"Pak, apa tidak sebaiknya kita pulang dulu saja?" tanyaku pada Bapak setelah Aldo sedikit lebih tenang. Kini, pria yang tak pernah meninggalkanku dalam keadaan apapun itu duduk menjauh dari kami. Mungkin ia takut kembali terbawa emosi jika dekat dengan Bapak. "Tidak, Nak. Bapak masih harus mengurus Salman setelah operasinya selesai." Jawaban Bapak cukup membuatku kecewa. "Tapi aku harus berkemas untuk keberangkatanku ke Sulawesi besok, Pak. Lagipula diantara kita tidak ada yang memberikan kabar pada ibu. Aku takut ibu kepikiran." Aku sedikit mengeluh ketika mengatakannya. Memang benar, sampai saat ini kami belum menghubungi ibu. Aku yakin, pasti wanita surgaku itu saat ini sangat khawatir. Terlebih diantara kami tak ada yang membawa ponsel. "Begini saja, kamu pulang bersama Aldo, biar Bapak saja yang di sini nungguin Salman." "Berarti, besok Bapak nggak akan nganterin aku ke bandara? Tega sekali Bapak!" ucapku dengan bibir yang cemberut. "Bapak usahain, ya, untuk cepat pul
"Kalimat itu mengungkapkan kalau sampai Salman meninggal ulah keluarga kita dan utang belum lunas, Bapak harus membayar bunga beserta dendanya lima kali lipat kepada istrinya. Dan, dalam perjanjian itu juga disebutkan kalau Bapak harus jadi penjaga dan pelindungnya walau tanpa bayaran." Aku tercengang untuk yang kesekian kalinya mendengar penjelasan dari Bapak. Memangnya ada isi perjanjian yang seperti itu? "Jadi bodyguard gratisan maksudnya, Pak?" "Huum," "Kalau melawan apa ada sanksinya?" "Tentu saja ada. Kalau Bapak sampai melawan atau memberontak, kalian yang akan jadi korbannya. Dia bakal nyuruh orang buat ngehancurin rumah tangga kita. Karena Bapak nggak mau kalian kenapa-napa, makanya Bapak harus berjuang semaksimal mungkin supaya nggak terjadi apa-apa pada Salman." "Tapi Bapak bilang kalian dekat dan akrab. Masa iya dia tega melakukan itu pada keluarga kita?" "Sifat dan karakter asli seseorang nggak bisa ditebak semudah menebak isi dalam lotre. Kita masih p
"Sebenarnya Kakak pernah didatangi oleh seseorang dan orang itu bilang sesuatu tentang Mas Denny," "Apa katanya, Kak?" "Orang itu belum sempat menyelesaikan ucapannya, tapi dia bilang seperti ini, 'Diana, Denny yang ada disekitar kamu itu sebenarnya ....' Nah, sampai disitu doang," "Maksudnya apa? Kakak kenal sama orangnya?" "Anehnya Kakak kenal, bahkan kenal banget." "Siapa, Kak? Gimana kalau kita datengin orang itu?" "Enggak, Do. Nggak mungkin kita datengin dia." "Why?!" "Karena orang itu adalah Mas Denny sendiri." "Tunggu-tunggu. Ini maksudnya Mas Denny yang datang, terus dia juga yang mau mengungkapkan kebenaran tentang dirinya sendiri? Aneh banget nggak, sih, Kak?" "Pertanyaan itu juga yang bikin Kakak bingung. Ucapannya itu kayak ada dua orang Denny yang ada di sekitar Kakak," "Kak, kita harus cari tahu tentang ini!" "Gimana caranya, Do? Besok, kan, Kakak harus berangkat ke Sulawesi." Aku berucap dengan suara yang sedikit pelan karena saat ini
Aldo tampak memerhatikan layar ponselku, wajahnya semakin serius. "Ini nggak main-main, Kak. Kita nggak bisa diem aja," katanya sambil meremas ponselku pelan, seolah-olah ingin memberi kekuatan agar aku juga merasa yakin. Aku mengangguk perlahan, meski perasaan takutku masih belum hilang. "Tapi apa yang harus kita lakukan, Do? Kalau semuanya ini cuma perasaan aku aja—" "Tapi kalau bukan cuma perasaan, gimana?" Aldo menyela, suaranya penuh tekad. "Kita harus cari tahu lebih dalam, Kak. Jangan sampe kita ngelewatin sesuatu yang penting." Aku menunduk, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Aldo, tapi saat itu rasa takut justru semakin menggerayangi hati. Sosok di luar jendela, pesan-pesan misterius, dan kata-kata Mas Denny yang berulang kali terngiang-ngiang dalam benakku. Aku merasa terperangkap dalam jaring yang semakin rapat. Aldo duduk di kursi dekat tempat tidurku, tangannya terlipat di depan dada. "Kak, kita nggak bisa diam aja. Aku udah punya beberapa ide, tapi ka
"Diana, bangun, Nak, udah pagi! Nanti kamu ketinggalan pesawat, loh." Sebuah suara membawaku pergi meninggalkan alam bawah sadarku. Napasku terengah-engah dan keringat bercucuran, tak hanya membasahi pipi, tapi seluruh tubuh. "Kamu sakit, Di?" ucap ibu khawatir menempelkan telapak tangannya ke dahi dan leherku. "Kamu demam, Nak. Kita ke rumah sakit, yuk!" Ibu terlihat sangat khawatir, tapi yang aku pikirkan bukan itu. Mimpi itu serasa nyata sekali, seperti sebuah peringatan. "Enggak, Bu. Aku nggak papa, kok," ucapku dengan suara yang sangat lemah. Entahlah, rasanya seluruh tubuhku kehilangan sendi dan otot-ototnya. Pagi itu, meski mataku masih terasa berat karena tidur yang terganggu, aku memutuskan untuk tetap melanjutkan rencana untuk pergi ke Sulawesi. Semua barang sudah terkemas, koper sudah tertutup rapat, tapi seiring berjalannya waktu, rasa gelisahku kian memuncak. Aku tak bisa menghin
Aku dan Aldo segera menyusun rencana untuk menyelidiki lebih dalam tentang Mas Denny. Kami memutuskan untuk memulai dengan mencari tahu lebih banyak tentang teman-teman dekatnya, karena itu adalah langkah pertama yang logis. Kami tahu, jika ada yang bisa memberikan petunjuk, pasti mereka."Ayo, kita coba cari informasi lewat media sosial dulu," kata Aldo sambil membuka laptop di atas meja. Ia mulai mengetik cepat, menelusuri jejak digital Mas Denny dan teman-temannya. Aku duduk di sebelahnya, menunggu sambil menatap layar dengan cemas.Aldo mengklik beberapa profil yang sepertinya terhubung dengan Mas Denny. "Ini, ada beberapa teman yang sering tampil di foto-fotonya. Ada yang bernama Riko, yang ini temannya sejak kuliah. Ada juga seorang cewek, namanya Maya, kelihatannya cukup dekat."Aku mengangguk, meskipun hati masih terasa gelisah. "Apa kamu bisa hubungi mereka?" tanyaku dengan suara sedikit bergetar.Aldo mengan
Sesampainya di rumah, kami langsung mengunci pintu dan menutup semua jendela. Aldo menyalakan laptopnya dan mulai mencari informasi lebih lanjut tentang nama-nama yang ada di dokumen tadi. Sementara itu, aku duduk di sofa dengan pikiran yang masih kacau. "Do, kamu yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa melibatkan orang lain?" tanyaku akhirnya. Aldo menoleh. "Kita coba dulu, Kak. Kalau memang butuh bantuan, kita pikirkan nanti., tapi aku yakin, kalau kita sabar, semuanya bakal terungkap." Aku mengangguk pelan, meski hati ini masih penuh keraguan. Aku tahu Aldo berusaha meyakinkanku, tapi kenyataan bahwa Bapak mungkin terlibat membuat semuanya jauh lebih rumit. Setelah beberapa jam, Aldo akhirnya menemukan sesuatu. "Kak, ini Budi," katanya sambil menunjuk layar laptop. "Dia punya usaha kecil, semacam toko elektronik. Tapi beberapa bulan terakhir, tokonya tutup. Ada banyak komentar di akun media sosial
Setelah sampai di rumah, Aldo dan aku langsung menuju meja kerja di ruang tengah. Tanpa banyak bicara, kami mulai membongkar isi tas, termasuk dokumen yang kami temukan tadi dan kotak kayu kecil yang terkunci. Ruangan terasa sunyi, hanya suara kipas angin yang berputar pelan mengisi keheningan. Aldo mengambil napas panjang. “Kak, coba kita periksa catatan ini dulu. Mungkin ada petunjuk tentang Budi atau apa pun yang relevan,” katanya sambil membuka buku catatan tadi. Aku mengangguk, lalu duduk di sebelahnya. Aldo mulai memeriksa halaman demi halaman, mencari sesuatu yang menonjol. Tidak lama kemudian, ia menunjuk sebuah entri di salah satu halaman. “Lihat ini, Kak. Ada nama ‘Budi’ lagi, dan ada kode di sebelahnya—‘TG24’,” katanya. Aku memiringkan kepala, mencoba memikirkan apa arti kode itu. “Mungkin semacam kode barang atau lokasi?” Aku menebak.
Pria tampan yang berdiri di sampingku itu menggenggam tanganku erat. “Rani, aku ingin kamu tahu, aku menghargai apa yang pernah kita miliki, tapi itu masa lalu. Sekarang, aku adalah suami Adriana, dan dia adalah satu-satunya wanita yang aku cintai.” “Tapi Sandi, kita pernah punya mimpi bersama,” balas Rani dengan suara bergetar. “Mimpi itu sudah mati, Rani,” jawab Bang Sandi tegas, “aku sadar, perasaan itu hanya rasa sayang pada adik sebagai Kakak, bukan kepada pasangan yang diharapkan menjadi pendamping hidup. Aku bahagia dengan Adriana, Ran, dan aku tidak akan biarkan apa pun merusak hubungan kami.” Rani menatap kami dengan tatapan terluka. "Kamu jahat, Sandi! Kamu tega ninggalin aku demi wanita ini!" ucapnya menunjuk tanpa menoleh ke arahku. Bang Sandi melepaskan pegangan tangannya padaku dan berjalan mendekati Rani. "Ran, kamu wanita yang baik. Jujur, aku sayang sama kamu
Malam itu aku menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Pesan dari nomor tak dikenal itu seolah menarikku kembali ke pusaran ketidakpastian. Namun, sebelum aku tenggelam terlalu jauh dalam pikiranku sendiri, Bang Sandi tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Rambutnya basah, dengan senyum hangat yang membuat jantungku sedikit tenang. Dia duduk di sampingku di ranjang, mengusap punggung tanganku dengan penuh kasih. “Kamu kelihatan tegang. Ada apa, Sayang?” Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa, tapi sebelum aku bisa memikirkan alasan, Bang Sandi menarik ponsel dari genggamanku. Ekspresinya berubah tegas begitu melihat pesan yang baru saja masuk. “Ini dari siapa lagi?” tanyanya. Suaranya rendah, tapi penuh amarah yang ia coba sembunyikan. “Aku nggak tahu, Bang. Pesan ini sudah beberapa kali muncul,” jawabku jujur. Bang Sandi menghe
Setelah akad selesai dan para tamu mulai menikmati hidangan di resepsi, Bang Sandi tetap menggenggam tanganku, tidak pernah melepasnya meskipun kami sibuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan teman-teman. Tatapannya tak pernah berpaling dariku, seolah ingin memastikan aku tahu betapa berharganya aku baginya. Saat jeda sejenak, kami duduk di pelaminan. Aku menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Namun, sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia tiba-tiba berbisik, “Abang punya sesuatu untuk kamu.” Aku mengernyit bingung. “Apa, Bang? Di sini, sekarang?” Dia tersenyum kecil, lalu merogoh saku jasnya. Dari sana, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru. Aku mengerutkan kening, terkejut. “Bang, ini apa lagi? Bukannya kita sudah banyak hadiah hari ini?” Dia membuka kotak itu, menampakkan sebuah cincin sederhana dengan ukiran nama kami di bagian dalamnya. “Ini bukan sekadar cincin, Di. Ini simbol dari janji Abang. Cincin ini akan selalu ada di tangan Abang, sebagai penging
Malam itu, setelah pesan misterius pertama masuk, aku berusaha untuk mengabaikannya. Namun, rasa tidak tenang tetap menghantuiku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan membaca ulang pesan-pesan dari Bang Sandi yang selalu penuh cinta dan perhatian. Baru saja aku meletakkan ponsel di meja, getarannya kembali membuatku tersentak. Pesan lain dari nomor yang sama muncul: [Pernikahan sempurna? Hati-hati, tidak semua yang terlihat indah benar-benar seperti itu.] Aku menggigit bibir, mencoba menahan rasa takut yang mulai menyeruak. Aku tidak ingin berpikir macam-macam, tapi kalimat itu terasa seperti ancaman. Keesokan harinya, saat aku sedang sibuk di butik kebaya, ponselku kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Foto itu menunjukkan aku dan Bang Sandi sedang fitting baju kemarin sore—diambil dari sudut yang jelas-jelas bukan dari orang yang kami kenal. Pesan menyusul beberap
Beberapa hari menjelang pernikahan, Bang Sandi semakin sering menunjukkan kebucinan yang membuat hatiku serasa meleleh. Pagi itu, saat aku sedang sibuk dengan persiapan terakhir, dia datang ke kamarku dengan segelas coklat panas di tangannya, senyum lebarnya menghiasi wajah tampannya. “Ini, buat kamu,” katanya, menyodorkan gelas itu, “Abang tahu kamu suka coklat panas di pagi hari.” Aku tersenyum, menerima gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Bang. Abang benar-benar perhatian, ya.” Dia duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan tatapan penuh kelembutan. “Abang akan selalu berusaha membuat hari-harimu lebih baik, Di. Kamu nggak tahu betapa berartinya kamu buat Abang.” Hatiku berdebar. Meskipun kami sudah lama saling mengenal, rasa cinta yang ia tunjukkan seolah terus tumbuh, membuatku semakin merasa dihargai dan dicintai. Aku meletakkan gelas coklat di meja samping tempat tidur dan meraih tangannya. “Bang, aku … aku nggak tahu bagaimana menggambarkan
Seminggu sebelum acara lamaran, rumah kami kembali dipenuhi kesibukan yang berbeda. Bukan hanya karena persiapan keluarga, tetapi juga karena kedatangan keluarga Bang Sandi dari Sulawesi. Bu Putri, ibunya Bang Sandi, adalah sosok yang ramah dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya. Silvia dan Sundari, dua adik perempuannya, membawa energi ceria yang segera menghangatkan suasana rumah. “Kak Diana, senang sekali bisa ketemu lagi. Bang Sandi selalu mikirin Kakak selama beberapa bulan tragedi itu,” ujar Silvia, sambil memelukku dengan hangat. Sundari, yang tampak lebih pemalu, hanya tersenyum kecil, tapi matanya bersinar. “Iya, Kak Diana. Bang Sandi sering bilang kalau dia khawatir sekaligus rindu banget sama Kakak.” Aku hanya bisa tersenyum kikuk, merasakan wajahku mulai memanas. “Ah, masa sih?” Bu Putri mendekat, menggenggam tanganku dengan lembut. “Nak Diana, terima kasih sudah menerima Sandi kembali. Ibu tahu perjalanan kalian nggak mudah, tapi Sandi bilang, kamu
Malam itu, aku masih duduk di beranda. Udara dingin yang menyentuh kulitku terasa menenangkan, tapi pikiranku jauh dari kata tenang. Kembalinya Ibu ke rumah, kehangatan keluarga yang kembali menyatu, dan … kehadiran Bang Sandi. Semua itu bercampur menjadi satu yang membuatku sulit memejamkan mata. “Diana." Suara lembut Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku menoleh, melihatnya berdiri dengan selimut di tangan. “Udara di luar dingin. Jangan sampai sakit.” Aku tersenyum tipis dan menerima selimut itu. “Terima kasih, Bu.” Ibu duduk di sebelahku, memperhatikan langit berbintang. Hening menyelimuti kami beberapa saat sebelum wanita paruh baya itu membuka suara. “Kamu tahu, Nak, kebahagiaan itu nggak selalu datang dua kali. Kadang, kita perlu berani mengambil langkah meskipun perasaan kita masih takut.” Aku menatapnya. “Maksud Ibu?” Ibu tersenyum penuh arti. “Ibu tahu hubunganmu dengan Sandi dulu berakhir karena keputusanmu, tapi kamu lihat sendiri, kan? Dia masih ada di sini, di
Beberapa bulan semenjak kemenangan itu telah berlalu dan meskipun tantangan baru terus datang, kami tetap berdiri teguh. Setiap hari adalah langkah baru menuju kebebasan mutlak. Kami terus bekerja untuk memastikan bahwa dunia yang kami bangun adalah dunia yang lebih baik, tempat di mana keadilan dan kedamaian adalah hak setiap orang, bukan sekadar impian. Kami telah memenangkan pertempuran ini, tetapi yang lebih penting adalah bahwa kami telah memperoleh kebebasan sejati—bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi untuk seluruh dunia yang kami cintai. Kami tahu bahwa perjuangan akan terus berlanjut, tapi kini kami tidak lagi berperang untuk bertahan hidup. Kami berperang untuk menjaga apa yang telah kami capai. Di setiap langkah perjalanan itu, kami tahu satu hal: kebebasan yang sejati hanya bisa ditemukan melalui persatuan, pengorbanan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Kami akan melanjutkan perjuangan ini—bersama, selamanya. Sore ini, aku dan Aldo duduk termenung di bangku taman
Malam itu, setelah kami kembali ke markas, suasana berubah. Tidak ada lagi ketegangan yang mencekam. Api unggun dinyalakan di tengah-tengah kamp dan wajah-wajah yang tadinya penuh kekhawatiran kini dipenuhi senyum. Meski lelah, ada perasaan lega yang menyelimuti kami semua. Berita tentang kehancuran jembatan musuh segera menyebar ke seluruh pasukan. Jalur logistik utama mereka kini telah terputus, membuat mereka kehilangan kemampuan untuk mendistribusikan pasokan makanan, senjata, dan bala bantuan. Dengan demikian, kekuatan mereka perlahan melemah, seperti ular yang kehilangan bisa. "Informasi dari pengintai kita pagi ini mengonfirmasi," kata Bapak berdiri di hadapan tim inti sambil memegang peta. "Musuh telah mundur ke wilayah selatan, menjauh dari desa kita. Mereka terpaksa meninggalkan banyak peralatan berat yang tidak bisa mereka bawa melintasi medan yang sulit tanpa jembatan itu." Reza, yang duduk di sampingku, menyeringai kecil. "Jadi, mereka sekarang hanya bisa mengandalkan