Sesuai dugaan Davita, Hani benar-benar berada di depan ruangan CEO Naradipta Group. Ia tersenyum sinis, lalu mempersiapkan wajah angkuhnya untuk berhadapan dengan Hani.Hani melotot melihat Davita datang sembari membawa buket bunga. Ia berdiri dari duduknya, lalu tersenyum sinis ke arah Davita.“Kau datang lagi? Cih, benar-benar wanita penggoda. Setiap hari kau ke sini untuk mencari perhatian Angga? Kau kira Angga orang seperti apa yang bersedia dekat dengan karyawan toko bunga sepertimu, hah!” Hani tersenyum remeh ke arah Davita.Davita membalasnya dengan senyum miring. “Urus saja urusanmu. Kau sendiri setiap hari ke sini, tapi sampai sekarang masih tidak pernah berhasil bertemu dengan Tuan Muda Naradipta? Kasihan sekali, katanya kau adalah calon istrinya Tuan Muda Naradipta. Kenapa untuk bertemu dengannya saja tidak bisa? Selalu tidak diizinkan masuk, sungguh menyedihkan.”“Kau!” Hani melotot sembari menunjuk Davita dengan tangan kirinya. “Aku bukannya tidak diizinkan masuk, tapi An
Hani menggeram. Ia terus menatap pintu ruangan kerja Angga. “Kenapa dia masih belum keluar?” desisnya.Hani melirik jam tangannya. Sudah 15 menit semenjak Davita masuk ke dalam ruangan kerja Angga, wanita itu tak kunjung keluar. Hal ini membuat Hani curiga, marah, kesal serta tak terima.“Apa saja yang dia lakukan di sana? Bukannya dia cuma mengantar buket bunga? Kenapa dia masih belum keluar?” Hani berdiri dari duduknya, ia menggeram. “Pasti dia sedang menggoda Angga di dalam. Tidak bisa aku biarkan!”Hani berjalan cepat ke arah meja sekretaris. Ia menarik napas untuk menstabilkan ekspresi wajahnya. Hani masih tersenyum pada sekretaris Angga.Teni menunduk singkat ke arah Hani. “Anda masih menunggu, Nona? Maaf, mungkin akan lebih baik Anda kembali saja. Jadwal Tuan Muda hari ini sangat padat, mungkin beliau akan makan siang di luar dan tidak akan membiarkan orang lain mengganggu.”Hani tersenyum tak percaya. “Sibuk? Tidak membiarkan orang lain mengganggu? Lalu kenapa wanita tadi bisa
“Keluarga Naradipta memang sangat kaya.” Davita membatin sembari memperhatikan mansion utama keluarga Naradipta dari dalam mobil.Mansion yang berdiri kokoh di tengah halaman nan luas. Davita tak pernah menyangka dirinya akan berkunjung ke sana, meski hanya karena tujuan pekerjaan. Bisa memasuki mansion utama keluarga Naradipta adalah suatu kebanggaan bagi orang luar, karena tak sembarang orang bisa diizinkan masuk ke sana.“Halamannya sangat luas, tapi memang tidak ada bunga. Saya yakin, kalau halaman mansion ini ditanami bunga, pasti akan semakin indah.” Davita menatap Angga yang duduk di sebelahnya.Angga mengangguk. “Kamu atur saja. Mama sudah menunggu, kamu bisa perlihatkan designnya kepadanya.”Davita mengangguk. “Kalau sekeliling mansion ingin ditanami bunga, saya harus berkeliling dulu untuk memahami tempat, Tuan Muda.”Angga mengangguk. “Nanti saya temani.”Davita tersenyum kikuk. “Tidak harus Anda juga, saya tahu Anda sangat sibuk.” Davita melirik laptop di pangkuan Angga. B
“Ini design awalnya saja, Tante. Nanti malam aku coba mulai design yang lebih jelas.” Davita menyerahkan tablet miliknya kepada Laili.Setelah tadi berkeliling sebentar, Davita sudah mendapatkan beberapa gambaran design, lalu langsung membuatkan di tablet.“Astaga, kamu bilang ini design awal? Tidak heran D’Fiore bisa jadi toko bunga terbaik di negara ini. Pemiliknya sangat berbakat,” puji Laili.Davita tersenyum. “Ha-ha, aku pun masih perlu belajar, Tante.”“Gambaran awal saja sudah bagus, Tante jadi tidak sabar melihat hasil akhirnya.”“Aku usahakan menyelesaikan ilustrasinya secepat mungkin, Tante.”“Sudah selesai?” Suara berat Angga mengalihkan perhatian Davita dan Laili. “Sudah terlalu sore, bersih-bersih saja dulu di sini.”Davita terkejut, ia
“Sebentar!” Davita berlari kecil ke arah pintu kamar yang baru saja diketuk.Cklek ...Davita tersenyum ke arah Angga yang berdiri di depan pintu kamar tamu tempatnya berada. Angga pun terpaku, Davita tengah menggunakan handuk kimono, dan rambutnya dililit handuk kecil sehingga memperlihatkan leher jenjangnya.“Kakak mau antar baju, ya?” tanya Davita.Angga berdeham, lalu mengangguk. “Ini dipesan Mama.”Davita tersenyum, ia mengambil alih paperbag yang disodorkan Angga. “Makasih, Kak. Maaf jadi merepotkan.”“Tidak repot. Aku ingin masuk.”“Hah?” Davita mendongak dengan wajah bingung. “Masuk?”Angga mengangguk, lalu menatap area dalam kamar Davita. Sorot mata itu membuat Davita mengerti. Angga ingin masuk ke dalam kamarnya.
Davita yang tengah terkejut oleh tindakan Angga yang begitu tiba-tiba, tersadar oleh wajah seseorang di bawah sana. Davita melihat Hani tengah mendongak di bawah sana, menatap mereka di lantai 3. Meski ikut syok, setidaknya Davita merasa senang karena Hani melihat aksi Angga bersama wanita lain.“Dari posisiku berdiri, Hani mungkin tidak akan melihat wajahku dengan jelas. Tapi dia pasti langsung mengenali Angga. Heh, tak disangka ini bagus juga. Aku diam saja, tetapi Angga yang membantuku menyerangnya. Ini sungguh menyenangkan,” batin Davita begitu senang.Bagaimana tak senang. Meski jarak di antara mereka sangat jauh, tetapi Davita bisa melihat ekspresi marah Hani. Bagaimana tak marah, Hani akan segera menikah dengan Angga dalam hitungan hari, tetapi Angga malah bermain dengan wanita lain.“Aku minta maaf.” Tiba-tiba Angga minta maaf setelah pagutan bibir mereka terlepas.Tampaknya Angga hilang akal sesaat. Sedikit tertekan dengan perjodohan, dan didesak perasaan kepada Davita, Angga
Davita menoleh ke arah pintu yang baru saja diketuk. Ia menebak si pengetuk adalah Angga. Hingga detik ini Davita semakin heran dan bertanya-tanya, apakah Angga benar-benar sudah menyukainya atau ada alasan lain.Cklek ...Davita tersenyum kepada Angga yang berdiri di depan pintu kamar tamu itu. “Makan malamnya sudah selesai, Kak?”Angga mengangguk. Ia memperhatikan wajah Davita dengan ekspresi ragu. “Tadi aku dipaksa Kakek dan Mama untuk berbincang sebentar dengan wanita itu.”“Wanita itu?” gumam Davita. Ia mendongak sembari terkekeh. “Maksud Kakak Nona Candra yang akan menjadi istri Kakak? Kalau tidak salah namanya Hani Candra ‘kan?”Angga mengembuskan napas pelan. “Terserah namanya siapa. Aku tidak berminat berbincang dengannya. Aku boleh masuk?”Davita tersenyum, lalu mengangguk. “Ini mansion keluarga Naradipta. Aku hanya tamu, masa melarang tuan rumah?” candanya.Angga tersenyum tipis. “Kamu tidak jadi tidur?”“Baru saja terbangun, lalu aku jalan ke balkon untuk menikmati angin m
“Aku ke toilet sebentar.”Davita mengangguk sembari tersenyum kepada Angga. Ia memilih memainkan ponsel sembari menunggu Angga kembali dari toilet. Sesekali ia menyeruput jus apel di atas meja.“Davita.”Suara berat seseorang mengalihkan perhatian Davita dari layar ponsel. Ia mendongak dan menatap malas keberadaan Gino.Davita kembali memainkan layar ponselnya. Ia sungguh malas bertemu dengan Gino saat ini, padahal mood-nya sedang bagus, harus hancur karena melihat wajah Gino.“Sepertinya kita memang berjodoh.” Gino tersenyum, lalu duduk di seberang meja.Davita berdecih mendengar kalimat Gino. “Berjodoh? Cih.”Gino tersenyum angkuh. “Tidak usah terus jual mahal begitu, Davita. Aku sudah akui kesalahanku kemarin, tapi kamu juga tidak punya hak terlalu lama merajuk, lalu jual mahal di depanku. Orang miskin tidak dianjurkan terlalu jual mahal. Tidak usah malu, aku tahu kau pasti ingin kembali bersamaku ‘kan? Hidupmu pasti begitu kesulitan setelah memilih pisah denganku. Aku tahu itu, ka