Aku berjalan mendekat ke arah mereka. Bukannya takut atau berhenti membicarakan keburukanku, kedua ibu bermulut tajam itu malah semakin gencar memfitnahku. “Eh, tapi denger-denger kalau uang Panai itu, kan, bakal semakin besar kalau si ceweknya semakin tinggi status sosial atau pendidikannya. Jangan-jangan, dia sengaja mau lanjut kuliah biar bisa naikin tarif harga dirinya.” Kedua wanita itu tertawa dengan lepasnya tanpa peduli dengan teguran dari pegawai minimarket. Aku bersedekah dada setelah sampai di hadapan mereka. Dengan tenang, kubuat satu persatu dari mereka kena mental karena telah menghina dan memfitnahku sekejam itu. “Ibu ini peramal, ya? Kok, bisa tahu niat saya yang sebenarnya buat naikin harga dari diri saya? Ya, minimal sampai satu miliar gitu. Kan, lumayan bisa naikin tarif kehidupan selanjutnya. Daripada anak ibu, gratisan. Bahkan sampai hamil tanpa adanya seorang suami,” ucapku pada Bu Sri. Seketika itu wajahnya berubah memerah bak kepiting rebus. “Kamu!!” ucapny
“Siapa itu, Dek?” tanya seorang pria di seberang sana yang aku yakini adalah Bang Sandi. “Nggak tahu, nih, Bang. Suaranya cewek, nama kontaknya wanita nggak jelas,” jawab wanita itu. Apa? Wanita nggak jelas? Jadi, semarah itu Bang Sandi sampai menamai kontakku seperti itu? “Wanita nggak jelas apaan? Kamu jangan fitnah, aku nggak pernah bikin kontak kayak gitu!” “Aaaa Abang!” ucap wanita itu dengan suara manjanya. “Udah, sono mandi! Bau asem.” Air mataku semakin mengalir mendengar obrolan mereka. “Halo? Adriana? Apa kabar?” tanya Bang Sandi. Semudah itu ia berbicara tanpa terpikir bagaimana perasaanku mendengar obrolan mereka. “Alhamdulillah, baik,” ucapku dengan suara bergetar. “Diana, kamu habis nangis? Kenapa?” Terdengar suara Bang Sandi begitu khawatir. “Nggak!” jawabku cuek. “Cerita sama Abang, Diana!” “Nggak perlu. Takut ganggu waktu kebersamaan kalian.” “Waktu kebersamaan apa, Diana?” “Nggak usah ngeles. Itu barusan aku dengar sendiri. Cewek itu bilang Abang lagi ma
“Ka–kamu? Mau apa kamu datang ke sini?” tanyaku pada pria yang beberapa bulan lalu mengatakan hal yang tabu kepada Bapak.“Bagaimana keadaanmu, Cantik?” tanyanya menatapku dengan tatapan sinis. “Mau ngapain kamu? Jangan macam-macam atau aku akan teriak!” ancamku padanya. Namun, bukannya mundur pria itu malah semakin berani menggenggam tanganku. Setelah itu, bukannya menolak, aku malah manut dan menuruti semua perintahnya. Seolah-olah hewan yang tunduk kepada pawangnya. Dalam posisi yang masih berdiri di ambang pintu, pria itu berusaha membimbing tubuhku untuk masuk lebih dalam ke ruang pribadiku ini. Namun, sebelum kami sempat masuk lebih dalam, tiba-tiba pria itu berteriak dan menyadarkanku dari pengaruhnya. “Sialan! Mau apa kau dengan Kakakku, Bajingan?” Aldo memukul wajah pria itu dengan sangat brutal. Aku yang masih setengah sadar hanya bisa diam dan mematung menyaksikan pertarungan diantara mereka. “Apa kau akan melakukan kejahatan padanya? Jika iya, hadapi aku terlebih dahul
Setelah sedikit berdebat, akhirnya kami membawa pria itu ke rumah sakit. Dengan luka yang separah itu, aku yakin ia akan mengalami banyak jahitan dan pengobatan yang begitu intensif. Kami menunggu di kursi tunggu yang ada di depan ruang operasi. Aku dan Aldo duduk di kursi yang tersedia. Sedangkan Bapak terus mondar mandir di depan kami dengan raut wajah penuh kekhawatiran. “Pak, sebenarnya siapa pria itu? Mengapa bapak begitu khawatir padanya?” Aldo yang tak tahan melihat kegelisahan bapak pun akhirnya nekat bertanya. “Dia itu nyawa dalam keluarga kita. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, Bapak nggak tahu apakah kita bisa melanjutkan kehidupan yang menyenangkan seperti selama ini atau tidak!” Penjelasan bapak begitu ambigu, antara memberi penjelasan atau tebakan. “Pak, bicara dengan jelas. Penjelasan bapak membuat kami semakin bingung,” ucapAldo mendesak pria paruh baya itu. “Do, sebenarnya dia adalah —” “Permisi. Dengan keluarga pasien?” tanya seorang dokter yang tiba-tiba k
"Pak, apa tidak sebaiknya kita pulang dulu saja?" tanyaku pada Bapak setelah Aldo sedikit lebih tenang. Kini, pria yang tak pernah meninggalkanku dalam keadaan apapun itu duduk menjauh dari kami. Mungkin ia takut kembali terbawa emosi jika dekat dengan Bapak. "Tidak, Nak. Bapak masih harus mengurus Salman setelah operasinya selesai." Jawaban Bapak cukup membuatku kecewa. "Tapi aku harus berkemas untuk keberangkatanku ke Sulawesi besok, Pak. Lagipula diantara kita tidak ada yang memberikan kabar pada ibu. Aku takut ibu kepikiran." Aku sedikit mengeluh ketika mengatakannya. Memang benar, sampai saat ini kami belum menghubungi ibu. Aku yakin, pasti wanita surgaku itu saat ini sangat khawatir. Terlebih diantara kami tak ada yang membawa ponsel. "Begini saja, kamu pulang bersama Aldo, biar Bapak saja yang di sini nungguin Salman." "Berarti, besok Bapak nggak akan nganterin aku ke bandara? Tega sekali Bapak!" ucapku dengan bibir yang cemberut. "Bapak usahain, ya, untuk cepat pul
"Kalimat itu mengungkapkan kalau sampai Salman meninggal ulah keluarga kita dan utang belum lunas, Bapak harus membayar bunga beserta dendanya lima kali lipat kepada istrinya. Dan, dalam perjanjian itu juga disebutkan kalau Bapak harus jadi penjaga dan pelindungnya walau tanpa bayaran." Aku tercengang untuk yang kesekian kalinya mendengar penjelasan dari Bapak. Memangnya ada isi perjanjian yang seperti itu? "Jadi bodyguard gratisan maksudnya, Pak?" "Huum," "Kalau melawan apa ada sanksinya?" "Tentu saja ada. Kalau Bapak sampai melawan atau memberontak, kalian yang akan jadi korbannya. Dia bakal nyuruh orang buat ngehancurin rumah tangga kita. Karena Bapak nggak mau kalian kenapa-napa, makanya Bapak harus berjuang semaksimal mungkin supaya nggak terjadi apa-apa pada Salman." "Tapi Bapak bilang kalian dekat dan akrab. Masa iya dia tega melakukan itu pada keluarga kita?" "Sifat dan karakter asli seseorang nggak bisa ditebak semudah menebak isi dalam lotre. Kita masih p
"Sebenarnya Kakak pernah didatangi oleh seseorang dan orang itu bilang sesuatu tentang Mas Denny," "Apa katanya, Kak?" "Orang itu belum sempat menyelesaikan ucapannya, tapi dia bilang seperti ini, 'Diana, Denny yang ada disekitar kamu itu sebenarnya ....' Nah, sampai disitu doang," "Maksudnya apa? Kakak kenal sama orangnya?" "Anehnya Kakak kenal, bahkan kenal banget." "Siapa, Kak? Gimana kalau kita datengin orang itu?" "Enggak, Do. Nggak mungkin kita datengin dia." "Why?!" "Karena orang itu adalah Mas Denny sendiri." "Tunggu-tunggu. Ini maksudnya Mas Denny yang datang, terus dia juga yang mau mengungkapkan kebenaran tentang dirinya sendiri? Aneh banget nggak, sih, Kak?" "Pertanyaan itu juga yang bikin Kakak bingung. Ucapannya itu kayak ada dua orang Denny yang ada di sekitar Kakak," "Kak, kita harus cari tahu tentang ini!" "Gimana caranya, Do? Besok, kan, Kakak harus berangkat ke Sulawesi." Aku berucap dengan suara yang sedikit pelan karena saat ini
Aldo tampak memerhatikan layar ponselku, wajahnya semakin serius. "Ini nggak main-main, Kak. Kita nggak bisa diem aja," katanya sambil meremas ponselku pelan, seolah-olah ingin memberi kekuatan agar aku juga merasa yakin. Aku mengangguk perlahan, meski perasaan takutku masih belum hilang. "Tapi apa yang harus kita lakukan, Do? Kalau semuanya ini cuma perasaan aku aja—" "Tapi kalau bukan cuma perasaan, gimana?" Aldo menyela, suaranya penuh tekad. "Kita harus cari tahu lebih dalam, Kak. Jangan sampe kita ngelewatin sesuatu yang penting." Aku menunduk, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Aldo, tapi saat itu rasa takut justru semakin menggerayangi hati. Sosok di luar jendela, pesan-pesan misterius, dan kata-kata Mas Denny yang berulang kali terngiang-ngiang dalam benakku. Aku merasa terperangkap dalam jaring yang semakin rapat. Aldo duduk di kursi dekat tempat tidurku, tangannya terlipat di depan dada. "Kak, kita nggak bisa diam aja. Aku udah punya beberapa ide, tapi ka
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da
--- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar
--- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,
---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut
Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te
Malam semakin larut, tapi kami semua masih terjaga di ruang tamu. Iqbal terus sibuk dengan laptopnya, mencoba menggali lebih dalam tentang petunjuk yang ia temukan. Bang Sandi duduk di sampingku, tangannya tak pernah lepas menggenggamku seolah takut aku menghilang. "Ini dia," kata Iqbal tiba-tiba, membuat kami berdua terlonjak, "aku nemu sesuatu yang menarik." "Apa?" tanyaku, mendekat ke arahnya. Iqbal memutar layar laptopnya ke arah kami. "Email kalian sempat menerima pesan mencurigakan sebulan lalu, tapi langsung terhapus. Untungnya, ada log yang tersimpan." Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Kalian nggak akan bisa lari dari masa lalu." Aku merasakan darahku membeku. "Masa lalu? Maksudnya apa?" Iqbal menggeleng. "Itu yang harus kita cari tahu. Pesan ini dikirim dari jaringan umum di sekitar kampus, sama seperti alamat IP yang tadi." Bang Sandi tampak berpikir keras. "Jaringan umum? Berarti pelaku bisa siapa saja." "Tepat," sahut Iqbal, "tapi ada satu hal aneh. Aku
Pagi itu, suasana rumah terasa tegang. Aku duduk di meja makan memandangi secangkir kopi yang hampir dingin. Bang Sandi berada di seberangku, menatapku dengan pandangan penuh perhatian. Dia tahu aku masih terguncang oleh foto-foto yang kami temukan tadi malam. "Sayang, kamu yakin nggak mau makan dulu?" tanyanya dengan suaranya yang lembut. Aku menggeleng pelan. "Aku nggak lapar, Bang" Ia mendesah, lalu bangkit dari kursinya dan berjongkok di sampingku. Tangannya menggenggam tanganku erat. "Kamu harus kuat, Sayang. Abang janji kita akan selesaikan ini sama-sama. Abang nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu." Aku menatapnya, mataku mulai berkaca-kaca, "tapi aku takut, Bang. Orang ini tahu segalanya tentang kita. Dia bahkan masuk ke rumah kita, ke kamar kita .…"Bang Sandi mengusap pipiku dengan ibu jarinya. "Abang nggak akan biarin dia nyakitin kamu. Kamu percaya sama Abang, kan?" Aku mengangguk pelan, tapi rasa takut itu tetap ada, seperti duri yang menancap di hatiku. Iqbal
--- Aku menggenggam erat tangan Bang Sandi saat kami kembali ke kantor polisi membawa bukti baru, foto pernikahan yang dirusak dan rekaman kamera pengawas. Pak Ridwan memeriksa semuanya dengan wajah serius, sesekali berdiskusi dengan rekan-rekannya. "Ini jelas tindakan yang disengaja dan terencana," ujarnya sambil menatap kami, "kami akan mencoba melacak orang ini dari jejak yang ditinggalkannya, tapi butuh waktu." Iqbal yang ikut menemani kami ke kantor polisi dan tampak tak sabar. "Pak, apa nggak ada cara lebih cepat? Orang ini udah terlalu berani!" Pak Ridwan menghela napas. "Kami akan memprioritaskan kasus ini, tapi kalian juga harus membantu kami. Ada sesuatu yang mencurigakan atau siapa saja yang pernah bermasalah dengan kalian?" Aku dan Bang Sandi saling berpandangan. Pertanyaan itu menggantung seperti beban di udara. "Aku nggak tahu, Pak," jawabku akhirnya, "kami nggak punya musuh. Kehidupan kami biasa saja." Di sisi lain, Bang Sandi tampak berpikir keras. Ia m