Aku menggeleng. Bukan seperti itu kejadiannya. “Tidak! Anda salah. Bukan saya yang telah merebut. Tapi ...”
Ucapanku terhenti saat Gista, sahabatku dari spesialis Anak, datang. Bukan saatnya aku menjelaskan permasalahan yang sebenarnya terjadi. Aku tidak seharusnya menyebarkan kesalahan yang sudah dilakukan Divya saat dia baru saja berpulang. Aku mendekat ke arah Barra. “Maaf, karena saya tidak bisa membantu adik anda lagi,” ujarku sebelum pergi. *** “Kenapa sih kamu diam saja?! Harusnya kamu tuntut Kakak pasien itu!” Sejak tadi, Gista terus mengomel. Kini dia tengah mengkompres pipiku yang sudah mulai terlihat memar. “Mana aku tega, Gis? Mereka baru saja kehilangan anak. Keluarganya masih dalam keadaan berduka.” Gista mendengkus kesal. Pasti akan mulai mengomel lagi. “Sudah tau sedang berduka. Masih sempat memfitnah orang!” “Kita ‘kan gak tau informasi apa yang telah keluarga mereka dapatkan. Mungkin saja keluarga Daffa mengarang cerita lagi. Seolah-olah aku yang melakukan kesalahan.” Aku menghela nafas panjang lalu menghembuskan secara perlahan. Teringat kabar burung yang keluarga Daffa katakan pada semua orang membuat hatiku terasa nyeri, sampai meninggalkan trauma pada diriku. Beberapa hari yang lalu aku bertemu teman sekolah di pusat perbelanjaan, dia mengatakan jika aku, wanita yang tidak bisa bersyukur. ‘Kamu itu termasuk wanita beruntung. Seorang Daffa mau menikah denganmu adalah suatu keajaiban. Kenapa kamu tega selingkuh di belakang Daffa?’. Bagaimana ceritanya aku yang menjadi tersangka? Padahal pihak yang sebenarnya tersakiti adalah aku! Tega sekali keluarga Daffa memutar balikkan fakta itu. “Udah, gak usah ngelamun!” tegur Gista. Lalu membawaku ke dalam pelukannya. Akhirnya aku menangis juga. Air mata yang sudah kutahan sejak tadi mengalir deras di kedua pipiku. “Aku sebenarnya salah apa, ya, Gis?” tanyaku dengan sesegukan. Dia mengelus punggungku. Memberikanku kekuatan dalam menghadapi cobaan. “Kamu gak ada salah! Ini semua takdir yang harus kamu jalani. Perlu kamu ingat Rum. Allah tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan hambanya.” Gista menghela nafas. “Kamu kuat! Kamu pasti bisa melewati semua ini!” ujarnya lagi dengan penuh keyakinan. Gista memberiku waktu untuk menumpahkan semua kesedihan yang aku rasakan. Dia berkata, hari ini aku boleh menangis tapi mulai besok aku harus menjadi Narumi yang selalu bahagia. “Udah, pulang yuk!” “Hmmm, aku cuci muka dulu. Pasti penampilanku saat ini mirip zombie.” “Lebih serem mukamu sih! Udah memar pipinya. Di tambah kantung mata ngalahin panda. Sama satu lagi, mata bengkak udah kayak tagihan kartu kreditku saja!” Aku memukul lengan Gista. Dia selalu blak-blakan saat bicara. Gak ada filter sama sekali. Sudah tau teman lagi berusaha Move On. Masih saja di sindir-sindir! “Jahat banget sih!” “Aku tidak jahat melainkan bicara fakta. Biar kamu cepat sadar dan kembali menjadi Narumi yang penuh dengan senyuman. Penampilanmu saat ini berubah menjadi zombie yang mengerikan!” “Astaga, Gista!” Temanku itu malah tertawa, hingga tanpa sadar aku pun terikut. Untungnya, waktu berjalan begitu cepat. Kini aku dapat menjalani hari-hari dengan tenang. Aku juga dapat kabar jika Daffa sudah ditahan karena tindakan KDRT-nya itu. Tapi, bisa-bisanya dia sempat kabur dan mengejarku untuk meminta maaf dan mengajak menjalin hubungan kembali? Gila! Aku sampai tidak mengenali sosok Daffa yang kukenal selama ini. Aku bahkan menganggapnya begitu sempurna. Ternyata, dia tidak lebih dari seorang pria pecundang! Untung saja, sebagian besar rekan bisnis Papa sudah mengetahui penyebab putusnya hubunganku dengan Daffa. Jadi, nama baikku mulai pulih. "Narumi!" “Halo, Gis. Ada apa?” tanyaku pada Gista yang mendadak menghampiriku dengan wajah lesu. “Kayaknya gak jadi makan siang bareng. Ada pasien menangis dari tadi gak mau berhenti.” Hari ini kami berencana makan siang di cafe baru dekat rumah sakit. “Pasiennya kenapa?” “Demam tinggi. Kamu kalau sudah lapar? Makan siang aja dulu.” Aku hanya bisa tersenyum. Terpaksa aku pergi keluar sendiri karena bosan makan di kantin. Tapi tak lupa, aku membeli beberapa makanan yang akan kuberikan pada sahabatku itu. “Selamat siang, Dok!” Aku tersenyum pada asisten Gista yang menyapaku kala tiba di area anak. “Dokter Gista, ada?” tanyaku sebelum masuk ke dalam ruangan. “Ada, Dok. Masih menangani satu pasien. Dari tadi nangis terus.” “Baiklah, aku masuk dulu ya. Kamu sudah makan siang?” “Belum sempat, Dok.” “Kalau begitu, suster makan siang dulu. Biar aku yang bantuin Dokter Gista.” Senyum cerah seketika terbit di wajah suster. “Beneran, Dokter Rumi mau gantiin saya?” tanyanya memastikan lagi. Aku mengangguk. Kemudian menyuruh suster pergi makan siang. Setelah itu, aku masuk ke dalam ruangan Gista. Saat aku membuka pintu terdengar suara bayi sedang menangis. “Rum ...” panggil Gista saat tau aku datang. “Kenapa? Tumben menangani satu pasien butuh waktu lama?” “Demamnya tinggi sekali. Nangis terus gak mau berhenti. Jadi, susah buat aku periksa!” Aku menaruh kotak makan siang untuk Gista di meja kerjanya. Kemudian masuk ke dalam tirai yang menutup pasien ketika sedang di periksa. Aku tersenyum pada Babysitter yang sedang menggendong pasien Gista. “Kenapa, Sayang?” tanyaku pada bayi mungil bermata indah. “Panas sejak kemarin malam, Dok. Nangis terus. Saya jadi bingung,” terang Babysitter. Kedua tangan kecilnya bergerak-gerak seolah minta untuk ku gendong. Dengan senang hati aku membawanya ke dalam gendonganku. “Panas banget,” ucapku saat mendekap tubuh mungilnya. “Siapa namanya, Sus?” “Zain Virendra Juhar, Dok” “Zain ganteng gak boleh nangis lagi ya.” Seolah tau apa yang aku katakan, Zain langsung berhenti menangis. Aku tersenyum dan mencium pipinya yang kemerahan. “Suster udah makan siang?” Aku bertanya pada suster yang mengasuh Zain. “Belum sempat, Dok.” “Kalau begitu makan siang dulu. Biar aku yang jagain, Zain.” Dengan cepat, suster Zain mengangguk. Kemudian pergi ke kantin rumah sakit untuk makan siang. “Udah berhenti nangisnya?” tanya Gista sehabis dari kamar mandi. “Udah, nih. Kayaknya kecapekan nangis. Sampai lemes gini.” Saat Zain sudah tenang aku mengajaknya duduk di sofa. “Makan siang dulu, Gih. Keburu dingin makanannya.” Gista mengacungkan jempolnya. “Terbaik!” “Zain cuman diantar sama susternya saja, Gis?” “Iya, sejak awal periksa selalu di antar sama susternya.” “Kenapa, Nak?” tanyaku saat tangan Zain menepuk-nepuk dadaku. “Zain haus?” Bayi tampan itu tersenyum. Wajahnya sangat menggemaskan! Aku lantas mengambil susu Zain yang sudah disiapkan suster. Lalu memberikan padanya. “Pelan-pelan, Sayang!” ucapku mengelus dada Zain saat tersedak. Setelah perutnya kenyang Zain tertidur di pangkuanku. Kasihan sekali, dia sampai kehausan karena menangis terlalu lama. “Nurut banget sama kamu,” ucap Gista selesai makan siang. “Umur berapa dia, Gis?” “3 bulan. Tepat hari ini.” “Untuk bayi umur 3 bulan badan Zain termasuk kecil gak sih, Gis?” “Hmmm, padahal aku sudah kasih vitamin. Kata susternya, Zain di rumah nangis terus.” “Kok bisa ya? Kayaknya dia anak penurut. Buktinya cuman dipangku langsung ketiduran.” “Hanya denganmu. Sama aku dan Suster gak mau berhenti menangis.” Aku mengangguk. Tak lama, aku dan Gista membahas rencana liburan akhir tahun sambil menunggu suter Zain makan siang. Ya, kami berencana ke luar negeri karena memiliki jatah libur dua minggu. Namun di tengah perbincangan kami pintu tiba-tiba terbuka. Aku terkejut saat melihat seseorang yang baru masuk ke dalam ruang praktek Gista. “Selamat siang. Maaf mengganggu.” Barra---pria yang beberapa bulan lalu menampar dan memukulku. Wajahnya terlihat panik sampai keningnya penuh keringat! “Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Gista akhirnya bertanya. “Saya mau bertanya. Apa ada pasien bernama Zain?” Aku dan Gista saling pandang. Kenapa dia kenal dengan Zain? Oh, tidak! Jangan-jangan Zain adalah anak almarhum Divya. “Zain?” tanya Gista yang sama syoknya denganku. “Iya, Zain Virendra Juhar. Anak saya. Apa dia dan susternya sudah ke sini?”Gista menunjuk Zain sebagai jawaban. Terpaksa aku memiringkan tubuh kecil Zain agar pria itu dapat melihat wajah anaknya. Barra menghembuskan nafas lega. Wajah panik sekaligus khawatir kini sudah tidak terlihat lagi. “Suster Zain kemana, Dok?” tanyanya dengan mendekat ke arahku. “Suster Zain, saya suruh pergi makan siang, Pak. Mumpung Zainnya tenang digendong sama Dokter Narumi,” jawab Gista. “Nama saya Barra Dayyan jauhar. Panggil saja Barra.” Dia mengulurkan tangannya pada Gista. “Saya, Gista. Dokter anak yang menangani Zain.” Barra melihat ke arahku. “Kalau ini Dokter Narumi. Dia Dokter kandungan. Kebetulan lagi main ke ruangan saya. Sekalian bantuin jaga Zain,” terang sahabatku. Barra berjongkok di hadapanku. Dia mengelus pipi Zain lalu menciumnya. “Terima kasih sudah mau menjaga Zain,” ucapnya lirih. Aku mengangguk. Mencoba menetralkan degup jantung yang berdetak sangat cepat. “Sama-sama, Pak.” “Boleh, kita bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin saya sampaika
Aku masih menatap layar ponselku yang telah meredup. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sudah larut begini Barra meminta untuk melakukan panggilan video? “Kenapa, Sayang? Gelisah terus sejak tadi?” tanya Mama saat aku tak kunjung tidur. Aku ragu mengatakan pada Mama soal pesan yang dikirim oleh Barra beberapa menit yang lalu. "Ma, Rumi boleh angkat telepon ngak?” ucapku dengan sangat pelan. “Astaga, Nak! mau angkat telepon saja udah kayak mau akad nikah?” Aku mendengkus ke arah Mama. Kenapa sih semuanya harus di sangkut pautkan dengan pernikahan? “Rumi takut ganggu tidurnya Mama.” “Memangnya dengan kamu bolak-balik krasak-krusuk sejak tadi gak gangguin Mama?” Aku nyengir, ternyata kegalauanku mengganggu beliau. “Kalau begitu, Rumi angkat telepon dulu ya?” “Mau kemana?” Mama menahan lenganku saat akan meninggalkan kamar. “Mau angkat telepon doang, Ma. Katanya tadi boleh?” “Iya, memang. Tapi kenapa angkat telepon pake keluar segala? Di sini saja!” Aku berfikir sejena
“Rumiiiiiiiiiiiii,” panggil Gista setelah membuka pintu ruanganku. “Hmmm,” gumamku tanpa melihatnya. “Sudah mau pulang?” “Mau sekalian bareng ngak?” tawar Gista. Aku menggeleng. “Duluan saja, masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan dulu.” “Dijemput Kak Ravi?” “Kayaknya sih iya. Tadi dia kirim pesan mau sekalian jemput pas pulang kantor.” Bukannya pulang Gista malah merebahkan dirinya di sofa. “Gak jadi pulang?” tanyaku heran. “Malas di rumah sendirian!” Aku menjawab dengan anggukan kemudian melanjutkan kembali sisa pekerjaan yang tinggal sedikit. Papa dan Kak Ravi sampai Jakarta sekitar jam 7 pagi. Aku tidak ikut menjemput karena harus berangkat ke rumah sakit sebelum subuh. Tadi pagi Papa langsung pulang ke rumah. Beda dengan Kak Ravi, Manusia pecinta bekerja itu langsung menuju ke kantor. Semalam Zain tidak bangun sama sekali. Dia tidur dengan sangat pulas di antara kami. Aku mengira Mama akan membawa Zain tidur di kamarnya. Ternyata dugaanku salah, Mama me
Selesai mendapat sidang dadakan dari Papa dan Kak Ravi, aku langsung menyusul Mama dan Gista di ruang tamu. Tadi kedua bodyguard ku sempat marah saat aku menceritakan Barra pernah menamparku. Aku juga menjelaskan pada mereka jika Barra sudah meminta maaf. Dia bisa berbuat kasar seperti itu karena salah menerima informasi dari orang kepercayaannya. Tetap saja Papa dan Kak Ravi belum bisa menerimanya. Mereka berkata akan memberi pelajaran pada Barra saat bertemu nanti. “Lama banget sih, Rum. Mandi apa tidur di kamar mandi?” “Namanya juga anak gadis harus bersih dong mandinya. Makanya agak lama.” Gista mencebik karena dia adalah manusia penganut mandi kilat. “Mazakkkkk?” Aku cuek saja, lagi malas melayaninya. “Adek ...” aku memanggil Zain yang sedang asik menonton TV. Dia melihat kearahku langsung saja mengulurkan kedua tangannya. “Kangen sama Mami ya?” ucap Mama yang membuat bola mata Gista hampir keluar. “Mama!” tegurku. Sementara tersangkanya memasang wajah polos. “Kenapa? Ad
Kalimat yang dikatakan Gista sukses membuatku tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Aku khawatir dengan keadaan Barra. Apa benar yang dikatakan Gista? Kak Ravi bisa khilaf dan berakhir menyakiti Barra lagi. “Rum, bangun!” suara Gista samar-samar terdengar di telingaku. “Narumi, bangun, bangun, bangun!” Kali ini bukan hanya suara namun tubuhku juga terasa bergerak-gerak. Apa sedang ada gempa? “Gempa …” aku bangun dengan tergesa dan melompat dari atas ranjang. “Hei!” panggil Gista yang masih duduk di tepi ranjang. Aku yang awalnya ingin berlari keluar kembali lagi merebahkan diri di kasur. “Kamu ngapain sih, Gis? Heboh banget bangunin orang. Aku kira ada gempa,” keluhku padanya. “Aku udah bangunin kamu pakai nada halus sampai ke nada tinggi. Tapi kamu tumben kebo banget. Biasanya juga gampang di bangunin?” “Semalam aku gak bisa tidur. Kayaknya jam 2 pagi baru bisa tidur deh. Makanya ngantuk banget, Gis.” Gista menarik tanganku saat melihatku ingin tidur lagi. "Sholat subuh dul
“Semuanya sudah dimasukkan ke dalam mobil, Pak?” tanyaku pada supir Papa yang hari ini aku mintai tolong untuk mengantar ke panti asuhan. “Sudah, Non. Bekal makanan yang disiapkan sama Nyonya juga sudah saya masukkan semuanya.” Aku mengangguk. “Terima kasih. Tunggu sebentar ya, Pak. Saya masuk ke dalam mau ambil tas sekalian panggil Gista.” Setelah sarapan selesai, Gista pamit kembali ke kamar untuk meeting virtual dengan kliennya. Ada beberapa bagian yang harus dirubah pada baju pengantin yang sedang dia kerjakan. Sedangkan Kak Ravi dan Barra sudah berangkat ke kantor. Mereka berdua ternyata sama saja hobby gila bekerja. Kalau Mama dan Papa, beliau berdua sedang membawa Zain pergi jalan-jalan ke taman komplek sebelum berangkat kondangan nanti siang. “Gis ...” panggil ku. Ternyata dia sudah selesai bersiap. “Yuk,” ajaknya dengan mengambil tasnya. “Kamu sudah mandi?” Dia menghentikan langkahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. “Cium, Nih!” perintahnya agar aku mencium
Gara-gara ulah dari Kak Ravi akhirnya aku terjebak dalam situasi canggung bersama Barra. Sudah hampir 15 menit perjalanan namun kami hanya diam saja. tidak ada yang berusaha untuk memulai percakapan. Terlalu fokus dengan pemandangan diluar jendela. Aku sampai tidak menyadari jika Barra sedang memandang ke arahku. “Rum ...” panggilnya, membuatku tersentak kaget. “Ah, iya. Ada apa Pak Barra?” jawabku dengan sedikit gagu. Dia tersenyum. Kenapa harus semanis itu? Gumamku dalam hati saat aku melihat ke arahnya. “Kenapa panggilnya Bapak? Panggil Barra saja. Kata Kak Ravi kita ini seumuran.” Aku mengangguk. “Umur kamu berapa?” “Tahun ini 28.” “Beda setahun.” “Masih tergolong seumuran kalau hanya beda satu tahun.” “Hmmm,” jawabku dengan membuang muka ke arah samping. Senyuman Barra membuat ketentraman jantungku terganggu. “Ngelamunin apa? Asik banget lihatin luar jendela terus.” “Ngak lihat apa-apa, bengong saja. Lagian bingung mau apa?” jawabku dengan sangat jujur membuat Barra te
Aku sengaja meminta semua orang untuk berkumpul di ruang keluarga. Tujuanku adalah ingin meminta penjelasan ucapan Papa. Aku tidak bisa menerima jika Mama hamil lagi! Bukannya tidak suka memiliki adik, namun di umur Mama yang sekarang terlalu beresiko tinggi untuk kembali hamil. "Mau apa sih Rum?" Tanya Kak Ravi yang sibuk dengan ipad-nya. Awalnya dia tidak mau diajak berkumpul. Katanya harus segera menyelesaikan sisa pekerjaannya. Setelah aku paksa dengan bumbu rayuan dan sedikit ancaman akhirnya Kakak mau keluar dari ruang kerjanya. "Rumi mau minta penjelasan sama, Mama," ucapku dengan melihat ke arah Mama. "Penjelasan apa?" tanya Mama dengan wajah bingung. "Apa mama hamil?" "APA?" teriak Mama dan Kak Ravi bersamaan. Sementara Papa, beliau tetap santai sembari bermain game di ponselnya. "Ngawur saja kamu!" Seru Kak Ravi dengan menjentikkan jari di keningku. "Mama jawab dong, Ma. Apa benar yang dikatakan Papa?" "Mama tidak mungkin hamil lagi. Tau sendiri 'kan umur Mama s