Share

Bab 4

Penulis: Rarha Ira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-04 21:13:02

"Bu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku. Tak tahan lagi jika harus menunggu kembali ke rumah hanya untuk mendapatkan penjelasan tentang keadaanku.

"Nak, sebenarnya kenapa kamu bisa ada di rumah sakit ini, semua karena suami dan mertua toxic kamu itu. Awalnya mereka tak mau mengakui perihal kecelakaan yang menimpa kamu, tapi keraguan menyelimuti hati kami. Hingga akhirnya Bapak turun tangan menyelidiki semuanya," jelas Ibu. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang cantik.

"Kecelakaan? Tapi bagaimana bisa, Bu? Seingatku kemarin pas mau buka pintu, Mas Denny melarang, tapi setelah itu aku nggak tau lagi apa yang terjadi hingga saat ini."

"Iya, Nak. Denny narik tangan kamu kuat sampai kepalamu terbentur sudut meja. Gara-gara kecelakaan itu, kamu harus menjalani operasi di bagian kepala dan akhirnya terbaring di rumah sakit ini sejak satu Minggu yang lalu," jedanya, "dan setelah di selidiki, ternyata awalnya mereka tak mau membawa kamu ke rumah sakit. Mereka sengaja merahasiakan ini semua dari kami. "

"Satu Minggu? Lalu, bagaimana bisa aku ada di sini, Bu?" tanyaku tak percaya.

yang

"Kamu tahu? Sebenarnya Rina, asisten rumah tangga yang di sewa mertua sok kamu itu, adalah kiriman Bapak untuk mengawasi kamu. Karena kami yakin, mereka bukanlah orang baik dan ternyata prasangka kami memang benar. Setelah benturan kuat itu, Mertua kamu memukulmu menggunakan gagang sapu dengan sengaja, hingga berbekas di punggung kamu sampai sekarang. Yang membuat kami begitu marah, Denny tak berusaha menghentikan kejahatan yang dilakukan ibunya."

Aku termenung mendengar ucapan Ibu. Sungguh, rasa sesal tak mau mendengar ucapan mereka yang melarangku menikah dengan Mas Denny, merasuki pikiran. Ibu, Bapak, maafkan Adriana.

Mendadak kepalaku terasa sakit sekali setelah mendengar penjelasan dari Ibu. Benarkah Mas Denny begitu tega padaku? Air mataku menetes membanjiri pipi ini.

"Ibu, maafin Adriana, ya!" Aku menangkupkan tangan di depan dada berharap ibu mau memaafkan kesalahanku.

"Tak perlu meminta maaf, Nak. Sekarang, kamu fokus saja pada kesembuhanmu, ya? Untuk suami kamu, Bapak udah mengurus perceraian kalian. Dan, kamu nggak perlu kembali lagi ke rumah itu!" Ibu memelukku hangat. Sungguh, pelukan inilah yang sejak lama aku rindukan.

Tok tok tok.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu di ketuk. Ibu bangkit demi melihat siapa yang datang.

"Mau apa lagi kamu datang ke sini? Belum puas menyakiti putri kami?" tanya Ibu dengan amarah yang tampaknya tak bisa dikontrol.

"Apa maksud Ibu bicara seperti itu?" tanya seorang pria. Aku tak bisa melihat siapa orang itu, tapi aku bisa mengenali suaranya. Ya, pria itu adalah Mas Denny.

"Tak perlu membual untuk menutupi kebusukanmu dan juga keluargamu itu. Pergi sekarang juga atau saya panggilkan satpam untuk mengusir kalian?" ancam Ibu penuh emosi.

"Maaf, Bu Mila. Kedatangan kami ke sini ingin meminta maaf kepada Adriana dan juga ibu atas kecelakaan itu. Saya sebagai kepala keluarga, memohon agar ibu tidak melaporkan anak dan juga istri saya ke polisi. Saya sendirilah yang akan menghukum mereka berdua atas kesalahan yang sudah dilakukannya." Ayah mertua terlihat sangat menyesal ketika mengucapkan itu. Sedangkan Mas Denny terlihat tak acuh berdiri di samping sang ayah.

"Maaf, Pak Arman, untuk itu semua, suami saya lah yang punya kendali."

"Saya mohon, Bu Mila," ucap ayah mertua menangkupkan tangan di depan dada.

"Saya akan bicara pada suami saya dan berusaha untuk membujuknya, tapi ... saya tidak bisa berjanji untuk hasilnya."

"Tak apa, yang jelas sampaikan maaf saya pada Pak Ruslan, ya, Bu."

"Baik."

"Terima kasih banyak, Bu."

"Sama-sama," jawab Ibu tak acuh.

"Dan untuk kamu, pria tak tahu diri, belajarlah menjadi pria yang lebih bertanggung jawab!" ucap ayah mertua terdengar sayup. Mungkin mereka sudah mulai menjauh dari tempat ini.

"Bu," ucapku setelah ibu kembali.

"Iya, Nak. Kenapa?"

"Bu, aku—" Ucapanku berhenti ketika ponsel yang ada di atas meja berdering.

Ibu mengambil benda pipih itu dan memeriksa penelepon itu. "Sebentar, ya, Nak."

Aku mengangguk, kemudian ibu melangkah menjauh.

Mas Denny, benarkah kau setega itu padaku? Benarkah pengorbananku selama ini tak ada artinya bagimu? Anganku melayang dan kembali ke kejadian dua tahun yang lalu.

"Ini makanan apa, Diana? Ikan atau kayu? Kenapa keras sekali?" ucapnya kala itu.

"Ke–kenapa, Mas? A–apa makanannya tidak enak?" tanyaku ketakutan.

"Tentu saja! Makanan seperti ini kamu berikan padaku, sekalian saja kayu atau batu yang kamu masak! Dasar b*doh, d*ngu, g*blok! Ot*k kamu di mana? Ot*k anjin* yang kamu gunakan? Dasar wanita tak berguna!?"

Jangan tanyakan bagaimana keadaanku saat itu. Tentu saja sakit hati. Bahkan aku sampai kabur dari rumah pasca kejadian itu, tapi Mas Denny menjemputku di rumah Bapak dan memarahiku habis-habisan. Dari situ lah keinginanku untuk memiliki jiwa yang seolah mati akan segala rasa muncul. Ternyata Allah mengabulkan itu semua.

'Menyesalkah kamu setelah menikah dengan pria itu, Adriana?' bisik hati kecilku.

'Entahlah. Ingin mengatakan menyesal, tapi ini semua memang salahku.' Tanpa terasa, air mata meleleh begitu saja membasahi pipiku.

"Nak, ada yang ingin bertemu denganmu." Ucapan Ibu seketika membuyarkan lamunanku.

"Eh .., siapa, Bu?" tanyaku menghapus air mata.

"Sudah, tak perlu kamu menangisi pria seperti itu. Insya Allah suatu saat nanti, kamu akan bertemu dengan seorang pria dan bahagia bersamanya. Aamiin."

"Aamiin," jawabku, "tapi siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?"

"Dia adalah ...."

***

Bersambung.

"Ujian datang untuk menguji keimananmu. Jadikan ujian itu sebagai cambuk untuk senantiasa memperbaiki diri. Bukan untuk menjatuhkan harga diri!"

_Renal Setiawan.

Bab terkait

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 5

    "Siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?" tanyaku penasaran. "Seseorang yang sangat dipercayai Bapak mampu membahagiakan kamu." Orang kepercayaan Bapak? Yang mampu membahagiakan aku? Apa maksud Ibu sebenarnya? "Apa maksud Ibu?" "Mksud Ibu—" Tok tok tok. Tiba-tiba pintu diketuk sebelum sempat Ibu menjelaskan. "Sebentar, ya, Sayang, Ibu bukain pintu dulu. Siapa tahu orang itu sudah datang." Wanita yang paling aku sayangi itu melangkah menjauhiku menuju ke arah pintu dengan senyum yang begitu mengembang. "Assalamualaikum," ucap seorang pria yang ada di depan pintu. "Waalaikumsalam," jawab Ibu menyambut uluran tangannya. Pria itu menyalami tangan Ibu dengan takzim. "Waalaikumsalam," jawabku dengan lirih. Mereka masuk setelah sedikit berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. "Di, kenalin, ini Sandi. Dosen di salah satu universitas terkenal di Sulawesi Barat. Sandi ini termasuk dosen kebanggan universitas karena pr

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 6

    Dering ponsel menyadarkanku dari tidur siang ini. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi indah itu tanpa peduli siapa yang menghubungi. Namun, benda pipih itu kembali berdering sebelum sempat aku kembali ke alam bawah sadar. "Siapa, sih, telepon siang bolong begini?" tanyaku dengan suara khas orang yang baru bangun tidur. "Bangun, Dek! Kamu nggak rindu, kah, sama Abang?" Mendengar suara itu, mataku langsung terbuka dengan lebar. Rasa kantuk pun seakan menguap begitu saja. "Bang Renal? Ini beneran Abang?" tanyaku tak percaya. "Kebiasaan, deh, kalau jawab panggilan nggak di cek dulu," protes pria itu. "Ngantuk, Abang. Jadi nggak fokus buat ngecek panggilan. Mana lagi mimpi indah banget lagi tadi itu." "Jadi, Abang ganggu, nih? Yaudah, Abang matiin aja kalau gitu." Terdengar dari ucapannya bahwa pria itu sangat menyesal. "Eh, jangan, dong! Udah dari kemarin tauk aku nungguin telepon dari Abang." Kubuat suaraku semanja mungkin. Aku tahu, aku juga sadar, bahwa ini semua salah

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-04
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 7, Apa maksudnya?

    Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk. “Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi? “Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku. “Baik,” jawabku cuek. “Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah. Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali. “Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku. “Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah. “Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju k

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Saatnya mengepakkan sayap

    “Ha? Maksudnya?” tanyaku tak paham arah pembicaraannya. “Eh, maksudnya, siapa tahu bisa melakukan PDKT dan jadi calon suami kamu.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Bisa saja ia bercanda disaat seperti ini. “Abang bisa aja bercandanya,” ucapku dengan tawa yang membahana. “Tapi aku nggak lagi becanda, Diana!” Mendengar ucapannya yang begitu serius, tawaku seketika berhenti seiring jantung yang kian berdegup dengan kencang. “Aku serius ingin menikahimu setelah masa iddah itu selesai.” ‘Duh, pasti dia bawa perasaan oleh ucapanku tadi. Nggak nyangka kalau dia nggak bisa di ajak kerja sama. Astaga! Bagaimana ini? Nyesel, deh, gue bilang kek gitu tadi.’ Aku menepuk pelan keningku saking bingungnya mau menanggapi bagaimana ucapannya. Tiba-tiba pria itu berdiri dan terlihat raut wajahnya yang panik. “Kamu kenapa? Kepalanya sakit lagi, ya? Tunggu di sini, aku panggilkan dokter du—” “Eh, nggak usah, Bang! Aku baik-baik aja, kok. Nggak perlu panggilkan dokter. Oke?” “Kamu yakin nggak papa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    POV Sandi 1. Nama yang sama

    Aku masih tak percaya bahwa Ibu memaksaku untuk pergi ke pulau seberang untuk menemui seorang wanita yang tengah koma setelah mengalami KDRT oleh suami dan mertuanya. “Wanita itu adalah anak dari sahabat ayah kamu, Bang. Dulu sebelum meninggal, Pak Ruslan dan Ayah kamu sudah menjodohkan kalian—” “Tapi, kan, kejadiannya udah lima belas tahun yang lalu. Aku udah dewasa, Bu, bisa cari jodoh sendiri,” tolakku dengan halus. Aku adalah tulang punggung keluarga sejak usia delapan belas tahun. Tepatnya setelah kelulusan SMA. Aku yang memiliki dua orang adik tak mungkin melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan dan membiarkan Ibu bekerja seorang diri, tapi memang rezeki yang tak kemana, Allah memberikan aku jalan. Seorang pria yang berasal dari pulau seberang memberikanku modal yang cukup besar untuk memulai usaha. Alhamdulillah, usaha toko kelontong yang aku bangun berkembang pesat dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Hingga akhirnya keinginanku untuk kuliah yang dulu hanya di an

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Awal Perkenalan

    Saat ini, aku sudah berada di bandara. Penerbanganku masih sekitar tiga puluh menit lagi. Terlihat raut wajah ibu yang begitu bahagia duduk di sebelahku. “Nak, sampaikan salam Ibu pada Adriana dan kedua orang tuanya. Jangan lupa berikan ini padanya.” Wanita surgaku itu menyerahkan sebuah kotak. Aku yakin pasti isinya adalah gelang yang dibuatnya tadi malam. Aku menerima kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. “Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa salat, jangan telat makan, jangan juga lupa kabarin ibu.” “Bu, doain Sandi, ya.” “Doa ibu selalu ada untukmu, Nak.” “Diberitahukan kepada seluruh penumpang dengan tujuan Pekanbaru, pesawat akan lepas landas dalam waktu sepuluh menit lagi. Diharapkan untuk seluruh penumpang segera menuju ke pesawat.” Itu pesawat yang akan aku naiki. “Bu, Sandi berangkat dulu, ya.” Ku cium tangan ibu dengan takzim. “Hati-hati, ya, Nak,” ucap Ibu mengusap kepalaku. Aku mengangguk menanggapi ucapan ibuAku menoleh pada Silvia, mengulurkan tangan pa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    (POV Sandi end) Rahasia Sandi

    “Nak Sandi, ibu tinggal sebentar, ya, mau cari makan dulu. Kalian ngobrol aja dulu siapa tahu cocok dan bisa jadi pasangan.” Bu Mila tersenyum. “Ba–baik, Bu,” jawabku sedikit gugup. Terlihat senyum tipis di wajahnya dan kemudian beliau mengusap puncak kepala putrinya. Melangkah keluar menuju pintu dan menghilang dibaliknya. Rasa canggung yang semula ada, bertambah besar setelah Bu Mila keluar dari ruangan ini. Bagaimana tidak, dua orang yang baru saling mengenal kini berada di suatu ruangan yang sama hanya berdua saja. Ya, hanya berdua saja! Kalian tahu bagaimana keadaan dan perasaanku saat ini? Berdebar-debar seperti maling yang tengah menghindar dan bersembunyi dari polisi. Aku menyerahkan sebuah kotak yang berisi gelang pemberian Ibu tadi pagi. “Ketika Ibu mendengar aku akan datang hari ini, beliau membuatkan itu untukmu hanya dalam waktu semalam.” “Wah, cantik sekali.” Wanita itu mengeluarkan gelang itu. “Serius hanya semalam? Aku pernah mencoba membuatnya, tapi selalu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    (POV Adriana) Pria asing

    Keesokan harinya, ibu datang bersama Bang Sandi. Raut wajah Mereka tampak sumringah, tapi …. “Bu, di mana bapak dan Aldo?” tanyaku pada wanita paruh baya kesayanganku itu. “Mereka sedang mengurus administrasi. Hari ini juga, kamu sudah boleh pulang.” Terlihat wajah Ibu begitu bahagia. “Ibu serius?” Aku bangkit dan mengubah posisi menjadi duduk di atas ranjang. Saking bahagianya, rasa sakit yang masih sedikit terasa pun tak ku hiraukan. Tak sengaja aku melirik ke arah Bang Sandi, pria itu terlihat tak kalah bahagianya dengan ibu. Mata teduhnya menatap lekat ke arah kami. Namun, Iya segera menyembunyikan wajahnya ketika sadar aku memperhatikannya. Ada rasa kagum yang diam-diam merasuk ke dalam pikiranku. Bang sandi membantu ibu untuk membereskan barang-barangku. Awalnya aku ingin ikut membantu, tapi mereka melarang. Setelah semuanya selesai dan kami bersiap untuk keluar, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. “Apa yang terjadi di luar?” tanya Ibu memelukku. “Aku akan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22

Bab terbaru

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kembali Menemui Arman

    --- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria Berjaket Hitam

    --- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Petunjuk Baru

    ---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    perempuan misterius

    Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Sebuah petunjuk

    Malam semakin larut, tapi kami semua masih terjaga di ruang tamu. Iqbal terus sibuk dengan laptopnya, mencoba menggali lebih dalam tentang petunjuk yang ia temukan. Bang Sandi duduk di sampingku, tangannya tak pernah lepas menggenggamku seolah takut aku menghilang. "Ini dia," kata Iqbal tiba-tiba, membuat kami berdua terlonjak, "aku nemu sesuatu yang menarik." "Apa?" tanyaku, mendekat ke arahnya. Iqbal memutar layar laptopnya ke arah kami. "Email kalian sempat menerima pesan mencurigakan sebulan lalu, tapi langsung terhapus. Untungnya, ada log yang tersimpan." Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Kalian nggak akan bisa lari dari masa lalu." Aku merasakan darahku membeku. "Masa lalu? Maksudnya apa?" Iqbal menggeleng. "Itu yang harus kita cari tahu. Pesan ini dikirim dari jaringan umum di sekitar kampus, sama seperti alamat IP yang tadi." Bang Sandi tampak berpikir keras. "Jaringan umum? Berarti pelaku bisa siapa saja." "Tepat," sahut Iqbal, "tapi ada satu hal aneh. Aku

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Log aktivitas

    Pagi itu, suasana rumah terasa tegang. Aku duduk di meja makan memandangi secangkir kopi yang hampir dingin. Bang Sandi berada di seberangku, menatapku dengan pandangan penuh perhatian. Dia tahu aku masih terguncang oleh foto-foto yang kami temukan tadi malam. "Sayang, kamu yakin nggak mau makan dulu?" tanyanya dengan suaranya yang lembut. Aku menggeleng pelan. "Aku nggak lapar, Bang" Ia mendesah, lalu bangkit dari kursinya dan berjongkok di sampingku. Tangannya menggenggam tanganku erat. "Kamu harus kuat, Sayang. Abang janji kita akan selesaikan ini sama-sama. Abang nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu." Aku menatapnya, mataku mulai berkaca-kaca, "tapi aku takut, Bang. Orang ini tahu segalanya tentang kita. Dia bahkan masuk ke rumah kita, ke kamar kita .…"Bang Sandi mengusap pipiku dengan ibu jarinya. "Abang nggak akan biarin dia nyakitin kamu. Kamu percaya sama Abang, kan?" Aku mengangguk pelan, tapi rasa takut itu tetap ada, seperti duri yang menancap di hatiku. Iqbal

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Amplop Coklat

    --- Aku menggenggam erat tangan Bang Sandi saat kami kembali ke kantor polisi membawa bukti baru, foto pernikahan yang dirusak dan rekaman kamera pengawas. Pak Ridwan memeriksa semuanya dengan wajah serius, sesekali berdiskusi dengan rekan-rekannya. "Ini jelas tindakan yang disengaja dan terencana," ujarnya sambil menatap kami, "kami akan mencoba melacak orang ini dari jejak yang ditinggalkannya, tapi butuh waktu." Iqbal yang ikut menemani kami ke kantor polisi dan tampak tak sabar. "Pak, apa nggak ada cara lebih cepat? Orang ini udah terlalu berani!" Pak Ridwan menghela napas. "Kami akan memprioritaskan kasus ini, tapi kalian juga harus membantu kami. Ada sesuatu yang mencurigakan atau siapa saja yang pernah bermasalah dengan kalian?" Aku dan Bang Sandi saling berpandangan. Pertanyaan itu menggantung seperti beban di udara. "Aku nggak tahu, Pak," jawabku akhirnya, "kami nggak punya musuh. Kehidupan kami biasa saja." Di sisi lain, Bang Sandi tampak berpikir keras. Ia m

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kantor polisi

    Pagi itu, suasana rumah begitu sunyi meski matahari sudah mulai menembus tirai. Aku duduk di ruang tamu dengan cangkir kopi yang hampir tak kusentuh. Bang Sandi berdiri di dekat jendela, memerhatikan jalan di luar dengan wajah yang sulit dibaca. Ketegangan di antara kami begitu tebal hingga sulit bernapas. “Sayang, kita harus segera ke kantor polisi,” ujarnya tiba-tiba, memecah keheningan. Aku hanya mengangguk tanpa bicara. Semalaman aku hampir tak tidur, memikirkan pesan menyeramkan itu. Siapa pun pelakunya, dia jelas bukan orang sembarangan. Setelah bersiap, kami berangkat ke kantor polisi dengan membawa semua bukti yang ada: foto-foto, pesan di ponsel, dan kertas yang ditemukan di kamar kami. Petugas yang menangani laporan kami, seorang pria bernama Pak Ridwan, terlihat serius mendengarkan cerita kami. “Kami akan menyelidiki ini,” ujarnya sambil mencatat, "tapi seperti yang Anda ketahui, prosesnya mungkin membutuhkan waktu. Sementara itu, saya sarankan Anda lebih berhati-hat

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Teror

    Ketika aku membukanya, isinya membuat darahku mendidih. Isi dari paket itu adalah foto-foto Bang Sandi bersama Rani di masa lalu. Foto-foto itu diambil di berbagai tempat, seperti taman dan kafe. Aku menunjukkan foto itu pada Bang Sandi dengan air mata mengalir. “Bang, aku nggak ngerti kenapa orang ini terus-terusan ganggu kita. Apa yang mereka mau?” Wajah Bang Sandi memerah karena marah. Dia langsung meraih ponsel dan menelepon seseorang. Aku hanya bisa duduk dan merasa ketakutan. Setelah menutup telepon, dia duduk di sampingku dan memelukku erat. “Sayang, Abang minta maaf kamu harus ngalamin ini semua. Abang janji, nggak akan biarin siapa pun rusak rumah tangga kita. Kita cari tahu siapa yang main-main ini, ya?” Aku mengangguk pelan, meski hatiku masih penuh kekhawatiran. “Bang, aku cuma pengen kita hidup tenang. Apa itu terlalu sulit?” Dia menggeleng, lalu mengecup keningku. “Kita akan dapatkan ketenangan itu, Sayang. Abang janji.” --- Hari berikutnya, kami memutuskan

DMCA.com Protection Status