“Keluarga Naradipta memang sangat kaya.” Davita membatin sembari memperhatikan mansion utama keluarga Naradipta dari dalam mobil.Mansion yang berdiri kokoh di tengah halaman nan luas. Davita tak pernah menyangka dirinya akan berkunjung ke sana, meski hanya karena tujuan pekerjaan. Bisa memasuki mansion utama keluarga Naradipta adalah suatu kebanggaan bagi orang luar, karena tak sembarang orang bisa diizinkan masuk ke sana.“Halamannya sangat luas, tapi memang tidak ada bunga. Saya yakin, kalau halaman mansion ini ditanami bunga, pasti akan semakin indah.” Davita menatap Angga yang duduk di sebelahnya.Angga mengangguk. “Kamu atur saja. Mama sudah menunggu, kamu bisa perlihatkan designnya kepadanya.”Davita mengangguk. “Kalau sekeliling mansion ingin ditanami bunga, saya harus berkeliling dulu untuk memahami tempat, Tuan Muda.”Angga mengangguk. “Nanti saya temani.”Davita tersenyum kikuk. “Tidak harus Anda juga, saya tahu Anda sangat sibuk.” Davita melirik laptop di pangkuan Angga. B
“Ini design awalnya saja, Tante. Nanti malam aku coba mulai design yang lebih jelas.” Davita menyerahkan tablet miliknya kepada Laili.Setelah tadi berkeliling sebentar, Davita sudah mendapatkan beberapa gambaran design, lalu langsung membuatkan di tablet.“Astaga, kamu bilang ini design awal? Tidak heran D’Fiore bisa jadi toko bunga terbaik di negara ini. Pemiliknya sangat berbakat,” puji Laili.Davita tersenyum. “Ha-ha, aku pun masih perlu belajar, Tante.”“Gambaran awal saja sudah bagus, Tante jadi tidak sabar melihat hasil akhirnya.”“Aku usahakan menyelesaikan ilustrasinya secepat mungkin, Tante.”“Sudah selesai?” Suara berat Angga mengalihkan perhatian Davita dan Laili. “Sudah terlalu sore, bersih-bersih saja dulu di sini.”Davita terkejut, ia
“Sebentar!” Davita berlari kecil ke arah pintu kamar yang baru saja diketuk.Cklek ...Davita tersenyum ke arah Angga yang berdiri di depan pintu kamar tamu tempatnya berada. Angga pun terpaku, Davita tengah menggunakan handuk kimono, dan rambutnya dililit handuk kecil sehingga memperlihatkan leher jenjangnya.“Kakak mau antar baju, ya?” tanya Davita.Angga berdeham, lalu mengangguk. “Ini dipesan Mama.”Davita tersenyum, ia mengambil alih paperbag yang disodorkan Angga. “Makasih, Kak. Maaf jadi merepotkan.”“Tidak repot. Aku ingin masuk.”“Hah?” Davita mendongak dengan wajah bingung. “Masuk?”Angga mengangguk, lalu menatap area dalam kamar Davita. Sorot mata itu membuat Davita mengerti. Angga ingin masuk ke dalam kamarnya.
Davita yang tengah terkejut oleh tindakan Angga yang begitu tiba-tiba, tersadar oleh wajah seseorang di bawah sana. Davita melihat Hani tengah mendongak di bawah sana, menatap mereka di lantai 3. Meski ikut syok, setidaknya Davita merasa senang karena Hani melihat aksi Angga bersama wanita lain.“Dari posisiku berdiri, Hani mungkin tidak akan melihat wajahku dengan jelas. Tapi dia pasti langsung mengenali Angga. Heh, tak disangka ini bagus juga. Aku diam saja, tetapi Angga yang membantuku menyerangnya. Ini sungguh menyenangkan,” batin Davita begitu senang.Bagaimana tak senang. Meski jarak di antara mereka sangat jauh, tetapi Davita bisa melihat ekspresi marah Hani. Bagaimana tak marah, Hani akan segera menikah dengan Angga dalam hitungan hari, tetapi Angga malah bermain dengan wanita lain.“Aku minta maaf.” Tiba-tiba Angga minta maaf setelah pagutan bibir mereka terlepas.Tampaknya Angga hilang akal sesaat. Sedikit tertekan dengan perjodohan, dan didesak perasaan kepada Davita, Angga
Davita menoleh ke arah pintu yang baru saja diketuk. Ia menebak si pengetuk adalah Angga. Hingga detik ini Davita semakin heran dan bertanya-tanya, apakah Angga benar-benar sudah menyukainya atau ada alasan lain.Cklek ...Davita tersenyum kepada Angga yang berdiri di depan pintu kamar tamu itu. “Makan malamnya sudah selesai, Kak?”Angga mengangguk. Ia memperhatikan wajah Davita dengan ekspresi ragu. “Tadi aku dipaksa Kakek dan Mama untuk berbincang sebentar dengan wanita itu.”“Wanita itu?” gumam Davita. Ia mendongak sembari terkekeh. “Maksud Kakak Nona Candra yang akan menjadi istri Kakak? Kalau tidak salah namanya Hani Candra ‘kan?”Angga mengembuskan napas pelan. “Terserah namanya siapa. Aku tidak berminat berbincang dengannya. Aku boleh masuk?”Davita tersenyum, lalu mengangguk. “Ini mansion keluarga Naradipta. Aku hanya tamu, masa melarang tuan rumah?” candanya.Angga tersenyum tipis. “Kamu tidak jadi tidur?”“Baru saja terbangun, lalu aku jalan ke balkon untuk menikmati angin m
“Aku ke toilet sebentar.”Davita mengangguk sembari tersenyum kepada Angga. Ia memilih memainkan ponsel sembari menunggu Angga kembali dari toilet. Sesekali ia menyeruput jus apel di atas meja.“Davita.”Suara berat seseorang mengalihkan perhatian Davita dari layar ponsel. Ia mendongak dan menatap malas keberadaan Gino.Davita kembali memainkan layar ponselnya. Ia sungguh malas bertemu dengan Gino saat ini, padahal mood-nya sedang bagus, harus hancur karena melihat wajah Gino.“Sepertinya kita memang berjodoh.” Gino tersenyum, lalu duduk di seberang meja.Davita berdecih mendengar kalimat Gino. “Berjodoh? Cih.”Gino tersenyum angkuh. “Tidak usah terus jual mahal begitu, Davita. Aku sudah akui kesalahanku kemarin, tapi kamu juga tidak punya hak terlalu lama merajuk, lalu jual mahal di depanku. Orang miskin tidak dianjurkan terlalu jual mahal. Tidak usah malu, aku tahu kau pasti ingin kembali bersamaku ‘kan? Hidupmu pasti begitu kesulitan setelah memilih pisah denganku. Aku tahu itu, ka
“Hani! Kau sudah lihat foto yang aku kirimkan?”Hani berdecak. Ia melempar tas kecilnya ke atas ranjang. “Foto apa? Aku sudah tidak berminat berbagi kabar denganmu, Gino. Sudah aku katakan, jangan ganggu aku lagi. Aku akan segera menikah, jadi jangan terus berusaha mendekatiku lagi. Hubungan kita sudah berakhir. Jangan hubungi aku lagi. Aku juga sedang lelah, aku tutup.”“Tunggu!” Suara Gino terdengar keras di seberang sana.Hani kembali berdecak. “Apa lagi? Bukannya dari dulu kau menganggap aku ini hanya cadangan dan pemuas nafsumu? Bagimu aku tidak lebih baik dari pada Davita ‘kan? Bahkan sampai terakhir kita bertemu, kau masih saja berusaha mendekati Davita. Pria brengsek!”“Cih, kau terlalu percaya diri, Hani. Aku menghubungimu bukan karena ingin membujukmu untuk kembali. Memang kenyataannya kau tidak lebih menarik dari pada Davita. Asal kau tahu, aku ungkapkan dengan jujur, Davita jauh lebih cantik dari pada kau. Auranya sebagai wanita pun lebih menarik dan memikat, sehingga semu
Davita menggeliat pelan di atas ranjang. Ia menarik napas dalam, menghirup aroma tak familiar. Perlahan kelopak mata Davita terbuka. Wanita itu mengucek matanya pelan, lalu memperhatikan sekitar kamar.Mata Davita membulat ketika menyadari itu bukan ‘lah kamarnya. Ia langsung terduduk, lalu mengecek baju di tubuhnya. Davita lega ketika dress tadi malam masih terpasang lengkap di tubuhnya.“Astaga, aku di mana? Ini bukan kamarku,” gumam Davita bingung serta cemas.Cklek ...“Kamu sudah bangun.”Davita terdiam melihat Angga masuk ke dalam kamar, lalu mendekat ke arahnya. “K-kak Angga?”Angga menyerahkan handuk kepada Davita. “Tadi malam kamu tertidur di mobil. Karena terlalu lelap, jadi sengaja tidak aku bangunkan. Ini kamarku, sekarang mandi ‘lah.”Davita mematung. Ia meraih handuk yang disodorkan oleh Angga. Davita memperhatikan sekitar dengan wajah penuh pertanyaan.“Tidak usah khawatir, aku tidak ikut tidur di kamar ini. Tadi malam aku tidur di kamar tamu.” Angga langsung menjelaska