Share

Bab 7, Apa maksudnya?

Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….

“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk.

“Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi?

“Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku.

“Baik,” jawabku cuek.

“Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah.

Ceklek.

Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali.

“Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku.

“Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah.

“Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju ke sisi ranjang yang lain.

“Kenapa kamu panggil dia, Di? Mau kamu jadikan dia sebagai obat nyamuk?” tanya Mas Denny sombong.

“Bukan dia yang akan jadi obat nyamuk, tapi kamu, Mas!” ucapku sinis pada pria yang masih berstatus suami bagiku.

“Apa maksud kamu, Di?” tanya Mas Denny mulai terpancing emosinya.

Aku menggamit tangan Bang Sandi erat dan berkata, “ya, sesuai yang kamu pikirkan, Mas. Setelah masa iddahku selesai, Aku dan Bang Sandi akan melangsungkan pernikahan. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot lagi memikirkan siapa yang akan mengurus diriku!”

“Kurang ajar!” ucap Mas Denny menghampiri Bang Sandi dengan raut wajah yang begitu memerah karena amarah. Aku tahu, pasti dia berniat ingin memukul Bang Sandi. Dan, sebelum itu semua terjadi, aku menarik tangannya dan berusaha mencegahnya.

“Berhenti! Sekali saja Bang Sandi merasakan sakit karena ulahmu, aku akan langsung memanggil satpam dan seumur hidupku takkan mau lagi mengenalmu!”

Ternyata ancamanku itu berhasil. Mas Denny berhenti dan mundur mengurungkan niatnya. Aku tahu bahwa sebenarnya dia begitu mencintaiku, tapi sifat patuhnya pada ibu yang tak pernah menganggapku sebagai menantunya lah yang membuatku merasa muak mencintainya.

“Di, kamu nggak serius, kan, ngomong seperti tadi? Kamu mau, kan, maafin aku dan kasih kesempatan lagi?” tanyanya menggenggam tangan kananku. Aku melepaskan gamitan tanganku pada Bang Sandi dan membalas genggaman tangan Mas Denny.

Terlihat raut wajah Bang Sandi yang … entahlah. Aku tak bisa menggambarkannya. Tak lama setelah itu, aku pun melepaskan genggaman tangan Mas Denny pada kedua tanganku.

“Aku sudah memaafkanmu, Mas, tapi untuk kembali …,” jedaku, “maaf, aku nggak bisa.”

“Tapi kenapa, Di? Bukankah kamu mencintaiku? Begitu juga denganku, aku juga sangat mencintaimu, Di!”

“Aku udah pernah kasih kamu kesempatan, Mas, tapi kamu tetap mengulangi kesalahan itu. Bahkan, semua bertambah parah setiap harinya. Sekarang, aku tak mau menentang titah Bapak lagi. Karena aku pernah menentangnya dan akhirnya mendapat kesialan karena memaksa ingin menikah denganmu!” ucapku panjang lebar.

“Di, aku mohon kasih aku kesempatan, sekali saja. Aku janji nggak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Pliss, Di!” Pria itu sampai berlutut memohon padaku, tapi keputusanku sudah bulat.

“Bang Sandi, boleh aku minta tolong?” Aku menoleh ke arah pria yang sejak tadi diam menyaksikan perdebatan diantara kami, iya masih saja setia menemaniku di sini.

“Tentu. Minta tolong apa, Dik?”

“Tolong usir pria ini dari sini! Atau perlu panggilkan sat—”

“Tidak perlu! Saya bisa keluar sendiri!” ucapnya melihat ke arahku dengan pandangan yang … entahlah. “ Dan untuk kamu, Di, sudah cukup kamu ngerendahin aku. Oke! Aku akan terima permintaan perceraian kamu dan orang tuamu, tapi ingat satu hal! Jangan pernah mencari ataupun menuntut atas apapun itu. Sekalipun jika kamu tengah mengandung anakku!”

“Tentu saja, Mas. Setelah semua ini, aku bahkan tak pernah berharap bertemu denganmu lagi!”

“Dasar wanita sombong!” Pria itu melangkah menuju keluar dan menghilang dari balik pintu itu. Sedangkan Bang Sandi masih setia berdiri dan menemaniku hingga saat pria itu menghilang.

“ Maaf, ya, aku udah libatin Abang dalam masalahku?!” ucapku padanya.

“Tak apa. Hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu. Insya Allah aku akan segera datang,” ucapnya dengan tulus.

“Ah, iya. Ngomong-ngomong, kita belum saling save nomor telepon, ya? Gimana aku mau menghubungi kalau nggak punya kontak Abang?” Aku cengengesan ketika mengatakannya. Sebenarnya malu, tapi apa boleh buat, semua sudah terucap.

“Betul. Coba sebutkan nomor telepon kamu, biar aku save di handphone-ku.”

Akupun menyebutkan nomor telepon yang dimintanya. Tak lama kemudian ada panggilan dari Bang Renal, tapi hanya beberapa detik saja hingga panggilan diakhiri begitu saja. ‘Ah, mungkin kepencet,’ bisikku dalam hati.

“Nomor aku yang ujungnya 2002, ya, Diana.” Ucapan Bang Sandi membuyarkan lamunanku. Kembali mengecek ponsel dan menyadari ada satu panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenal. Astaga, saking seriusnya aku memikirkan Bang Renal sampai tak menyadari adanya panggilan masuk dari Bang Sandi.

“Oke. Aku save, ya, Bang.” Pria itu mengangguk tanda setuju. Aku pun mempersilakannya untuk duduk di kursi yang ada di sebelah ranjangku.

Hening, tak ada obrolan diantara kami hingga beberapa saat. Hingga akhirnya aku berkata, “Abang Sulawesi dimananya? Terus, ngajar jurusan apa?”

“Sulawesi Barat. Aku ngajar di fakultas keguruan jurusan matematika.”

“Wah, keren. Matematika adalah pelajaran kesukaan aku. Oh, iya, kalau misalnya nanti aku jadi lanjut kuliah, boleh, dong, hubungi Abang kalau ada kesulitan?”

“Tentu saja boleh.” Pria itu tersenyum padaku. Senyumnya manis sekali, tatapannya yang teduh, hangat, sungguh menghanyutkan siapapun yang memandang. Aku yakin, pasti banyak wanita yang tengah mengejarnya. Apalagi mahasiswi di kampusnya.

“Kenapa tidak di kampus aku ngajar saja kuliahnya? Kan, nanti lebih gampang konsultasinya.”

“Wah, ide bagus, tuh!” ucap seseorang yang tiba-tiba saja ke ruangan ini.

“Bapak!” ucapku malu, “nggak enak, dong, kalau sampai ngerepotin Bang Sandi.”

“Nggak ngerepotin, kok. Aku malah senang kalau kamu beneran mau,” ucap Bang Sandi cepat, “kan, bisa ketemu tiap hari. Jadi, kalau kangen tinggal lihat kamu dari jauh.”

Apa yang dikatakannya tadi? Kangen? Sama aku? Ini aku yang salah dengar, atau dia yang salah bicara, sih? Ngaco!

“Gimana menurut kamu, Nak?” tanya Bapak padaku.

“Aku nurut gimana baiknya aja, Pak.”

“Yasudah, nanti kita minta tolong Sandi daftarin kamu di sana. Sandi, kamu mau, kan, nolongin Bapak?” tanya Bapak menghadap ke arah pria yang baru aku kenal hari ini.

“Tentu saja, Pak. Dengan senang hati akan saya lakukan.”

“Terima kasih banyak, Nak. Dengan begitu, Bapak akan lebih tenang melepaskan Adriana untuk pergi ke sana. Karena Bapak yakin kamu akan menjaganya dengan baik.”

Bapak menepuk pelan pundak Bang Sandi. Terlihat jelas cinta pertamaku itu begitu percaya padanya.

“Yasudah, kalian lanjutkan ngobrolnya. Bapak mau temui dokter dulu. Semoga saja besok kamu sudah boleh pulang.”

Bapak mengelus puncak kepalaku pelan, kemudian meninggalkan kami lagi.

“Ehm, Bang. Maaf, ya, aku ngerepotin lagi,” ucapku sedikit canggung padanya.

“It’s oke. Malah aku seneng, kok, kalau kamu beneran kuliah di sana.”

“Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya.

“Eh, ma–maksudnya … sebenarnya aku ….”

***

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status