"Bu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku. Tak tahan lagi jika harus menunggu kembali ke rumah hanya untuk mendapatkan penjelasan tentang keadaanku.
"Nak, sebenarnya kenapa kamu bisa ada di rumah sakit ini, semua karena suami dan mertua toxic kamu itu. Awalnya mereka tak mau mengakui perihal kecelakaan yang menimpa kamu, tapi keraguan menyelimuti hati kami. Hingga akhirnya Bapak turun tangan menyelidiki semuanya," jelas Ibu. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang cantik. "Kecelakaan? Tapi bagaimana bisa, Bu? Seingatku kemarin pas mau buka pintu, Mas Denny melarang, tapi setelah itu aku nggak tau lagi apa yang terjadi hingga saat ini." "Iya, Nak. Denny narik tangan kamu kuat sampai kepalamu terbentur sudut meja. Gara-gara kecelakaan itu, kamu harus menjalani operasi di bagian kepala dan akhirnya terbaring di rumah sakit ini sejak satu Minggu yang lalu," jedanya, "dan setelah di selidiki, ternyata awalnya mereka tak mau membawa kamu ke rumah sakit. Mereka sengaja merahasiakan ini semua dari kami. " "Satu Minggu? Lalu, bagaimana bisa aku ada di sini, Bu?" tanyaku tak percaya. yang "Kamu tahu? Sebenarnya Rina, asisten rumah tangga yang di sewa mertua sok kamu itu, adalah kiriman Bapak untuk mengawasi kamu. Karena kami yakin, mereka bukanlah orang baik dan ternyata prasangka kami memang benar. Setelah benturan kuat itu, Mertua kamu memukulmu menggunakan gagang sapu dengan sengaja, hingga berbekas di punggung kamu sampai sekarang. Yang membuat kami begitu marah, Denny tak berusaha menghentikan kejahatan yang dilakukan ibunya." Aku termenung mendengar ucapan Ibu. Sungguh, rasa sesal tak mau mendengar ucapan mereka yang melarangku menikah dengan Mas Denny, merasuki pikiran. Ibu, Bapak, maafkan Adriana. Mendadak kepalaku terasa sakit sekali setelah mendengar penjelasan dari Ibu. Benarkah Mas Denny begitu tega padaku? Air mataku menetes membanjiri pipi ini. "Ibu, maafin Adriana, ya!" Aku menangkupkan tangan di depan dada berharap ibu mau memaafkan kesalahanku. "Tak perlu meminta maaf, Nak. Sekarang, kamu fokus saja pada kesembuhanmu, ya? Untuk suami kamu, Bapak udah mengurus perceraian kalian. Dan, kamu nggak perlu kembali lagi ke rumah itu!" Ibu memelukku hangat. Sungguh, pelukan inilah yang sejak lama aku rindukan. Tok tok tok. Tiba-tiba, terdengar suara pintu di ketuk. Ibu bangkit demi melihat siapa yang datang. "Mau apa lagi kamu datang ke sini? Belum puas menyakiti putri kami?" tanya Ibu dengan amarah yang tampaknya tak bisa dikontrol. "Apa maksud Ibu bicara seperti itu?" tanya seorang pria. Aku tak bisa melihat siapa orang itu, tapi aku bisa mengenali suaranya. Ya, pria itu adalah Mas Denny. "Tak perlu membual untuk menutupi kebusukanmu dan juga keluargamu itu. Pergi sekarang juga atau saya panggilkan satpam untuk mengusir kalian?" ancam Ibu penuh emosi. "Maaf, Bu Mila. Kedatangan kami ke sini ingin meminta maaf kepada Adriana dan juga ibu atas kecelakaan itu. Saya sebagai kepala keluarga, memohon agar ibu tidak melaporkan anak dan juga istri saya ke polisi. Saya sendirilah yang akan menghukum mereka berdua atas kesalahan yang sudah dilakukannya." Ayah mertua terlihat sangat menyesal ketika mengucapkan itu. Sedangkan Mas Denny terlihat tak acuh berdiri di samping sang ayah. "Maaf, Pak Arman, untuk itu semua, suami saya lah yang punya kendali." "Saya mohon, Bu Mila," ucap ayah mertua menangkupkan tangan di depan dada. "Saya akan bicara pada suami saya dan berusaha untuk membujuknya, tapi ... saya tidak bisa berjanji untuk hasilnya." "Tak apa, yang jelas sampaikan maaf saya pada Pak Ruslan, ya, Bu." "Baik." "Terima kasih banyak, Bu." "Sama-sama," jawab Ibu tak acuh. "Dan untuk kamu, pria tak tahu diri, belajarlah menjadi pria yang lebih bertanggung jawab!" ucap ayah mertua terdengar sayup. Mungkin mereka sudah mulai menjauh dari tempat ini. "Bu," ucapku setelah ibu kembali. "Iya, Nak. Kenapa?" "Bu, aku—" Ucapanku berhenti ketika ponsel yang ada di atas meja berdering. Ibu mengambil benda pipih itu dan memeriksa penelepon itu. "Sebentar, ya, Nak." Aku mengangguk, kemudian ibu melangkah menjauh. Mas Denny, benarkah kau setega itu padaku? Benarkah pengorbananku selama ini tak ada artinya bagimu? Anganku melayang dan kembali ke kejadian dua tahun yang lalu. "Ini makanan apa, Diana? Ikan atau kayu? Kenapa keras sekali?" ucapnya kala itu. "Ke–kenapa, Mas? A–apa makanannya tidak enak?" tanyaku ketakutan. "Tentu saja! Makanan seperti ini kamu berikan padaku, sekalian saja kayu atau batu yang kamu masak! Dasar b*doh, d*ngu, g*blok! Ot*k kamu di mana? Ot*k anjin* yang kamu gunakan? Dasar wanita tak berguna!?" Jangan tanyakan bagaimana keadaanku saat itu. Tentu saja sakit hati. Bahkan aku sampai kabur dari rumah pasca kejadian itu, tapi Mas Denny menjemputku di rumah Bapak dan memarahiku habis-habisan. Dari situ lah keinginanku untuk memiliki jiwa yang seolah mati akan segala rasa muncul. Ternyata Allah mengabulkan itu semua. 'Menyesalkah kamu setelah menikah dengan pria itu, Adriana?' bisik hati kecilku. 'Entahlah. Ingin mengatakan menyesal, tapi ini semua memang salahku.' Tanpa terasa, air mata meleleh begitu saja membasahi pipiku. "Nak, ada yang ingin bertemu denganmu." Ucapan Ibu seketika membuyarkan lamunanku. "Eh .., siapa, Bu?" tanyaku menghapus air mata. "Sudah, tak perlu kamu menangisi pria seperti itu. Insya Allah suatu saat nanti, kamu akan bertemu dengan seorang pria dan bahagia bersamanya. Aamiin." "Aamiin," jawabku, "tapi siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?" "Dia adalah ...." *** Bersambung. "Ujian datang untuk menguji keimananmu. Jadikan ujian itu sebagai cambuk untuk senantiasa memperbaiki diri. Bukan untuk menjatuhkan harga diri!" _Renal Setiawan."Siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?" tanyaku penasaran. "Seseorang yang sangat dipercayai Bapak mampu membahagiakan kamu." Orang kepercayaan Bapak? Yang mampu membahagiakan aku? Apa maksud Ibu sebenarnya? "Apa maksud Ibu?" "Mksud Ibu—" Tok tok tok. Tiba-tiba pintu diketuk sebelum sempat Ibu menjelaskan. "Sebentar, ya, Sayang, Ibu bukain pintu dulu. Siapa tahu orang itu sudah datang." Wanita yang paling aku sayangi itu melangkah menjauhiku menuju ke arah pintu dengan senyum yang begitu mengembang. "Assalamualaikum," ucap seorang pria yang ada di depan pintu. "Waalaikumsalam," jawab Ibu menyambut uluran tangannya. Pria itu menyalami tangan Ibu dengan takzim. "Waalaikumsalam," jawabku dengan lirih. Mereka masuk setelah sedikit berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. "Di, kenalin, ini Sandi. Dosen di salah satu universitas terkenal di Sulawesi Barat. Sandi ini termasuk dosen kebanggan universitas karena pr
Dering ponsel menyadarkanku dari tidur siang ini. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi indah itu tanpa peduli siapa yang menghubungi. Namun, benda pipih itu kembali berdering sebelum sempat aku kembali ke alam bawah sadar. "Siapa, sih, telepon siang bolong begini?" tanyaku dengan suara khas orang yang baru bangun tidur. "Bangun, Dek! Kamu nggak rindu, kah, sama Abang?" Mendengar suara itu, mataku langsung terbuka dengan lebar. Rasa kantuk pun seakan menguap begitu saja. "Bang Renal? Ini beneran Abang?" tanyaku tak percaya. "Kebiasaan, deh, kalau jawab panggilan nggak di cek dulu," protes pria itu. "Ngantuk, Abang. Jadi nggak fokus buat ngecek panggilan. Mana lagi mimpi indah banget lagi tadi itu." "Jadi, Abang ganggu, nih? Yaudah, Abang matiin aja kalau gitu." Terdengar dari ucapannya bahwa pria itu sangat menyesal. "Eh, jangan, dong! Udah dari kemarin tauk aku nungguin telepon dari Abang." Kubuat suaraku semanja mungkin. Aku tahu, aku juga sadar, bahwa ini semua salah
Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk. “Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi? “Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku. “Baik,” jawabku cuek. “Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah. Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali. “Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku. “Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah. “Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju k
“Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya. “Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini. “Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana. “Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.” ‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’ Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik. “Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—” “Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?” “Kamu yakin nggak papa
Aku masih tak percaya bahwa Ibu memaksaku untuk pergi ke pulau seberang untuk menemui seorang wanita yang tengah koma setelah mengalami KDRT oleh suami dan mertuanya. “Wanita itu adalah anak dari sahabat ayah kamu, Bang. Dulu sebelum meninggal, Pak Ruslan dan Ayah kamu sudah menjodohkan kalian—” “Tapi, kan, kejadiannya udah lima belas tahun yang lalu. Aku udah dewasa, Bu, bisa cari jodoh sendiri,” tolakku dengan halus. Aku adalah tulang punggung keluarga sejak usia delapan belas tahun. Tepatnya setelah kelulusan SMA. Aku yang memiliki dua orang adik tak mungkin melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan dan membiarkan Ibu bekerja seorang diri, tapi memang rezeki yang tak kemana, Allah memberikan aku jalan. Seorang pria yang berasal dari pulau seberang memberikanku modal yang cukup besar untuk memulai usaha. Alhamdulillah, usaha toko kelontong yang aku bangun berkembang pesat dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Hingga akhirnya keinginanku untuk kuliah yang dulu hanya di an
Saat ini, aku sudah berada di bandara. Penerbanganku masih sekitar tiga puluh menit lagi. Terlihat raut wajah ibu yang begitu bahagia duduk di sebelahku. “Nak, sampaikan salam Ibu pada Adriana dan kedua orang tuanya. Jangan lupa berikan ini padanya.” Wanita surgaku itu menyerahkan sebuah kotak. Aku yakin pasti isinya adalah gelang yang dibuatnya tadi malam. Aku menerima kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. “Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa salat, jangan telat makan, jangan juga lupa kabarin ibu.” “Bu, doain Sandi, ya.” “Doa ibu selalu ada untukmu, Nak.” “Diberitahukan kepada seluruh penumpang dengan tujuan Pekanbaru, pesawat akan lepas landas dalam waktu sepuluh menit lagi. Diharapkan untuk seluruh penumpang segera menuju ke pesawat.” Itu pesawat yang akan aku naiki. “Bu, Sandi berangkat dulu, ya.” Ku cium tangan ibu dengan takzim. “Hati-hati, ya, Nak,” ucap Ibu mengusap kepalaku. Aku mengangguk menanggapi ucapan ibuAku menoleh pada Silvia, mengulurkan tangan pa
“Nak Sandi, ibu tinggal sebentar, ya, mau cari makan dulu. Kalian ngobrol aja dulu siapa tahu cocok dan bisa jadi pasangan.” Bu Mila tersenyum. “Ba–baik, Bu,” jawabku sedikit gugup. Terlihat senyum tipis di wajahnya dan kemudian beliau mengusap puncak kepala putrinya. Melangkah keluar menuju pintu dan menghilang dibaliknya. Rasa canggung yang semula ada, bertambah besar setelah Bu Mila keluar dari ruangan ini. Bagaimana tidak, dua orang yang baru saling mengenal kini berada di suatu ruangan yang sama hanya berdua saja. Ya, hanya berdua saja! Kalian tahu bagaimana keadaan dan perasaanku saat ini? Berdebar-debar seperti maling yang tengah menghindar dan bersembunyi dari polisi. Aku menyerahkan sebuah kotak yang berisi gelang pemberian Ibu tadi pagi. “Ketika Ibu mendengar aku akan datang hari ini, beliau membuatkan itu untukmu hanya dalam waktu semalam.” “Wah, cantik sekali.” Wanita itu mengeluarkan gelang itu. “Serius hanya semalam? Aku pernah mencoba membuatnya, tapi selalu
Keesokan harinya, ibu datang bersama Bang Sandi. Raut wajah Mereka tampak sumringah, tapi …. “Bu, di mana bapak dan Aldo?” tanyaku pada wanita paruh baya kesayanganku itu. “Mereka sedang mengurus administrasi. Hari ini juga, kamu sudah boleh pulang.” Terlihat wajah Ibu begitu bahagia. “Ibu serius?” Aku bangkit dan mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang. Saking bahagianya, rasa sakit yang masih sedikit terasa pun tak ku hiraukan. Tak sengaja aku melirik ke arah Bang Sandi, pria itu terlihat tak kalah bahagianya dengan ibu. Mata teduhnya menatap lekat ke arah kami. Namun, Iya segera menyembunyikan wajahnya ketika sadar aku memperhatikannya. Ada rasa kagum yang diam-diam merasuk ke dalam pikiranku. Bang sandi membantu ibu untuk membereskan barang-barangku. Awalnya aku ingin ikut membantu, tapi mereka melarang. Setelah semuanya selesai dan kami bersiap untuk keluar, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. “Apa yang terjadi di luar?” tanya Ibu memelukku. “Aku akan
Kami berlari menembus kegelapan malam, napas terengah-engah dan langkah tergesa-gesa menyusuri lorong sempit di belakang gudang. Suara langkah berat di belakang kami semakin dekat—mereka pasti mendengar suara pintu belakang terbuka. “Arah sini!” Aldo menarik tanganku, memimpin ke sebuah gang kecil yang hampir tertutup reruntuhan dinding. Jalan itu begitu sempit sehingga kami harus merunduk untuk melewatinya. Dari kejauhan, terdengar suara teriakan dan perintah yang menggema. Aku berusaha fokus pada langkah kakiku, tetapi tubuhku gemetar. Aku melirik Aldo, yang tetap tenang meskipun napasnya tersengal. Keteguhan itu memberiku sedikit keberanian. “Reza,” Aldo berbicara dengan nada datar, menekan alat komunikasi di telinganya, “beri kami arah keluar tercepat.” Ada jeda sebelum suara Reza terdengar. “Ada terowongan tua di dekatmu. Ikuti jalan utama ke kiri, lalu cari pintu baja dengan tanda ‘H’. Itu pintu masuknya.” Aku menatap Aldo bingung. “Terowongan? Kau yakin?” “Kita tida
Tiba-tiba, suara Bapak terdengar dari alat komunikasi yang ada di telingaku. “Pergi ke titik aman, koordinat yang sudah kuberi tahu. Aku akan menyusul kalian.” “Tapi—” Aldo mencoba memprotes, tapi Bapak memotongnya. “Tidak ada waktu! Pergi sekarang, atau semuanya akan sia-sia!” Dengan berat hati, kami berlari menuju titik pertemuan yang sudah direncanakan sebelumnya: sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Di tengah kegelapan malam, aku terus memikirkan Bapak. Apakah dia bisa lolos? Ataukah ini terakhir kalinya kami melihatnya? Ketika kami tiba di tempat aman, Aldo segera menghubungi Reza. “Kita butuh kendaraan untuk keluar kota sekarang. Mereka sudah menemukan kita.” Reza, yang suaranya terdengar tegang, menjawab, “aku akan mengatur sesuatu, tapi kalian harus bertahan di sana dulu.” Aku memandang Aldo dengan putus asa. “Bagaimana dengan Bapak?”
Selama beberapa hari berikutnya, kami bertiga bekerja dalam diam, tapi penuh kewaspadaan. Beruntung beberapa hari ke depan Ibu tak kan ada di rumah karena perjalanan umrahnya, jadi kamu tak perlu menjelaskan apapun padanya. Dan, jika pun terjadi sesuatu, kami tak perlu khawatir memikirkan dirinya.Aldo menghabiskan waktu menghubungi Reza, temannya yang bekerja di bidang elektronik. Reza berhasil menyediakan kamera kecil dengan pengaman sinyal dan alat pemindai frekuensi untuk melacak komunikasi penjaga di RL7. Sementara itu, Bapak terus menggali informasi tentang blueprint jalur bawah tanah melalui akses terbatas yang dimilikinya. Aku bertugas memantau RL7 dari kejauhan. Dengan bantuan teleskop dan notebook kecil, aku mencatat pola penjagaan di sana—berapa banyak orang yang masuk dan keluar, jam pergantian penjaga, serta kendaraan apa saja yang datang. Hari demi hari, fakta yang kami kumpulkan mulai membentuk gambaran besar. RL7 bukan hanya gudang, melainkan fasilitas rahasia dengan
Aku dan Aldo mengintip dari balik tembok pagar. Kami menahan napas saat pria berjas hitam melangkah ke sisi lain mobil. Jantungku serasa berhenti ketika sosok yang keluar dari pintu itu adalah Bapak—Pak Ruslan."Apa yang Bapak lakukan bersama dia?" Aldo berbisik pelan, nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan.Bapak dan pria berjas hitam berjalan masuk ke rumah tanpa menyadari keberadaan kami. Ketika pintu utama tertutup, Aldo menarik lenganku dan kami segera mengendap ke dekat jendela ruang kerja Bapak.Kami mendengar suara mereka dari balik kaca jendela yang sedikit terbuka.“Waktu kita tidak banyak, Ruslan,” kata pria berjas hitam dengan suara tegas namun rendah, “pengiriman berikutnya akan melibatkan RL7, dan ini bisa membuka perhatian pihak yang tidak seharusnya.”“Sudah kubilang, aku hanya mau memastikan keluargaku aman,” jawab Bapak. Suaranya terdengar lelah, hampir seperti orang yang kalah. “Aku melakukan ini hanya untuk melunasi utang mereka.”“Tapi ini bukan tentang utang
Keesokan Harinya, Pukul 07.00 Aku bangun dengan perasaan yang masih kacau. Suara ancaman semalam terus terngiang di pikiranku. Setelah mandi dan sarapan singkat, aku dan Aldo bertemu di ruang tamu untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya. "Aku udah mikir semalaman, Kak," ucap Aldo membuka percakapan. "Kita nggak bisa berhenti sekarang. Kalau kita mundur, mereka bisa menganggap kita ancaman, meskipun kita nggak melakukan apa-apa lagi. Kita harus tahu lebih banyak, tapi harus lebih hati-hati." Aku mengangguk setuju meski dadaku masih bergemuruh. "Jadi, langkah pertama?" "RL7," jawab Aldo singkat. "Aku punya ide. Kita bisa manfaatin peta lokasi yang kita temukan. Tapi kita harus cari tahu dulu apakah ada akses masuk yang aman. Kalau langsung masuk tanpa rencana, bisa bahaya." "Aku setuju. Tapi bagaimana kalau mereka sudah memantau kita?" tanyaku ragu. "Itu risiko yang harus kita ambil," jawab Aldo. "Lagipula, kalau mereka mau bertindak, se
Malam semakin larut, tetapi pikiran kami terus berputar. Semua yang kami temukan malam itu terlalu besar untuk dicerna sekaligus. Hubungan antara Bapak, Proyek Orion, dan kelompok ini mulai terjalin seperti benang kusut dan kami harus menariknya satu per satu dengan hati-hati.---Keesokan harinya, pukul 07.30, aku dan Aldo memutuskan untuk berpura-pura seperti biasa. Kami tidak ingin memancing kecurigaan siapa pun, terutama Bapak. Namun, rasa was-was menghantui sepanjang sarapan. Bapak duduk di ujung meja, menyantap roti panggang sambil membaca koran. Wajahnya tenang, seperti tidak ada yang terjadi."Aldo, apa kamu belum akan masuk kuliah?" ujar Bapak tiba-tiba membuat Aldo tersentak. "Be–belum, Pak." Aldo menjawab sedikit gugup. Kemudian ia menarik dan menghembuskan napasnya pelan. Mungkin agar tidak kelihatan gugup. "Nanti sore, tolong bantu di pabrik, ya. Ada laporan keuangan yang harus diselesaikan.""Eh, iy
Malam itu, setelah mengumpulkan semua informasi, aku dan Aldo memutuskan untuk kembali ke Gudang TG. Kami membawa senter, kamera, dan sebuah perekam suara—berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang perlu diabadikan. Ketika sampai di dekat gudang, suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara angin yang membawa aroma logam dari bangunan tua itu. Kami memarkir mobil agak jauh, lalu berjalan perlahan menuju gedung. Cahaya bulan menerangi sebagian besar area, tapi ada beberapa sudut yang gelap pekat. Aku melirik Aldo, yang tampak tegang namun penuh tekad. “Pintu samping itu,” bisikku, menunjuk ke arah pintu kecil yang tampak tidak terkunci. Kami mendekat, memastikan tidak ada yang mengawasi. Ketika pintu dibuka, suara engsel yang berdecit membuat kami berdua refleks berhenti sejenak. Setelah yakin tidak ada respons, kami masuk ke dalam. Gudang itu lebih besar daripada yang kami duga. Rak-rak tua masih berdiri, meskipun kosong dan berdeb
Aldo mendekatkan dirinya ke layar, matanya terpaku pada hasil pencarian yang kutunjukkan. "Ini dia, Kak! Ada sebuah tempat bernama Gudang TG di kawasan industri lama di pinggiran kota. Ternyata itu gudang penyimpanan yang sempat populer untuk barang elektronik pada masanya, tapi, ada catatan bahwa gudang itu sudah tidak beroperasi sejak lima tahun lalu," ujarnya dengan antusias. Aku mengangguk, membaca lebih lanjut informasi yang terpampang di layar. "Lihat ini, Do. Ada nama Ruslan tercantum sebagai salah satu pemiliknya sebelum operasionalnya berhenti. Kalau benar ini orang yang sama dengan kartu nama tadi, berarti kita ada di jalur yang tepat." Aldo tampak berpikir. "Tapi kalau tempat ini sudah lama tidak digunakan, apa mungkin masih ada sesuatu di sana? Apa kita perlu izin dulu untuk masuk?" "Aku rasa, sebelum kita melangkah lebih jauh, kita harus siapkan rencana," kataku, mencoba menenangkan diri.
Setelah sampai di rumah, Aldo dan aku langsung menuju meja kerja di ruang tengah. Tanpa banyak bicara, kami mulai membongkar isi tas, termasuk dokumen yang kami temukan tadi dan kotak kayu kecil yang terkunci. Ruangan terasa sunyi, hanya suara kipas angin yang berputar pelan mengisi keheningan. Aldo mengambil napas panjang. “Kak, coba kita periksa catatan ini dulu. Mungkin ada petunjuk tentang Budi atau apa pun yang relevan,” katanya sambil membuka buku catatan tadi. Aku mengangguk, lalu duduk di sebelahnya. Aldo mulai memeriksa halaman demi halaman, mencari sesuatu yang menonjol. Tidak lama kemudian, ia menunjuk sebuah entri di salah satu halaman. “Lihat ini, Kak. Ada nama ‘Budi’ lagi, dan ada kode di sebelahnya—‘TG24’,” katanya. Aku memiringkan kepala, mencoba memikirkan apa arti kode itu. “Mungkin semacam kode barang atau lokasi?” Aku menebak.