Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….
“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk. “Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi? “Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku. “Baik,” jawabku cuek. “Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah. Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali. “Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku. “Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah. “Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju ke sisi ranjang yang lain. “Kenapa kamu panggil dia, Di? Mau kamu jadikan dia sebagai obat nyamuk?” tanya Mas Denny sombong. “Bukan dia yang akan jadi obat nyamuk, tapi kamu, Mas!” ucapku sinis pada pria yang masih berstatus suami bagiku. “Apa maksud kamu, Di?” tanya Mas Denny mulai terpancing emosinya. Aku menggamit tangan Bang Sandi erat dan berkata, “ya, sesuai yang kamu pikirkan, Mas. Setelah masa iddahku selesai, Aku dan Bang Sandi akan melangsungkan pernikahan. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot lagi memikirkan siapa yang akan mengurus diriku!” “Kurang ajar!” ucap Mas Denny menghampiri Bang Sandi dengan raut wajah yang begitu memerah karena amarah. Aku tahu, pasti dia berniat ingin memukul Bang Sandi. Dan, sebelum itu semua terjadi, aku menarik tangannya dan berusaha mencegahnya. “Berhenti! Sekali saja Bang Sandi merasakan sakit karena ulahmu, aku akan langsung memanggil satpam dan seumur hidupku takkan mau lagi mengenalmu!” Ternyata ancamanku itu berhasil. Mas Denny berhenti dan mundur mengurungkan niatnya. Aku tahu bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku, tapi sifat patuhnya pada ibu yang tak pernah menganggapku sebagai menantunya lah yang membuatku merasa muak mencintainya. “Di, kamu nggak serius, kan, ngomong seperti tadi? Kamu mau, kan, maafin aku dan kasih kesempatan lagi?” tanyanya menggenggam tangan kananku. Aku melepaskan gamitan tanganku pada Bang Sandi dan membalas genggaman tangan Mas Denny. Terlihat raut wajah Bang Sandi yang … entahlah. Aku tak bisa menggambarkannya. Tak lama setelah itu, aku pun melepaskan genggaman tangan Mas Denny pada kedua tanganku. “Aku sudah memaafkanmu, Mas, tapi untuk kembali …,” jedaku, “maaf, aku nggak bisa.” “Tapi kenapa, Di? Bukankah kamu mencintaiku? Begitu juga denganku, aku juga sangat mencintaimu, Di!” “Aku udah pernah kasih kamu kesempatan, Mas, tapi kamu tetap mengulangi kesalahan itu. Bahkan, semua bertambah parah setiap harinya. Sekarang, aku tak mau menentang titah Bapak lagi. Karena aku pernah menentangnya dan akhirnya mendapat kesialan karena memaksa ingin menikah denganmu!” ucapku panjang lebar. “Di, aku mohon kasih aku kesempatan, sekali saja. Aku janji nggak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Pliss, Di!” Pria itu sampai berlutut memohon padaku, tapi keputusanku sudah bulat. “Bang Sandi, boleh aku minta tolong?” Aku menoleh ke arah pria yang sejak tadi diam menyaksikan perdebatan diantara kami, iya masih saja setia menemaniku di sini. “Tentu. Minta tolong apa, Dik?” “Tolong usir pria ini dari sini! Atau perlu panggilkan sat—” “Tidak perlu! Saya bisa keluar sendiri!” ucapnya melihat ke arahku dengan pandangan yang … entahlah. “ Dan untuk kamu, Di, sudah cukup kamu ngerendahin aku. Oke! Aku akan terima permintaan perceraian kamu dan orang tuamu, tapi ingat satu hal! Jangan pernah mencari ataupun menuntut atas apapun itu. Sekalipun jika kamu tengah mengandung anakku!” “Tentu saja, Mas. Setelah semua ini, aku bahkan tak pernah berharap bertemu denganmu lagi!” “Dasar wanita sombong!” Pria itu melangkah menuju keluar dan menghilang dari balik pintu itu. Sedangkan Bang Sandi masih setia berdiri dan menemaniku hingga saat pria itu menghilang. “ Maaf, ya, aku udah libatin Abang dalam masalahku?!” ucapku padanya. “Tak apa. Hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu. Insya Allah aku akan segera datang,” ucapnya dengan tulus. “Ah, iya. Ngomong-ngomong, kita belum saling save nomor telepon, ya? Gimana aku mau menghubungi kalau nggak punya kontak Abang?” Aku cengengesan ketika mengatakannya. Sebenarnya malu, tapi apa boleh buat, semua sudah terucap. “Betul. Coba sebutkan nomor telepon kamu, biar aku save di handphone-ku.” Akupun menyebutkan nomor telepon yang dimintanya. Tak lama kemudian ada panggilan dari Bang Renal, tapi hanya beberapa detik saja hingga panggilan diakhiri begitu saja. ‘Ah, mungkin kepencet,’ bisikku dalam hati. “Nomor aku yang ujungnya 2002, ya, Diana.” Ucapan Bang Sandi membuyarkan lamunanku. Kembali mengecek ponsel dan menyadari ada satu panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenal. Astaga, saking seriusnya aku memikirkan Bang Renal sampai tak menyadari adanya panggilan masuk dari Bang Sandi. “Oke. Aku save, ya, Bang.” Pria itu mengangguk tanda setuju. Aku pun mempersilakannya untuk duduk di kursi yang ada di sebelah ranjangku. Hening, tak ada obrolan diantara kami hingga beberapa saat. Hingga akhirnya aku berkata, “Abang Sulawesi dimananya? Terus, ngajar jurusan apa?” “Sulawesi Barat. Aku ngajar di fakultas keguruan jurusan matematika.” “Wah, keren. Matematika adalah pelajaran kesukaan aku. Oh, iya, kalau misalnya nanti aku jadi lanjut kuliah, boleh, dong, hubungi Abang kalau ada kesulitan?” “Tentu saja boleh.” Pria itu tersenyum padaku. Senyumnya manis sekali, tatapannya yang teduh, hangat, sungguh menghanyutkan siapapun yang memandang. Aku yakin, pasti banyak wanita yang tengah mengejarnya. Apalagi mahasiswi di kampusnya. “Kenapa tidak di kampus aku ngajar saja kuliahnya? Kan, nanti lebih gampang konsultasinya.” “Wah, ide bagus, tuh!” ucap seseorang yang tiba-tiba saja ke ruangan ini. “Bapak!” ucapku malu, “nggak enak, dong, kalau sampai ngerepotin Bang Sandi.” “Nggak ngerepotin, kok. Aku malah senang kalau kamu beneran mau,” ucap Bang Sandi cepat, “kan, bisa ketemu tiap hari. Jadi, kalau kangen tinggal lihat kamu dari jauh.” Apa yang dikatakannya tadi? Kangen? Sama aku? Ini aku yang salah dengar, atau dia yang salah bicara, sih? Ngaco! “Gimana menurut kamu, Nak?” tanya Bapak padaku. “Aku nurut gimana baiknya aja, Pak.” “Yasudah, nanti kita minta tolong Sandi daftarin kamu di sana. Sandi, kamu mau, kan, nolongin Bapak?” tanya Bapak menghadap ke arah pria yang baru aku kenal hari ini. “Tentu saja, Pak. Dengan senang hati akan saya lakukan.” “Terima kasih banyak, Nak. Dengan begitu, Bapak akan lebih tenang melepaskan Adriana untuk pergi ke sana. Karena Bapak yakin kamu akan menjaganya dengan baik.” Bapak menepuk pelan pundak Bang Sandi. Terlihat jelas cinta pertamaku itu begitu percaya padanya. “Yasudah, kalian lanjutkan ngobrolnya. Bapak mau temui dokter dulu. Semoga saja besok kamu sudah boleh pulang.” Bapak mengelus puncak kepalaku pelan, kemudian meninggalkan kami lagi. “Ehm, Bang. Maaf, ya, aku ngerepotin lagi,” ucapku sedikit canggung padanya. “It’s oke. Malah aku seneng, kok, kalau kamu beneran kuliah di sana.” “Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya. “Eh, ma–maksudnya … sebenarnya aku ….” *** Bersambung.“Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya. “Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini. “Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana. “Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.” ‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’ Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik. “Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—” “Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?” “Kamu yakin nggak papa
Aku masih tak percaya bahwa Ibu memaksaku untuk pergi ke pulau seberang untuk menemui seorang wanita yang tengah koma setelah mengalami KDRT oleh suami dan mertuanya. “Wanita itu adalah anak dari sahabat ayah kamu, Bang. Dulu sebelum meninggal, Pak Ruslan dan Ayah kamu sudah menjodohkan kalian—” “Tapi, kan, kejadiannya udah lima belas tahun yang lalu. Aku udah dewasa, Bu, bisa cari jodoh sendiri,” tolakku dengan halus. Aku adalah tulang punggung keluarga sejak usia delapan belas tahun. Tepatnya setelah kelulusan SMA. Aku yang memiliki dua orang adik tak mungkin melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan dan membiarkan Ibu bekerja seorang diri, tapi memang rezeki yang tak kemana, Allah memberikan aku jalan. Seorang pria yang berasal dari pulau seberang memberikanku modal yang cukup besar untuk memulai usaha. Alhamdulillah, usaha toko kelontong yang aku bangun berkembang pesat dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Hingga akhirnya keinginanku untuk kuliah yang dulu hanya di an
Saat ini, aku sudah berada di bandara. Penerbanganku masih sekitar tiga puluh menit lagi. Terlihat raut wajah ibu yang begitu bahagia duduk di sebelahku. “Nak, sampaikan salam Ibu pada Adriana dan kedua orang tuanya. Jangan lupa berikan ini padanya.” Wanita surgaku itu menyerahkan sebuah kotak. Aku yakin pasti isinya adalah gelang yang dibuatnya tadi malam. Aku menerima kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. “Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa salat, jangan telat makan, jangan juga lupa kabarin ibu.” “Bu, doain Sandi, ya.” “Doa ibu selalu ada untukmu, Nak.” “Diberitahukan kepada seluruh penumpang dengan tujuan Pekanbaru, pesawat akan lepas landas dalam waktu sepuluh menit lagi. Diharapkan untuk seluruh penumpang segera menuju ke pesawat.” Itu pesawat yang akan aku naiki. “Bu, Sandi berangkat dulu, ya.” Ku cium tangan ibu dengan takzim. “Hati-hati, ya, Nak,” ucap Ibu mengusap kepalaku. Aku mengangguk menanggapi ucapan ibuAku menoleh pada Silvia, mengulurkan tangan pa
“Nak Sandi, ibu tinggal sebentar, ya, mau cari makan dulu. Kalian ngobrol aja dulu siapa tahu cocok dan bisa jadi pasangan.” Bu Mila tersenyum. “Ba–baik, Bu,” jawabku sedikit gugup. Terlihat senyum tipis di wajahnya dan kemudian beliau mengusap puncak kepala putrinya. Melangkah keluar menuju pintu dan menghilang dibaliknya. Rasa canggung yang semula ada, bertambah besar setelah Bu Mila keluar dari ruangan ini. Bagaimana tidak, dua orang yang baru saling mengenal kini berada di suatu ruangan yang sama hanya berdua saja. Ya, hanya berdua saja! Kalian tahu bagaimana keadaan dan perasaanku saat ini? Berdebar-debar seperti maling yang tengah menghindar dan bersembunyi dari polisi. Aku menyerahkan sebuah kotak yang berisi gelang pemberian Ibu tadi pagi. “Ketika Ibu mendengar aku akan datang hari ini, beliau membuatkan itu untukmu hanya dalam waktu semalam.” “Wah, cantik sekali.” Wanita itu mengeluarkan gelang itu. “Serius hanya semalam? Aku pernah mencoba membuatnya, tapi selalu
Keesokan harinya, ibu datang bersama Bang Sandi. Raut wajah Mereka tampak sumringah, tapi …. “Bu, di mana bapak dan Aldo?” tanyaku pada wanita paruh baya kesayanganku itu. “Mereka sedang mengurus administrasi. Hari ini juga, kamu sudah boleh pulang.” Terlihat wajah Ibu begitu bahagia. “Ibu serius?” Aku bangkit dan mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang. Saking bahagianya, rasa sakit yang masih sedikit terasa pun tak ku hiraukan. Tak sengaja aku melirik ke arah Bang Sandi, pria itu terlihat tak kalah bahagianya dengan ibu. Mata teduhnya menatap lekat ke arah kami. Namun, Iya segera menyembunyikan wajahnya ketika sadar aku memperhatikannya. Ada rasa kagum yang diam-diam merasuk ke dalam pikiranku. Bang sandi membantu ibu untuk membereskan barang-barangku. Awalnya aku ingin ikut membantu, tapi mereka melarang. Setelah semuanya selesai dan kami bersiap untuk keluar, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. “Apa yang terjadi di luar?” tanya Ibu memelukku. “Aku akan
Ibu menuntun dan membantuku masuk ke kamar merebahkan tubuh kemah ini diatas kasur yang hampir setahun ini tak kutiduri. “Bu, sebenarnya siapa pria tadi?” Lagi aku bertanya setelah Ibu selesai menyusun barang-barangku ke dalam lemari. “Entahlah, Nak. Ibu juga tidak tahu. Mungkin itu menyangkut urusan bisnis. Sudahlah, tak perlu kamu pikirkan lagi.” Ucapan Ibu ada benarnya juga. Mungkin pria itu adalah salah satu pesaing Bapak di dunia bisnis. Semoga ia tak memiliki niat buruk dan semoga tak akan ada hal buruk yang akan datang. Aamiin. “Ibu ke belakang dulu, ya, ambilin buah buat kamu,” ucap Ibu tersenyum padaku. Aku pun mengangguk dan membalas senyuman Ibu. Wanita kesayanganku itu pun melangkah keluar meninggalkan diriku seorang diri. Tak lama setelah Ibu pergi, terdengar suara ketukan di jendela. Aku terkejut sekaligus takut, karena Ibu bilang, belakangan ini banyak tindak kejahatan di sekitar sini. Namun, rasa penasaran ini jauh lebih besar dari rasa takut itu. Aku bangkit dan
“Apa yang dikatakan Bang Sandi? Mengapa ibu terlihat bahagia sekali?” tanyaku dengan rasa yang teramat penasaran. Belum sempat ibu menjawab, pria itu pun datang bersama dengan Bapak. Wajah mereka semua terlihat bahagia sekali dengan senyum yang merekah. “Nak, sudah Bapak bilang, kan, kalau Sandi ini pria yang baik. Bapak yakin, bahwa dia akan memberikanmu kasih sayang dan juga kebahagiaan yang berlimpah.” Bapak menepuk pundak Bang Sandi pelan, sedangkan pria itu hanya tersenyum. Perkataan mereka semakin membuatku bingung. “Bu?” Aku melihat ke arah ibu demi meminta penjelasan darinya. Namun, bukannya mendapatkan penjelasan, ucapan ibu semakin membuatku kebingungan. “Udah, kamu tenang aja!” ucap wanita paruh baya itu tersenyum padaku, “yaudah, yuk, kita mulai mempersiapkan semuanya. Soalnya waktu kita nggak banyak. Jangan sampai nanti keteteran pas harinya udah dekat.” Bapak tersenyum, sedangkan Bang Sandi menunduk demi menyembunyikan semu merah di wajahnya yang tampan.
“Kakak tenang aja, Bang Sandi orangnya baik dan nggak pernah pilih kasih, kok.” Tiba-tiba sebuah suara menimpali dan membuat kami menoleh ke arahnya. “Maaf, bukannya ingin lancang, aku tadi berniat mau ke kamar mandi dan nggak sengaja dengar obrolan kalian.” “Nak Via?” “Via?” ucapku dan Ibu hampir bersamaan. “Sekali lagi maaf, ya, aku benar-benar nggak ada niat buat nguping pembicaraan kalian,” ucap wanita itu menangkupkan tangannya di dada. Aku menghampiri wanita itu dan menurunkan tangannya. “Tak perlu meminta maaf, yang seharusnya berkata seperti itu adalah aku karena meragukan kalian.” “Itu hal yang wajar ketika akan melangsungkan pernikahan, Kak. Teman-temanku juga berpikiran seperti itu ketika akan menikah. Takut bahwa keluarga calon suaminya tak bisa menerima dirinya, tapi, kan, setiap manusia itu berbeda sifat dan pemikirannya, Kak.” Kami membantu Bi Minah mempersiapkan hidangan sambil terus bercerita. Silvia ingin membantu juga, tapi aku melarangnya dan akhirnya wanita
Setelah sampai di rumah, Aldo dan aku langsung menuju meja kerja di ruang tengah. Tanpa banyak bicara, kami mulai membongkar isi tas, termasuk dokumen yang kami temukan tadi dan kotak kayu kecil yang terkunci. Ruangan terasa sunyi, hanya suara kipas angin yang berputar pelan mengisi keheningan. Aldo mengambil napas panjang. “Kak, coba kita periksa catatan ini dulu. Mungkin ada petunjuk tentang Budi atau apa pun yang relevan,” katanya sambil membuka buku catatan tadi. Aku mengangguk, lalu duduk di sebelahnya. Aldo mulai memeriksa halaman demi halaman, mencari sesuatu yang menonjol. Tidak lama kemudian, ia menunjuk sebuah entri di salah satu halaman. “Lihat ini, Kak. Ada nama ‘Budi’ lagi, dan ada kode di sebelahnya—‘TG24’,” katanya. Aku memiringkan kepala, mencoba memikirkan apa arti kode itu. “Mungkin semacam kode barang atau lokasi?” Aku menebak.
Sesampainya di rumah, kami langsung mengunci pintu dan menutup semua jendela. Aldo menyalakan laptopnya dan mulai mencari informasi lebih lanjut tentang nama-nama yang ada di dokumen tadi. Sementara itu, aku duduk di sofa dengan pikiran yang masih kacau. "Do, kamu yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa melibatkan orang lain?" tanyaku akhirnya. Aldo menoleh. "Kita coba dulu, Kak. Kalau memang butuh bantuan, kita pikirkan nanti., tapi aku yakin, kalau kita sabar, semuanya bakal terungkap." Aku mengangguk pelan, meski hati ini masih penuh keraguan. Aku tahu Aldo berusaha meyakinkanku, tapi kenyataan bahwa Bapak mungkin terlibat membuat semuanya jauh lebih rumit. Setelah beberapa jam, Aldo akhirnya menemukan sesuatu. "Kak, ini Budi," katanya sambil menunjuk layar laptop. "Dia punya usaha kecil, semacam toko elektronik. Tapi beberapa bulan terakhir, tokonya tutup. Ada banyak komentar di akun media sosial
Aku dan Aldo segera menyusun rencana untuk menyelidiki lebih dalam tentang Mas Denny. Kami memutuskan untuk memulai dengan mencari tahu lebih banyak tentang teman-teman dekatnya, karena itu adalah langkah pertama yang logis. Kami tahu, jika ada yang bisa memberikan petunjuk, pasti mereka."Ayo, kita coba cari informasi lewat media sosial dulu," kata Aldo sambil membuka laptop di atas meja. Ia mulai mengetik cepat, menelusuri jejak digital Mas Denny dan teman-temannya. Aku duduk di sebelahnya, menunggu sambil menatap layar dengan cemas.Aldo mengklik beberapa profil yang sepertinya terhubung dengan Mas Denny. "Ini, ada beberapa teman yang sering tampil di foto-fotonya. Ada yang bernama Riko, yang ini temannya sejak kuliah. Ada juga seorang cewek, namanya Maya, kelihatannya cukup dekat."Aku mengangguk, meskipun hati masih terasa gelisah. "Apa kamu bisa hubungi mereka?" tanyaku dengan suara sedikit bergetar.Aldo mengan
"Diana, bangun, Nak, udah pagi! Nanti kamu ketinggalan pesawat, loh." Sebuah suara membawaku pergi meninggalkan alam bawah sadarku. Napasku terengah-engah dan keringat bercucuran, tak hanya membasahi pipi, tapi seluruh tubuh. "Kamu sakit, Di?" ucap ibu khawatir menempelkan telapak tangannya ke dahi dan leherku. "Kamu demam, Nak. Kita ke rumah sakit, yuk!" Ibu terlihat sangat khawatir, tapi yang aku pikirkan bukan itu. Mimpi itu serasa nyata sekali, seperti sebuah peringatan. "Enggak, Bu. Aku nggak papa, kok," ucapku dengan suara yang sangat lemah. Entahlah, rasanya seluruh tubuhku kehilangan sendi dan otot-ototnya. Pagi itu, meski mataku masih terasa berat karena tidur yang terganggu, aku memutuskan untuk tetap melanjutkan rencana untuk pergi ke Sulawesi. Semua barang sudah terkemas, koper sudah tertutup rapat, tapi seiring berjalannya waktu, rasa gelisahku kian memuncak. Aku tak bisa menghin
Aldo tampak memerhatikan layar ponselku, wajahnya semakin serius. "Ini nggak main-main, Kak. Kita nggak bisa diem aja," katanya sambil meremas ponselku pelan, seolah-olah ingin memberi kekuatan agar aku juga merasa yakin. Aku mengangguk perlahan, meski perasaan takutku masih belum hilang. "Tapi apa yang harus kita lakukan, Do? Kalau semuanya ini cuma perasaan aku aja—" "Tapi kalau bukan cuma perasaan, gimana?" Aldo menyela, suaranya penuh tekad. "Kita harus cari tahu lebih dalam, Kak. Jangan sampe kita ngelewatin sesuatu yang penting." Aku menunduk, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Aldo, tapi saat itu rasa takut justru semakin menggerayangi hati. Sosok di luar jendela, pesan-pesan misterius, dan kata-kata Mas Denny yang berulang kali terngiang-ngiang dalam benakku. Aku merasa terperangkap dalam jaring yang semakin rapat. Aldo duduk di kursi dekat tempat tidurku, tangannya terlipat di depan dada. "Kak, kita nggak bisa diam aja. Aku udah punya beberapa ide, tapi ka
"Sebenarnya Kakak pernah didatangi oleh seseorang dan orang itu bilang sesuatu tentang Mas Denny," "Apa katanya, Kak?" "Orang itu belum sempat menyelesaikan ucapannya, tapi dia bilang seperti ini, 'Diana, Denny yang ada disekitar kamu itu sebenarnya ....' Nah, sampai disitu doang," "Maksudnya apa? Kakak kenal sama orangnya?" "Anehnya Kakak kenal, bahkan kenal banget." "Siapa, Kak? Gimana kalau kita datengin orang itu?" "Enggak, Do. Nggak mungkin kita datengin dia." "Why?!" "Karena orang itu adalah Mas Denny sendiri." "Tunggu-tunggu. Ini maksudnya Mas Denny yang datang, terus dia juga yang mau mengungkapkan kebenaran tentang dirinya sendiri? Aneh banget nggak, sih, Kak?" "Pertanyaan itu juga yang bikin Kakak bingung. Ucapannya itu kayak ada dua orang Denny yang ada di sekitar Kakak," "Kak, kita harus cari tahu tentang ini!" "Gimana caranya, Do? Besok, kan, Kakak harus berangkat ke Sulawesi." Aku berucap dengan suara yang sedikit pelan karena saat ini
"Kalimat itu mengungkapkan kalau sampai Salman meninggal ulah keluarga kita dan utang belum lunas, Bapak harus membayar bunga beserta dendanya lima kali lipat kepada istrinya. Dan, dalam perjanjian itu juga disebutkan kalau Bapak harus jadi penjaga dan pelindungnya walau tanpa bayaran." Aku tercengang untuk yang kesekian kalinya mendengar penjelasan dari Bapak. Memangnya ada isi perjanjian yang seperti itu? "Jadi bodyguard gratisan maksudnya, Pak?" "Huum," "Kalau melawan apa ada sanksinya?" "Tentu saja ada. Kalau Bapak sampai melawan atau memberontak, kalian yang akan jadi korbannya. Dia bakal nyuruh orang buat ngehancurin rumah tangga kita. Karena Bapak nggak mau kalian kenapa-napa, makanya Bapak harus berjuang semaksimal mungkin supaya nggak terjadi apa-apa pada Salman." "Tapi Bapak bilang kalian dekat dan akrab. Masa iya dia tega melakukan itu pada keluarga kita?" "Sifat dan karakter asli seseorang nggak bisa ditebak semudah menebak isi dalam lotre. Kita masih p
"Pak, apa tidak sebaiknya kita pulang dulu saja?" tanyaku pada Bapak setelah Aldo sedikit lebih tenang. Kini, pria yang tak pernah meninggalkanku dalam keadaan apapun itu duduk menjauh dari kami. Mungkin ia takut kembali terbawa emosi jika dekat dengan Bapak. "Tidak, Nak. Bapak masih harus mengurus Salman setelah operasinya selesai." Jawaban Bapak cukup membuatku kecewa. "Tapi aku harus berkemas untuk keberangkatanku ke Sulawesi besok, Pak. Lagipula diantara kita tidak ada yang memberikan kabar pada ibu. Aku takut ibu kepikiran." Aku sedikit mengeluh ketika mengatakannya. Memang benar, sampai saat ini kami belum menghubungi ibu. Aku yakin, pasti wanita surgaku itu saat ini sangat khawatir. Terlebih diantara kami tak ada yang membawa ponsel. "Begini saja, kamu pulang bersama Aldo, biar Bapak saja yang di sini nungguin Salman." "Berarti, besok Bapak nggak akan nganterin aku ke bandara? Tega sekali Bapak!" ucapku dengan bibir yang cemberut. "Bapak usahain, ya, untuk cepat pul
Setelah sedikit berdebat, akhirnya kami membawa pria itu ke rumah sakit. Dengan luka yang separah itu, aku yakin ia akan mengalami banyak jahitan dan pengobatan yang begitu intensif. Kami menunggu di kursi tunggu yang ada di depan ruang operasi. Aku dan Aldo duduk di kursi yang tersedia. Sedangkan Bapak terus mondar mandir di depan kami dengan raut wajah penuh kekhawatiran. “Pak, sebenarnya siapa pria itu? Mengapa bapak begitu khawatir padanya?” Aldo yang tak tahan melihat kegelisahan bapak pun akhirnya nekat bertanya. “Dia itu nyawa dalam keluarga kita. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, Bapak nggak tahu apakah kita bisa melanjutkan kehidupan yang menyenangkan seperti selama ini atau tidak!” Penjelasan bapak begitu ambigu, antara memberi penjelasan atau tebakan. “Pak, bicara dengan jelas. Penjelasan bapak membuat kami semakin bingung,” ucapAldo mendesak pria paruh baya itu. “Do, sebenarnya dia adalah —” “Permisi. Dengan keluarga pasien?” tanya seorang dokter yang tiba-tiba k