Share

Bab 4

"Bu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku. Tak tahan lagi jika harus menunggu kembali ke rumah hanya untuk mendapatkan penjelasan tentang keadaanku.

"Nak, sebenarnya kenapa kamu bisa ada di rumah sakit ini, semua karena suami dan mertua toxic kamu itu. Awalnya mereka tak mau mengakui perihal kecelakaan yang menimpa kamu, tapi keraguan menyelimuti hati kami. Hingga akhirnya Bapak turun tangan menyelidiki semuanya," jelas Ibu. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang cantik.

"Kecelakaan? Tapi bagaimana bisa, Bu? Seingatku kemarin pas mau buka pintu, Mas Denny melarang, tapi setelah itu aku nggak tau lagi apa yang terjadi hingga saat ini."

"Iya, Nak. Denny narik tangan kamu kuat sampai kepalamu terbentur sudut meja. Gara-gara kecelakaan itu, kamu harus menjalani operasi di bagian kepala dan akhirnya terbaring di rumah sakit ini sejak satu Minggu yang lalu," jedanya, "dan setelah di selidiki, ternyata awalnya mereka tak mau membawa kamu ke rumah sakit. Mereka sengaja merahasiakan ini semua dari kami. "

"Satu Minggu? Lalu, bagaimana bisa aku ada di sini, Bu?" tanyaku tak percaya.

yang

"Kamu tahu? Sebenarnya Rina, asisten rumah tangga yang di sewa mertua sok kamu itu, adalah kiriman Bapak untuk mengawasi kamu. Karena kami yakin, mereka bukanlah orang baik dan ternyata prasangka kami memang benar. Setelah benturan kuat itu, Mertua kamu memukulmu menggunakan gagang sapu dengan sengaja, hingga berbekas di punggung kamu sampai sekarang. Yang membuat kami begitu marah, Denny tak berusaha menghentikan kejahatan yang dilakukan ibunya."

Aku termenung mendengar ucapan Ibu. Sungguh, rasa sesal tak mau mendengar ucapan mereka yang melarangku menikah dengan Mas Denny, merasuki pikiran. Ibu, Bapak, maafkan Adriana.

Mendadak kepalaku terasa sakit sekali setelah mendengar penjelasan dari Ibu. Benarkah Mas Denny begitu tega padaku? Air mataku menetes membanjiri pipi ini.

"Ibu, maafin Adriana, ya!" Aku menangkupkan tangan di depan dada berharap ibu mau memaafkan kesalahanku.

"Tak perlu meminta maaf, Nak. Sekarang, kamu fokus saja pada kesembuhanmu, ya? Untuk suami kamu, Bapak udah mengurus perceraian kalian. Dan, kamu nggak perlu kembali lagi ke rumah itu!" Ibu memelukku hangat. Sungguh, pelukan inilah yang sejak lama aku rindukan.

Tok tok tok.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu di ketuk. Ibu bangkit demi melihat siapa yang datang.

"Mau apa lagi kamu datang ke sini? Belum puas menyakiti putri kami?" tanya Ibu dengan amarah yang tampaknya tak bisa dikontrol.

"Apa maksud Ibu bicara seperti itu?" tanya seorang pria. Aku tak bisa melihat siapa orang itu, tapi aku bisa mengenali suaranya. Ya, pria itu adalah Mas Denny.

"Tak perlu membual untuk menutupi kebusukanmu dan juga keluargamu itu. Pergi sekarang juga atau saya panggilkan satpam untuk mengusir kalian?" ancam Ibu penuh emosi.

"Maaf, Bu Mila. Kedatangan kami ke sini ingin meminta maaf kepada Adriana dan juga ibu atas kecelakaan itu. Saya sebagai kepala keluarga, memohon agar ibu tidak melaporkan anak dan juga istri saya ke polisi. Saya sendirilah yang akan menghukum mereka berdua atas kesalahan yang sudah dilakukannya." Ayah mertua terlihat sangat menyesal ketika mengucapkan itu. Sedangkan Mas Denny terlihat tak acuh berdiri di samping sang ayah.

"Maaf, Pak Arman, untuk itu semua, suami saya lah yang punya kendali."

"Saya mohon, Bu Mila," ucap ayah mertua menangkupkan tangan di depan dada.

"Saya akan bicara pada suami saya dan berusaha untuk membujuknya, tapi ... saya tidak bisa berjanji untuk hasilnya."

"Tak apa, yang jelas sampaikan maaf saya pada Pak Ruslan, ya, Bu."

"Baik."

"Terima kasih banyak, Bu."

"Sama-sama," jawab Ibu tak acuh.

"Dan untuk kamu, pria tak tahu diri, belajarlah menjadi pria yang lebih bertanggung jawab!" ucap ayah mertua terdengar sayup. Mungkin mereka sudah mulai menjauh dari tempat ini.

"Bu," ucapku setelah ibu kembali.

"Iya, Nak. Kenapa?"

"Bu, aku—" Ucapanku berhenti ketika ponsel yang ada di atas meja berdering.

Ibu mengambil benda pipih itu dan memeriksa penelepon itu. "Sebentar, ya, Nak."

Aku mengangguk, kemudian ibu melangkah menjauh.

Mas Denny, benarkah kau setega itu padaku? Benarkah pengorbananku selama ini tak ada artinya bagimu? Anganku melayang dan kembali ke kejadian dua tahun yang lalu.

"Ini makanan apa, Diana? Ikan atau kayu? Kenapa keras sekali?" ucapnya kala itu.

"Ke–kenapa, Mas? A–apa makanannya tidak enak?" tanyaku ketakutan.

"Tentu saja! Makanan seperti ini kamu berikan padaku, sekalian saja kayu atau batu yang kamu masak! Dasar b*doh, d*ngu, g*blok! Ot*k kamu di mana? Ot*k anjin* yang kamu gunakan? Dasar wanita tak berguna!?"

Jangan tanyakan bagaimana keadaanku saat itu. Tentu saja sakit hati. Bahkan aku sampai kabur dari rumah pasca kejadian itu, tapi Mas Denny menjemputku di rumah Bapak dan memarahiku habis-habisan. Dari situ lah keinginanku untuk memiliki jiwa yang seolah mati akan segala rasa muncul. Ternyata Allah mengabulkan itu semua.

'Menyesalkah kamu setelah menikah dengan pria itu, Adriana?' bisik hati kecilku.

'Entahlah. Ingin mengatakan menyesal, tapi ini semua memang salahku.' Tanpa terasa, air mata meleleh begitu saja membasahi pipiku.

"Nak, ada yang ingin bertemu denganmu." Ucapan Ibu seketika membuyarkan lamunanku.

"Eh .., siapa, Bu?" tanyaku menghapus air mata.

"Sudah, tak perlu kamu menangisi pria seperti itu. Insya Allah suatu saat nanti, kamu akan bertemu dengan seorang pria dan bahagia bersamanya. Aamiin."

"Aamiin," jawabku, "tapi siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?"

"Dia adalah ...."

***

Bersambung.

"Ujian datang untuk menguji keimananmu. Jadikan ujian itu sebagai cambuk untuk senantiasa memperbaiki diri. Bukan untuk menjatuhkan harga diri!"

_Renal Setiawan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status