“Bang Sandi? Ngapain Abang ke sini? Kan, aku udah bilang nggak usah ikut,” ucapku sedikit berbisik setelah pria itu berada di dekatku. “Niatnya tadi mau ke masjid, kata ibu lewat sini, terus nggak sengaja dengar ucapan mereka. Jadinya aku mampir lah.” Penjelasannya cukup masuk akal. Sebab, arah menuju ke sana memang lewat sini. “Oh, jadi ini selingkuhan kamu itu, Adriana? Pinter juga kamu cari cowok ganteng. Mana keliatannya tajir banget lagi.” Lagi-lagi Bu Monic mengucapkan kalimat pedasnya. “Huum. Mana masih perjaka pula,” ucap Bu Anggi, bestie Bu Monic dalam hal ngegosip. Mereka berdua memang cocok. Awalnya aku tak berniat untuk membalas, tapi setelah mendengar ucapan terakhirnya, aku pun naik pitam. “Mungkin dia pakai susuk kali, Bu Anggi, makanya mudah bagi dia cari cowok ganteng plus kaya kek gini.” Aku meletakkan belanjaanku dan berniat ingin membungkam mulut mereka, tapi Bang Sandi menahanku dan ia pun berjalan ke arah mereka. “Sekali lagi kalian berbicara yang tidak-t
Sesampainya di rumah, ibu menyambut. Mungkin beliau heran karena melihat kamu yang pulang bersama. “Loh, Nak Sandi, kok, kalian bisa pulang bersama? Bukannya tadi kamu mau ke masjid?” tanya Ibu setelah dekat. “Iya, Bu, tadi itu ada ma—” Aku menyenggolnya pelan. Memberikannya kode agar ia tidak menceritakan pada Ibu. “Ada apa?” Ibu kembali bertanya. “Enggak ada apa-apa, kok, Bu. Tadi kami nggak sengaja ketemu di jalan.” Semoga ibu percaya dengan penjelasanku. “Tapi ….” Ibu menggantung ucapannya. Apa mungkin beliau curiga? “Ehm, Bu, aku pamit ke belakang dulu, ya. Assalamualaikum.” Aku langsung berlari ke belakang dan berharap Bang Sandi tak menceritakan tentang kejadian tadi pada Ibu. Aku menuju ke kolam ikan yang yang ada di belakang rumah. Duduk di tepiannya dan memandang beberapa ikan yang tengah berenang dengan lincahnya. Suasana seperti ini mengingatkanku akan kenangan pahit bersama Mas Denny. Di mana aku akan berlari menuju sungai sekedar untuk melihat ikan-
“Itu, kan, Bapak. Kenapa jalannya mengendap-endap?” Aku semakin menajamkan pandanganku agar bisa melihatnya dengan jelas. Terlihat pria paruh baya itu berjalan ke sudut pagar belakang rumah menemui seorang pria yang tentu saja aku kenali. “Mas Denny?” Mereka tampak sedikit berdebat, sayangnya aku tak bisa melihat dengan jelas dan mendengar apa yang mereka bicarakan. Hingga akhirnya bapak memberikannya sebuah amplop yang aku yakini isinya adalah … uang?! Bukankah bapak begitu membenci Mas Denny? Tapi kenapa mereka terlihat akrab sampai memberikan uang? Sebenarnya apa yang terjadi? Setelah mendapatkan uang itu, Mas Denny tersenyum dan pergi meninggalkan bapak. Sedangkan pria paruh baya itu kembali ke halaman depan dengan matanya yang terus memperhatikan keadaan sekitar. “Pak, sebenarnya apa yang bapak sembunyikan? Apakah kalian bekerja sama untuk menceraikanku?” gumamku lirih. Air mata pun kembali membanjiri pipi. Sore harinya, bapak mengetuk pintu kamarku. Beliau pun masuk setela
Bang Sandi dan keluarganya sudah bersiap menuju ke bandara, karena saat ini juga mereka akan kembali ke Sulawesi. Entah mengapa rasanya berat sekali melepaskan kepergian mereka. Ya, aku tahu, ini semua memang salahku, tapi bukankah ini juga kesalahan takdir yang begitu mempermainkan kehidupanku? ‘Lalu, bagaimana dengan perasaan Sandi, Adriana? Bukankah kau juga telah mempermainkan dirinya?’ bisik hati kecilku. Tidak, bukan begitu maksudku. Air mataku terus menetes menciptakan sungai air mata yang mengalir dengan derasnya. Rasanya berat sekali melepaskan Bang Sandi, terlebih pria itu begitu baik dan rela datang jauh-jauh hanya untuk menemuiku. Begitu juga dengan Bu Putri dan kedua anak gadisnya. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Satu-persatu dari mereka mulai memasuki mobil yang akan membawa mereka menuju ke bandara. Ketika pria berusia dua puluh lima tahun itu akan masuk ke dalam mobil, aku berlari menghampirinya. Memeluk pemilik tubuh jangkung itu dan menangis dalam peluka
Aku berjalan mendekat ke arah mereka. Bukannya takut atau berhenti membicarakan keburukanku, kedua ibu bermulut tajam itu malah semakin gencar memfitnahku. “Eh, tapi denger-denger kalau uang Panai itu, kan, bakal semakin besar kalau si ceweknya semakin tinggi status sosial atau pendidikannya. Jangan-jangan, dia sengaja mau lanjut kuliah biar bisa naikin tarif harga dirinya.” Kedua wanita itu tertawa dengan lepasnya tanpa peduli dengan teguran dari pegawai minimarket. Aku bersedekah dada setelah sampai di hadapan mereka. Dengan tenang, kubuat satu persatu dari mereka kena mental karena telah menghina dan memfitnahku sekejam itu. “Ibu ini peramal, ya? Kok, bisa tahu niat saya yang sebenarnya buat naikin harga dari diri saya? Ya, minimal sampai satu miliar gitu. Kan, lumayan bisa naikin tarif kehidupan selanjutnya. Daripada anak ibu, gratisan. Bahkan sampai hamil tanpa adanya seorang suami,” ucapku pada Bu Sri. Seketika itu wajahnya berubah memerah bak kepiting rebus. “Kamu!!” ucapny
“Siapa itu, Dek?” tanya seorang pria di seberang sana yang aku yakini adalah Bang Sandi. “Nggak tahu, nih, Bang. Suaranya cewek, nama kontaknya wanita nggak jelas,” jawab wanita itu. Apa? Wanita nggak jelas? Jadi, semarah itu Bang Sandi sampai menamai kontakku seperti itu? “Wanita nggak jelas apaan? Kamu jangan fitnah, aku nggak pernah bikin kontak kayak gitu!” “Aaaa Abang!” ucap wanita itu dengan suara manjanya. “Udah, sono mandi! Bau asem.” Air mataku semakin mengalir mendengar obrolan mereka. “Halo? Adriana? Apa kabar?” tanya Bang Sandi. Semudah itu ia berbicara tanpa terpikir bagaimana perasaanku mendengar obrolan mereka. “Alhamdulillah, baik,” ucapku dengan suara bergetar. “Diana, kamu habis nangis? Kenapa?” Terdengar suara Bang Sandi begitu khawatir. “Nggak!” jawabku cuek. “Cerita sama Abang, Diana!” “Nggak perlu. Takut ganggu waktu kebersamaan kalian.” “Waktu kebersamaan apa, Diana?” “Nggak usah ngeles. Itu barusan aku dengar sendiri. Cewek itu bilang Abang lagi ma
“Ka–kamu? Mau apa kamu datang ke sini?” tanyaku pada pria yang beberapa bulan lalu mengatakan hal yang tabu kepada Bapak.“Bagaimana keadaanmu, Cantik?” tanyanya menatapku dengan tatapan sinis. “Mau ngapain kamu? Jangan macam-macam atau aku akan teriak!” ancamku padanya. Namun, bukannya mundur pria itu malah semakin berani menggenggam tanganku. Setelah itu, bukannya menolak, aku malah manut dan menuruti semua perintahnya. Seolah-olah hewan yang tunduk kepada pawangnya. Dalam posisi yang masih berdiri di ambang pintu, pria itu berusaha membimbing tubuhku untuk masuk lebih dalam ke ruang pribadiku ini. Namun, sebelum kami sempat masuk lebih dalam, tiba-tiba pria itu berteriak dan menyadarkanku dari pengaruhnya. “Sialan! Mau apa kau dengan Kakakku, Bajingan?” Aldo memukul wajah pria itu dengan sangat brutal. Aku yang masih setengah sadar hanya bisa diam dan mematung menyaksikan pertarungan diantara mereka. “Apa kau akan melakukan kejahatan padanya? Jika iya, hadapi aku terlebih dahul
Setelah sedikit berdebat, akhirnya kami membawa pria itu ke rumah sakit. Dengan luka yang separah itu, aku yakin ia akan mengalami banyak jahitan dan pengobatan yang begitu intensif. Kami menunggu di kursi tunggu yang ada di depan ruang operasi. Aku dan Aldo duduk di kursi yang tersedia. Sedangkan Bapak terus mondar mandir di depan kami dengan raut wajah penuh kekhawatiran. “Pak, sebenarnya siapa pria itu? Mengapa bapak begitu khawatir padanya?” Aldo yang tak tahan melihat kegelisahan bapak pun akhirnya nekat bertanya. “Dia itu nyawa dalam keluarga kita. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, Bapak nggak tahu apakah kita bisa melanjutkan kehidupan yang menyenangkan seperti selama ini atau tidak!” Penjelasan bapak begitu ambigu, antara memberi penjelasan atau tebakan. “Pak, bicara dengan jelas. Penjelasan bapak membuat kami semakin bingung,” ucapAldo mendesak pria paruh baya itu. “Do, sebenarnya dia adalah —” “Permisi. Dengan keluarga pasien?” tanya seorang dokter yang tiba-tiba k
Pria tampan yang berdiri di sampingku itu menggenggam tanganku erat. “Rani, aku ingin kamu tahu, aku menghargai apa yang pernah kita miliki, tapi itu masa lalu. Sekarang, aku adalah suami Adriana, dan dia adalah satu-satunya wanita yang aku cintai.” “Tapi Sandi, kita pernah punya mimpi bersama,” balas Rani dengan suara bergetar. “Mimpi itu sudah mati, Rani,” jawab Bang Sandi tegas, “aku sadar, perasaan itu hanya rasa sayang pada adik sebagai Kakak, bukan kepada pasangan yang diharapkan menjadi pendamping hidup. Aku bahagia dengan Adriana, Ran, dan aku tidak akan biarkan apa pun merusak hubungan kami.” Rani menatap kami dengan tatapan terluka. "Kamu jahat, Sandi! Kamu tega ninggalin aku demi wanita ini!" ucapnya menunjuk tanpa menoleh ke arahku. Bang Sandi melepaskan pegangan tangannya padaku dan berjalan mendekati Rani. "Ran, kamu wanita yang baik. Jujur, aku sayang sama kamu
Malam itu aku menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Pesan dari nomor tak dikenal itu seolah menarikku kembali ke pusaran ketidakpastian. Namun, sebelum aku tenggelam terlalu jauh dalam pikiranku sendiri, Bang Sandi tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Rambutnya basah, dengan senyum hangat yang membuat jantungku sedikit tenang. Dia duduk di sampingku di ranjang, mengusap punggung tanganku dengan penuh kasih. “Kamu kelihatan tegang. Ada apa, Sayang?” Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa, tapi sebelum aku bisa memikirkan alasan, Bang Sandi menarik ponsel dari genggamanku. Ekspresinya berubah tegas begitu melihat pesan yang baru saja masuk. “Ini dari siapa lagi?” tanyanya. Suaranya rendah, tapi penuh amarah yang ia coba sembunyikan. “Aku nggak tahu, Bang. Pesan ini sudah beberapa kali muncul,” jawabku jujur. Bang Sandi menghe
Setelah akad selesai dan para tamu mulai menikmati hidangan di resepsi, Bang Sandi tetap menggenggam tanganku, tidak pernah melepasnya meskipun kami sibuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan teman-teman. Tatapannya tak pernah berpaling dariku, seolah ingin memastikan aku tahu betapa berharganya aku baginya. Saat jeda sejenak, kami duduk di pelaminan. Aku menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Namun, sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia tiba-tiba berbisik, “Abang punya sesuatu untuk kamu.” Aku mengernyit bingung. “Apa, Bang? Di sini, sekarang?” Dia tersenyum kecil, lalu merogoh saku jasnya. Dari sana, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru. Aku mengerutkan kening, terkejut. “Bang, ini apa lagi? Bukannya kita sudah banyak hadiah hari ini?” Dia membuka kotak itu, menampakkan sebuah cincin sederhana dengan ukiran nama kami di bagian dalamnya. “Ini bukan sekadar cincin, Di. Ini simbol dari janji Abang. Cincin ini akan selalu ada di tangan Abang, sebagai penging
Malam itu, setelah pesan misterius pertama masuk, aku berusaha untuk mengabaikannya. Namun, rasa tidak tenang tetap menghantuiku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan membaca ulang pesan-pesan dari Bang Sandi yang selalu penuh cinta dan perhatian. Baru saja aku meletakkan ponsel di meja, getarannya kembali membuatku tersentak. Pesan lain dari nomor yang sama muncul: [Pernikahan sempurna? Hati-hati, tidak semua yang terlihat indah benar-benar seperti itu.] Aku menggigit bibir, mencoba menahan rasa takut yang mulai menyeruak. Aku tidak ingin berpikir macam-macam, tapi kalimat itu terasa seperti ancaman. Keesokan harinya, saat aku sedang sibuk di butik kebaya, ponselku kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Foto itu menunjukkan aku dan Bang Sandi sedang fitting baju kemarin sore—diambil dari sudut yang jelas-jelas bukan dari orang yang kami kenal. Pesan menyusul beberap
Beberapa hari menjelang pernikahan, Bang Sandi semakin sering menunjukkan kebucinan yang membuat hatiku serasa meleleh. Pagi itu, saat aku sedang sibuk dengan persiapan terakhir, dia datang ke kamarku dengan segelas coklat panas di tangannya, senyum lebarnya menghiasi wajah tampannya. “Ini, buat kamu,” katanya, menyodorkan gelas itu, “Abang tahu kamu suka coklat panas di pagi hari.” Aku tersenyum, menerima gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Bang. Abang benar-benar perhatian, ya.” Dia duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan tatapan penuh kelembutan. “Abang akan selalu berusaha membuat hari-harimu lebih baik, Di. Kamu nggak tahu betapa berartinya kamu buat Abang.” Hatiku berdebar. Meskipun kami sudah lama saling mengenal, rasa cinta yang ia tunjukkan seolah terus tumbuh, membuatku semakin merasa dihargai dan dicintai. Aku meletakkan gelas coklat di meja samping tempat tidur dan meraih tangannya. “Bang, aku … aku nggak tahu bagaimana menggambarkan
Seminggu sebelum acara lamaran, rumah kami kembali dipenuhi kesibukan yang berbeda. Bukan hanya karena persiapan keluarga, tetapi juga karena kedatangan keluarga Bang Sandi dari Sulawesi. Bu Putri, ibunya Bang Sandi, adalah sosok yang ramah dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya. Silvia dan Sundari, dua adik perempuannya, membawa energi ceria yang segera menghangatkan suasana rumah. “Kak Diana, senang sekali bisa ketemu lagi. Bang Sandi selalu mikirin Kakak selama beberapa bulan tragedi itu,” ujar Silvia, sambil memelukku dengan hangat. Sundari, yang tampak lebih pemalu, hanya tersenyum kecil, tapi matanya bersinar. “Iya, Kak Diana. Bang Sandi sering bilang kalau dia khawatir sekaligus rindu banget sama Kakak.” Aku hanya bisa tersenyum kikuk, merasakan wajahku mulai memanas. “Ah, masa sih?” Bu Putri mendekat, menggenggam tanganku dengan lembut. “Nak Diana, terima kasih sudah menerima Sandi kembali. Ibu tahu perjalanan kalian nggak mudah, tapi Sandi bilang, kamu
Malam itu, aku masih duduk di beranda. Udara dingin yang menyentuh kulitku terasa menenangkan, tapi pikiranku jauh dari kata tenang. Kembalinya Ibu ke rumah, kehangatan keluarga yang kembali menyatu, dan … kehadiran Bang Sandi. Semua itu bercampur menjadi satu yang membuatku sulit memejamkan mata. “Diana." Suara lembut Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku menoleh, melihatnya berdiri dengan selimut di tangan. “Udara di luar dingin. Jangan sampai sakit.” Aku tersenyum tipis dan menerima selimut itu. “Terima kasih, Bu.” Ibu duduk di sebelahku, memperhatikan langit berbintang. Hening menyelimuti kami beberapa saat sebelum wanita paruh baya itu membuka suara. “Kamu tahu, Nak, kebahagiaan itu nggak selalu datang dua kali. Kadang, kita perlu berani mengambil langkah meskipun perasaan kita masih takut.” Aku menatapnya. “Maksud Ibu?” Ibu tersenyum penuh arti. “Ibu tahu hubunganmu dengan Sandi dulu berakhir karena keputusanmu, tapi kamu lihat sendiri, kan? Dia masih ada di sini, di
Beberapa bulan semenjak kemenangan itu telah berlalu dan meskipun tantangan baru terus datang, kami tetap berdiri teguh. Setiap hari adalah langkah baru menuju kebebasan mutlak. Kami terus bekerja untuk memastikan bahwa dunia yang kami bangun adalah dunia yang lebih baik, tempat di mana keadilan dan kedamaian adalah hak setiap orang, bukan sekadar impian. Kami telah memenangkan pertempuran ini, tetapi yang lebih penting adalah bahwa kami telah memperoleh kebebasan sejati—bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi untuk seluruh dunia yang kami cintai. Kami tahu bahwa perjuangan akan terus berlanjut, tapi kini kami tidak lagi berperang untuk bertahan hidup. Kami berperang untuk menjaga apa yang telah kami capai. Di setiap langkah perjalanan itu, kami tahu satu hal: kebebasan yang sejati hanya bisa ditemukan melalui persatuan, pengorbanan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Kami akan melanjutkan perjuangan ini—bersama, selamanya. Sore ini, aku dan Aldo duduk termenung di bangku taman
Malam itu, setelah kami kembali ke markas, suasana berubah. Tidak ada lagi ketegangan yang mencekam. Api unggun dinyalakan di tengah-tengah kamp dan wajah-wajah yang tadinya penuh kekhawatiran kini dipenuhi senyum. Meski lelah, ada perasaan lega yang menyelimuti kami semua. Berita tentang kehancuran jembatan musuh segera menyebar ke seluruh pasukan. Jalur logistik utama mereka kini telah terputus, membuat mereka kehilangan kemampuan untuk mendistribusikan pasokan makanan, senjata, dan bala bantuan. Dengan demikian, kekuatan mereka perlahan melemah, seperti ular yang kehilangan bisa. "Informasi dari pengintai kita pagi ini mengonfirmasi," kata Bapak berdiri di hadapan tim inti sambil memegang peta. "Musuh telah mundur ke wilayah selatan, menjauh dari desa kita. Mereka terpaksa meninggalkan banyak peralatan berat yang tidak bisa mereka bawa melintasi medan yang sulit tanpa jembatan itu." Reza, yang duduk di sampingku, menyeringai kecil. "Jadi, mereka sekarang hanya bisa mengandalkan