Share

Bab 6

Penulis: Rarha Ira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dering ponsel menyadarkanku dari tidur siang ini. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi indah itu tanpa peduli siapa yang menghubungi. Namun, benda pipih itu kembali berdering sebelum sempat aku kembali ke alam bawah sadar.

"Siapa, sih, telepon siang bolong begini?" tanyaku dengan suara khas orang yang baru bangun tidur.

"Bangun, Dek! Kamu nggak rindu, kah, sama Abang?" Mendengar suara itu, mataku langsung terbuka dengan lebar. Rasa kantuk pun seakan menguap begitu saja.

"Bang Renal? Ini beneran Abang?" tanyaku tak percaya.

"Kebiasaan, deh, kalau jawab panggilan nggak di cek dulu," protes pria itu.

"Ngantuk, Abang. Jadi nggak fokus buat ngecek panggilan. Mana lagi mimpi indah banget lagi tadi itu."

"Jadi, Abang ganggu, nih? Yaudah, Abang matiin aja kalau gitu." Terdengar dari ucapannya bahwa pria itu sangat menyesal.

"Eh, jangan, dong! Udah dari kemarin tauk aku nungguin telepon dari Abang." Kubuat suaraku semanja mungkin.

Aku tahu, aku juga sadar, bahwa ini semua salah, tapi ... tak bisa kupungkiri bahwa rasa nyaman ini sudah merasuk ke dalam pikiran.

Renal Setiawan, pria yang kukenal beberapa bulan yang lalu itu mampu menarik seluruh perhatianku, bahkan dari suamiku sendiri.

Awal perkenalan yang tak disengaja itu membawa kami pada rasa yang salah. Yaitu rasa suka yang tak seharusnya ada. Ungkapan perasaan yang diucapkan olehnya, mampu menggoyahkan kesetiaan yang sudah kupupuk selama bertahun-tahun. Namun, semua itu tak lepas dari perilaku suami yang semena-mena dan selalu menghinaku setiap saat.

Ya, memiliki suami dengan sifat ingin menang sendiri lah yang akhirnya membuatku sedikit berpaling. Caci makinya yang selalu terdengar membuatku merasa nyaman berbincang dengan Bang Renal yang menurutku penyayang dan perhatian. Walaupun suka sama suka, tapi kami berbincang dan berkirim pesan masih dalam batas wajar.

'Dalam batas wajar bagaimana jika nyatanya kalian suka sama suka?' Pertanyaan itu sering kali muncul dalam benakku. Jujur, aku tak mampu menjawabnya, tapi tak mampu juga tuk menyangkalnya.

Berkali-kali mencoba tuk menjauh darinya, tapi nyatanya perhatian kecil itu mampu mengalihkan seluruh perhatianku.

[Gimana, sih, caranya bikin perempuan yang ngambek itu kembali ceria?] tanyanya kala itu.

[Tergantung perempuannya lah. Soalnya nggak semua perempuan itu sama. Ada yang minta didiemin dulu, ada yang pengen langsung di bujuk. Ada yang maunya di peluk dulu,] balasku menjelaskan padanya, [emang kenapa? Lagi merajuk, ya, ayangnya?]

[Iya, nih. Eh, bukan ayang maksudnya, tapi orang yang aku suka.]

[Widih. Siapa, tuh? Spill, dong, ayangnya!]

[Jangan, nanti kamu stalking lagi.]

[Lah, iya, dong! Sudah pasti itu,] balasku dengan emoticon tertawa.

[Enggak perlu, nanti kamu bakal tahu sendiri, kok.] balasnya dengan emoticon batu.

[Gimana bisa tahu kalau nggak di-spill.] Tak lupa aku membubuhi akhir pesan itu dengan emot cemberut.

[Dia satu grup chat dengan kita.]

[Grup yang mana? Kita ada banyak grup, loh, yang sama!]

[Grup anime.]

[Apakah Kak Nadia? Soalnya Abang semangat banget berbalas pesan sama dia.]

[Salah! Silakan coba lagi!]

[Dih, nggak mau ngasih tahu, yaudah!] balasku dengan emoticon manyun.

[Kalau kamu pas ngambek, biasanya pakai cara apa ngebujuknya?] tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan.

[Kalau aku, ya, sukanya di peluk kalau lagi dekat, tapi kalau lagi berjauhan minimal di rayu gitu.]

[Yaudah, Abang pakai cara ini. Adriana cantik, Adriana manis, jangan ngambek lagi, ya!]

[Tunggu-tunggu. Ini maksudnya gimana? Kok, aku nge-lag, ya? Atau jangan-jangan ... Orang yang Abang suka itu adalah aku? Duh, kamu kepedean sekali, sih, Adriana!] Aku yang sedikit paham hanya bisa menerka. Tak lupa membubuhi akhir pesan dengan emoticon tertawa.

[Kalau memang iya, gimana?]

[Duh, ternyata pesona istri orang itu benar-benar memikat, ya?] Lagi-lagi aku mengakhiri pesan itu dengan emoticon tertawa sebelum mengirimkannya pada pria itu.

"Iya kah? Kok, Abang nggak percaya, ya?" tanya pria diseberang sana membuyarkan lamunanku pada pesan-pesan itu.

"Yaudah kalau nggak percaya, aku ngambek!" ucapku dengan bibir yang cemberut. Aku yakin pria itu tak akan tahu kalau saat ini bibirku tengah manyun beberapa centi ke depan.

"Duh, si cantik lagi ngambek. Enaknya diapain, ya?" Seketika aku tertawa mendengar ucapannya. Bagaimana tidak, ia selalu memuji dengan kata-kata yang indah, tidak seperti Mas Denny yang selalu mengucapkan cacian setiap kali ada di dekatku.

"Enaknya dihalalin. Eh,"

"Dasar istri orang!" ucapnya membuatku tertawa mendengarnya.

"Eh, BTW, Abang kemana aja? Kok, nggak ada ngabarin sedikitpun? Bahkan nomornya juga nggak aktif." Aku langsung memberondong pria itu dengan banyak pertanyaan. Berharap ia akan menjelaskan.

"Belakangan Abang lagi banyak kerjaan, Di. Jadi nggak bisa bebas main hp kayak biasanya."

"Ooh, gitu. Yaudah, kalau Abang sibuk, nggak balas chat aku juga nggak apa, kok."

"Duh, istri siapa, sih, ini pengertian banget."

"Istri siapa, ya?" tanyaku berpura-pura.

"Ya, istrinya suami kamu lah." Terdengar jelas dari suaranya bahwa pria itu saat ini sedang merasa bete.

Kami lanjut berbincang santai siang ini. Tak lupa kuceritakan juga perihal keadaanku saat ini dan juga penyebabnya.

"Awas saja, kalau sampai ketemu sama tuh orang, pasti aku hajar habis-habisan!" ucapnya penuh emosi.

Aku diam tak menjawab ucapannya. Apa yang akan aku ucapkan? Sedangkan kami tak memiliki hubungan apapun. Ya, hanya cinta semu yang tumbuh di dalam hati.

“Bang,” panggilku setelah beberapa saat kami saling diam.

“Iya.”

“Hmm,”

“Kenapa, Dek?”

“Abang bisa, nggak, sehari itu ngabarin seenggaknya sekali? Soalnya …”

“Soalnya kenapa?”

“Rain (du),” ucapku malu-malu. Rain (du) adalah kata-kata ketika aku mengucapkan kata rindu.

“Gimana, ya, Abang usahain, tapi nggak bisa janji,” ucapnya mematahkan semangatku.

“Yaaaah.” Aku mengeluh sebab jawabannya tak sesuai dengan harapanku.

“Di, boleh Abang tanya sesuatu?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

“Boleh. Mau nanya apa?”

“Kenapa kamu minta Abang kabarin kamu tiap hari? Padahal, kan, Abang bukan siapa-siapa kamu.” Ah, pertanyaan itu sebenarnya aku juga tak bisa menjawabnya.

“Kala hati menjadi risau, bayang wajahmu datang menghantui. Perasaan ini, aku pun tak tahu dari mana datangnya. Hati, mengapa engkau membagi hati yang ada di dada? Mengapa kau memberi harap kepada dia yang tak bisa kau miliki? Entahlah, aku pun tak tahu apa yang terjadi. Aku sadar, bahwa aku ini hanyalah pengagum yang tak tahu diri.” Kata-kata itu terucap begitu saja oleh bibirku, bahkan tanpa berpikir terlebih dahulu.

“Duh, kata-katanya menyentuh sekali.”

“Refleks aja ngucapinnya. Mungkin, karena sesuai isi hati kali, ya?”

“Kenapa kamu bisa suka sama Abang, Dek? Padahal, kan, Abang orangnya biasa aja.”

“Perasaan itu datang sendiri, Bang. Nggak diinginkan, tapi dia datang tanpandi undang. Lagi pula, aku orangnya juga jelek, kok.”

“Padahal Abang berharap dibilang tampan.” Mendengar ucapannya, refleks aku tertawa. Terdengar suara cengengesan dari seberang sana.

“Mau bilang gitu, tapi … takut.”

“Takut kenapa? Ya kali dibilang tampan langsung gigit.”

“Takut dijadikan istri.” Aku tertawa setelah mengatakannya.

“Emangnya nggak mau?” tanyanya seolah sedang melamar pujaan hatinya. Duileh, percaya diri bener lu, Adriana.

“Keknya lebih ke nggak mungkin, deh, tapi nggak tahu juga gimana kedepannya, kan?”

“Iya. Semoga pernikahan kamu langgeng, ya?!”

“Aamiin. Terima kasih banyak doanya, Bang. Semoga Abang juga cepet dipertemukan sama jodohnya, bahagia dunia dan akhirat.”

“Aamiin,” ucapnya mengamini doaku, “Dek, udah dulu, ya, Abang mau lanjut kerja lagi, soalnya jam istirahat udah habis.”

“Lah, iya. Nggak terasa ternyata, ya, kita ngobrolnya udah lama.”

“Ngobrol sama kamu memang bikin lupa waktu. Soalnya suka bikin nyaman gitu.” Seketika aku tersenyum mendengar ucapannya. Bagaimana tidak, dia selalu saja memujiku begitu.

Pipiku terasa memanas, mungkin jika diperhatikan, kini pipiku sudah berubah warna menjadi warna merah. “Duh, aku jadi tersepona.”

“Di, Abang pamit dulu, ya! Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawabku. Panggilan pun terputus.

Selang beberapa menit setelah panggilan terputus, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarku.

‘Mungkin itu Ibu,’ gumamku dalam hati.

“Iya, masuk!” ucapku mempersilakan orang itu.

Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….

***

Bersambung.

"Jika memang ditakdirkan untuk bersama, bagaimanapun keadaannya pasti akan bersua juga. Jika tidak sekarang, maka Sang Maha Kuasa akan mempertemukan kita dengan versi terbaik kita." ✨

_Renal Setiawan

Bab terkait

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 7, Apa maksudnya?

    Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk. “Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi? “Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku. “Baik,” jawabku cuek. “Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah. Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali. “Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku. “Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah. “Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju k

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Saatnya mengepakkan sayap

    “Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya. “Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini. “Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana. “Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.” ‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’ Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik. “Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—” “Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?” “Kamu yakin nggak papa

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    POV Sandi 1. Nama yang sama

    Aku masih tak percaya bahwa Ibu memaksaku untuk pergi ke pulau seberang untuk menemui seorang wanita yang tengah koma setelah mengalami KDRT oleh suami dan mertuanya. “Wanita itu adalah anak dari sahabat ayah kamu, Bang. Dulu sebelum meninggal, Pak Ruslan dan Ayah kamu sudah menjodohkan kalian—” “Tapi, kan, kejadiannya udah lima belas tahun yang lalu. Aku udah dewasa, Bu, bisa cari jodoh sendiri,” tolakku dengan halus. Aku adalah tulang punggung keluarga sejak usia delapan belas tahun. Tepatnya setelah kelulusan SMA. Aku yang memiliki dua orang adik tak mungkin melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan dan membiarkan Ibu bekerja seorang diri, tapi memang rezeki yang tak kemana, Allah memberikan aku jalan. Seorang pria yang berasal dari pulau seberang memberikanku modal yang cukup besar untuk memulai usaha. Alhamdulillah, usaha toko kelontong yang aku bangun berkembang pesat dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Hingga akhirnya keinginanku untuk kuliah yang dulu hanya di an

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Awal Perkenalan

    Saat ini, aku sudah berada di bandara. Penerbanganku masih sekitar tiga puluh menit lagi. Terlihat raut wajah ibu yang begitu bahagia duduk di sebelahku. “Nak, sampaikan salam Ibu pada Adriana dan kedua orang tuanya. Jangan lupa berikan ini padanya.” Wanita surgaku itu menyerahkan sebuah kotak. Aku yakin pasti isinya adalah gelang yang dibuatnya tadi malam. Aku menerima kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. “Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa salat, jangan telat makan, jangan juga lupa kabarin ibu.” “Bu, doain Sandi, ya.” “Doa ibu selalu ada untukmu, Nak.” “Diberitahukan kepada seluruh penumpang dengan tujuan Pekanbaru, pesawat akan lepas landas dalam waktu sepuluh menit lagi. Diharapkan untuk seluruh penumpang segera menuju ke pesawat.” Itu pesawat yang akan aku naiki. “Bu, Sandi berangkat dulu, ya.” Ku cium tangan ibu dengan takzim. “Hati-hati, ya, Nak,” ucap Ibu mengusap kepalaku. Aku mengangguk menanggapi ucapan ibuAku menoleh pada Silvia, mengulurkan tangan pa

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    (POV Sandi end) Rahasia Sandi

    “Nak Sandi, ibu tinggal sebentar, ya, mau cari makan dulu. Kalian ngobrol aja dulu siapa tahu cocok dan bisa jadi pasangan.” Bu Mila tersenyum. “Ba–baik, Bu,” jawabku sedikit gugup. Terlihat senyum tipis di wajahnya dan kemudian beliau mengusap puncak kepala putrinya. Melangkah keluar menuju pintu dan menghilang dibaliknya. Rasa canggung yang semula ada, bertambah besar setelah Bu Mila keluar dari ruangan ini. Bagaimana tidak, dua orang yang baru saling mengenal kini berada di suatu ruangan yang sama hanya berdua saja. Ya, hanya berdua saja! Kalian tahu bagaimana keadaan dan perasaanku saat ini? Berdebar-debar seperti maling yang tengah menghindar dan bersembunyi dari polisi. Aku menyerahkan sebuah kotak yang berisi gelang pemberian Ibu tadi pagi. “Ketika Ibu mendengar aku akan datang hari ini, beliau membuatkan itu untukmu hanya dalam waktu semalam.” “Wah, cantik sekali.” Wanita itu mengeluarkan gelang itu. “Serius hanya semalam? Aku pernah mencoba membuatnya, tapi selalu

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    (POV Adriana) Pria asing

    Keesokan harinya, ibu datang bersama Bang Sandi. Raut wajah Mereka tampak sumringah, tapi …. “Bu, di mana bapak dan Aldo?” tanyaku pada wanita paruh baya kesayanganku itu. “Mereka sedang mengurus administrasi. Hari ini juga, kamu sudah boleh pulang.” Terlihat wajah Ibu begitu bahagia. “Ibu serius?” Aku bangkit dan mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang. Saking bahagianya, rasa sakit yang masih sedikit terasa pun tak ku hiraukan. Tak sengaja aku melirik ke arah Bang Sandi, pria itu terlihat tak kalah bahagianya dengan ibu. Mata teduhnya menatap lekat ke arah kami. Namun, Iya segera menyembunyikan wajahnya ketika sadar aku memperhatikannya. Ada rasa kagum yang diam-diam merasuk ke dalam pikiranku. Bang sandi membantu ibu untuk membereskan barang-barangku. Awalnya aku ingin ikut membantu, tapi mereka melarang. Setelah semuanya selesai dan kami bersiap untuk keluar, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. “Apa yang terjadi di luar?” tanya Ibu memelukku. “Aku akan

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Tentang perjodohan

    Ibu menuntun dan membantuku masuk ke kamar merebahkan tubuh kemah ini diatas kasur yang hampir setahun ini tak kutiduri. “Bu, sebenarnya siapa pria tadi?” Lagi aku bertanya setelah Ibu selesai menyusun barang-barangku ke dalam lemari. “Entahlah, Nak. Ibu juga tidak tahu. Mungkin itu menyangkut urusan bisnis. Sudahlah, tak perlu kamu pikirkan lagi.” Ucapan Ibu ada benarnya juga. Mungkin pria itu adalah salah satu pesaing Bapak di dunia bisnis. Semoga ia tak memiliki niat buruk dan semoga tak akan ada hal buruk yang akan datang. Aamiin. “Ibu ke belakang dulu, ya, ambilin buah buat kamu,” ucap Ibu tersenyum padaku. Aku pun mengangguk dan membalas senyuman Ibu. Wanita kesayanganku itu pun melangkah keluar meninggalkan diriku seorang diri. Tak lama setelah Ibu pergi, terdengar suara ketukan di jendela. Aku terkejut sekaligus takut, karena Ibu bilang, belakangan ini banyak tindak kejahatan di sekitar sini. Namun, rasa penasaran ini jauh lebih besar dari rasa takut itu. Aku bangkit dan

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kedatangan keluarga Sandi

    “Apa yang dikatakan Bang Sandi? Mengapa ibu terlihat bahagia sekali?” tanyaku dengan rasa yang teramat penasaran. Belum sempat ibu menjawab, pria itu pun datang bersama dengan Bapak. Wajah mereka semua terlihat bahagia sekali dengan senyum yang merekah. “Nak, sudah Bapak bilang, kan, kalau Sandi ini pria yang baik. Bapak yakin, bahwa dia akan memberikanmu kasih sayang dan juga kebahagiaan yang berlimpah.” Bapak menepuk pundak Bang Sandi pelan, sedangkan pria itu hanya tersenyum. Perkataan mereka semakin membuatku bingung. “Bu?” Aku melihat ke arah ibu demi meminta penjelasan darinya. Namun, bukannya mendapatkan penjelasan, ucapan ibu semakin membuatku kebingungan. “Udah, kamu tenang aja!” ucap wanita paruh baya itu tersenyum padaku, “yaudah, yuk, kita mulai mempersiapkan semuanya. Soalnya waktu kita nggak banyak. Jangan sampai nanti keteteran pas harinya udah dekat.” Bapak tersenyum, sedangkan Bang Sandi menunduk demi menyembunyikan semu merah di wajahnya yang tampan.

Bab terbaru

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Mulai terbukanya sebuah misteri

    Aldo mendekatkan dirinya ke layar, matanya terpaku pada hasil pencarian yang kutunjukkan. "Ini dia, Kak! Ada sebuah tempat bernama Gudang TG di kawasan industri lama di pinggiran kota. Ternyata itu gudang penyimpanan yang sempat populer untuk barang elektronik pada masanya, tapi, ada catatan bahwa gudang itu sudah tidak beroperasi sejak lima tahun lalu," ujarnya dengan antusias. Aku mengangguk, membaca lebih lanjut informasi yang terpampang di layar. "Lihat ini, Do. Ada nama Ruslan tercantum sebagai salah satu pemiliknya sebelum operasionalnya berhenti. Kalau benar ini orang yang sama dengan kartu nama tadi, berarti kita ada di jalur yang tepat." Aldo tampak berpikir. "Tapi kalau tempat ini sudah lama tidak digunakan, apa mungkin masih ada sesuatu di sana? Apa kita perlu izin dulu untuk masuk?" "Aku rasa, sebelum kita melangkah lebih jauh, kita harus siapkan rencana," kataku, mencoba menenangkan diri.

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kode rahasia

    Setelah sampai di rumah, Aldo dan aku langsung menuju meja kerja di ruang tengah. Tanpa banyak bicara, kami mulai membongkar isi tas, termasuk dokumen yang kami temukan tadi dan kotak kayu kecil yang terkunci. Ruangan terasa sunyi, hanya suara kipas angin yang berputar pelan mengisi keheningan. Aldo mengambil napas panjang. “Kak, coba kita periksa catatan ini dulu. Mungkin ada petunjuk tentang Budi atau apa pun yang relevan,” katanya sambil membuka buku catatan tadi. Aku mengangguk, lalu duduk di sebelahnya. Aldo mulai memeriksa halaman demi halaman, mencari sesuatu yang menonjol. Tidak lama kemudian, ia menunjuk sebuah entri di salah satu halaman. “Lihat ini, Kak. Ada nama ‘Budi’ lagi, dan ada kode di sebelahnya—‘TG24’,” katanya. Aku memiringkan kepala, mencoba memikirkan apa arti kode itu. “Mungkin semacam kode barang atau lokasi?” Aku menebak.

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Inisial "R" di ruko tak terpakai

    Sesampainya di rumah, kami langsung mengunci pintu dan menutup semua jendela. Aldo menyalakan laptopnya dan mulai mencari informasi lebih lanjut tentang nama-nama yang ada di dokumen tadi. Sementara itu, aku duduk di sofa dengan pikiran yang masih kacau. "Do, kamu yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa melibatkan orang lain?" tanyaku akhirnya. Aldo menoleh. "Kita coba dulu, Kak. Kalau memang butuh bantuan, kita pikirkan nanti., tapi aku yakin, kalau kita sabar, semuanya bakal terungkap." Aku mengangguk pelan, meski hati ini masih penuh keraguan. Aku tahu Aldo berusaha meyakinkanku, tapi kenyataan bahwa Bapak mungkin terlibat membuat semuanya jauh lebih rumit. Setelah beberapa jam, Aldo akhirnya menemukan sesuatu. "Kak, ini Budi," katanya sambil menunjuk layar laptop. "Dia punya usaha kecil, semacam toko elektronik. Tapi beberapa bulan terakhir, tokonya tutup. Ada banyak komentar di akun media sosial

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Misteri di gudang terbengkalai

    Aku dan Aldo segera menyusun rencana untuk menyelidiki lebih dalam tentang Mas Denny. Kami memutuskan untuk memulai dengan mencari tahu lebih banyak tentang teman-teman dekatnya, karena itu adalah langkah pertama yang logis. Kami tahu, jika ada yang bisa memberikan petunjuk, pasti mereka."Ayo, kita coba cari informasi lewat media sosial dulu," kata Aldo sambil membuka laptop di atas meja. Ia mulai mengetik cepat, menelusuri jejak digital Mas Denny dan teman-temannya. Aku duduk di sebelahnya, menunggu sambil menatap layar dengan cemas.Aldo mengklik beberapa profil yang sepertinya terhubung dengan Mas Denny. "Ini, ada beberapa teman yang sering tampil di foto-fotonya. Ada yang bernama Riko, yang ini temannya sejak kuliah. Ada juga seorang cewek, namanya Maya, kelihatannya cukup dekat."Aku mengangguk, meskipun hati masih terasa gelisah. "Apa kamu bisa hubungi mereka?" tanyaku dengan suara sedikit bergetar.Aldo mengan

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Batal ke Sulawesi

    "Diana, bangun, Nak, udah pagi! Nanti kamu ketinggalan pesawat, loh." Sebuah suara membawaku pergi meninggalkan alam bawah sadarku. Napasku terengah-engah dan keringat bercucuran, tak hanya membasahi pipi, tapi seluruh tubuh. "Kamu sakit, Di?" ucap ibu khawatir menempelkan telapak tangannya ke dahi dan leherku. "Kamu demam, Nak. Kita ke rumah sakit, yuk!" Ibu terlihat sangat khawatir, tapi yang aku pikirkan bukan itu. Mimpi itu serasa nyata sekali, seperti sebuah peringatan. "Enggak, Bu. Aku nggak papa, kok," ucapku dengan suara yang sangat lemah. Entahlah, rasanya seluruh tubuhku kehilangan sendi dan otot-ototnya. Pagi itu, meski mataku masih terasa berat karena tidur yang terganggu, aku memutuskan untuk tetap melanjutkan rencana untuk pergi ke Sulawesi. Semua barang sudah terkemas, koper sudah tertutup rapat, tapi seiring berjalannya waktu, rasa gelisahku kian memuncak. Aku tak bisa menghin

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Mimpi buruk

    Aldo tampak memerhatikan layar ponselku, wajahnya semakin serius. "Ini nggak main-main, Kak. Kita nggak bisa diem aja," katanya sambil meremas ponselku pelan, seolah-olah ingin memberi kekuatan agar aku juga merasa yakin. Aku mengangguk perlahan, meski perasaan takutku masih belum hilang. "Tapi apa yang harus kita lakukan, Do? Kalau semuanya ini cuma perasaan aku aja—" "Tapi kalau bukan cuma perasaan, gimana?" Aldo menyela, suaranya penuh tekad. "Kita harus cari tahu lebih dalam, Kak. Jangan sampe kita ngelewatin sesuatu yang penting." Aku menunduk, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Aldo, tapi saat itu rasa takut justru semakin menggerayangi hati. Sosok di luar jendela, pesan-pesan misterius, dan kata-kata Mas Denny yang berulang kali terngiang-ngiang dalam benakku. Aku merasa terperangkap dalam jaring yang semakin rapat. Aldo duduk di kursi dekat tempat tidurku, tangannya terlipat di depan dada. "Kak, kita nggak bisa diam aja. Aku udah punya beberapa ide, tapi ka

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bayangan di luar jendela

    "Sebenarnya Kakak pernah didatangi oleh seseorang dan orang itu bilang sesuatu tentang Mas Denny," "Apa katanya, Kak?" "Orang itu belum sempat menyelesaikan ucapannya, tapi dia bilang seperti ini, 'Diana, Denny yang ada disekitar kamu itu sebenarnya ....' Nah, sampai disitu doang," "Maksudnya apa? Kakak kenal sama orangnya?" "Anehnya Kakak kenal, bahkan kenal banget." "Siapa, Kak? Gimana kalau kita datengin orang itu?" "Enggak, Do. Nggak mungkin kita datengin dia." "Why?!" "Karena orang itu adalah Mas Denny sendiri." "Tunggu-tunggu. Ini maksudnya Mas Denny yang datang, terus dia juga yang mau mengungkapkan kebenaran tentang dirinya sendiri? Aneh banget nggak, sih, Kak?" "Pertanyaan itu juga yang bikin Kakak bingung. Ucapannya itu kayak ada dua orang Denny yang ada di sekitar Kakak," "Kak, kita harus cari tahu tentang ini!" "Gimana caranya, Do? Besok, kan, Kakak harus berangkat ke Sulawesi." Aku berucap dengan suara yang sedikit pelan karena saat ini

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Terbongkar

    "Kalimat itu mengungkapkan kalau sampai Salman meninggal ulah keluarga kita dan utang belum lunas, Bapak harus membayar bunga beserta dendanya lima kali lipat kepada istrinya. Dan, dalam perjanjian itu juga disebutkan kalau Bapak harus jadi penjaga dan pelindungnya walau tanpa bayaran." Aku tercengang untuk yang kesekian kalinya mendengar penjelasan dari Bapak. Memangnya ada isi perjanjian yang seperti itu? "Jadi bodyguard gratisan maksudnya, Pak?" "Huum," "Kalau melawan apa ada sanksinya?" "Tentu saja ada. Kalau Bapak sampai melawan atau memberontak, kalian yang akan jadi korbannya. Dia bakal nyuruh orang buat ngehancurin rumah tangga kita. Karena Bapak nggak mau kalian kenapa-napa, makanya Bapak harus berjuang semaksimal mungkin supaya nggak terjadi apa-apa pada Salman." "Tapi Bapak bilang kalian dekat dan akrab. Masa iya dia tega melakukan itu pada keluarga kita?" "Sifat dan karakter asli seseorang nggak bisa ditebak semudah menebak isi dalam lotre. Kita masih p

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Rahasia Pak Ruslan dan pria bernama Salman

    "Pak, apa tidak sebaiknya kita pulang dulu saja?" tanyaku pada Bapak setelah Aldo sedikit lebih tenang. Kini, pria yang tak pernah meninggalkanku dalam keadaan apapun itu duduk menjauh dari kami. Mungkin ia takut kembali terbawa emosi jika dekat dengan Bapak. "Tidak, Nak. Bapak masih harus mengurus Salman setelah operasinya selesai." Jawaban Bapak cukup membuatku kecewa. "Tapi aku harus berkemas untuk keberangkatanku ke Sulawesi besok, Pak. Lagipula diantara kita tidak ada yang memberikan kabar pada ibu. Aku takut ibu kepikiran." Aku sedikit mengeluh ketika mengatakannya. Memang benar, sampai saat ini kami belum menghubungi ibu. Aku yakin, pasti wanita surgaku itu saat ini sangat khawatir. Terlebih diantara kami tak ada yang membawa ponsel. "Begini saja, kamu pulang bersama Aldo, biar Bapak saja yang di sini nungguin Salman." "Berarti, besok Bapak nggak akan nganterin aku ke bandara? Tega sekali Bapak!" ucapku dengan bibir yang cemberut. "Bapak usahain, ya, untuk cepat pul

DMCA.com Protection Status