Share

Bab 6

Penulis: Rarha Ira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-04 21:21:49

Dering ponsel menyadarkanku dari tidur siang ini. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi indah itu tanpa peduli siapa yang menghubungi. Namun, benda pipih itu kembali berdering sebelum sempat aku kembali ke alam bawah sadar.

"Siapa, sih, telepon siang bolong begini?" tanyaku dengan suara khas orang yang baru bangun tidur.

"Bangun, Dek! Kamu nggak rindu, kah, sama Abang?" Mendengar suara itu, mataku langsung terbuka dengan lebar. Rasa kantuk pun seakan menguap begitu saja.

"Bang Renal? Ini beneran Abang?" tanyaku tak percaya.

"Kebiasaan, deh, kalau jawab panggilan nggak di cek dulu," protes pria itu.

"Ngantuk, Abang. Jadi nggak fokus buat ngecek panggilan. Mana lagi mimpi indah banget lagi tadi itu."

"Jadi, Abang ganggu, nih? Yaudah, Abang matiin aja kalau gitu." Terdengar dari ucapannya bahwa pria itu sangat menyesal.

"Eh, jangan, dong! Udah dari kemarin tauk aku nungguin telepon dari Abang." Kubuat suaraku semanja mungkin.

Aku tahu, aku juga sadar, bahwa ini semua salah, tapi ... tak bisa kupungkiri bahwa rasa nyaman ini sudah merasuk ke dalam pikiran.

Renal Setiawan, pria yang kukenal beberapa bulan yang lalu itu mampu menarik seluruh perhatianku, bahkan dari suamiku sendiri.

Awal perkenalan yang tak disengaja itu membawa kami pada rasa yang salah. Yaitu rasa suka yang tak seharusnya ada. Ungkapan perasaan yang diucapkan olehnya, mampu menggoyahkan kesetiaan yang sudah kupupuk selama bertahun-tahun. Namun, semua itu tak lepas dari perilaku suami yang semena-mena dan selalu menghinaku setiap saat.

Ya, memiliki suami dengan sifat ingin menang sendiri lah yang akhirnya membuatku sedikit berpaling. Caci makinya yang selalu terdengar membuatku merasa nyaman berbincang dengan Bang Renal yang menurutku penyayang dan perhatian. Walaupun suka sama suka, tapi kami berbincang dan berkirim pesan masih dalam batas wajar.

'Dalam batas wajar bagaimana jika nyatanya kalian suka sama suka?' Pertanyaan itu sering kali muncul dalam benakku. Jujur, aku tak mampu menjawabnya, tapi tak mampu juga tuk menyangkalnya.

Berkali-kali mencoba tuk menjauh darinya, tapi nyatanya perhatian kecil itu mampu mengalihkan seluruh perhatianku.

[Gimana, sih, caranya bikin perempuan yang ngambek itu kembali ceria?] tanyanya kala itu.

[Tergantung perempuannya lah. Soalnya nggak semua perempuan itu sama. Ada yang minta didiemin dulu, ada yang pengen langsung di bujuk. Ada yang maunya di peluk dulu,] balasku menjelaskan padanya, [emang kenapa? Lagi merajuk, ya, ayangnya?]

[Iya, nih. Eh, bukan ayang maksudnya, tapi orang yang aku suka.]

[Widih. Siapa, tuh? Spill, dong, ayangnya!]

[Jangan, nanti kamu stalking lagi.]

[Lah, iya, dong! Sudah pasti itu,] balasku dengan emoticon tertawa.

[Enggak perlu, nanti kamu bakal tahu sendiri, kok.] balasnya dengan emoticon batu.

[Gimana bisa tahu kalau nggak di-spill.] Tak lupa aku membubuhi akhir pesan itu dengan emot cemberut.

[Dia satu grup chat dengan kita.]

[Grup yang mana? Kita ada banyak grup, loh, yang sama!]

[Grup anime.]

[Apakah Kak Nadia? Soalnya Abang semangat banget berbalas pesan sama dia.]

[Salah! Silakan coba lagi!]

[Dih, nggak mau ngasih tahu, yaudah!] balasku dengan emoticon manyun.

[Kalau kamu pas ngambek, biasanya pakai cara apa ngebujuknya?] tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan.

[Kalau aku, ya, sukanya di peluk kalau lagi dekat, tapi kalau lagi berjauhan minimal di rayu gitu.]

[Yaudah, Abang pakai cara ini. Adriana cantik, Adriana manis, jangan ngambek lagi, ya!]

[Tunggu-tunggu. Ini maksudnya gimana? Kok, aku nge-lag, ya? Atau jangan-jangan ... Orang yang Abang suka itu adalah aku? Duh, kamu kepedean sekali, sih, Adriana!] Aku yang sedikit paham hanya bisa menerka. Tak lupa membubuhi akhir pesan dengan emoticon tertawa.

[Kalau memang iya, gimana?]

[Duh, ternyata pesona istri orang itu benar-benar memikat, ya?] Lagi-lagi aku mengakhiri pesan itu dengan emoticon tertawa sebelum mengirimkannya pada pria itu.

"Iya kah? Kok, Abang nggak percaya, ya?" tanya pria diseberang sana membuyarkan lamunanku pada pesan-pesan itu.

"Yaudah kalau nggak percaya, aku ngambek!" ucapku dengan bibir yang cemberut. Aku yakin pria itu tak akan tahu kalau saat ini bibirku tengah manyun beberapa centi ke depan.

"Duh, si cantik lagi ngambek. Enaknya diapain, ya?" Seketika aku tertawa mendengar ucapannya. Bagaimana tidak, ia selalu memuji dengan kata-kata yang indah, tidak seperti Mas Denny yang selalu mengucapkan cacian setiap kali ada di dekatku.

"Enaknya dihalalin. Eh,"

"Dasar istri orang!" ucapnya membuatku tertawa mendengarnya.

"Eh, BTW, Abang kemana aja? Kok, nggak ada ngabarin sedikitpun? Bahkan nomornya juga nggak aktif." Aku langsung memberondong pria itu dengan banyak pertanyaan. Berharap ia akan menjelaskan.

"Belakangan Abang lagi banyak kerjaan, Di. Jadi nggak bisa bebas main hp kayak biasanya."

"Ooh, gitu. Yaudah, kalau Abang sibuk, nggak balas chat aku juga nggak apa, kok."

"Duh, istri siapa, sih, ini pengertian banget."

"Istri siapa, ya?" tanyaku berpura-pura.

"Ya, istrinya suami kamu lah." Terdengar jelas dari suaranya bahwa pria itu saat ini sedang merasa bete.

Kami lanjut berbincang santai siang ini. Tak lupa kuceritakan juga perihal keadaanku saat ini dan juga penyebabnya.

"Awas saja, kalau sampai ketemu sama tuh orang, pasti aku hajar habis-habisan!" ucapnya penuh emosi.

Aku diam tak menjawab ucapannya. Apa yang akan aku ucapkan? Sedangkan kami tak memiliki hubungan apapun. Ya, hanya cinta semu yang tumbuh di dalam hati.

“Bang,” panggilku setelah beberapa saat kami saling diam.

“Iya.”

“Hmm,”

“Kenapa, Dek?”

“Abang bisa, nggak, sehari itu ngabarin seenggaknya sekali? Soalnya …”

“Soalnya kenapa?”

“Rain (du),” ucapku malu-malu. Rain (du) adalah kata-kata ketika aku mengucapkan kata rindu.

“Gimana, ya, Abang usahain, tapi nggak bisa janji,” ucapnya mematahkan semangatku.

“Yaaaah.” Aku mengeluh sebab jawabannya tak sesuai dengan harapanku.

“Di, boleh Abang tanya sesuatu?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

“Boleh. Mau nanya apa?”

“Kenapa kamu minta Abang kabarin kamu tiap hari? Padahal, kan, Abang bukan siapa-siapa kamu.” Ah, pertanyaan itu sebenarnya aku juga tak bisa menjawabnya.

“Kala hati menjadi risau, bayang wajahmu datang menghantui. Perasaan ini, aku pun tak tahu dari mana datangnya. Hati, mengapa engkau membagi hati yang ada di dada? Mengapa kau memberi harap kepada dia yang tak bisa kau miliki? Entahlah, aku pun tak tahu apa yang terjadi. Aku sadar, bahwa aku ini hanyalah pengagum yang tak tahu diri.” Kata-kata itu terucap begitu saja oleh bibirku, bahkan tanpa berpikir terlebih dahulu.

“Duh, kata-katanya menyentuh sekali.”

“Refleks aja ngucapinnya. Mungkin, karena sesuai isi hati kali, ya?”

“Kenapa kamu bisa suka sama Abang, Dek? Padahal, kan, Abang orangnya biasa aja.”

“Perasaan itu datang sendiri, Bang. Nggak diinginkan, tapi dia datang tanpandi undang. Lagi pula, aku orangnya juga jelek, kok.”

“Padahal Abang berharap dibilang tampan.” Mendengar ucapannya, refleks aku tertawa. Terdengar suara cengengesan dari seberang sana.

“Mau bilang gitu, tapi … takut.”

“Takut kenapa? Ya kali dibilang tampan langsung gigit.”

“Takut dijadikan istri.” Aku tertawa setelah mengatakannya.

“Emangnya nggak mau?” tanyanya seolah sedang melamar pujaan hatinya. Duileh, percaya diri bener lu, Adriana.

“Keknya lebih ke nggak mungkin, deh, tapi nggak tahu juga gimana kedepannya, kan?”

“Iya. Semoga pernikahan kamu langgeng, ya?!”

“Aamiin. Terima kasih banyak doanya, Bang. Semoga Abang juga cepet dipertemukan sama jodohnya, bahagia dunia dan akhirat.”

“Aamiin,” ucapnya mengamini doaku, “Dek, udah dulu, ya, Abang mau lanjut kerja lagi, soalnya jam istirahat udah habis.”

“Lah, iya. Nggak terasa ternyata, ya, kita ngobrolnya udah lama.”

“Ngobrol sama kamu memang bikin lupa waktu. Soalnya suka bikin nyaman gitu.” Seketika aku tersenyum mendengar ucapannya. Bagaimana tidak, dia selalu saja memujiku begitu.

Pipiku terasa memanas, mungkin jika diperhatikan, kini pipiku sudah berubah warna menjadi warna merah. “Duh, aku jadi tersepona.”

“Di, Abang pamit dulu, ya! Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawabku. Panggilan pun terputus.

Selang beberapa menit setelah panggilan terputus, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarku.

‘Mungkin itu Ibu,’ gumamku dalam hati.

“Iya, masuk!” ucapku mempersilakan orang itu.

Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….

***

Bersambung.

"Jika memang ditakdirkan untuk bersama, bagaimanapun keadaannya pasti akan bersua juga. Jika tidak sekarang, maka Sang Maha Kuasa akan mempertemukan kita dengan versi terbaik kita." ✨

_Renal Setiawan

Bab terkait

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 7, Apa maksudnya?

    Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk. “Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi? “Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku. “Baik,” jawabku cuek. “Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah. Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali. “Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku. “Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah. “Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju k

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Saatnya mengepakkan sayap

    “Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya. “Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini. “Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana. “Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.” ‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’ Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik. “Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—” “Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?” “Kamu yakin nggak papa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    POV Sandi 1. Nama yang sama

    Aku masih tak percaya bahwa Ibu memaksaku untuk pergi ke pulau seberang untuk menemui seorang wanita yang tengah koma setelah mengalami KDRT oleh suami dan mertuanya. “Wanita itu adalah anak dari sahabat ayah kamu, Bang. Dulu sebelum meninggal, Pak Ruslan dan Ayah kamu sudah menjodohkan kalian—” “Tapi, kan, kejadiannya udah lima belas tahun yang lalu. Aku udah dewasa, Bu, bisa cari jodoh sendiri,” tolakku dengan halus. Aku adalah tulang punggung keluarga sejak usia delapan belas tahun. Tepatnya setelah kelulusan SMA. Aku yang memiliki dua orang adik tak mungkin melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan dan membiarkan Ibu bekerja seorang diri, tapi memang rezeki yang tak kemana, Allah memberikan aku jalan. Seorang pria yang berasal dari pulau seberang memberikanku modal yang cukup besar untuk memulai usaha. Alhamdulillah, usaha toko kelontong yang aku bangun berkembang pesat dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Hingga akhirnya keinginanku untuk kuliah yang dulu hanya di an

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Awal Perkenalan

    Saat ini, aku sudah berada di bandara. Penerbanganku masih sekitar tiga puluh menit lagi. Terlihat raut wajah ibu yang begitu bahagia duduk di sebelahku. “Nak, sampaikan salam Ibu pada Adriana dan kedua orang tuanya. Jangan lupa berikan ini padanya.” Wanita surgaku itu menyerahkan sebuah kotak. Aku yakin pasti isinya adalah gelang yang dibuatnya tadi malam. Aku menerima kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. “Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa salat, jangan telat makan, jangan juga lupa kabarin ibu.” “Bu, doain Sandi, ya.” “Doa ibu selalu ada untukmu, Nak.” “Diberitahukan kepada seluruh penumpang dengan tujuan Pekanbaru, pesawat akan lepas landas dalam waktu sepuluh menit lagi. Diharapkan untuk seluruh penumpang segera menuju ke pesawat.” Itu pesawat yang akan aku naiki. “Bu, Sandi berangkat dulu, ya.” Ku cium tangan ibu dengan takzim. “Hati-hati, ya, Nak,” ucap Ibu mengusap kepalaku. Aku mengangguk menanggapi ucapan ibuAku menoleh pada Silvia, mengulurkan tangan pa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    (POV Sandi end) Rahasia Sandi

    “Nak Sandi, ibu tinggal sebentar, ya, mau cari makan dulu. Kalian ngobrol aja dulu siapa tahu cocok dan bisa jadi pasangan.” Bu Mila tersenyum. “Ba–baik, Bu,” jawabku sedikit gugup. Terlihat senyum tipis di wajahnya dan kemudian beliau mengusap puncak kepala putrinya. Melangkah keluar menuju pintu dan menghilang dibaliknya. Rasa canggung yang semula ada, bertambah besar setelah Bu Mila keluar dari ruangan ini. Bagaimana tidak, dua orang yang baru saling mengenal kini berada di suatu ruangan yang sama hanya berdua saja. Ya, hanya berdua saja! Kalian tahu bagaimana keadaan dan perasaanku saat ini? Berdebar-debar seperti maling yang tengah menghindar dan bersembunyi dari polisi. Aku menyerahkan sebuah kotak yang berisi gelang pemberian Ibu tadi pagi. “Ketika Ibu mendengar aku akan datang hari ini, beliau membuatkan itu untukmu hanya dalam waktu semalam.” “Wah, cantik sekali.” Wanita itu mengeluarkan gelang itu. “Serius hanya semalam? Aku pernah mencoba membuatnya, tapi selalu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    (POV Adriana) Pria asing

    Keesokan harinya, ibu datang bersama Bang Sandi. Raut wajah Mereka tampak sumringah, tapi …. “Bu, di mana bapak dan Aldo?” tanyaku pada wanita paruh baya kesayanganku itu. “Mereka sedang mengurus administrasi. Hari ini juga, kamu sudah boleh pulang.” Terlihat wajah Ibu begitu bahagia. “Ibu serius?” Aku bangkit dan mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang. Saking bahagianya, rasa sakit yang masih sedikit terasa pun tak ku hiraukan. Tak sengaja aku melirik ke arah Bang Sandi, pria itu terlihat tak kalah bahagianya dengan ibu. Mata teduhnya menatap lekat ke arah kami. Namun, Iya segera menyembunyikan wajahnya ketika sadar aku memperhatikannya. Ada rasa kagum yang diam-diam merasuk ke dalam pikiranku. Bang sandi membantu ibu untuk membereskan barang-barangku. Awalnya aku ingin ikut membantu, tapi mereka melarang. Setelah semuanya selesai dan kami bersiap untuk keluar, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. “Apa yang terjadi di luar?” tanya Ibu memelukku. “Aku akan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Tentang perjodohan

    Ibu menuntun dan membantuku masuk ke kamar merebahkan tubuh kemah ini diatas kasur yang hampir setahun ini tak kutiduri. “Bu, sebenarnya siapa pria tadi?” Lagi aku bertanya setelah Ibu selesai menyusun barang-barangku ke dalam lemari. “Entahlah, Nak. Ibu juga tidak tahu. Mungkin itu menyangkut urusan bisnis. Sudahlah, tak perlu kamu pikirkan lagi.” Ucapan Ibu ada benarnya juga. Mungkin pria itu adalah salah satu pesaing Bapak di dunia bisnis. Semoga ia tak memiliki niat buruk dan semoga tak akan ada hal buruk yang akan datang. Aamiin. “Ibu ke belakang dulu, ya, ambilin buah buat kamu,” ucap Ibu tersenyum padaku. Aku pun mengangguk dan membalas senyuman Ibu. Wanita kesayanganku itu pun melangkah keluar meninggalkan diriku seorang diri. Tak lama setelah Ibu pergi, terdengar suara ketukan di jendela. Aku terkejut sekaligus takut, karena Ibu bilang, belakangan ini banyak tindak kejahatan di sekitar sini. Namun, rasa penasaran ini jauh lebih besar dari rasa takut itu. Aku bangkit dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kedatangan keluarga Sandi

    “Apa yang dikatakan Bang Sandi? Mengapa ibu terlihat bahagia sekali?” tanyaku dengan rasa yang teramat penasaran. Belum sempat ibu menjawab, pria itu pun datang bersama dengan Bapak. Wajah mereka semua terlihat bahagia sekali dengan senyum yang merekah. “Nak, sudah Bapak bilang, kan, kalau Sandi ini pria yang baik. Bapak yakin, bahwa dia akan memberikanmu kasih sayang dan juga kebahagiaan yang berlimpah.” Bapak menepuk pundak Bang Sandi pelan, sedangkan pria itu hanya tersenyum. Perkataan mereka semakin membuatku bingung. “Bu?” Aku melihat ke arah ibu demi meminta penjelasan darinya. Namun, bukannya mendapatkan penjelasan, ucapan ibu semakin membuatku kebingungan. “Udah, kamu tenang aja!” ucap wanita paruh baya itu tersenyum padaku, “yaudah, yuk, kita mulai mempersiapkan semuanya. Soalnya waktu kita nggak banyak. Jangan sampai nanti keteteran pas harinya udah dekat.” Bapak tersenyum, sedangkan Bang Sandi menunduk demi menyembunyikan semu merah di wajahnya yang tampan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24

Bab terbaru

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Masalah Baru Lagi

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    mulai terkuaknya sebuah misteri

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kembali Menemui Arman

    --- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria Berjaket Hitam

    --- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Petunjuk Baru

    ---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    perempuan misterius

    Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Sebuah petunjuk

    Malam semakin larut, tapi kami semua masih terjaga di ruang tamu. Iqbal terus sibuk dengan laptopnya, mencoba menggali lebih dalam tentang petunjuk yang ia temukan. Bang Sandi duduk di sampingku, tangannya tak pernah lepas menggenggamku seolah takut aku menghilang. "Ini dia," kata Iqbal tiba-tiba, membuat kami berdua terlonjak, "aku nemu sesuatu yang menarik." "Apa?" tanyaku, mendekat ke arahnya. Iqbal memutar layar laptopnya ke arah kami. "Email kalian sempat menerima pesan mencurigakan sebulan lalu, tapi langsung terhapus. Untungnya, ada log yang tersimpan." Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Kalian nggak akan bisa lari dari masa lalu." Aku merasakan darahku membeku. "Masa lalu? Maksudnya apa?" Iqbal menggeleng. "Itu yang harus kita cari tahu. Pesan ini dikirim dari jaringan umum di sekitar kampus, sama seperti alamat IP yang tadi." Bang Sandi tampak berpikir keras. "Jaringan umum? Berarti pelaku bisa siapa saja." "Tepat," sahut Iqbal, "tapi ada satu hal aneh. Aku

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Log aktivitas

    Pagi itu, suasana rumah terasa tegang. Aku duduk di meja makan memandangi secangkir kopi yang hampir dingin. Bang Sandi berada di seberangku, menatapku dengan pandangan penuh perhatian. Dia tahu aku masih terguncang oleh foto-foto yang kami temukan tadi malam. "Sayang, kamu yakin nggak mau makan dulu?" tanyanya dengan suaranya yang lembut. Aku menggeleng pelan. "Aku nggak lapar, Bang" Ia mendesah, lalu bangkit dari kursinya dan berjongkok di sampingku. Tangannya menggenggam tanganku erat. "Kamu harus kuat, Sayang. Abang janji kita akan selesaikan ini sama-sama. Abang nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu." Aku menatapnya, mataku mulai berkaca-kaca, "tapi aku takut, Bang. Orang ini tahu segalanya tentang kita. Dia bahkan masuk ke rumah kita, ke kamar kita .…"Bang Sandi mengusap pipiku dengan ibu jarinya. "Abang nggak akan biarin dia nyakitin kamu. Kamu percaya sama Abang, kan?" Aku mengangguk pelan, tapi rasa takut itu tetap ada, seperti duri yang menancap di hatiku. Iqbal

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Amplop Coklat

    --- Aku menggenggam erat tangan Bang Sandi saat kami kembali ke kantor polisi membawa bukti baru, foto pernikahan yang dirusak dan rekaman kamera pengawas. Pak Ridwan memeriksa semuanya dengan wajah serius, sesekali berdiskusi dengan rekan-rekannya. "Ini jelas tindakan yang disengaja dan terencana," ujarnya sambil menatap kami, "kami akan mencoba melacak orang ini dari jejak yang ditinggalkannya, tapi butuh waktu." Iqbal yang ikut menemani kami ke kantor polisi dan tampak tak sabar. "Pak, apa nggak ada cara lebih cepat? Orang ini udah terlalu berani!" Pak Ridwan menghela napas. "Kami akan memprioritaskan kasus ini, tapi kalian juga harus membantu kami. Ada sesuatu yang mencurigakan atau siapa saja yang pernah bermasalah dengan kalian?" Aku dan Bang Sandi saling berpandangan. Pertanyaan itu menggantung seperti beban di udara. "Aku nggak tahu, Pak," jawabku akhirnya, "kami nggak punya musuh. Kehidupan kami biasa saja." Di sisi lain, Bang Sandi tampak berpikir keras. Ia m

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status