“Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya.
“Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini. “Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana. “Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.” ‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’ Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik. “Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—” “Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?” “Kamu yakin nggak papa?” Aku mengangguk dengan pasti demi meyakinkannya. “Lalu, kenapa kamu memukul-mukul kepala?” “I–itu … sudahlah, lupakan saja!” Aku berusaha bangkit dari tidurku, duduk dan menghadap ke arahnya. “Aku mau cerita sama Abang, boleh?” Pria itu mengangguk dan berkata, “tentu saja. Ceritakanlah apapun yang ingin kamu ceritakan!” “Mati rasa terhadap pasangan itu … wajar nggak, sih, menurut Abang?” “Menurutku wajar, sih. Apalagi kalau dia kasar, cuek, dan tidak ada respect sama kita.” “Nah, sebenarnya aku udah sejak lama hilang rasa terhadap Mas Denny. Tahun pertama pernikahan, aku pernah keluar dari rumah karena ucapannya yang begitu menyakiti hati. Cacian dan makian selalu aku terima setiap harinya. Bukan hanya darinya, tapi dari seluruh keluarganya. Aku tak masalah jika hanya dari keluarganya, tapi jika sudah pasangan yang begitu, rasanya duniaku hancur. “Makanan kurang garam, salah. Terlalu banyak garam, juga salah. Jika itu terjadi setiap hari, masih wajar ia marah, tapi ini hanya sesekali. Manusiawi kalau masih buat kesalahan. Makan maunya yang enak-enak, tapi dia selalu menyalahkanku ketika uang yang diberikannya tak cukup. “Padahal selama ini aku sudah mengorbankan seluruh hidupku untuknya. Merelakan uang belanja yang tak seberapa untuk memenuhi kebutuhan dapur yang tak ada habisnya. Membagi makanan untuk keluarga besarnya, untuk kedua orang tua dan juga adik-adiknya yang tak tahu diri. “Masak, menyapu, mengepel, membersihkan seluruh ruangan, mencuci pakaian mereka semua. Bahkan, celana dalam mereka pun aku yang mencuci.” Aku menjeda ucapanku, menarik napas perlahan demi menetralkan perasaan. Air mata pun tak sanggup lagi kutahan. “Kamu tidak pernah mengadu atau membicarakan itu semua pada suami?” tanya Bang Sandi menghapus air mataku. Kebetulan, letak tissue lebih dekat darinya. Astaga! Manis sekali perlakuannya. “Pernah, tapi jawaban yang aku terima membuatku menyesal telah mengadu padanya.” “Apa yang ia katakan?” “Ia mengatakan, ‘mereka itu keluargaku, jadi sudah sewajarnya mereka ikut menikmati hartaku! Kamu saja yang orang lain, aku nafkahi, kok. Masa keluargaku sendiri enggak,’ begitulah ucapnya.” Terlihat wajah Bang Sandi berubah merah. Entah marah karena perlakuan Mas Denny, atau marah karena ceritaku? “Bagaimana dengan mertuamu? Apa mereka tidak menasehati anaknya?” Aku menggeleng pelan. “Aku pernah mengadu pada Ibu mertua tentang ucapan 1anaknya yang selalu kasar padaku. Bukan pembelaan yang aku terima, melainkan hinaan. ‘Biarlah! Dia, kan, anakku. Memang sudah betul apa yang ia ucapkan itu. Kamu itu keluarganya, sedangkan kamu hanya orang asing yang tak sengaja harus di urus oleh putraku.’ Begitulah ucapannya.” Aku menarik napas dan menghembuskan ya pelan. “Untuk ayah mertua, aku tak begitu dekat dengannya. Hingga untuk mengadu, rasanya tidak mungkin.” “Lantas, apa yang membuatmu bertahan sampai sejauh ini?” “Aku pikir, cinta, ketulusan, dan pengorbananku selama ini mampu membuatnya luluh. Namun, ternyata aku salah. Cintaku yang begitu tulus ia jadikan senjata untuk mengunciku. Hingga akhirnya aku mengenal sosok pria yang baik hati dan perhatian. Tutur katanya yang lembut, mampu mengalihkan perhatianku dari Mas Denny. Kami tidak pacaran, hubungan antara kami hanya sekedar teman satu hobi.” “Pasti dia orang yang spesial sehingga mampu mencuri seluruh perhatianmu.” Aku tak menanggapi ucapannya. “Aku tahu kalau semua ini salah, tapi itu semua tak lekang dari perlakuan Mas Denny yang menurutku sudah keterlaluan.” Aku memandang lurus ke arah pintu dengan tatapan kosong. Bibirku memang berbicara, tapi pikiranku kosong. Tiba-tiba kurasakan pelukan yang sangat hangat. Aku tak menolak pelukan itu, tapi tak juga membalasnya. Aku terhanyut, Isak tangisku pun pecah dalam pelukannya. Pria itu mengelus punggungku dengan sangat lembut tanpa mengucapkan sepatah katapun. “Siapa pria itu, Di? Apakah dia saingan yang harus aku kalahkan?” tanyanya setelah aku sedikit tenang. “Dia berasal dari daerah yang sama denganmu, Bang. Namanya Renal Setiawan namanya. Pria yang aku kenal dari salah satu grup di aplikasi biru, kebetulan kami juga satu grup di aplikasi chat berwarna hijau. Kesukaan kami sama, yaitu anime.” Tiba-tiba Bang Sandi mendorong tubuhku cukup kuat, hingga membuatku hampir terjatuh karena terkejut. “Eh, maaf. Aku nggak sengaja,” ucapnya menahan tubuhku agar tidak jatuh. “Aku tahu, pasti setelah ini Abang akan menjauh dan menganggapku wanita yang tidak setia hingga tak pantas diperjuangkan. Aku cukup sadar diri akan hal itu, kok,” ucapku lirih. “Eh, enggak. Bukan gitu. A–aku, aku ….” Tok tok tok. Belum sempat Bang Sandi menyelesaikan ucapannya, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian kami. “Aldo! Kapan kamu datang? Kenapa nggak kasih kabar ke Kakak?” tanyaku menyambut uluran tangannya dengan pelukan. Sudah sekitar enam bulan tak bertemu, rasanya rindu sekali padanya. “Aku udah telepon Kakak, loh, tapi nggak ada jawaban. Jadi, ya, aku tanya sama petugas rumah sakit saja dimana ruangan Kakak.” Sontak aku langsung memeriksa ponsel yang ada di atas nakas. Benar saja, ada sepuluh panggilan tak terjawab darinya. “Ah, iya. Maaf, ya, Kakak nggak denger,” ucapku cengengesan. “Iya lah. Orang Kakak asik pacaran, kok.” Aku menyikut perutnya yang berada dekat denganku. “Yaudah, Di, aku pamit dulu, ya! Sudah ada Aldo yang menemanimu di sini,” pamit Bang Sandi dan aku iyakan dengan anggukan. “Terima kasih banyak atas waktunya, ya, Bang.” Pria itu mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan ini. “Siapa, tuh, Kak? Kelihatannya dia suka, deh, sama Kakak.” “Ngaco kamu ah. Mana mungkin dia suka sama Kakak.” “Kenapa nggak mungkin? Coba, deh, perhatiin tatapannya, dalam banget. Kayak ada sesuatu yang terpendam gitu.” “Kami baru kenal beberapa hari, Do, itupun karena Ibu yang ngenalin. Jadi, nggak mungkin secepat itu dia suka sama Kakak. Lagipula, status Kakak sekarang juga belum jelas. Entah istri orang, entah pula seorang janda.” Aku mencoba sekuat hati menahan genangan air yang sudah ada di sudut mata agar tak tumpah di hadapan pria kedua yang aku cintai setelah Bapak. Gender kami memang berbeda, tapi perbedaan usia yang tak terpaut jauh membuat kami begitu dekat. Sedari masa sekolah, Aldo adalah pelindung dari teman-teman yang jahil. Kini, entah apa yang akan ia lakukan setelah tahu perlakuan Mas Denny dan keluarganya yang semena-mena. Aldo adalah pria yang mandiri, ia sudah terbiasa bekerja sejak tamat sekolah dasar. Setiap sepulang sekolah, ia akan pergi ke ladang-ladang tetangga untuk membantu mereka. Ia akan mendapatkan upah sebesar Rp.30.000-50.000 hingga pukul lima sore. Tak jarang, uang jajanku ke sekolah pun ia yang memberi. Baru setelah setahun, bisnis mebel Bapak berkembang pesat. Banyak perusahaan besar yang memesan meja, kursi, dan barang-barang lain padanya. Akan tetapi, kemajuan usaha Bapak tak lantas membuat Aldo berpangku tangan. Ia tetap menjadi Aldo yang pekerja keras. Hingga sampai saat ini, ia sudah memiliki usaha sablon dan membiayai kuliahnya sendiri. Pekerjanya pun banyak dari kalangan mahasiswa tempatnya menimba ilmu. “Kak, ceritakan padaku kronologi kejadiannya! Akan kubuat pria itu merasakan apa yang Kakak rasakan!” ucap pria itu dengan mata elangnya yang menatap tajam ke luar jendela. “Jangan, So. Kalau kita membalas mereka dengan perbuatan yang sama, terus, apa bedanya kita dengan mereka?” “Tapi, Kak—” “Sudah, tak perlu mengambil alih tugas alam. Biarkan Allah yang memberi mereka balasan. Yang terpenting sekarang adalah, sebentar lagi Kakak akan terbebas dari keluarga toxic itu!” “Syukurlah kalau Kakak sudah sadar. Hatimu terlalu baik untuk mereka yang tak punya hati!” Ya, kamu benar, Do. Cukup selama ini mata hatiku tertutup oleh cinta. Sekarang, sudah saatnya aku mengepakkan sayap dan terbang tinggi ke langit yang biru. Mas Denny, terima kasih tiga tahun yang menyakitkan ini. Kalau bukan karena kalian, mungkin sampai saat ini aku masih menjadi wanita yang lemah. *** Bersambung.Aku masih tak percaya bahwa Ibu memaksaku untuk pergi ke pulau seberang untuk menemui seorang wanita yang tengah koma setelah mengalami KDRT oleh suami dan mertuanya. “Wanita itu adalah anak dari sahabat ayah kamu, Bang. Dulu sebelum meninggal, Pak Ruslan dan Ayah kamu sudah menjodohkan kalian—” “Tapi, kan, kejadiannya udah lima belas tahun yang lalu. Aku udah dewasa, Bu, bisa cari jodoh sendiri,” tolakku dengan halus. Aku adalah tulang punggung keluarga sejak usia delapan belas tahun. Tepatnya setelah kelulusan SMA. Aku yang memiliki dua orang adik tak mungkin melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan dan membiarkan Ibu bekerja seorang diri, tapi memang rezeki yang tak kemana, Allah memberikan aku jalan. Seorang pria yang berasal dari pulau seberang memberikanku modal yang cukup besar untuk memulai usaha. Alhamdulillah, usaha toko kelontong yang aku bangun berkembang pesat dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Hingga akhirnya keinginanku untuk kuliah yang dulu hanya di an
Saat ini, aku sudah berada di bandara. Penerbanganku masih sekitar tiga puluh menit lagi. Terlihat raut wajah ibu yang begitu bahagia duduk di sebelahku. “Nak, sampaikan salam Ibu pada Adriana dan kedua orang tuanya. Jangan lupa berikan ini padanya.” Wanita surgaku itu menyerahkan sebuah kotak. Aku yakin pasti isinya adalah gelang yang dibuatnya tadi malam. Aku menerima kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. “Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa salat, jangan telat makan, jangan juga lupa kabarin ibu.” “Bu, doain Sandi, ya.” “Doa ibu selalu ada untukmu, Nak.” “Diberitahukan kepada seluruh penumpang dengan tujuan Pekanbaru, pesawat akan lepas landas dalam waktu sepuluh menit lagi. Diharapkan untuk seluruh penumpang segera menuju ke pesawat.” Itu pesawat yang akan aku naiki. “Bu, Sandi berangkat dulu, ya.” Ku cium tangan ibu dengan takzim. “Hati-hati, ya, Nak,” ucap Ibu mengusap kepalaku. Aku mengangguk menanggapi ucapan ibuAku menoleh pada Silvia, mengulurkan tangan pa
“Nak Sandi, ibu tinggal sebentar, ya, mau cari makan dulu. Kalian ngobrol aja dulu siapa tahu cocok dan bisa jadi pasangan.” Bu Mila tersenyum. “Ba–baik, Bu,” jawabku sedikit gugup. Terlihat senyum tipis di wajahnya dan kemudian beliau mengusap puncak kepala putrinya. Melangkah keluar menuju pintu dan menghilang dibaliknya. Rasa canggung yang semula ada, bertambah besar setelah Bu Mila keluar dari ruangan ini. Bagaimana tidak, dua orang yang baru saling mengenal kini berada di suatu ruangan yang sama hanya berdua saja. Ya, hanya berdua saja! Kalian tahu bagaimana keadaan dan perasaanku saat ini? Berdebar-debar seperti maling yang tengah menghindar dan bersembunyi dari polisi. Aku menyerahkan sebuah kotak yang berisi gelang pemberian Ibu tadi pagi. “Ketika Ibu mendengar aku akan datang hari ini, beliau membuatkan itu untukmu hanya dalam waktu semalam.” “Wah, cantik sekali.” Wanita itu mengeluarkan gelang itu. “Serius hanya semalam? Aku pernah mencoba membuatnya, tapi selalu
Keesokan harinya, ibu datang bersama Bang Sandi. Raut wajah Mereka tampak sumringah, tapi …. “Bu, di mana bapak dan Aldo?” tanyaku pada wanita paruh baya kesayanganku itu. “Mereka sedang mengurus administrasi. Hari ini juga, kamu sudah boleh pulang.” Terlihat wajah Ibu begitu bahagia. “Ibu serius?” Aku bangkit dan mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang. Saking bahagianya, rasa sakit yang masih sedikit terasa pun tak ku hiraukan. Tak sengaja aku melirik ke arah Bang Sandi, pria itu terlihat tak kalah bahagianya dengan ibu. Mata teduhnya menatap lekat ke arah kami. Namun, Iya segera menyembunyikan wajahnya ketika sadar aku memperhatikannya. Ada rasa kagum yang diam-diam merasuk ke dalam pikiranku. Bang sandi membantu ibu untuk membereskan barang-barangku. Awalnya aku ingin ikut membantu, tapi mereka melarang. Setelah semuanya selesai dan kami bersiap untuk keluar, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. “Apa yang terjadi di luar?” tanya Ibu memelukku. “Aku akan
Ibu menuntun dan membantuku masuk ke kamar merebahkan tubuh kemah ini diatas kasur yang hampir setahun ini tak kutiduri. “Bu, sebenarnya siapa pria tadi?” Lagi aku bertanya setelah Ibu selesai menyusun barang-barangku ke dalam lemari. “Entahlah, Nak. Ibu juga tidak tahu. Mungkin itu menyangkut urusan bisnis. Sudahlah, tak perlu kamu pikirkan lagi.” Ucapan Ibu ada benarnya juga. Mungkin pria itu adalah salah satu pesaing Bapak di dunia bisnis. Semoga ia tak memiliki niat buruk dan semoga tak akan ada hal buruk yang akan datang. Aamiin. “Ibu ke belakang dulu, ya, ambilin buah buat kamu,” ucap Ibu tersenyum padaku. Aku pun mengangguk dan membalas senyuman Ibu. Wanita kesayanganku itu pun melangkah keluar meninggalkan diriku seorang diri. Tak lama setelah Ibu pergi, terdengar suara ketukan di jendela. Aku terkejut sekaligus takut, karena Ibu bilang, belakangan ini banyak tindak kejahatan di sekitar sini. Namun, rasa penasaran ini jauh lebih besar dari rasa takut itu. Aku bangkit dan
“Apa yang dikatakan Bang Sandi? Mengapa ibu terlihat bahagia sekali?” tanyaku dengan rasa yang teramat penasaran. Belum sempat ibu menjawab, pria itu pun datang bersama dengan Bapak. Wajah mereka semua terlihat bahagia sekali dengan senyum yang merekah. “Nak, sudah Bapak bilang, kan, kalau Sandi ini pria yang baik. Bapak yakin, bahwa dia akan memberikanmu kasih sayang dan juga kebahagiaan yang berlimpah.” Bapak menepuk pundak Bang Sandi pelan, sedangkan pria itu hanya tersenyum. Perkataan mereka semakin membuatku bingung. “Bu?” Aku melihat ke arah ibu demi meminta penjelasan darinya. Namun, bukannya mendapatkan penjelasan, ucapan ibu semakin membuatku kebingungan. “Udah, kamu tenang aja!” ucap wanita paruh baya itu tersenyum padaku, “yaudah, yuk, kita mulai mempersiapkan semuanya. Soalnya waktu kita nggak banyak. Jangan sampai nanti keteteran pas harinya udah dekat.” Bapak tersenyum, sedangkan Bang Sandi menunduk demi menyembunyikan semu merah di wajahnya yang tampan.
“Kakak tenang aja, Bang Sandi orangnya baik dan nggak pernah pilih kasih, kok.” Tiba-tiba sebuah suara menimpali dan membuat kami menoleh ke arahnya. “Maaf, bukannya ingin lancang, aku tadi berniat mau ke kamar mandi dan nggak sengaja dengar obrolan kalian.” “Nak Via?” “Via?” ucapku dan Ibu hampir bersamaan. “Sekali lagi maaf, ya, aku benar-benar nggak ada niat buat nguping pembicaraan kalian,” ucap wanita itu menangkupkan tangannya di dada. Aku menghampiri wanita itu dan menurunkan tangannya. “Tak perlu meminta maaf, yang seharusnya berkata seperti itu adalah aku karena meragukan kalian.” “Itu hal yang wajar ketika akan melangsungkan pernikahan, Kak. Teman-temanku juga berpikiran seperti itu ketika akan menikah. Takut bahwa keluarga calon suaminya tak bisa menerima dirinya, tapi, kan, setiap manusia itu berbeda sifat dan pemikirannya, Kak.” Kami membantu Bi Minah mempersiapkan hidangan sambil terus bercerita. Silvia ingin membantu juga, tapi aku melarangnya dan akhirnya wanita
“Bang Sandi? Ngapain Abang ke sini? Kan, aku udah bilang nggak usah ikut,” ucapku sedikit berbisik setelah pria itu berada di dekatku. “Niatnya tadi mau ke masjid, kata ibu lewat sini, terus nggak sengaja dengar ucapan mereka. Jadinya aku mampir lah.” Penjelasannya cukup masuk akal. Sebab, arah menuju ke sana memang lewat sini. “Oh, jadi ini selingkuhan kamu itu, Adriana? Pinter juga kamu cari cowok ganteng. Mana keliatannya tajir banget lagi.” Lagi-lagi Bu Monic mengucapkan kalimat pedasnya. “Huum. Mana masih perjaka pula,” ucap Bu Anggi, bestie Bu Monic dalam hal ngegosip. Mereka berdua memang cocok. Awalnya aku tak berniat untuk membalas, tapi setelah mendengar ucapan terakhirnya, aku pun naik pitam. “Mungkin dia pakai susuk kali, Bu Anggi, makanya mudah bagi dia cari cowok ganteng plus kaya kek gini.” Aku meletakkan belanjaanku dan berniat ingin membungkam mulut mereka, tapi Bang Sandi menahanku dan ia pun berjalan ke arah mereka. “Sekali lagi kalian berbicara yang tidak-t
Setelah sampai di rumah, Aldo dan aku langsung menuju meja kerja di ruang tengah. Tanpa banyak bicara, kami mulai membongkar isi tas, termasuk dokumen yang kami temukan tadi dan kotak kayu kecil yang terkunci. Ruangan terasa sunyi, hanya suara kipas angin yang berputar pelan mengisi keheningan. Aldo mengambil napas panjang. “Kak, coba kita periksa catatan ini dulu. Mungkin ada petunjuk tentang Budi atau apa pun yang relevan,” katanya sambil membuka buku catatan tadi. Aku mengangguk, lalu duduk di sebelahnya. Aldo mulai memeriksa halaman demi halaman, mencari sesuatu yang menonjol. Tidak lama kemudian, ia menunjuk sebuah entri di salah satu halaman. “Lihat ini, Kak. Ada nama ‘Budi’ lagi, dan ada kode di sebelahnya—‘TG24’,” katanya. Aku memiringkan kepala, mencoba memikirkan apa arti kode itu. “Mungkin semacam kode barang atau lokasi?” Aku menebak.
Sesampainya di rumah, kami langsung mengunci pintu dan menutup semua jendela. Aldo menyalakan laptopnya dan mulai mencari informasi lebih lanjut tentang nama-nama yang ada di dokumen tadi. Sementara itu, aku duduk di sofa dengan pikiran yang masih kacau. "Do, kamu yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa melibatkan orang lain?" tanyaku akhirnya. Aldo menoleh. "Kita coba dulu, Kak. Kalau memang butuh bantuan, kita pikirkan nanti., tapi aku yakin, kalau kita sabar, semuanya bakal terungkap." Aku mengangguk pelan, meski hati ini masih penuh keraguan. Aku tahu Aldo berusaha meyakinkanku, tapi kenyataan bahwa Bapak mungkin terlibat membuat semuanya jauh lebih rumit. Setelah beberapa jam, Aldo akhirnya menemukan sesuatu. "Kak, ini Budi," katanya sambil menunjuk layar laptop. "Dia punya usaha kecil, semacam toko elektronik. Tapi beberapa bulan terakhir, tokonya tutup. Ada banyak komentar di akun media sosial
Aku dan Aldo segera menyusun rencana untuk menyelidiki lebih dalam tentang Mas Denny. Kami memutuskan untuk memulai dengan mencari tahu lebih banyak tentang teman-teman dekatnya, karena itu adalah langkah pertama yang logis. Kami tahu, jika ada yang bisa memberikan petunjuk, pasti mereka."Ayo, kita coba cari informasi lewat media sosial dulu," kata Aldo sambil membuka laptop di atas meja. Ia mulai mengetik cepat, menelusuri jejak digital Mas Denny dan teman-temannya. Aku duduk di sebelahnya, menunggu sambil menatap layar dengan cemas.Aldo mengklik beberapa profil yang sepertinya terhubung dengan Mas Denny. "Ini, ada beberapa teman yang sering tampil di foto-fotonya. Ada yang bernama Riko, yang ini temannya sejak kuliah. Ada juga seorang cewek, namanya Maya, kelihatannya cukup dekat."Aku mengangguk, meskipun hati masih terasa gelisah. "Apa kamu bisa hubungi mereka?" tanyaku dengan suara sedikit bergetar.Aldo mengan
"Diana, bangun, Nak, udah pagi! Nanti kamu ketinggalan pesawat, loh." Sebuah suara membawaku pergi meninggalkan alam bawah sadarku. Napasku terengah-engah dan keringat bercucuran, tak hanya membasahi pipi, tapi seluruh tubuh. "Kamu sakit, Di?" ucap ibu khawatir menempelkan telapak tangannya ke dahi dan leherku. "Kamu demam, Nak. Kita ke rumah sakit, yuk!" Ibu terlihat sangat khawatir, tapi yang aku pikirkan bukan itu. Mimpi itu serasa nyata sekali, seperti sebuah peringatan. "Enggak, Bu. Aku nggak papa, kok," ucapku dengan suara yang sangat lemah. Entahlah, rasanya seluruh tubuhku kehilangan sendi dan otot-ototnya. Pagi itu, meski mataku masih terasa berat karena tidur yang terganggu, aku memutuskan untuk tetap melanjutkan rencana untuk pergi ke Sulawesi. Semua barang sudah terkemas, koper sudah tertutup rapat, tapi seiring berjalannya waktu, rasa gelisahku kian memuncak. Aku tak bisa menghin
Aldo tampak memerhatikan layar ponselku, wajahnya semakin serius. "Ini nggak main-main, Kak. Kita nggak bisa diem aja," katanya sambil meremas ponselku pelan, seolah-olah ingin memberi kekuatan agar aku juga merasa yakin. Aku mengangguk perlahan, meski perasaan takutku masih belum hilang. "Tapi apa yang harus kita lakukan, Do? Kalau semuanya ini cuma perasaan aku aja—" "Tapi kalau bukan cuma perasaan, gimana?" Aldo menyela, suaranya penuh tekad. "Kita harus cari tahu lebih dalam, Kak. Jangan sampe kita ngelewatin sesuatu yang penting." Aku menunduk, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Aldo, tapi saat itu rasa takut justru semakin menggerayangi hati. Sosok di luar jendela, pesan-pesan misterius, dan kata-kata Mas Denny yang berulang kali terngiang-ngiang dalam benakku. Aku merasa terperangkap dalam jaring yang semakin rapat. Aldo duduk di kursi dekat tempat tidurku, tangannya terlipat di depan dada. "Kak, kita nggak bisa diam aja. Aku udah punya beberapa ide, tapi ka
"Sebenarnya Kakak pernah didatangi oleh seseorang dan orang itu bilang sesuatu tentang Mas Denny," "Apa katanya, Kak?" "Orang itu belum sempat menyelesaikan ucapannya, tapi dia bilang seperti ini, 'Diana, Denny yang ada disekitar kamu itu sebenarnya ....' Nah, sampai disitu doang," "Maksudnya apa? Kakak kenal sama orangnya?" "Anehnya Kakak kenal, bahkan kenal banget." "Siapa, Kak? Gimana kalau kita datengin orang itu?" "Enggak, Do. Nggak mungkin kita datengin dia." "Why?!" "Karena orang itu adalah Mas Denny sendiri." "Tunggu-tunggu. Ini maksudnya Mas Denny yang datang, terus dia juga yang mau mengungkapkan kebenaran tentang dirinya sendiri? Aneh banget nggak, sih, Kak?" "Pertanyaan itu juga yang bikin Kakak bingung. Ucapannya itu kayak ada dua orang Denny yang ada di sekitar Kakak," "Kak, kita harus cari tahu tentang ini!" "Gimana caranya, Do? Besok, kan, Kakak harus berangkat ke Sulawesi." Aku berucap dengan suara yang sedikit pelan karena saat ini
"Kalimat itu mengungkapkan kalau sampai Salman meninggal ulah keluarga kita dan utang belum lunas, Bapak harus membayar bunga beserta dendanya lima kali lipat kepada istrinya. Dan, dalam perjanjian itu juga disebutkan kalau Bapak harus jadi penjaga dan pelindungnya walau tanpa bayaran." Aku tercengang untuk yang kesekian kalinya mendengar penjelasan dari Bapak. Memangnya ada isi perjanjian yang seperti itu? "Jadi bodyguard gratisan maksudnya, Pak?" "Huum," "Kalau melawan apa ada sanksinya?" "Tentu saja ada. Kalau Bapak sampai melawan atau memberontak, kalian yang akan jadi korbannya. Dia bakal nyuruh orang buat ngehancurin rumah tangga kita. Karena Bapak nggak mau kalian kenapa-napa, makanya Bapak harus berjuang semaksimal mungkin supaya nggak terjadi apa-apa pada Salman." "Tapi Bapak bilang kalian dekat dan akrab. Masa iya dia tega melakukan itu pada keluarga kita?" "Sifat dan karakter asli seseorang nggak bisa ditebak semudah menebak isi dalam lotre. Kita masih p
"Pak, apa tidak sebaiknya kita pulang dulu saja?" tanyaku pada Bapak setelah Aldo sedikit lebih tenang. Kini, pria yang tak pernah meninggalkanku dalam keadaan apapun itu duduk menjauh dari kami. Mungkin ia takut kembali terbawa emosi jika dekat dengan Bapak. "Tidak, Nak. Bapak masih harus mengurus Salman setelah operasinya selesai." Jawaban Bapak cukup membuatku kecewa. "Tapi aku harus berkemas untuk keberangkatanku ke Sulawesi besok, Pak. Lagipula diantara kita tidak ada yang memberikan kabar pada ibu. Aku takut ibu kepikiran." Aku sedikit mengeluh ketika mengatakannya. Memang benar, sampai saat ini kami belum menghubungi ibu. Aku yakin, pasti wanita surgaku itu saat ini sangat khawatir. Terlebih diantara kami tak ada yang membawa ponsel. "Begini saja, kamu pulang bersama Aldo, biar Bapak saja yang di sini nungguin Salman." "Berarti, besok Bapak nggak akan nganterin aku ke bandara? Tega sekali Bapak!" ucapku dengan bibir yang cemberut. "Bapak usahain, ya, untuk cepat pul
Setelah sedikit berdebat, akhirnya kami membawa pria itu ke rumah sakit. Dengan luka yang separah itu, aku yakin ia akan mengalami banyak jahitan dan pengobatan yang begitu intensif. Kami menunggu di kursi tunggu yang ada di depan ruang operasi. Aku dan Aldo duduk di kursi yang tersedia. Sedangkan Bapak terus mondar mandir di depan kami dengan raut wajah penuh kekhawatiran. “Pak, sebenarnya siapa pria itu? Mengapa bapak begitu khawatir padanya?” Aldo yang tak tahan melihat kegelisahan bapak pun akhirnya nekat bertanya. “Dia itu nyawa dalam keluarga kita. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, Bapak nggak tahu apakah kita bisa melanjutkan kehidupan yang menyenangkan seperti selama ini atau tidak!” Penjelasan bapak begitu ambigu, antara memberi penjelasan atau tebakan. “Pak, bicara dengan jelas. Penjelasan bapak membuat kami semakin bingung,” ucapAldo mendesak pria paruh baya itu. “Do, sebenarnya dia adalah —” “Permisi. Dengan keluarga pasien?” tanya seorang dokter yang tiba-tiba k