Dering ponsel menyadarkanku dari tidur siang ini. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi indah itu tanpa peduli siapa yang menghubungi. Namun, benda pipih itu kembali berdering sebelum sempat aku kembali ke alam bawah sadar.
"Siapa, sih, telepon siang bolong begini?" tanyaku dengan suara khas orang yang baru bangun tidur. "Bangun, Dek! Kamu nggak rindu, kah, sama Abang?" Mendengar suara itu, mataku langsung terbuka dengan lebar. Rasa kantuk pun seakan menguap begitu saja. "Bang Renal? Ini beneran Abang?" tanyaku tak percaya. "Kebiasaan, deh, kalau jawab panggilan nggak di cek dulu," protes pria itu. "Ngantuk, Abang. Jadi nggak fokus buat ngecek panggilan. Mana lagi mimpi indah banget lagi tadi itu." "Jadi, Abang ganggu, nih? Yaudah, Abang matiin aja kalau gitu." Terdengar dari ucapannya bahwa pria itu sangat menyesal. "Eh, jangan, dong! Udah dari kemarin tauk aku nungguin telepon dari Abang." Kubuat suaraku semanja mungkin. Aku tahu, aku juga sadar, bahwa ini semua salah, tapi ... tak bisa kupungkiri bahwa rasa nyaman ini sudah merasuk ke dalam pikiran. Renal Setiawan, pria yang kukenal beberapa bulan yang lalu itu mampu menarik seluruh perhatianku, bahkan dari suamiku sendiri. Awal perkenalan yang tak disengaja itu membawa kami pada rasa yang salah. Yaitu rasa suka yang tak seharusnya ada. Ungkapan perasaan yang diucapkan olehnya, mampu menggoyahkan kesetiaan yang sudah kupupuk selama bertahun-tahun. Namun, semua itu tak lepas dari perilaku suami yang semena-mena dan selalu menghinaku setiap saat. Ya, memiliki suami dengan sifat ingin menang sendiri lah yang akhirnya membuatku sedikit berpaling. Caci makinya yang selalu terdengar membuatku merasa nyaman berbincang dengan Bang Renal yang menurutku penyayang dan perhatian. Walaupun suka sama suka, tapi kami berbincang dan berkirim pesan masih dalam batas wajar. 'Dalam batas wajar bagaimana jika nyatanya kalian suka sama suka?' Pertanyaan itu sering kali muncul dalam benakku. Jujur, aku tak mampu menjawabnya, tapi tak mampu juga tuk menyangkalnya. Berkali-kali mencoba tuk menjauh darinya, tapi nyatanya perhatian kecil itu mampu mengalihkan seluruh perhatianku. [Gimana, sih, caranya bikin perempuan yang ngambek itu kembali ceria?] tanyanya kala itu. [Tergantung perempuannya lah. Soalnya nggak semua perempuan itu sama. Ada yang minta didiemin dulu, ada yang pengen langsung di bujuk. Ada yang maunya di peluk dulu,] balasku menjelaskan padanya, [emang kenapa? Lagi merajuk, ya, ayangnya?] [Iya, nih. Eh, bukan ayang maksudnya, tapi orang yang aku suka.] [Widih. Siapa, tuh? Spill, dong, ayangnya!] [Jangan, nanti kamu stalking lagi.] [Lah, iya, dong! Sudah pasti itu,] balasku dengan emoticon tertawa. [Enggak perlu, nanti kamu bakal tahu sendiri, kok.] balasnya dengan emoticon batu. [Gimana bisa tahu kalau nggak di-spill.] Tak lupa aku membubuhi akhir pesan itu dengan emot cemberut. [Dia satu grup chat dengan kita.] [Grup yang mana? Kita ada banyak grup, loh, yang sama!] [Grup anime.] [Apakah Kak Nadia? Soalnya Abang semangat banget berbalas pesan sama dia.] [Salah! Silakan coba lagi!] [Dih, nggak mau ngasih tahu, yaudah!] balasku dengan emoticon manyun. [Kalau kamu pas ngambek, biasanya pakai cara apa ngebujuknya?] tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan. [Kalau aku, ya, sukanya di peluk kalau lagi dekat, tapi kalau lagi berjauhan minimal di rayu gitu.] [Yaudah, Abang pakai cara ini. Adriana cantik, Adriana manis, jangan ngambek lagi, ya!] [Tunggu-tunggu. Ini maksudnya gimana? Kok, aku nge-lag, ya? Atau jangan-jangan ... Orang yang Abang suka itu adalah aku? Duh, kamu kepedean sekali, sih, Adriana!] Aku yang sedikit paham hanya bisa menerka. Tak lupa membubuhi akhir pesan dengan emoticon tertawa. [Kalau memang iya, gimana?] [Duh, ternyata pesona istri orang itu benar-benar memikat, ya?] Lagi-lagi aku mengakhiri pesan itu dengan emoticon tertawa sebelum mengirimkannya pada pria itu. "Iya kah? Kok, Abang nggak percaya, ya?" tanya pria diseberang sana membuyarkan lamunanku pada pesan-pesan itu. "Yaudah kalau nggak percaya, aku ngambek!" ucapku dengan bibir yang cemberut. Aku yakin pria itu tak akan tahu kalau saat ini bibirku tengah manyun beberapa centi ke depan. "Duh, si cantik lagi ngambek. Enaknya diapain, ya?" Seketika aku tertawa mendengar ucapannya. Bagaimana tidak, ia selalu memuji dengan kata-kata yang indah, tidak seperti Mas Denny yang selalu mengucapkan cacian setiap kali ada di dekatku. "Enaknya dihalalin. Eh," "Dasar istri orang!" ucapnya membuatku tertawa mendengarnya. "Eh, BTW, Abang kemana aja? Kok, nggak ada ngabarin sedikitpun? Bahkan nomornya juga nggak aktif." Aku langsung memberondong pria itu dengan banyak pertanyaan. Berharap ia akan menjelaskan. "Belakangan Abang lagi banyak kerjaan, Di. Jadi nggak bisa bebas main hp kayak biasanya." "Ooh, gitu. Yaudah, kalau Abang sibuk, nggak balas chat aku juga nggak apa, kok." "Duh, istri siapa, sih, ini pengertian banget." "Istri siapa, ya?" tanyaku berpura-pura. "Ya, istrinya suami kamu lah." Terdengar jelas dari suaranya bahwa pria itu saat ini sedang merasa bete. Kami lanjut berbincang santai siang ini. Tak lupa kuceritakan juga perihal keadaanku saat ini dan juga penyebabnya. "Awas saja, kalau sampai ketemu sama tuh orang, pasti aku hajar habis-habisan!" ucapnya penuh emosi. Aku diam tak menjawab ucapannya. Apa yang akan aku ucapkan? Sedangkan kami tak memiliki hubungan apapun. Ya, hanya cinta semu yang tumbuh di dalam hati. “Bang,” panggilku setelah beberapa saat kami saling diam. “Iya.” “Hmm,” “Kenapa, Dek?” “Abang bisa, nggak, sehari itu ngabarin seenggaknya sekali? Soalnya …” “Soalnya kenapa?” “Rain (du),” ucapku malu-malu. Rain (du) adalah kata-kata ketika aku mengucapkan kata rindu. “Gimana, ya, Abang usahain, tapi nggak bisa janji,” ucapnya mematahkan semangatku. “Yaaaah.” Aku mengeluh sebab jawabannya tak sesuai dengan harapanku. “Di, boleh Abang tanya sesuatu?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. “Boleh. Mau nanya apa?” “Kenapa kamu minta Abang kabarin kamu tiap hari? Padahal, kan, Abang bukan siapa-siapa kamu.” Ah, pertanyaan itu sebenarnya aku juga tak bisa menjawabnya. “Kala hati menjadi risau, bayang wajahmu datang menghantui. Perasaan ini, aku pun tak tahu dari mana datangnya. Hati, mengapa engkau membagi hati yang ada di dada? Mengapa kau memberi harap kepada dia yang tak bisa kau miliki? Entahlah, aku pun tak tahu apa yang terjadi. Aku sadar, bahwa aku ini hanyalah pengagum yang tak tahu diri.” Kata-kata itu terucap begitu saja oleh bibirku, bahkan tanpa berpikir terlebih dahulu. “Duh, kata-katanya menyentuh sekali.” “Refleks aja ngucapinnya. Mungkin, karena sesuai isi hati kali, ya?” “Kenapa kamu bisa suka sama Abang, Dek? Padahal, kan, Abang orangnya biasa aja.” “Perasaan itu datang sendiri, Bang. Nggak diinginkan, tapi dia datang tanpandi undang. Lagi pula, aku orangnya juga jelek, kok.” “Padahal Abang berharap dibilang tampan.” Mendengar ucapannya, refleks aku tertawa. Terdengar suara cengengesan dari seberang sana. “Mau bilang gitu, tapi … takut.” “Takut kenapa? Ya kali dibilang tampan langsung gigit.” “Takut dijadikan istri.” Aku tertawa setelah mengatakannya. “Emangnya nggak mau?” tanyanya seolah sedang melamar pujaan hatinya. Duileh, percaya diri bener lu, Adriana. “Keknya lebih ke nggak mungkin, deh, tapi nggak tahu juga gimana kedepannya, kan?” “Iya. Semoga pernikahan kamu langgeng, ya?!” “Aamiin. Terima kasih banyak doanya, Bang. Semoga Abang juga cepet dipertemukan sama jodohnya, bahagia dunia dan akhirat.” “Aamiin,” ucapnya mengamini doaku, “Dek, udah dulu, ya, Abang mau lanjut kerja lagi, soalnya jam istirahat udah habis.” “Lah, iya. Nggak terasa ternyata, ya, kita ngobrolnya udah lama.” “Ngobrol sama kamu memang bikin lupa waktu. Soalnya suka bikin nyaman gitu.” Seketika aku tersenyum mendengar ucapannya. Bagaimana tidak, dia selalu saja memujiku begitu. Pipiku terasa memanas, mungkin jika diperhatikan, kini pipiku sudah berubah warna menjadi warna merah. “Duh, aku jadi tersepona.” “Di, Abang pamit dulu, ya! Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam,” jawabku. Panggilan pun terputus. Selang beberapa menit setelah panggilan terputus, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarku. ‘Mungkin itu Ibu,’ gumamku dalam hati. “Iya, masuk!” ucapku mempersilakan orang itu. Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia …. *** Bersambung. "Jika memang ditakdirkan untuk bersama, bagaimanapun keadaannya pasti akan bersua juga. Jika tidak sekarang, maka Sang Maha Kuasa akan mempertemukan kita dengan versi terbaik kita." ✨ _Renal SetiawanAku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk. “Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi? “Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku. “Baik,” jawabku cuek. “Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah. Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali. “Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku. “Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah. “Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju k
“Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya. “Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini. “Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana. “Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.” ‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’ Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik. “Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—” “Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?” “Kamu yakin nggak papa
Aku masih tak percaya bahwa Ibu memaksaku untuk pergi ke pulau seberang untuk menemui seorang wanita yang tengah koma setelah mengalami KDRT oleh suami dan mertuanya. “Wanita itu adalah anak dari sahabat ayah kamu, Bang. Dulu sebelum meninggal, Pak Ruslan dan Ayah kamu sudah menjodohkan kalian—” “Tapi, kan, kejadiannya udah lima belas tahun yang lalu. Aku udah dewasa, Bu, bisa cari jodoh sendiri,” tolakku dengan halus. Aku adalah tulang punggung keluarga sejak usia delapan belas tahun. Tepatnya setelah kelulusan SMA. Aku yang memiliki dua orang adik tak mungkin melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan dan membiarkan Ibu bekerja seorang diri, tapi memang rezeki yang tak kemana, Allah memberikan aku jalan. Seorang pria yang berasal dari pulau seberang memberikanku modal yang cukup besar untuk memulai usaha. Alhamdulillah, usaha toko kelontong yang aku bangun berkembang pesat dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Hingga akhirnya keinginanku untuk kuliah yang dulu hanya di an
Saat ini, aku sudah berada di bandara. Penerbanganku masih sekitar tiga puluh menit lagi. Terlihat raut wajah ibu yang begitu bahagia duduk di sebelahku. “Nak, sampaikan salam Ibu pada Adriana dan kedua orang tuanya. Jangan lupa berikan ini padanya.” Wanita surgaku itu menyerahkan sebuah kotak. Aku yakin pasti isinya adalah gelang yang dibuatnya tadi malam. Aku menerima kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. “Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa salat, jangan telat makan, jangan juga lupa kabarin ibu.” “Bu, doain Sandi, ya.” “Doa ibu selalu ada untukmu, Nak.” “Diberitahukan kepada seluruh penumpang dengan tujuan Pekanbaru, pesawat akan lepas landas dalam waktu sepuluh menit lagi. Diharapkan untuk seluruh penumpang segera menuju ke pesawat.” Itu pesawat yang akan aku naiki. “Bu, Sandi berangkat dulu, ya.” Ku cium tangan ibu dengan takzim. “Hati-hati, ya, Nak,” ucap Ibu mengusap kepalaku. Aku mengangguk menanggapi ucapan ibuAku menoleh pada Silvia, mengulurkan tangan pa
“Nak Sandi, ibu tinggal sebentar, ya, mau cari makan dulu. Kalian ngobrol aja dulu siapa tahu cocok dan bisa jadi pasangan.” Bu Mila tersenyum. “Ba–baik, Bu,” jawabku sedikit gugup. Terlihat senyum tipis di wajahnya dan kemudian beliau mengusap puncak kepala putrinya. Melangkah keluar menuju pintu dan menghilang dibaliknya. Rasa canggung yang semula ada, bertambah besar setelah Bu Mila keluar dari ruangan ini. Bagaimana tidak, dua orang yang baru saling mengenal kini berada di suatu ruangan yang sama hanya berdua saja. Ya, hanya berdua saja! Kalian tahu bagaimana keadaan dan perasaanku saat ini? Berdebar-debar seperti maling yang tengah menghindar dan bersembunyi dari polisi. Aku menyerahkan sebuah kotak yang berisi gelang pemberian Ibu tadi pagi. “Ketika Ibu mendengar aku akan datang hari ini, beliau membuatkan itu untukmu hanya dalam waktu semalam.” “Wah, cantik sekali.” Wanita itu mengeluarkan gelang itu. “Serius hanya semalam? Aku pernah mencoba membuatnya, tapi selalu
Keesokan harinya, ibu datang bersama Bang Sandi. Raut wajah Mereka tampak sumringah, tapi …. “Bu, di mana bapak dan Aldo?” tanyaku pada wanita paruh baya kesayanganku itu. “Mereka sedang mengurus administrasi. Hari ini juga, kamu sudah boleh pulang.” Terlihat wajah Ibu begitu bahagia. “Ibu serius?” Aku bangkit dan mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang. Saking bahagianya, rasa sakit yang masih sedikit terasa pun tak ku hiraukan. Tak sengaja aku melirik ke arah Bang Sandi, pria itu terlihat tak kalah bahagianya dengan ibu. Mata teduhnya menatap lekat ke arah kami. Namun, Iya segera menyembunyikan wajahnya ketika sadar aku memperhatikannya. Ada rasa kagum yang diam-diam merasuk ke dalam pikiranku. Bang sandi membantu ibu untuk membereskan barang-barangku. Awalnya aku ingin ikut membantu, tapi mereka melarang. Setelah semuanya selesai dan kami bersiap untuk keluar, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. “Apa yang terjadi di luar?” tanya Ibu memelukku. “Aku akan
Ibu menuntun dan membantuku masuk ke kamar merebahkan tubuh kemah ini diatas kasur yang hampir setahun ini tak kutiduri. “Bu, sebenarnya siapa pria tadi?” Lagi aku bertanya setelah Ibu selesai menyusun barang-barangku ke dalam lemari. “Entahlah, Nak. Ibu juga tidak tahu. Mungkin itu menyangkut urusan bisnis. Sudahlah, tak perlu kamu pikirkan lagi.” Ucapan Ibu ada benarnya juga. Mungkin pria itu adalah salah satu pesaing Bapak di dunia bisnis. Semoga ia tak memiliki niat buruk dan semoga tak akan ada hal buruk yang akan datang. Aamiin. “Ibu ke belakang dulu, ya, ambilin buah buat kamu,” ucap Ibu tersenyum padaku. Aku pun mengangguk dan membalas senyuman Ibu. Wanita kesayanganku itu pun melangkah keluar meninggalkan diriku seorang diri. Tak lama setelah Ibu pergi, terdengar suara ketukan di jendela. Aku terkejut sekaligus takut, karena Ibu bilang, belakangan ini banyak tindak kejahatan di sekitar sini. Namun, rasa penasaran ini jauh lebih besar dari rasa takut itu. Aku bangkit dan
“Apa yang dikatakan Bang Sandi? Mengapa ibu terlihat bahagia sekali?” tanyaku dengan rasa yang teramat penasaran. Belum sempat ibu menjawab, pria itu pun datang bersama dengan Bapak. Wajah mereka semua terlihat bahagia sekali dengan senyum yang merekah. “Nak, sudah Bapak bilang, kan, kalau Sandi ini pria yang baik. Bapak yakin, bahwa dia akan memberikanmu kasih sayang dan juga kebahagiaan yang berlimpah.” Bapak menepuk pundak Bang Sandi pelan, sedangkan pria itu hanya tersenyum. Perkataan mereka semakin membuatku bingung. “Bu?” Aku melihat ke arah ibu demi meminta penjelasan darinya. Namun, bukannya mendapatkan penjelasan, ucapan ibu semakin membuatku kebingungan. “Udah, kamu tenang aja!” ucap wanita paruh baya itu tersenyum padaku, “yaudah, yuk, kita mulai mempersiapkan semuanya. Soalnya waktu kita nggak banyak. Jangan sampai nanti keteteran pas harinya udah dekat.” Bapak tersenyum, sedangkan Bang Sandi menunduk demi menyembunyikan semu merah di wajahnya yang tampan.
Pria tampan yang berdiri di sampingku itu menggenggam tanganku erat. “Rani, aku ingin kamu tahu, aku menghargai apa yang pernah kita miliki, tapi itu masa lalu. Sekarang, aku adalah suami Adriana, dan dia adalah satu-satunya wanita yang aku cintai.” “Tapi Sandi, kita pernah punya mimpi bersama,” balas Rani dengan suara bergetar. “Mimpi itu sudah mati, Rani,” jawab Bang Sandi tegas, “aku sadar, perasaan itu hanya rasa sayang pada adik sebagai Kakak, bukan kepada pasangan yang diharapkan menjadi pendamping hidup. Aku bahagia dengan Adriana, Ran, dan aku tidak akan biarkan apa pun merusak hubungan kami.” Rani menatap kami dengan tatapan terluka. "Kamu jahat, Sandi! Kamu tega ninggalin aku demi wanita ini!" ucapnya menunjuk tanpa menoleh ke arahku. Bang Sandi melepaskan pegangan tangannya padaku dan berjalan mendekati Rani. "Ran, kamu wanita yang baik. Jujur, aku sayang sama kamu
Malam itu aku menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Pesan dari nomor tak dikenal itu seolah menarikku kembali ke pusaran ketidakpastian. Namun, sebelum aku tenggelam terlalu jauh dalam pikiranku sendiri, Bang Sandi tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Rambutnya basah, dengan senyum hangat yang membuat jantungku sedikit tenang. Dia duduk di sampingku di ranjang, mengusap punggung tanganku dengan penuh kasih. “Kamu kelihatan tegang. Ada apa, Sayang?” Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa, tapi sebelum aku bisa memikirkan alasan, Bang Sandi menarik ponsel dari genggamanku. Ekspresinya berubah tegas begitu melihat pesan yang baru saja masuk. “Ini dari siapa lagi?” tanyanya. Suaranya rendah, tapi penuh amarah yang ia coba sembunyikan. “Aku nggak tahu, Bang. Pesan ini sudah beberapa kali muncul,” jawabku jujur. Bang Sandi menghe
Setelah akad selesai dan para tamu mulai menikmati hidangan di resepsi, Bang Sandi tetap menggenggam tanganku, tidak pernah melepasnya meskipun kami sibuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan teman-teman. Tatapannya tak pernah berpaling dariku, seolah ingin memastikan aku tahu betapa berharganya aku baginya. Saat jeda sejenak, kami duduk di pelaminan. Aku menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Namun, sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia tiba-tiba berbisik, “Abang punya sesuatu untuk kamu.” Aku mengernyit bingung. “Apa, Bang? Di sini, sekarang?” Dia tersenyum kecil, lalu merogoh saku jasnya. Dari sana, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru. Aku mengerutkan kening, terkejut. “Bang, ini apa lagi? Bukannya kita sudah banyak hadiah hari ini?” Dia membuka kotak itu, menampakkan sebuah cincin sederhana dengan ukiran nama kami di bagian dalamnya. “Ini bukan sekadar cincin, Di. Ini simbol dari janji Abang. Cincin ini akan selalu ada di tangan Abang, sebagai penging
Malam itu, setelah pesan misterius pertama masuk, aku berusaha untuk mengabaikannya. Namun, rasa tidak tenang tetap menghantuiku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan membaca ulang pesan-pesan dari Bang Sandi yang selalu penuh cinta dan perhatian. Baru saja aku meletakkan ponsel di meja, getarannya kembali membuatku tersentak. Pesan lain dari nomor yang sama muncul: [Pernikahan sempurna? Hati-hati, tidak semua yang terlihat indah benar-benar seperti itu.] Aku menggigit bibir, mencoba menahan rasa takut yang mulai menyeruak. Aku tidak ingin berpikir macam-macam, tapi kalimat itu terasa seperti ancaman. Keesokan harinya, saat aku sedang sibuk di butik kebaya, ponselku kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Foto itu menunjukkan aku dan Bang Sandi sedang fitting baju kemarin sore—diambil dari sudut yang jelas-jelas bukan dari orang yang kami kenal. Pesan menyusul beberap
Beberapa hari menjelang pernikahan, Bang Sandi semakin sering menunjukkan kebucinan yang membuat hatiku serasa meleleh. Pagi itu, saat aku sedang sibuk dengan persiapan terakhir, dia datang ke kamarku dengan segelas coklat panas di tangannya, senyum lebarnya menghiasi wajah tampannya. “Ini, buat kamu,” katanya, menyodorkan gelas itu, “Abang tahu kamu suka coklat panas di pagi hari.” Aku tersenyum, menerima gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Bang. Abang benar-benar perhatian, ya.” Dia duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan tatapan penuh kelembutan. “Abang akan selalu berusaha membuat hari-harimu lebih baik, Di. Kamu nggak tahu betapa berartinya kamu buat Abang.” Hatiku berdebar. Meskipun kami sudah lama saling mengenal, rasa cinta yang ia tunjukkan seolah terus tumbuh, membuatku semakin merasa dihargai dan dicintai. Aku meletakkan gelas coklat di meja samping tempat tidur dan meraih tangannya. “Bang, aku … aku nggak tahu bagaimana menggambarkan
Seminggu sebelum acara lamaran, rumah kami kembali dipenuhi kesibukan yang berbeda. Bukan hanya karena persiapan keluarga, tetapi juga karena kedatangan keluarga Bang Sandi dari Sulawesi. Bu Putri, ibunya Bang Sandi, adalah sosok yang ramah dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya. Silvia dan Sundari, dua adik perempuannya, membawa energi ceria yang segera menghangatkan suasana rumah. “Kak Diana, senang sekali bisa ketemu lagi. Bang Sandi selalu mikirin Kakak selama beberapa bulan tragedi itu,” ujar Silvia, sambil memelukku dengan hangat. Sundari, yang tampak lebih pemalu, hanya tersenyum kecil, tapi matanya bersinar. “Iya, Kak Diana. Bang Sandi sering bilang kalau dia khawatir sekaligus rindu banget sama Kakak.” Aku hanya bisa tersenyum kikuk, merasakan wajahku mulai memanas. “Ah, masa sih?” Bu Putri mendekat, menggenggam tanganku dengan lembut. “Nak Diana, terima kasih sudah menerima Sandi kembali. Ibu tahu perjalanan kalian nggak mudah, tapi Sandi bilang, kamu
Malam itu, aku masih duduk di beranda. Udara dingin yang menyentuh kulitku terasa menenangkan, tapi pikiranku jauh dari kata tenang. Kembalinya Ibu ke rumah, kehangatan keluarga yang kembali menyatu, dan … kehadiran Bang Sandi. Semua itu bercampur menjadi satu yang membuatku sulit memejamkan mata. “Diana." Suara lembut Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku menoleh, melihatnya berdiri dengan selimut di tangan. “Udara di luar dingin. Jangan sampai sakit.” Aku tersenyum tipis dan menerima selimut itu. “Terima kasih, Bu.” Ibu duduk di sebelahku, memperhatikan langit berbintang. Hening menyelimuti kami beberapa saat sebelum wanita paruh baya itu membuka suara. “Kamu tahu, Nak, kebahagiaan itu nggak selalu datang dua kali. Kadang, kita perlu berani mengambil langkah meskipun perasaan kita masih takut.” Aku menatapnya. “Maksud Ibu?” Ibu tersenyum penuh arti. “Ibu tahu hubunganmu dengan Sandi dulu berakhir karena keputusanmu, tapi kamu lihat sendiri, kan? Dia masih ada di sini, di
Beberapa bulan semenjak kemenangan itu telah berlalu dan meskipun tantangan baru terus datang, kami tetap berdiri teguh. Setiap hari adalah langkah baru menuju kebebasan mutlak. Kami terus bekerja untuk memastikan bahwa dunia yang kami bangun adalah dunia yang lebih baik, tempat di mana keadilan dan kedamaian adalah hak setiap orang, bukan sekadar impian. Kami telah memenangkan pertempuran ini, tetapi yang lebih penting adalah bahwa kami telah memperoleh kebebasan sejati—bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi untuk seluruh dunia yang kami cintai. Kami tahu bahwa perjuangan akan terus berlanjut, tapi kini kami tidak lagi berperang untuk bertahan hidup. Kami berperang untuk menjaga apa yang telah kami capai. Di setiap langkah perjalanan itu, kami tahu satu hal: kebebasan yang sejati hanya bisa ditemukan melalui persatuan, pengorbanan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Kami akan melanjutkan perjuangan ini—bersama, selamanya. Sore ini, aku dan Aldo duduk termenung di bangku taman
Malam itu, setelah kami kembali ke markas, suasana berubah. Tidak ada lagi ketegangan yang mencekam. Api unggun dinyalakan di tengah-tengah kamp dan wajah-wajah yang tadinya penuh kekhawatiran kini dipenuhi senyum. Meski lelah, ada perasaan lega yang menyelimuti kami semua. Berita tentang kehancuran jembatan musuh segera menyebar ke seluruh pasukan. Jalur logistik utama mereka kini telah terputus, membuat mereka kehilangan kemampuan untuk mendistribusikan pasokan makanan, senjata, dan bala bantuan. Dengan demikian, kekuatan mereka perlahan melemah, seperti ular yang kehilangan bisa. "Informasi dari pengintai kita pagi ini mengonfirmasi," kata Bapak berdiri di hadapan tim inti sambil memegang peta. "Musuh telah mundur ke wilayah selatan, menjauh dari desa kita. Mereka terpaksa meninggalkan banyak peralatan berat yang tidak bisa mereka bawa melintasi medan yang sulit tanpa jembatan itu." Reza, yang duduk di sampingku, menyeringai kecil. "Jadi, mereka sekarang hanya bisa mengandalkan