“Apa? Jadi hari ini saya juga tidak bisa bertemu dengannya?” Hani menatap sekretaris Angga dengan ekspresi tak percaya.
Kemarin ia sudah datang ke kantor Angga. Namun, karena terlalu lama menunggu, Hani akhirnya pergi karena memiliki jadwal pemotretan. Hari ini wanita itu kembali datang, berharap bisa bertemu dengan Angga, tetapi ternyata calon suaminya itu ada rapat.
“Maaf, Nona. Ini rapat bulanan, mungkin akan selesai setelah makan siang. Jika Anda menunggu sekarang, kurang lebih 2-3 jam.”
Hani menghembuskan napas kasar. “Kenapa begitu sulit sekali bertemu dengannya. Padahal dia sudah menjadi calon suamiku. Aku minta nomor kontaknya sama Papa, tidak dikasih, takut Angga marah karena tidak sepertujuannya. Ck, kalau begini ceritanya, kapan aku bisa bertemu dengan Angga tanpa mengandalkan ajakan makan malam dari keluarga Naradipta?” gerutunya pelan.
“Nona, kam
Mata Hani melotot ketika melihat sebuah foto yang baru saja dikirim oleh Davita. Ia berkali-kali memastikan itu bukan foto editan. Terlihat jelas foto kiriman itu asli, dan ia ingat betul pakaian Angga hari ini.“Davita, dia benar-benar berusaha mendekati Angga? Tapi bagaimana mungkin dia berhasil berbicara dengan Angga, sedangkan aku saja dari kemarin tidak diberi waktu bahkan sekadar untuk bertemu dengan Angga sebentar” desis Hani marah.Dering ponselnya mengalihkan perhatian Hani. Ia menggeram melihat nama Davita tertera sebagai penelepon. Tanpa basa-basi, Hani langsung menerima panggilan telepon itu.“Wanita kurang ajar!” bentak Hani tanpa menyapa.Beberapa orang di sekitar lokasi pemotretan langsung menoleh ke arah Hani. Tersadar jika orang begitu ramai di sana, Hani tersenyum kikuk, lalu berdeham menormalkan ekspresi wajahnya.“Santai, dong, No
“Apa pria gila itu masih di bawah?” tanya Davita kepada Niana.“Tadi saya lihat di bawah sudah tidak ada, Bu. Sebentar, Bu.” Niana bergerak ke arah dinding kaca ruangan kerja Davita. Ia memperhatikan halaman depan toko bunga. “Di depan juga tidak ada, Bu. Sepertinya dia sudah pergi.”Davita mengembuskan napas lega mendengar itu. Ia segera meraih tas dan menyimpan beberapa perlengkapannya. “Bagus kalau begitu. Satu jam lagi kalian akan pulang ‘kan? Laporan keuangan total hari ini, nanti kirim saja. Aku pulang duluan.”“Baik, Bu.” Niana menunduk hormat, lalu berjalan di belakang Davita. “Mobil Anda tadi masih di bengkel, apa perlu saya meminta seseorang mengambil mobil satu lagi, Bu?”“Tidak usah, saya naik taksi saja malam ini.”“Baik, Bu.”Davita terus melang
Gino menganga menatap Angga mengajak Davita ke mobilnya. Lebih mengejutkan karena Angga menggenggam telapak tangan Davita. Gino tak dapat berbuat apa-apa. Mana mungkin ia berani menyanggah dan menghentikan Angga—bos besarnya.“Bagaimana bisa mereka saling kenal dan Tuan Muda Naradipta memperlakukannya seperti itu?” Gino terus menatap mobil Angga yang mulai menjauh. Ia berdecih sinis. “Davita, ternyata selama ini kau hanya sok polos di depanku, ya? Rupanya dia memiliki bakat merayu yang mantap juga. Bahkan dia berani merayu Angga Naradipta? Cih, waktu itu dia di kantor Naradipta Group pasti karena ingin mendekati Angga ‘kan? Awas saja dia.”Jangankan Gino, Davita pun merasa tak percaya Angga tiba-tiba menggenggam tangannya dan mengajak pulang bersama. Ia memandangi telapak tangannya dengan wajah bingung.“Tanganmu sakit karena menampar pria tadi?”Suara berat Angga mengejutkan Davita. Ia menoleh, lalu menggeleng sembari tersenyum. “Ah, tidak juga, Tuan Muda. Terima kasih sudah membantu
“Saya benar-benar tidak menyangka jika Anda juga tinggal di sini, Tuan Muda.” Davita tersenyum kepada Angga yang berjalan di sampingnya. “Ah, mungkin Anda jarang menginap di apartemen ini, ya? Saya pikir, Anda tinggal di rumah, bukan di apartemen.”Angga menggangguk. “Saya sesekali tinggal di apartemen,” sahutnya jujur.Meski sebenarnya bukan apartemen itu yang Angga maksud. Sebagai ahli waris keluarga Naradipta, tentunya Angga memiliki beberapa rumah dan apartemen. Sekarang Angga menambah koleksi apartemen atas namanya. Pria itu buru-buru membeli apartemen di demi bisa bertetangga dengan Davita.“Jadi malam ini Anda akan menginap di sini? Tapi bukan karena ingin mengantar saya ke sini ‘kan? Jadi Anda pun terpaksa menginap di sini karena sudah larut. Saya jadi tidak enak.”“Tidak, saya memang sudah berniat ingin tinggal di sini minggu ini.”Davita mengangguk. “Selama saya tinggal di sini, saya tidak pernah melihat Anda. Mungkin karena sering beda waktu pulang dan keluar, ya? Jadi kita
“Ingin kamu.”“Hah?”Angga terkejut, ia berdeham pelan lalu mengalihkan wajah. “Terserah, aku tidak punya alergi.”Davita tersenyum kikuk. “Ekhm, aku buat omelet saja, ya. Biar cepat, takutnya Kakak lama menunggu, keburu lapar.”“Tidak masalah.”Angga memperhatikan Davita yang tengah sibuk membuat omelet untuknya. Ia menopang dagu, tanpa sadar tersenyum tipis. Davita yang masih menggunakan handuk kimono, malah sibuk di depan kompor.“Besok pagi rencananya aku ingin membuat pasta dan beberapa makanan lain. Kalau Kakak tidak terburu-buru, bisa ke sini buat sarapan.” Davita tersenyum kepada Angga, ia meletakkan omelet di atas meja.Angga menatap omelet buatan Davita. Lalu ia memandangi Davita yang masih tersenyum.“Ah, aku izin ganti baju dulu sebentar, ya, Kak. Tidak nyaman pakai handuk kimono. Sebentar saja.” Davita langsung bergegas masuk ke dalam kamarnya.Angga tanpa sadar tersenyum memperhatikan gadis itu masuk kamar. Ia berdeham pelan. “Kenapa jadi seperti pasangan pengantin baru?
Angga melangkah ke arah pintu apartemennya yang baru saja diketuk. Pria itu berjalan dengan kondisi tubuh setangah basah. Angga baru saja selesai mandi. Bahkan ia hanya menggunakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.Tangan kekar itu meraih gagang pintu. Perlahan Angga menarik pintu apartemen tersebut.Cklek ...“Pagi, Kak, aku ....” Kalimat Davita terhenti, matanya membulat melihat Angga hanya menggunakan handuk, sehingga tubuh bagian atasnya terekspos. Davita langsung mengalihkan wajah karena malu. “M-maaf mengganggu Kakak pagi-pagi. Aku hanya ingin mengantarkan ini.”Angga menatap secangkir susu yang disodorkan Davita. Ia melirik Davita, pipi wanita itu memerah, tampaknya karena malu dan salah tingkah.“Bukannya nanti aku akan ke sana?”Davita berdeham pelan. “Aku kira Kakak akan buru-buru berangkat pagi ini, jadi tidak sempat sarapan di apartemenku. Maaf, aku tidak bermaksud sengaja menguping pembicaraanmu di telpon tadi malam.”Angga meraih gelas susu yang disodorkan Dav
“Kak.”Angga menoleh, ia menatap Davita yang baru saja memanggilnya. Davita tersenyum singkat, lalu mendekat dan menunjuk dasi Angga.“Dasi Kakak sedikit miring, mungkin karna siap makan tadi.”Angga menunduk, ia meraih dasinya berniat membenarkan posisi yang katanya miring. Davita terkekeh ketika melihat dasi itu malah semakin miring.“Miringnya ke kiri, Kak. Coba geser ke kanan sedikit. Bagian atas dan bawahnya juga sedikit tidak rapi,” tutur Davita kepada Angga.“Tidak ada kaca.”Davita terkekeh. “Boleh aku bantu?”Angga terdiam sejenak. Lalu ia menggangguk. Melihat Angga mengizinkan, Davita perlahan mendekat. Wanita itu berdiri tepat di depan Angga, lalu meraih dasi CEO muda itu.Angga terpaku, ia menunduk memperhatikan Davita yang tengah serius merapikan dasinya. Pemuda itu memandangi Davita dengan tatapan intens. Tanpa sadar sebelah tangannya keluar dari saku celana, lalu meraih pingging Davita.Grep ...Tubuh Davita mematung, bahkan napasnya tercekat. Belum lagi mata bos toko b
“Baik, Pak. Saya akan segera ke sana sebentar lagi, terima kasih, Pak Maizal.”“Astaga, apa-apaan ini? Rasanya sangat aneh kalau berbicara formal seperti ini denganmu, Davita.”Davita terkekeh mendengar kalimat Maizal di seberang telepon. “Kita ‘ka sedang membahas bisnis, jadi harus profesional, dong?”“Ya-ya, terserah-mu. Intinya sebagai rekan bisnis, aku sudah memberitahumu. Sekarang aku ingin bertanya masalah pribadi.”Kening Davita berkerut samar. “Masalah pribadi? Rasanya aku tidak punya masalah apa pun denganmu, Kak.”“Ck, ini masalah Angga.”Kedua alis Davita bertaut. “Kenapa dengan Tuan Muda Naradipta?”“Jurus apa yang kamu gunakan, sampai Angga jadi seperti itu?”“Hah? Seperti apa?” Davita tak paham maksud Maizal.“Bukan aku bermaksud memandang rendah bisnismu. Toko bungamu sangat keren, paling besar di Jakarta, bahkan di Indonesia. Hanya saja, aku heran karena Angga selalu ingin membicarakan masalah bisnis langsung denganmu. Biasanya, perusahaan besar pun, perusahaan-perusah
Tangan Hani terkepal melihat tangan Angga tengah menggenggm tangan Davita. Meski Angga sedang membawa mobil, pria itu masih begitu manis menggenggam tangan Davita. Situasi itu membuat Hani benar-benar seperti orang ketiga di antara mereka, padahal dirinya ‘lah calon istri sah Angga.Pasti Hani tak pernah menyangka dan tak pernah membayangkan jika dirinya akan pernah berada di posisi itu. Mungkin perlahan balasan dan karma mulai datang, karena dulu Hani sengaja menjadi orang ketiga dalam hubungan Davita dan Gino.Davita pun senang karena perlahan balas dendamnya semakin nyata. Ia melirik ekspresi Hani dari pantulan kaca depan mobil. Davita tampak sangat puas melihat wajah marah Hani.“Emm, Kak.”Angga langsung menoleh ketika Davita memanggilnya. “Kenapa?”“Perutku sedari tadi sedikit tidak enak. Aku ingin beli es krim dulu di depan.”Angga menatap Davita yang tersenyum manis kepadanya. “Perut tidak enak, kenapa malah minta es krim? Ini sudah malam, nanti perut kamu semakin tidak enak.
“Davita ini klien Tante, sekaligus temannya Angga. Davita orang yang bertanggung jawab untuk mengurus taman bunga mansion Naradipta. Tadi baru saja selesai survei akhir, sebelum tamannya digarap sesuai denah yang Tante minta. Karna tadi sudah terlalu sore, jadi Tante minta Davita istirahat dulu di sini.” Laili menjelaskan tentang Davita kepada Hani, ia hanya tak ingin Hani berpikiran lain.Meski begitu, Hani memang sudah terlanjur geram kepada Davita. Ia pun sudah tahu jika Davita sengaja mendekati Angga untuk balas dendam kepada dirinya. Davita sendiri sudah mengaku secara terang-terangan kala itu.Hani hanya bisa tersenyum kepada Laili, untuk menjaga image-nya. “Oh begitu, Tante. Ternyata Nona Davita ini karyawan toko bunga, ya?” Hani sengaja menekan kata karyawan toko bunga, demi merendahkan Davita.Davita tersenyum tenang. “Senang sekali bisa bertemu dan berkenalan dengan Nona Candra yang katanya salah satu model terbaik di kota kita.”Hani tersenyum sinis. “Iya, aku juga senang b
“Angga, Hani sudah datang. Ayo turun.”Angga berdecak, ia keluar dari kamarnya menemui sang ibu. “Aku akan ikut makan malam kalau Davita juga ikut.”“Iya, Mama tahu. Kamu turun saja duluan, Davita akan menyusul.”“Mama tidak akan membohongiku ‘kan?”Laili mengembuskan napas pelan. “Kamu tidak percaya sama Mama? Sudah, ke bawah saja. Mama akan panggil Davita.”“Biar aku saja.”Laili menahan lengan putranya. “Biar Mama saja. Kamu tidak ingin Kakek curiga, lalu tidak suka kepada Davita ‘kan?”Angga mengembuskan napas berat. “Aku akan tunggu di bawah. Kalau Davita masih tidak turun dalam beberapa menit, aku akan menjemputnya ke kamar.”“Iya-iya, Mama tahu. Pergi ‘lah dulu ke bawah. Kakek dan Hani sudah menunggu di meja makan.”Meski terpaksa, Angga masuk ke dalam lift, menuju ke lantai bawah. Setidaknya Angga masih beruntung Laili tak menentang perasaannya untuk Davita. Seperti yang disebutkan Davita, Laili saat ini berada di posisi serba salah.Laili juga tak enak serta kasihan kepada Ha
“Angga masih tidur?” Laili mengintip ke dalam kamar Davita.Davita tersenyum kikuk, ia merasa tak enak. “I-ya, Tante. Aku akan bangunkan sekarang.”“Tidak usah.” Laili menahan pergelangan tangan Davita. Ia tersenyum, lalu menepuk pelan lengan Davita. “Tante ke sini hanya ingin mengajak kamu jalan-jalan sebentar. Masih gerimis, biarkan saja Angga tidur. Jarang sekali dia bisa tidur nyenyak begitu. Biasanya hanya tidur sebentar, lalu fokus kerja lagi. Tante senang dia bisa tidur lebih lama.”Davita terdiam. Ia ikut menoleh ke dalam kamar, meski ranjang tak terlihat jelas dari sana. “Kalau begitu ayo kita jalan-jalan sebentar, Tante.”“Lebih baik pakai ini. Karna hujan, kondisi di luar lebih dingin. Takutnya kamu masuk angin, nanti malah demam. Kalau kamu demam, Tante bisa dimarahi Angga,” canda Laili.Davita terkekeh kecil. Ia masih merasa tak enak serta canggung mempublikasikan hubungannya dengan Angga, di depan Laili. Bagaimanapun Laili pun tahu jika Angga akan segera menikah, sehingg
“Eh, Davita.” Laili terkejut melihat Angga datang bersama Davita. Ia berdiri dari duduknya, lalu mendekat ke arah Davita. “Kamu datang, kenapa tidak bilang-bilang Tante? Tahu begitu Tante siapkan sesuatu buat kita makan-makan.”Davita terkekeh kecil menanggapi itu. “Tidak usah repot, Tante. Kebetulan hari ini pekerjaan di toko lebih cepat selesai, Tante. Jadi sekalian saja datang ke sini, melanjutkan pembahasan masalah pembangunan taman bunga.”“Oh, sudah bisa dilanjutkan, ya? Kerja kamu cepat sekali, ya? Baru beberapa hari sudah selesai dan langsung ke tahap selanjutnya. Tidak heran kamu bisa menjadi bos muda.” Laili tersenyum kagum kepada Davita.Davita tersenyum tak enak. “Biasa saja, Tante. Aku masih belum apa-apa dibandingkan Kak Angga.” Ia melirik Angga yang berdiri di sampingnya.Angga tersenyum, ia mengusap puncak kepala Davita singkat. Hal itu membuat Laili terkejut. Pasalnya Angga tak pernah berlaku begitu manis dan lembut kepada orang lain, apalagi perempuan.“Kamu jauh leb
“Tante, Tuan Muda Naradipta tidak bersedia ikut untuk fitting baju.” Hani memperlihatkan wajah sedihnya di depan Laili.“Kenapa kamu memanggilnya terlalu formal begitu? Kalian sebentar lagi akan menikah. Coba biasanya lagi memanggil dengan nama. Panggil saja dia Angga, jangan panggil terlalu normal,” balas Laili.Hani tersenyum senang, tetapi ia berdeham untuk terlihat tetap polos di depan calon mertuanya. “Aku takut dia tidak suka dan marah. Jadi aku ingin lebih sopan saja, Tante.”“Mulai sekarang biasakan panggil nama saja. Atau kalian sepakati panggilan masing-masing, entah itu panggilan romantis seperti apa. Tidak bagus memanggil tuan atau nona begitu.” Laili tersenyum sembari menepuk pelan punggung tangan Hani.“Baik, Tante. Aku akan coba biasakan memanggil namanya. Nanti aku akan komunikasikan sama dia, bagusnya panggilan seperti apa di antara kami.” Hani tersenyum kepada Laili. “Tapi, aku takut dia tidak suka, Tante. Sekarang saja, dia menolak untuk datang fitting baju,” imbuhn
Hani terdiam sejenak, ia melirik tangan Angga masih mempertahankan ponsel di daun telinga. “Apa dia sedang telponan sama Davita? Tidak mungkin, mungkin dia sedang telepon dengan klien ‘kan? Tidak mungkin Davita sepenting itu, bisa teleponan seperti ini,” batin Hani menerka-nerka.“Kamu masih ada pesanan lagi? Aku akan berangkat, ada tambahan makanan lagi?”Suara berat Angga mengembalikan kesadaran Hani. Ia melotot ketika Angga sudah masuk mobil, ia menahan pintu mobil dengan berani. “Tuan Muda, kita harus tetap fitting baju. Ini adalah perintah Nyonya Naradipta—ibumu.”Angga menggeram, ia menatap Hani dengan mata tajam. “Berapa kali saya katakan, jangan melewati batasmu. Saya akan urus sendiri hal ini dengan ibu saya. Kau pergi saja sendiri.”“Tapi ini ‘kan pernikahan kita, Tuan Muda. Saya tahu Anda tidak menyukai saya, tapi apa Anda tidak ingin mencoba untuk saling menyukai? Jika Anda tidak memberi saya kesempatan, bagaimana mungkin hubungan kita jadi dekat?” ucap Hani berpura-pura l
Davita menganga melihat dua bodyguard berjaga di depan pintu apartemennya. Ia menatap bodyguard itu dengan ekspresi bingung.“Kalian ...?”“Nona.” Dua bodyguard itu menunduk hormat kepada Davita.Davita semakin bingung. Ia menatap dua pria kekar itu dengan ekspresi heran. “Apa kalian salah kamar? Emm ... maksudnya, mungkin kalian salah kamar majikan. Masalahnya saya tidak menyewa bodyguard sama sekali.”“Maaf, apakah Anda Nona Davita Zahra?” tanya salah satu bodyguard.Davita mengangguk dengan ekspresi cengo. “Iya, saya Davita Zahra.”“Kalau begitu kami tidak salah kamar, Nona.”Davita menganga. Perlahan ia menggaruk puncak kepalanya yang tak gatal. “Tapi saya tidak ingat pernah memesan jasa bodyguard.”“Kami diutus oleh Tuan Lupis, Nona. Tuan Muda Naradipta memberi kami amanat untuk menjaga Anda. Jika Anda ingin pergi, kami akan ikut.”Davita kembali ternganga. Ia pun baru menyadari logo keluarga Naradipta di jas yang bodyguard itu pakai. Davita mengembuskan napas pelan. Ia tak menya
Davita meneguk ludahnya pelan melihat foto serta video yang dikirim oleh Hani. Ia melirik ngeri ke arah Angga di sampingnya, merasa ngeri melihat hasil hukuman Angga kepada Gino. Rupanya foto serta video yang dikirim Hani kepadanya, adalah foto kondisi kritis Gino di rumah sakit.“Patah tulang tangan? Aku harusnya senang melihat Gino seperti ini. Secara tidak langsung, Angga membantuku membalas dendam. Tapi ... di sisi lain, aku juga ngeri karena Angga benar-benar gila tanpa basa-basi dan tanpa ragu berani membuat orang patah tulang, hampir mati di rumah sakit. Bagaimana kalau nanti Angga benci padaku karena tahu aku memanfaatkannya demi balas dendam kepada Hani dan Gino? Mungkin dia akan langsung membunuhku.” Davita sibuk membatin di dalam hati, ia merinding karena ngeri.“Kamu merasa tidak enak badan? Apa kita pulang ke apartemen saja?”Suara berat Angga mengejutkan Davita. Wanita itu menoleh dan tersenyum kaku menatap Angga. Sebelah alis Angga terangkat melihat ekspresi Davita.“Ti