Share

Bab 5

"Siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?" tanyaku penasaran.

"Seseorang yang sangat dipercayai Bapak mampu membahagiakan kamu."

Orang kepercayaan Bapak? Yang mampu membahagiakan aku? Apa maksud Ibu sebenarnya?

"Apa maksud Ibu?"

"Mksud Ibu—"

Tok tok tok.

Tiba-tiba pintu diketuk sebelum sempat Ibu menjelaskan.

"Sebentar, ya, Sayang, Ibu bukain pintu dulu. Siapa tahu orang itu sudah datang." Wanita yang paling aku sayangi itu melangkah menjauhiku menuju ke arah pintu dengan senyum yang begitu mengembang.

"Assalamualaikum," ucap seorang pria yang ada di depan pintu.

"Waalaikumsalam," jawab Ibu menyambut uluran tangannya. Pria itu menyalami tangan Ibu dengan takzim.

"Waalaikumsalam," jawabku dengan lirih. Mereka masuk setelah sedikit berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas.

"Di, kenalin, ini Sandi. Dosen di salah satu universitas terkenal di Sulawesi Barat. Sandi ini termasuk dosen kebanggan universitas karena prestasinya, loh. Hanya sedikit mahasiswa yang tidak lulus jika dia yang mengajar. Dia rela datang jauh-jauh dari Sulawesi demi bisa menjenguk kamu. Sandi, kenalin, ini Adriana. Putri sulung Ibu," ucap Ibu memperkenalkan kami.

"Hai. Salam kenal." Pria itu mengulurkan tangannya.

"Salam kenal juga," ucapku menyambut uluran tangan itu. Tak selang berapa lama, aku menarik tanganku yang digenggamnya dengan erat.

"Mmm, Nak Sandi, ibu tinggal keluar dulu, ya, mau cari makanan. Kamu ngobrol aja dulu sama Diana. Oke?"

"Baik, Bu. Terima kasih."

Ibu mengangguk, mengelus puncak kepalaku dan kemudian melangkah keluar dari ruangan ini.

"Ah, iya, aku punya sesuatu buat kamu," ucapnya menghilangkan kecanggungan diantara kami. Merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya dan menyerahkannya padaku.

"Apa ini?" Aku menerima kotak itu dan membukanya perlahan. "Wah, cantik sekali gelangnya. Ini kamu sendiri yang buat?"

"Bukan. Itu buatan ibu aku. Waktu aku bilang mau datang ke sini buat jenguk kamu, ibu langsung membuat ini dan selesai hanya dalam waktu semalam."

"Semalam?! Ini susah, loh, buat desainnya. Aku pernah coba, tapi gagal terus. Jadi pengen, deh, diajarin bikin sama ibu kamu."

"Boleh. Nanti kalau udah sehat, berkunjunglah ke Sulawesi, nanti aku minta ibu buat ajarin kamu."

"Insya Allah. Semoga kita semua masih diberi umur panjang."

"Aamiin."

"Ngomong-ngomong, kamu anak tunggal, kah?" tanyanya setelah beberapa saat kami terdiam.

"Kenapa memangnya?" Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan pula.

"Ah, enggak. Cuma mau tahu aja. Soalnya kelihatan banget orang tua kamu begitu menyayangimu."

"Aku anak pertama sekaligus putri satu-satunya dari dua orang bersaudara. Adikku saat ini tengah menuntut ilmu di salah satu universitas yang ada di Riau ini dengan jurusan pertanian."

"Wah, keren. Nggak banyak, loh, anak muda zaman sekarang yang mau masuk jurusan pertanian. Ah, iya, udah masuk semester berapa?" tanyanya kemudian.

"Baru masuk semester dua."

"Ooh, begitu. Kalau kamu? Ada niatan, kah, mau melanjutkan pendidikan lagi?" tanyanya memandangku dalam sekali, tapi ... bagaimana dia bisa tahu tentang pendidikanku yang sempat terhenti?

"Bapak yang cerita," jawabnya cepat seolah paham dengan pikiranku.

"Aku tergantung bagaimana keputusan Bapak nanti. Kalau Bapak minta aku untuk melanjutkan, maka akan aku patuhi perintahnya."

"Begitu. Baiklah, semoga apapun keputusan kamu, yang terbaik pula buat kamu."

"Aamiin."

"Bapak nggak bisa ngelarang aku! Karena dia itu masih sah jadi istriku!"

Aku dan Sandi terkejut mendengar suara ribut-ribut di luar.

"Untuk saat ini, iya, tapi beberapa hari lagi kamu akan menjadi mantan bagi Diana!"

Itu ... itu suara Bapak. Aku bangkit dan mencoba untuk turun dari tempat tidur, tapi mendadak kepalaku terasa sakit sekali.

"Jangan bangun dulu, kamu masih belum sehat," ucapnya membantuku kembali ke posisi semula. Duduk bersandar di atas tempat tidur.

"Tapi ... itu ... itu suara Bapak, Bang."

"Kamu tunggu di sini dulu, ya, biar aku yang periksa keluar." Pria itu melangkah keluar meninggalkanku.

Cukup lama mereka berada di sana, tapi belum juga ada yang masuk sekedar menjelaskan apa yang terjadi.

"Aku nggak bisa terus diam begini, aku harus cari tahu sendiri!"

Dengan langkah yang tertatih akibat rasa sakit pasca operasi itu, aku melangkah menuju ke arah pintu.

"Sudahlah, Denny. Kamu tak perlu repot-repot lagi datang ke sini buat ngerawat Adriana. Udah ada kami, orang tuanya, dan juga Sandi."

"Ooh, jadi Bapak mau menjodohkan putri bapak yang masih berstatus istri bagi orang lain itu? Orang tua macam apa Anda ini?" tanya Mas Denny tak tahu sopan santun.

"Denny?!" bentak Bapak pada pria itu.

"Maaf, Bang. Saya tidak punya maksud seperti itu. Saya datang ke sini karena undangan dari kedua orang tua Adriana."

"Saya tidak sedang berbicara dengan Anda, PE BI NOR!" ucap Mas Denny menekankan kata terakhir dari ucapannya.

"Kurang aj*r! Pergi kamu dari sini sekarang juga! Atau saya panggilkan satpam buat mengusir kamu!" ancam Bapak padanya.

"Kalau aku nggak mau, Bapak mau apa?" Lancang sekali Mas Denny bicara begitu pada Bapak?

"Maaf, Bang, ada baiknya bicara dengan lembut kepada orang tua. Terlebih itu mertua Abang sen—"

"Diam kamu!" Mas Denny memotong cepat sebelum pria itu menyelesaikan ucapannya. "Aku nggak lagi bicara sama kamu!"

"Selamat malam, Pak. Mohon jangan membuat keributan di rumah sakit! Sebaiknya kalian selesaikan masalah kalian di luar." Itu pasti satpam rumah sakit. Hingga akhirnya aku tak mendengar apapun lagi. Mungkin mereka pergi keluar sesuai perintah dari satpam itu.

Ceklek.

Suara pintu yang terbuka membuatku terkejut hingga hampir saja terjatuh.

"Astaghfirullah." Aku mundur beberapa langkah dengan gerakan yang sempoyongan.

"Adriana, kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Sandi berlari menghampiriku yang hampir terjatuh. Menuntunku untuk kembali ke tempat tidur dan membantu merebahkan tubuhku dengan sangat perlahan.

"Aku tadi mau menemui Bapak, tapi ... di mana Bapak?" Ah, iya, aku tak melihat Bapak, padahal beliau lah yang aku nantikan sejak tadi.

"Bapak sedang mengurus suami kamu di bawah. Dia bersikeras mau menemuimu, padahal bapak sudah melarangnya."

"Tapi kenapa bapak melarang Mas Denny masuk?" tanyaku spontan.

"Sejauh yang kudengar, katanya bapak mau menceraikan kalian."

Aku mengangguk tak menjawab ucapannya dan memilih mengambil ponsel yang ada di atas meja sebelah tempat tidurku. Mengotak-atiknya sebentar mencari aplikasi chat bergambar ponsel. Memeriksanya kembali berharap mendapatkan pesan dari orang yang selalu aku tunggu-tunggu.

Nihil. Tak satupun pesan darinya kuterima. Bahkan belum ada yang berubah sedikitpun. Pesan itu masih saja centang satu.

"Apa dia memblokir nomorku, ya? Tapi kenapa? Perasaan aku nggak buat kesalahan apapun. Apa karena aku wanita bersuami? Duh, Bang Renal, bagaimana caraku menghubungimu? Sedangkan tak satu orangpun dari keluargamu yang aku kenal." gumamku lirih.

Kulihat dari sudut mata, Sandi tengah asik membaca sebuah buku di sofa yang tak jauh dari tempat tidurku. Begitu fokus ia membaca sampai tak sadar bahwa aku tengah memperhatikannya.

***

Bersambung.

"Bukankah takdir itu unik? Takdir akan membuatmu terluka sebelum memberikan kebahagiaan yang mungkin akan kau terima. Namun, terkadang kita menyadari datangnya kebahagiaan itu." ✨

_Renal Setiawan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status