Share

Bab 5

Penulis: Rarha Ira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-04 21:14:45

"Siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?" tanyaku penasaran.

"Seseorang yang sangat dipercayai Bapak mampu membahagiakan kamu."

Orang kepercayaan Bapak? Yang mampu membahagiakan aku? Apa maksud Ibu sebenarnya?

"Apa maksud Ibu?"

"Mksud Ibu—"

Tok tok tok.

Tiba-tiba pintu diketuk sebelum sempat Ibu menjelaskan.

"Sebentar, ya, Sayang, Ibu bukain pintu dulu. Siapa tahu orang itu sudah datang." Wanita yang paling aku sayangi itu melangkah menjauhiku menuju ke arah pintu dengan senyum yang begitu mengembang.

"Assalamualaikum," ucap seorang pria yang ada di depan pintu.

"Waalaikumsalam," jawab Ibu menyambut uluran tangannya. Pria itu menyalami tangan Ibu dengan takzim.

"Waalaikumsalam," jawabku dengan lirih. Mereka masuk setelah sedikit berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas.

"Di, kenalin, ini Sandi. Dosen di salah satu universitas terkenal di Sulawesi Barat. Sandi ini termasuk dosen kebanggan universitas karena prestasinya, loh. Hanya sedikit mahasiswa yang tidak lulus jika dia yang mengajar. Dia rela datang jauh-jauh dari Sulawesi demi bisa menjenguk kamu. Sandi, kenalin, ini Adriana. Putri sulung Ibu," ucap Ibu memperkenalkan kami.

"Hai. Salam kenal." Pria itu mengulurkan tangannya.

"Salam kenal juga," ucapku menyambut uluran tangan itu. Tak selang berapa lama, aku menarik tanganku yang digenggamnya dengan erat.

"Mmm, Nak Sandi, ibu tinggal keluar dulu, ya, mau cari makanan. Kamu ngobrol aja dulu sama Diana. Oke?"

"Baik, Bu. Terima kasih."

Ibu mengangguk, mengelus puncak kepalaku dan kemudian melangkah keluar dari ruangan ini.

"Ah, iya, aku punya sesuatu buat kamu," ucapnya menghilangkan kecanggungan diantara kami. Merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya dan menyerahkannya padaku.

"Apa ini?" Aku menerima kotak itu dan membukanya perlahan. "Wah, cantik sekali gelangnya. Ini kamu sendiri yang buat?"

"Bukan. Itu buatan ibu aku. Waktu aku bilang mau datang ke sini buat jenguk kamu, ibu langsung membuat ini dan selesai hanya dalam waktu semalam."

"Semalam?! Ini susah, loh, buat desainnya. Aku pernah coba, tapi gagal terus. Jadi pengen, deh, diajarin bikin sama ibu kamu."

"Boleh. Nanti kalau udah sehat, berkunjunglah ke Sulawesi, nanti aku minta ibu buat ajarin kamu."

"Insya Allah. Semoga kita semua masih diberi umur panjang."

"Aamiin."

"Ngomong-ngomong, kamu anak tunggal, kah?" tanyanya setelah beberapa saat kami terdiam.

"Kenapa memangnya?" Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan pula.

"Ah, enggak. Cuma mau tahu aja. Soalnya kelihatan banget orang tua kamu begitu menyayangimu."

"Aku anak pertama sekaligus putri satu-satunya dari dua orang bersaudara. Adikku saat ini tengah menuntut ilmu di salah satu universitas yang ada di Riau ini dengan jurusan pertanian."

"Wah, keren. Nggak banyak, loh, anak muda zaman sekarang yang mau masuk jurusan pertanian. Ah, iya, udah masuk semester berapa?" tanyanya kemudian.

"Baru masuk semester dua."

"Ooh, begitu. Kalau kamu? Ada niatan, kah, mau melanjutkan pendidikan lagi?" tanyanya memandangku dalam sekali, tapi ... bagaimana dia bisa tahu tentang pendidikanku yang sempat terhenti?

"Bapak yang cerita," jawabnya cepat seolah paham dengan pikiranku.

"Aku tergantung bagaimana keputusan Bapak nanti. Kalau Bapak minta aku untuk melanjutkan, maka akan aku patuhi perintahnya."

"Begitu. Baiklah, semoga apapun keputusan kamu, yang terbaik pula buat kamu."

"Aamiin."

"Bapak nggak bisa ngelarang aku! Karena dia itu masih sah jadi istriku!"

Aku dan Sandi terkejut mendengar suara ribut-ribut di luar.

"Untuk saat ini, iya, tapi beberapa hari lagi kamu akan menjadi mantan bagi Diana!"

Itu ... itu suara Bapak. Aku bangkit dan mencoba untuk turun dari tempat tidur, tapi mendadak kepalaku terasa sakit sekali.

"Jangan bangun dulu, kamu masih belum sehat," ucapnya membantuku kembali ke posisi semula. Duduk bersandar di atas tempat tidur.

"Tapi ... itu ... itu suara Bapak, Bang."

"Kamu tunggu di sini dulu, ya, biar aku yang periksa keluar." Pria itu melangkah keluar meninggalkanku.

Cukup lama mereka berada di sana, tapi belum juga ada yang masuk sekedar menjelaskan apa yang terjadi.

"Aku nggak bisa terus diam begini, aku harus cari tahu sendiri!"

Dengan langkah yang tertatih akibat rasa sakit pasca operasi itu, aku melangkah menuju ke arah pintu.

"Sudahlah, Denny. Kamu tak perlu repot-repot lagi datang ke sini buat ngerawat Adriana. Udah ada kami, orang tuanya, dan juga Sandi."

"Ooh, jadi Bapak mau menjodohkan putri bapak yang masih berstatus istri bagi orang lain itu? Orang tua macam apa Anda ini?" tanya Mas Denny tak tahu sopan santun.

"Denny?!" bentak Bapak pada pria itu.

"Maaf, Bang. Saya tidak punya maksud seperti itu. Saya datang ke sini karena undangan dari kedua orang tua Adriana."

"Saya tidak sedang berbicara dengan Anda, PE BI NOR!" ucap Mas Denny menekankan kata terakhir dari ucapannya.

"Kurang aj*r! Pergi kamu dari sini sekarang juga! Atau saya panggilkan satpam buat mengusir kamu!" ancam Bapak padanya.

"Kalau aku nggak mau, Bapak mau apa?" Lancang sekali Mas Denny bicara begitu pada Bapak?

"Maaf, Bang, ada baiknya bicara dengan lembut kepada orang tua. Terlebih itu mertua Abang sen—"

"Diam kamu!" Mas Denny memotong cepat sebelum pria itu menyelesaikan ucapannya. "Aku nggak lagi bicara sama kamu!"

"Selamat malam, Pak. Mohon jangan membuat keributan di rumah sakit! Sebaiknya kalian selesaikan masalah kalian di luar." Itu pasti satpam rumah sakit. Hingga akhirnya aku tak mendengar apapun lagi. Mungkin mereka pergi keluar sesuai perintah dari satpam itu.

Ceklek.

Suara pintu yang terbuka membuatku terkejut hingga hampir saja terjatuh.

"Astaghfirullah." Aku mundur beberapa langkah dengan gerakan yang sempoyongan.

"Adriana, kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Sandi berlari menghampiriku yang hampir terjatuh. Menuntunku untuk kembali ke tempat tidur dan membantu merebahkan tubuhku dengan sangat perlahan.

"Aku tadi mau menemui Bapak, tapi ... di mana Bapak?" Ah, iya, aku tak melihat Bapak, padahal beliau lah yang aku nantikan sejak tadi.

"Bapak sedang mengurus suami kamu di bawah. Dia bersikeras mau menemuimu, padahal bapak sudah melarangnya."

"Tapi kenapa bapak melarang Mas Denny masuk?" tanyaku spontan.

"Sejauh yang kudengar, katanya bapak mau menceraikan kalian."

Aku mengangguk tak menjawab ucapannya dan memilih mengambil ponsel yang ada di atas meja sebelah tempat tidurku. Mengotak-atiknya sebentar mencari aplikasi chat bergambar ponsel. Memeriksanya kembali berharap mendapatkan pesan dari orang yang selalu aku tunggu-tunggu.

Nihil. Tak satupun pesan darinya kuterima. Bahkan belum ada yang berubah sedikitpun. Pesan itu masih saja centang satu.

"Apa dia memblokir nomorku, ya? Tapi kenapa? Perasaan aku nggak buat kesalahan apapun. Apa karena aku wanita bersuami? Duh, Bang Renal, bagaimana caraku menghubungimu? Sedangkan tak satu orangpun dari keluargamu yang aku kenal." gumamku lirih.

Kulihat dari sudut mata, Sandi tengah asik membaca sebuah buku di sofa yang tak jauh dari tempat tidurku. Begitu fokus ia membaca sampai tak sadar bahwa aku tengah memperhatikannya.

***

Bersambung.

"Bukankah takdir itu unik? Takdir akan membuatmu terluka sebelum memberikan kebahagiaan yang mungkin akan kau terima. Namun, terkadang kita menyadari datangnya kebahagiaan itu." ✨

_Renal Setiawan.

Bab terkait

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 6

    Dering ponsel menyadarkanku dari tidur siang ini. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi indah itu tanpa peduli siapa yang menghubungi. Namun, benda pipih itu kembali berdering sebelum sempat aku kembali ke alam bawah sadar. "Siapa, sih, telepon siang bolong begini?" tanyaku dengan suara khas orang yang baru bangun tidur. "Bangun, Dek! Kamu nggak rindu, kah, sama Abang?" Mendengar suara itu, mataku langsung terbuka dengan lebar. Rasa kantuk pun seakan menguap begitu saja. "Bang Renal? Ini beneran Abang?" tanyaku tak percaya. "Kebiasaan, deh, kalau jawab panggilan nggak di cek dulu," protes pria itu. "Ngantuk, Abang. Jadi nggak fokus buat ngecek panggilan. Mana lagi mimpi indah banget lagi tadi itu." "Jadi, Abang ganggu, nih? Yaudah, Abang matiin aja kalau gitu." Terdengar dari ucapannya bahwa pria itu sangat menyesal. "Eh, jangan, dong! Udah dari kemarin tauk aku nungguin telepon dari Abang." Kubuat suaraku semanja mungkin. Aku tahu, aku juga sadar, bahwa ini semua salah

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 7, Apa maksudnya?

    Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk. “Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi? “Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku. “Baik,” jawabku cuek. “Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah. Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali. “Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku. “Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah. “Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju k

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Saatnya mengepakkan sayap

    “Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya. “Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini. “Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana. “Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.” ‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’ Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik. “Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—” “Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?” “Kamu yakin nggak papa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    POV Sandi 1. Nama yang sama

    Aku masih tak percaya bahwa Ibu memaksaku untuk pergi ke pulau seberang untuk menemui seorang wanita yang tengah koma setelah mengalami KDRT oleh suami dan mertuanya. “Wanita itu adalah anak dari sahabat ayah kamu, Bang. Dulu sebelum meninggal, Pak Ruslan dan Ayah kamu sudah menjodohkan kalian—” “Tapi, kan, kejadiannya udah lima belas tahun yang lalu. Aku udah dewasa, Bu, bisa cari jodoh sendiri,” tolakku dengan halus. Aku adalah tulang punggung keluarga sejak usia delapan belas tahun. Tepatnya setelah kelulusan SMA. Aku yang memiliki dua orang adik tak mungkin melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan dan membiarkan Ibu bekerja seorang diri, tapi memang rezeki yang tak kemana, Allah memberikan aku jalan. Seorang pria yang berasal dari pulau seberang memberikanku modal yang cukup besar untuk memulai usaha. Alhamdulillah, usaha toko kelontong yang aku bangun berkembang pesat dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Hingga akhirnya keinginanku untuk kuliah yang dulu hanya di an

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Awal Perkenalan

    Saat ini, aku sudah berada di bandara. Penerbanganku masih sekitar tiga puluh menit lagi. Terlihat raut wajah ibu yang begitu bahagia duduk di sebelahku. “Nak, sampaikan salam Ibu pada Adriana dan kedua orang tuanya. Jangan lupa berikan ini padanya.” Wanita surgaku itu menyerahkan sebuah kotak. Aku yakin pasti isinya adalah gelang yang dibuatnya tadi malam. Aku menerima kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. “Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa salat, jangan telat makan, jangan juga lupa kabarin ibu.” “Bu, doain Sandi, ya.” “Doa ibu selalu ada untukmu, Nak.” “Diberitahukan kepada seluruh penumpang dengan tujuan Pekanbaru, pesawat akan lepas landas dalam waktu sepuluh menit lagi. Diharapkan untuk seluruh penumpang segera menuju ke pesawat.” Itu pesawat yang akan aku naiki. “Bu, Sandi berangkat dulu, ya.” Ku cium tangan ibu dengan takzim. “Hati-hati, ya, Nak,” ucap Ibu mengusap kepalaku. Aku mengangguk menanggapi ucapan ibuAku menoleh pada Silvia, mengulurkan tangan pa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    (POV Sandi end) Rahasia Sandi

    “Nak Sandi, ibu tinggal sebentar, ya, mau cari makan dulu. Kalian ngobrol aja dulu siapa tahu cocok dan bisa jadi pasangan.” Bu Mila tersenyum. “Ba–baik, Bu,” jawabku sedikit gugup. Terlihat senyum tipis di wajahnya dan kemudian beliau mengusap puncak kepala putrinya. Melangkah keluar menuju pintu dan menghilang dibaliknya. Rasa canggung yang semula ada, bertambah besar setelah Bu Mila keluar dari ruangan ini. Bagaimana tidak, dua orang yang baru saling mengenal kini berada di suatu ruangan yang sama hanya berdua saja. Ya, hanya berdua saja! Kalian tahu bagaimana keadaan dan perasaanku saat ini? Berdebar-debar seperti maling yang tengah menghindar dan bersembunyi dari polisi. Aku menyerahkan sebuah kotak yang berisi gelang pemberian Ibu tadi pagi. “Ketika Ibu mendengar aku akan datang hari ini, beliau membuatkan itu untukmu hanya dalam waktu semalam.” “Wah, cantik sekali.” Wanita itu mengeluarkan gelang itu. “Serius hanya semalam? Aku pernah mencoba membuatnya, tapi selalu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    (POV Adriana) Pria asing

    Keesokan harinya, ibu datang bersama Bang Sandi. Raut wajah Mereka tampak sumringah, tapi …. “Bu, di mana bapak dan Aldo?” tanyaku pada wanita paruh baya kesayanganku itu. “Mereka sedang mengurus administrasi. Hari ini juga, kamu sudah boleh pulang.” Terlihat wajah Ibu begitu bahagia. “Ibu serius?” Aku bangkit dan mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang. Saking bahagianya, rasa sakit yang masih sedikit terasa pun tak ku hiraukan. Tak sengaja aku melirik ke arah Bang Sandi, pria itu terlihat tak kalah bahagianya dengan ibu. Mata teduhnya menatap lekat ke arah kami. Namun, Iya segera menyembunyikan wajahnya ketika sadar aku memperhatikannya. Ada rasa kagum yang diam-diam merasuk ke dalam pikiranku. Bang sandi membantu ibu untuk membereskan barang-barangku. Awalnya aku ingin ikut membantu, tapi mereka melarang. Setelah semuanya selesai dan kami bersiap untuk keluar, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. “Apa yang terjadi di luar?” tanya Ibu memelukku. “Aku akan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Tentang perjodohan

    Ibu menuntun dan membantuku masuk ke kamar merebahkan tubuh kemah ini diatas kasur yang hampir setahun ini tak kutiduri. “Bu, sebenarnya siapa pria tadi?” Lagi aku bertanya setelah Ibu selesai menyusun barang-barangku ke dalam lemari. “Entahlah, Nak. Ibu juga tidak tahu. Mungkin itu menyangkut urusan bisnis. Sudahlah, tak perlu kamu pikirkan lagi.” Ucapan Ibu ada benarnya juga. Mungkin pria itu adalah salah satu pesaing Bapak di dunia bisnis. Semoga ia tak memiliki niat buruk dan semoga tak akan ada hal buruk yang akan datang. Aamiin. “Ibu ke belakang dulu, ya, ambilin buah buat kamu,” ucap Ibu tersenyum padaku. Aku pun mengangguk dan membalas senyuman Ibu. Wanita kesayanganku itu pun melangkah keluar meninggalkan diriku seorang diri. Tak lama setelah Ibu pergi, terdengar suara ketukan di jendela. Aku terkejut sekaligus takut, karena Ibu bilang, belakangan ini banyak tindak kejahatan di sekitar sini. Namun, rasa penasaran ini jauh lebih besar dari rasa takut itu. Aku bangkit dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23

Bab terbaru

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Masalah Baru Lagi

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    mulai terkuaknya sebuah misteri

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kembali Menemui Arman

    --- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria Berjaket Hitam

    --- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Petunjuk Baru

    ---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    perempuan misterius

    Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Sebuah petunjuk

    Malam semakin larut, tapi kami semua masih terjaga di ruang tamu. Iqbal terus sibuk dengan laptopnya, mencoba menggali lebih dalam tentang petunjuk yang ia temukan. Bang Sandi duduk di sampingku, tangannya tak pernah lepas menggenggamku seolah takut aku menghilang. "Ini dia," kata Iqbal tiba-tiba, membuat kami berdua terlonjak, "aku nemu sesuatu yang menarik." "Apa?" tanyaku, mendekat ke arahnya. Iqbal memutar layar laptopnya ke arah kami. "Email kalian sempat menerima pesan mencurigakan sebulan lalu, tapi langsung terhapus. Untungnya, ada log yang tersimpan." Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Kalian nggak akan bisa lari dari masa lalu." Aku merasakan darahku membeku. "Masa lalu? Maksudnya apa?" Iqbal menggeleng. "Itu yang harus kita cari tahu. Pesan ini dikirim dari jaringan umum di sekitar kampus, sama seperti alamat IP yang tadi." Bang Sandi tampak berpikir keras. "Jaringan umum? Berarti pelaku bisa siapa saja." "Tepat," sahut Iqbal, "tapi ada satu hal aneh. Aku

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Log aktivitas

    Pagi itu, suasana rumah terasa tegang. Aku duduk di meja makan memandangi secangkir kopi yang hampir dingin. Bang Sandi berada di seberangku, menatapku dengan pandangan penuh perhatian. Dia tahu aku masih terguncang oleh foto-foto yang kami temukan tadi malam. "Sayang, kamu yakin nggak mau makan dulu?" tanyanya dengan suaranya yang lembut. Aku menggeleng pelan. "Aku nggak lapar, Bang" Ia mendesah, lalu bangkit dari kursinya dan berjongkok di sampingku. Tangannya menggenggam tanganku erat. "Kamu harus kuat, Sayang. Abang janji kita akan selesaikan ini sama-sama. Abang nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu." Aku menatapnya, mataku mulai berkaca-kaca, "tapi aku takut, Bang. Orang ini tahu segalanya tentang kita. Dia bahkan masuk ke rumah kita, ke kamar kita .…"Bang Sandi mengusap pipiku dengan ibu jarinya. "Abang nggak akan biarin dia nyakitin kamu. Kamu percaya sama Abang, kan?" Aku mengangguk pelan, tapi rasa takut itu tetap ada, seperti duri yang menancap di hatiku. Iqbal

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Amplop Coklat

    --- Aku menggenggam erat tangan Bang Sandi saat kami kembali ke kantor polisi membawa bukti baru, foto pernikahan yang dirusak dan rekaman kamera pengawas. Pak Ridwan memeriksa semuanya dengan wajah serius, sesekali berdiskusi dengan rekan-rekannya. "Ini jelas tindakan yang disengaja dan terencana," ujarnya sambil menatap kami, "kami akan mencoba melacak orang ini dari jejak yang ditinggalkannya, tapi butuh waktu." Iqbal yang ikut menemani kami ke kantor polisi dan tampak tak sabar. "Pak, apa nggak ada cara lebih cepat? Orang ini udah terlalu berani!" Pak Ridwan menghela napas. "Kami akan memprioritaskan kasus ini, tapi kalian juga harus membantu kami. Ada sesuatu yang mencurigakan atau siapa saja yang pernah bermasalah dengan kalian?" Aku dan Bang Sandi saling berpandangan. Pertanyaan itu menggantung seperti beban di udara. "Aku nggak tahu, Pak," jawabku akhirnya, "kami nggak punya musuh. Kehidupan kami biasa saja." Di sisi lain, Bang Sandi tampak berpikir keras. Ia m

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status