “Bang Sandi? Ngapain Abang ke sini? Kan, aku udah bilang nggak usah ikut,” ucapku sedikit berbisik setelah pria itu berada di dekatku. “Niatnya tadi mau ke masjid, kata ibu lewat sini, terus nggak sengaja dengar ucapan mereka. Jadinya aku mampir lah.” Penjelasannya cukup masuk akal. Sebab, arah menuju ke sana memang lewat sini. “Oh, jadi ini selingkuhan kamu itu, Adriana? Pinter juga kamu cari cowok ganteng. Mana keliatannya tajir banget lagi.” Lagi-lagi Bu Monic mengucapkan kalimat pedasnya. “Huum. Mana masih perjaka pula,” ucap Bu Anggi, bestie Bu Monic dalam hal ngegosip. Mereka berdua memang cocok. Awalnya aku tak berniat untuk membalas, tapi setelah mendengar ucapan terakhirnya, aku pun naik pitam. “Mungkin dia pakai susuk kali, Bu Anggi, makanya mudah bagi dia cari cowok ganteng plus kaya kek gini.” Aku meletakkan belanjaanku dan berniat ingin membungkam mulut mereka, tapi Bang Sandi menahanku dan ia pun berjalan ke arah mereka. “Sekali lagi kalian berbicara yang tidak-t

    Last Updated : 2024-10-26

Latest chapter

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Masalah Baru Lagi

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    mulai terkuaknya sebuah misteri

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kembali Menemui Arman

    --- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria Berjaket Hitam

    --- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Petunjuk Baru

    ---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    perempuan misterius

    Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Sebuah petunjuk

    Malam semakin larut, tapi kami semua masih terjaga di ruang tamu. Iqbal terus sibuk dengan laptopnya, mencoba menggali lebih dalam tentang petunjuk yang ia temukan. Bang Sandi duduk di sampingku, tangannya tak pernah lepas menggenggamku seolah takut aku menghilang. "Ini dia," kata Iqbal tiba-tiba, membuat kami berdua terlonjak, "aku nemu sesuatu yang menarik." "Apa?" tanyaku, mendekat ke arahnya. Iqbal memutar layar laptopnya ke arah kami. "Email kalian sempat menerima pesan mencurigakan sebulan lalu, tapi langsung terhapus. Untungnya, ada log yang tersimpan." Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Kalian nggak akan bisa lari dari masa lalu." Aku merasakan darahku membeku. "Masa lalu? Maksudnya apa?" Iqbal menggeleng. "Itu yang harus kita cari tahu. Pesan ini dikirim dari jaringan umum di sekitar kampus, sama seperti alamat IP yang tadi." Bang Sandi tampak berpikir keras. "Jaringan umum? Berarti pelaku bisa siapa saja." "Tepat," sahut Iqbal, "tapi ada satu hal aneh. Aku

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Log aktivitas

    Pagi itu, suasana rumah terasa tegang. Aku duduk di meja makan memandangi secangkir kopi yang hampir dingin. Bang Sandi berada di seberangku, menatapku dengan pandangan penuh perhatian. Dia tahu aku masih terguncang oleh foto-foto yang kami temukan tadi malam. "Sayang, kamu yakin nggak mau makan dulu?" tanyanya dengan suaranya yang lembut. Aku menggeleng pelan. "Aku nggak lapar, Bang" Ia mendesah, lalu bangkit dari kursinya dan berjongkok di sampingku. Tangannya menggenggam tanganku erat. "Kamu harus kuat, Sayang. Abang janji kita akan selesaikan ini sama-sama. Abang nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu." Aku menatapnya, mataku mulai berkaca-kaca, "tapi aku takut, Bang. Orang ini tahu segalanya tentang kita. Dia bahkan masuk ke rumah kita, ke kamar kita .…"Bang Sandi mengusap pipiku dengan ibu jarinya. "Abang nggak akan biarin dia nyakitin kamu. Kamu percaya sama Abang, kan?" Aku mengangguk pelan, tapi rasa takut itu tetap ada, seperti duri yang menancap di hatiku. Iqbal

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Amplop Coklat

    --- Aku menggenggam erat tangan Bang Sandi saat kami kembali ke kantor polisi membawa bukti baru, foto pernikahan yang dirusak dan rekaman kamera pengawas. Pak Ridwan memeriksa semuanya dengan wajah serius, sesekali berdiskusi dengan rekan-rekannya. "Ini jelas tindakan yang disengaja dan terencana," ujarnya sambil menatap kami, "kami akan mencoba melacak orang ini dari jejak yang ditinggalkannya, tapi butuh waktu." Iqbal yang ikut menemani kami ke kantor polisi dan tampak tak sabar. "Pak, apa nggak ada cara lebih cepat? Orang ini udah terlalu berani!" Pak Ridwan menghela napas. "Kami akan memprioritaskan kasus ini, tapi kalian juga harus membantu kami. Ada sesuatu yang mencurigakan atau siapa saja yang pernah bermasalah dengan kalian?" Aku dan Bang Sandi saling berpandangan. Pertanyaan itu menggantung seperti beban di udara. "Aku nggak tahu, Pak," jawabku akhirnya, "kami nggak punya musuh. Kehidupan kami biasa saja." Di sisi lain, Bang Sandi tampak berpikir keras. Ia m

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status