Share

Bab 4.

Penulis: Syamwiek
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-02 18:53:59

Aku masih menatap layar ponselku yang telah meredup. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sudah larut begini Barra meminta untuk melakukan panggilan video?

“Kenapa, Sayang? Gelisah terus sejak tadi?” tanya Mama saat aku tak kunjung tidur.

Aku ragu mengatakan pada Mama soal pesan yang dikirim oleh Barra beberapa menit yang lalu. "Ma, Rumi boleh angkat telepon ngak?” ucapku dengan sangat pelan.

“Astaga, Nak! mau angkat telepon saja udah kayak mau akad nikah?”

Aku mendengkus ke arah Mama. Kenapa sih semuanya harus di sangkut pautkan dengan pernikahan? “Rumi takut ganggu tidurnya Mama.”

“Memangnya dengan kamu bolak-balik krasak-krusuk sejak tadi gak gangguin Mama?”

Aku nyengir, ternyata kegalauanku mengganggu beliau. “Kalau begitu, Rumi angkat telepon dulu ya?”

“Mau kemana?” Mama menahan lenganku saat akan meninggalkan kamar.

“Mau angkat telepon doang, Ma. Katanya tadi boleh?”

“Iya, memang. Tapi kenapa angkat telepon pake keluar segala? Di sini saja!”

Aku berfikir sejenak setelah mengiyakan perintah Mama. Setelah itu, aku membalas pesan Barra, tak lama kemudian ponselku berdering.

“Halo, maaf mengganggu waktu istirahat Dokter Rumi,” ucap Barra saat aku sudah mengangkat telepon.

“Iya, ngak papa. Ada apa ya?”

“Zain sejak tadi nangis terus, kata suster tadi siang dia mau diam waktu sama Dokter. Apa sekarang saya bisa bertemu?”

Mama dengan rasa penasarannya sudah di ubun-ubun, akhirnya ikut bergabung dalam panggilan video ini.

Barra menyapa Mama dengan sopan dan meminta maaf karena sudah mengganggu waktu istirahat kami.

“Sekarang Zain-nya di mana, Nak?” tanya Mama saat mendengar suara tangisan bayi.

Barra mengarahkan kamera pada Zain yang sedang menangis dalam gendongan suster. Aku saling pandang dengan Mama seolah berkata ‘kasihan sekali, anak sekecil itu pasti butuh dekap hangat seorang ibu.’

“Bisa antar Zain kemari, Nak? Biar Rumi yang menenangkannya. Tante ngak tega lihat dia nangis kayak gitu,” ujar Mama dengan wajah sedihnya. Mama ini sangat sensitif sekali hatinya.

Barra mengangguk cepat dan mengiyakan perintah Mama. Dia bergegas berangkat ke sini setelah aku mengirim alamat rumahku.

“Kok Mama malah nyuruh Barra datang ke sini sih?”

Mama mengelap matanya yang sudah mengembun. “Mama sedih, gak tega lihat Zain kayak gitu.”“Terus nanti gimana?”

“Gimana apanya?”

“Ya, gimana kalau Zain sudah sampai sini?”

“Mama bakal timang-timang lah!” jawab Mama dengan santai. Beliau pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi sebelum Barra dan Zain datang.

Mama juga menyuruh ku melakukan hal yang sama. Oh tidak! Padahal aku sudah memakai skincare malam! Kenapa pula harus cuci muka dan gosok gigi lagi?

Bibik mengetuk pintu kamar, mengatakan jika ada tamu yang datang ingin bertemu denganku. Sudah bisa dipastikan itu Barra.

“Ma ...” panggilku pada Mama yang masih di dalam kamar mandi. Tiba-tiba saja perut beliau mules katanya.

“Iya, bentar!”

“Rumi ke bawah dulu ya? Kayaknya Barra sudah datang.”

“Iya, nanti Mama nyusul,” ucap beliau dengan berteriak agar aku dapat mendengarnya.

Aku langsung turun ke bawah. Ketika sampai di ujung tangga sudah terdengar tangisan bayi. Aku mempercepat langkah agar segera bertemu dengan Zain.

“Sayang, kenapa?”

Aku mengambilnya dari gendongan suster. Hatiku sangat sakit ketika melihat wajah Zain yang sangat merah. Pasti karena terlalu lama menangis.

“Anak pintar. Kenapa, Nak? Ada yang sakit?” tanyaku pada Zain. Meskipun dia belum bisa mengerti apa yag aku katakan. Aku tetap berusaha berinteraksi dengannya. “Sudah ya nangisnya.” Aku mengusap air matanggunakan tisu yang ada di meja. Dan, alangkah takjubnya aku ketika Zain berhenti menangis. Padahal belum aku apa-apakan. Aku mendaratkan bokong di sofa single sebelah tempat duduk Barra. Sejak tadi dia hanya diam memperhatikanku ketika mengajak bicara Zain.

“Susunya mana sus?”

Dengan cekatannya suster memberikan botol susu Zain padaku.

“Loh ada tamu?” ucap Mama.

Barra berdiri menyalami Mama. “Barra, Tante. Maaf sudah larut malam datang bertamu.”

“Iya gak papa,” jawab Mama dengan wajah penuh antusias. Kedua matanya berbinar saat melihat bayi mungil dipangkuanku.

“Ganteng banget!” seru Mama dengan menjawil pipi Zain.

Zain membalas dengan senyuman, matanya mengerjap lucu. Membuat aku dan Mama terkekeh pelan. “Eh, senyum-senyum si adek,” ucap Mama dengan menggenggam tangan mungil Zain.

“Sejak kapan nangisnya ini, Nak?” tanya Mama pada Barra.

“Sejak sore tadi, Tan. Setelah bangun tidur Zain menangis sampai sekarang baru berhenti,” jawab Barra dengan wajah lelahnya.

Mama menghela nafas. “Jangan di biasakan ya! Badannya ngak anget tapi kenapa nangis terus?” kali ini suster Zain yang menjadi sasaran Mama.

Suster Zain menggeleng dengan wajah tak kalah lelahnya. “Saya juga tidak tau, Bu. Sejak Zain umur sebulan sudah sering menangis. Tapi baru beberapa hari ini kalau nangis susah berhenti,” terang suster pada Mama.

Karena asik menyimak obrolan Mama dengan Barra dan Suster. Aku tidak sadar Zain telah terlelap. “Eh, bobok?”

Semua orang melihat ke arahku. “Gampang begini boboknya?” tanya Mama sambil mengelus pipi Zain.

“Terus ini gimana?” aku melihat ke arah Mama.

Dengan mengulum senyum Mama menatap Barra. “Nak Barra, bagaimana kalau malam ini Zain menginap di sini?”

“Ma ...” tegurku lirih. Namun, diabaikan begitu saja oleh Mama.

Sedangkan Barra masih terlihat bimbang dengan permintaan Mama. “Apa tidak merepotkan Tante dan Dokter Rumi?”

Mama menggeleng kemudian menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja tidak!” Mama melihatku. “Benarkan, Sayang?” tanyanya dengan mengedipkan sebelah matanya. Dasar Mama!

“Iya, ngak papa. Takutnya nanti kalau Zain tiba-tiba bangun nangis lagi,” jawabku pasrah.

Dengan senyum cerah-ceria Mama mengambil Zain dari pangkuanku. Beliau mengatakan jika akan membawa Zain ke kamar. Padahal Barra saja belum mengiyakan permintaannya.

“Ma ...” Tegur ku lagi pada Mama.

“Bolehkan, Nak Barra?”

Dengan senyum kikuk Barra mengangguk. “Boleh, Tante. Maaf saya merepotkan lagi.”

“Gak repot kok,” jawab Mama cepat. “Kalau begitu, saya bawa Zain naik ke atas ya?”

Setelah kepergian Mama dan Zain, entah kenapa suasana menjadi sangat canggung. Bingung mau bicara apa.

“Anda dan Suster mau menginap juga?” tanyaku langsung tanpa basa-basi.

“Oh, sebaiknya saya pulang saja. Biar suster yang menginap.”

Aku mengangguk. “Baiklah, kalau begitu saya pamit sebentar mau minta tolong bibik buat siapin kamar tamu.”

“Dok ...” panggil Barra sebelum aku pergi ke belakang.

“Iya?”

“Saya pamit dulu ini sudah sangat malam. Dokter Rumi juga butuh istirahat, saya titip Zain ya. Nanti semua keperluannya langsung minta sama suster.”

“Iya, mari saya antar ke depan,” ucapku dengan sopan. “Oh, iya Sus. Tunggu sebentar ya. Nanti saya tunjukkan kamar buat sus.” Suster mengangguk dan tersenyum.

Aku mengantar Barra sampai ke teras rumah. Aku memanggil satpam agar membantu membuka gerbang.

“Saya pamit dulu, Dok. Sekali lagi saya minta maaf sudah merepotkan Dokter dan Tante.”

“Iya, ngak papa. Mama juga antusias banget tadi ‘kan?”

Barra tersenyum. Entah kenapa senyumannya terlihat sangat manis. Apakah efek mengantuk membuat penglihatanku berkurang?

“Udah pengen Cucu. Pasti senang karena dapat kiriman Cucu”

“Hah?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (6)
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
si mama ihh kode keras kayaknya zain bakal jadi mak comblang secara tak langsung ini
goodnovel comment avatar
Ika Dewi Fatma J
zain masih kecil udah bakat Jadi Mak comblang kayaknya ya wkwkwk
goodnovel comment avatar
Dilla dilawan
eh siapa itu yg ngomong udah pengen cucu? bara yah??? ih si bara mulai kode yah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 5.

    “Rumiiiiiiiiiiiii,” panggil Gista setelah membuka pintu ruanganku. “Hmmm,” gumamku tanpa melihatnya. “Sudah mau pulang?” “Mau sekalian bareng ngak?” tawar Gista. Aku menggeleng. “Duluan saja, masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan dulu.” “Dijemput Kak Ravi?” “Kayaknya sih iya. Tadi dia kirim pesan mau sekalian jemput pas pulang kantor.” Bukannya pulang Gista malah merebahkan dirinya di sofa. “Gak jadi pulang?” tanyaku heran. “Malas di rumah sendirian!” Aku menjawab dengan anggukan kemudian melanjutkan kembali sisa pekerjaan yang tinggal sedikit. Papa dan Kak Ravi sampai Jakarta sekitar jam 7 pagi. Aku tidak ikut menjemput karena harus berangkat ke rumah sakit sebelum subuh. Tadi pagi Papa langsung pulang ke rumah. Beda dengan Kak Ravi, Manusia pecinta bekerja itu langsung menuju ke kantor. Semalam Zain tidak bangun sama sekali. Dia tidur dengan sangat pulas di antara kami. Aku mengira Mama akan membawa Zain tidur di kamarnya. Ternyata dugaanku salah, Mama me

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 6.

    Selesai mendapat sidang dadakan dari Papa dan Kak Ravi, aku langsung menyusul Mama dan Gista di ruang tamu. Tadi kedua bodyguard ku sempat marah saat aku menceritakan Barra pernah menamparku. Aku juga menjelaskan pada mereka jika Barra sudah meminta maaf. Dia bisa berbuat kasar seperti itu karena salah menerima informasi dari orang kepercayaannya. Tetap saja Papa dan Kak Ravi belum bisa menerimanya. Mereka berkata akan memberi pelajaran pada Barra saat bertemu nanti. “Lama banget sih, Rum. Mandi apa tidur di kamar mandi?” “Namanya juga anak gadis harus bersih dong mandinya. Makanya agak lama.” Gista mencebik karena dia adalah manusia penganut mandi kilat. “Mazakkkkk?” Aku cuek saja, lagi malas melayaninya. “Adek ...” aku memanggil Zain yang sedang asik menonton TV. Dia melihat kearahku langsung saja mengulurkan kedua tangannya. “Kangen sama Mami ya?” ucap Mama yang membuat bola mata Gista hampir keluar. “Mama!” tegurku. Sementara tersangkanya memasang wajah polos. “Kenapa? Ad

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-19
  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 7.

    Kalimat yang dikatakan Gista sukses membuatku tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Aku khawatir dengan keadaan Barra. Apa benar yang dikatakan Gista? Kak Ravi bisa khilaf dan berakhir menyakiti Barra lagi. “Rum, bangun!” suara Gista samar-samar terdengar di telingaku. “Narumi, bangun, bangun, bangun!” Kali ini bukan hanya suara namun tubuhku juga terasa bergerak-gerak. Apa sedang ada gempa? “Gempa …” aku bangun dengan tergesa dan melompat dari atas ranjang. “Hei!” panggil Gista yang masih duduk di tepi ranjang. Aku yang awalnya ingin berlari keluar kembali lagi merebahkan diri di kasur. “Kamu ngapain sih, Gis? Heboh banget bangunin orang. Aku kira ada gempa,” keluhku padanya. “Aku udah bangunin kamu pakai nada halus sampai ke nada tinggi. Tapi kamu tumben kebo banget. Biasanya juga gampang di bangunin?” “Semalam aku gak bisa tidur. Kayaknya jam 2 pagi baru bisa tidur deh. Makanya ngantuk banget, Gis.” Gista menarik tanganku saat melihatku ingin tidur lagi. "Sholat subuh dul

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-19
  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 8.

    “Semuanya sudah dimasukkan ke dalam mobil, Pak?” tanyaku pada supir Papa yang hari ini aku mintai tolong untuk mengantar ke panti asuhan. “Sudah, Non. Bekal makanan yang disiapkan sama Nyonya juga sudah saya masukkan semuanya.” Aku mengangguk. “Terima kasih. Tunggu sebentar ya, Pak. Saya masuk ke dalam mau ambil tas sekalian panggil Gista.” Setelah sarapan selesai, Gista pamit kembali ke kamar untuk meeting virtual dengan kliennya. Ada beberapa bagian yang harus dirubah pada baju pengantin yang sedang dia kerjakan. Sedangkan Kak Ravi dan Barra sudah berangkat ke kantor. Mereka berdua ternyata sama saja hobby gila bekerja. Kalau Mama dan Papa, beliau berdua sedang membawa Zain pergi jalan-jalan ke taman komplek sebelum berangkat kondangan nanti siang. “Gis ...” panggil ku. Ternyata dia sudah selesai bersiap. “Yuk,” ajaknya dengan mengambil tasnya. “Kamu sudah mandi?” Dia menghentikan langkahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. “Cium, Nih!” perintahnya agar aku mencium

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-19
  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 9.

    Gara-gara ulah dari Kak Ravi akhirnya aku terjebak dalam situasi canggung bersama Barra. Sudah hampir 15 menit perjalanan namun kami hanya diam saja. tidak ada yang berusaha untuk memulai percakapan. Terlalu fokus dengan pemandangan diluar jendela. Aku sampai tidak menyadari jika Barra sedang memandang ke arahku. “Rum ...” panggilnya, membuatku tersentak kaget. “Ah, iya. Ada apa Pak Barra?” jawabku dengan sedikit gagu. Dia tersenyum. Kenapa harus semanis itu? Gumamku dalam hati saat aku melihat ke arahnya. “Kenapa panggilnya Bapak? Panggil Barra saja. Kata Kak Ravi kita ini seumuran.” Aku mengangguk. “Umur kamu berapa?” “Tahun ini 28.” “Beda setahun.” “Masih tergolong seumuran kalau hanya beda satu tahun.” “Hmmm,” jawabku dengan membuang muka ke arah samping. Senyuman Barra membuat ketentraman jantungku terganggu. “Ngelamunin apa? Asik banget lihatin luar jendela terus.” “Ngak lihat apa-apa, bengong saja. Lagian bingung mau apa?” jawabku dengan sangat jujur membuat Barra te

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-21
  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 10.

    Aku sengaja meminta semua orang untuk berkumpul di ruang keluarga. Tujuanku adalah ingin meminta penjelasan ucapan Papa. Aku tidak bisa menerima jika Mama hamil lagi! Bukannya tidak suka memiliki adik, namun di umur Mama yang sekarang terlalu beresiko tinggi untuk kembali hamil. "Mau apa sih Rum?" Tanya Kak Ravi yang sibuk dengan ipad-nya. Awalnya dia tidak mau diajak berkumpul. Katanya harus segera menyelesaikan sisa pekerjaannya. Setelah aku paksa dengan bumbu rayuan dan sedikit ancaman akhirnya Kakak mau keluar dari ruang kerjanya. "Rumi mau minta penjelasan sama, Mama," ucapku dengan melihat ke arah Mama. "Penjelasan apa?" tanya Mama dengan wajah bingung. "Apa mama hamil?" "APA?" teriak Mama dan Kak Ravi bersamaan. Sementara Papa, beliau tetap santai sembari bermain game di ponselnya. "Ngawur saja kamu!" Seru Kak Ravi dengan menjentikkan jari di keningku. "Mama jawab dong, Ma. Apa benar yang dikatakan Papa?" "Mama tidak mungkin hamil lagi. Tau sendiri 'kan umur Mama s

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-22
  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 11

    Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Mama. Dengan mudahnya beliau memintaku menjadi ibu angkat Zain.Apa Mama lupa kalau anaknya yang cantik ini masih single dan belum pernah menikah? Bagaimana kata orang-orang nanti? Dikira aku punya anak di luar pernikahan.Saran Papa tadi tak kalah menyebalkan. Beliau memintaku untuk menikah dengan Barra. Dengan begitu otomatis Zain akan menjadi anakku."Rum ...""Hmmm.""Gak makan?" Kak Ravi masuk ke dalam kamarku."Masih kenyang tadi abis nongkrong sama Gista. Kakak tumben udah pulang?""Di telpon Mama tadi," jawabnya setelah ikut berbaring di ranjang.Aku mendengkus kesal. Pasti Mama sudah cerita juga pada Kak Ravi soal permintaan Barra. "Mama bilang apa?""Sama seperti yang kamu tau.""Menurut Kakak, Rumi harus gimana?""Tolak saja!"Senyum cerah terbit di wajahku, Kak Ravi memang yang terbaik. Aku mendekat lalu memeluknya erat. "Car

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-23
  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 12

    Aku mencebikkan bibir ke arah Barra. Apa maksudnya tadi berbicara seperti itu? Apa dia kira hubungan suami-istri itu bisa dibuat bahan bercanda?Begitu gampangnya dia mengatakan pada orang yang tidak dikenal bahwa aku ini istrinya. Bagaimana jika ada orang yang mengenal kami kebetulan ada disana? Bisa-bisa mereka salah paham dengan ucapan Barra tadi."Cemberut terus dari tadi, maafin aku ya.""Jangan suka asal ngomong! Kalau ada yang dengar bisa jadi salah paham nanti," protes ku agar dia tidak mengulangi hal semacam itu lagi."Iya ini yang terakhir. Ngak akan aku ulangi lagi!""Hmmm.""Oh iya, katanya mau ajak aku bicara. Mau bicara soal apa?"Sebelum bicara aku membetulkan posisi Zain yang sudah tidur nyenyak dipangkuanku lebih dulu. Setelah itu, menyiapkan kalimat terbaik untuk memulai obrolan dengan Barra. Agar dia dapat mengerti dengan jelas maksudku dan tidak tersinggung dengan kalimat yang akan aku sampaikan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-24

Bab terbaru

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Ekstra Part 1

    Ulang tahun Zain yang ke empat dirayakan sangat meriah karena dia sudah mulai sekolah. Dia tumbuh menjadi anak yang tampan, pintar dan penyayang. Postur tubuhnya lebih tinggi dan besar dari anak seusianya— hingga banyak yang mengira dia sudah berusia 6 tahun.Di sekolah banyak sekali teman perempuan yang sengaja mendekatinya. Ada yang membawakannya bekal, bunga segar dan mainan. Namun, Zain tak mau menerimanya. Menolak dengan nada halus dan alasannya Maminya melarangnya menerima hadiah jika bukan hari ulang tahunnya.Zain itu ibarat calon pria soft spoken. Tak hanya teman kelasnya— anak perempuan yang tinggal di komplek perumahan saja sering datang untuk mengungkapkan cinta. Padahal mereka sudah duduk dibangku SD.Sungguh pesona Mas Barra menurun pada putranya. Tidak hanya wajah yang mirip tapi sifat dan kelakuan pun sama persis. “Sayang, kok kelihatan makin pucat ya,” ujar Mas Barra setelah selesai memakai pakaian. Kami sedang bersiap untuk menyambut para tamu undangan. “Kayaknya b

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 55

    Zain senang sekali bermain bersama anak-anak seusianya. Meski keringat telah membasahi sekujur tubuhnya— dia tidak mau berhenti barang sejenak.Untungnya aku sudah menyuapinya lebih dulu. Jadi aku bisa tenang saat dia aktif bermain di Playground.Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Selama aku di sini cuaca memang kurang bersahabat. Pagi cerah, siang panas, pas sore hari hujan turun beserta angin.Mas Barra mencari cafe yang sangat nyaman. Meski guntur terdengar bersahutan tak membuat Zain ketakutan. Dia tetap asik bermain dengan teman-teman barunya."Kalau hujannya tidak reda Pak supir akan menjemput kita," ujar Mas Barra ketika aku sedang memperhatikan Zain."Kayaknya sih gak bakal reda sampai malam. Langitnya tambah gelap. Entah ini karena sudah petang atau memang mendung," balasku. "Keduanya benar. Sudah petang dan langit sedang mendung. Nanti malam bakal tidur nyenyak. Karena cuaca sangat dingin," lanjut Mas Barra.Ngomong-ngomong soal cuaca dingin mengingatkanku pada kelakuan Si

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 54

    Seperti yang aku katakan pada Kevin saat sarapan tadi— seharian ini aku menghabiskan waktu dengan suami dan anakku di dalam kamar hotel. Aku dan Mas Barra ingin quality time dengan anak ganteng karena sering meninggalkannya bekerja. Meski hanya bermain di dalam ruangan— Zain terlihat sangat bahagia sekali. Dia bahkan tak mau tidur siang karena takut ditinggal Papinya. Kebiasaan Mas Barra jika anaknya sedang mode manja. Padahal aku sudah menjelaskan pada Zain jika Papi dan Maminya tidak akan pergi. Kami akan ikut tidur dan memeluknya sepanjang waktu.Sayangnya Zain sudah tidak percaya. Karena aku dan Mas Barra sering membohonginya. Berkata jika akan menemaninya tidur nyatanya meninggalkannya untuk bekerja.Akhirnya, Mas Barra menggendongnya. Menimang-nimang sambil membacakan sebuah dongeng. Pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Rasanya aku ingin memperpanjang liburan supaya memiliki waktu berkualitas dengan keluarga kecilku. “Aku tinggal berkemas gapapa ‘kan, Mas?”“Buat apa b

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 53

    Aku terbangun dengan tubuh yang terasa remuk redam dan keadaan tempat tidur berantakan seperti kapal pecah. Jika mengingat kejadian semalam rasanya aku tak kuasa menampakkan wajahku di depan Mas Barra. Pasalnya setelah sesi percintaan kami yang pertama— tanpa sungkan aku memintanya lagi dan lagi. Semua itu aku lakukan sebagai bentuk permintaan maafku karena telah membuatnya kesal. Sebenarnya Mas Barra yang meminta lebih dulu dan aku langsung mengiyakan. Dan, selanjutnya aku lah yang menggodanya hingga malam panas selesai pukul 3 dini hari.“Sayang, sudah bangun?”Aku menoleh ke arah Mas Barra yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia hanya memakai handuk sebatas pinggang dan ada handuk kecil pada lehernya. Melihat dada bidangnya dan perutnya yang kotak-kotak membuat otakku traveling— teringat kejadian panas semalam. Aku pun langsung membuang wajah ke arah samping. Mencoba menetralkan degup jantung yang menggila— sambil menepuk-nepuk pipiku yang terasa panas. “Sayang, kenapa?”

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 52

    Setelah ulah Kak Ravi yang membuat suamiku cemburu hingga mendiamkanku— kini hubunganku dengan Mas Barra tak kunjung membaik. Dia enggan dihubungi dan semua pesan yang aku kirim hanya dibaca tanpa berniat membalas. Seminggu sudah aku berada di Malang. Liburanku sangat membosankan karena aku tidak diperkenankan keluar dari kamar. Hanya Zain yang diajak jalan-jalan ketika mulai merengek karena bosan. Sementara aku? Aku tetap terkurung di kamar yang fasilitasnya sangat lengkap. Sebenarnya tak mengapa aku terkurung di dalam kamar. Asalkan Mas Barra tidak mendiamkanku dan mengabaikanku seperti ini. Sayangnya— dia sudah terlanjur ngambek dan menolak dihubungi. Malam ini, Kak Ravi datang dengan pakaian santai. Dia memberiku kotak yang ukurannya cukup besar. Saat aku membukanya isinya dress, sepatu, tas dan perhiasan. Aku tebak barang ini pasti kiriman dari Mas Barra. “Aku harus pulang malam ini juga ya, Kak?” Sepertinya tebakanku benar. Kak Ravi memintaku kembali ke Jakart

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 51

    Tiga hari sudah aku berada di Malang— semuanya berjalan dengan lancar. Mulai dari komunikasiku dengan Mas Barra, Zain sangat antusias setiap aku ajak mengunjungi tempat wisata dan yang paling penting pekerjaan Kak Ravi selesai lebih cepat dari perkiraan.Ada satu hal yang tak aku duga— yaitu pertemuanku dengan teman sewaktu kuliah. Dia adalah Kevin. Selain teman kuliah, Kevin anak dari sahabat Papa. Hubungan keluarga kami sangat dekat. Karena Perusahaan Papa pernah menjalin kerjasama dengan Perusahaan keluarga Kevin.Kak Ravi pun sudah mengenalnya lama. Maka dari itu, dia mengizinkan Kevin mengajakku jalan-jalan keliling Malang. Namun, aku belum menceritakan pertemuanku dengan Kevin pada Mas Barra. Selain belum ada waktu— aku takut dia marah. Ya, pasti kalian tahu sendiri betapa posesifnya suamiku. Alhamdulillah, Mas Barra sudah sembuh. Seperti yang dikatakan olehnya tempo hari— jika dalam dua hari demamnya akan menghilang. Kini dia sibuk di kantor tapi selalu pulang tepat waktu.

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 50

    Mas Barra tetap memaksa mengantarku dan Zain ke Bandara— padahal dia masih demam dan sempat mengeluh sakit kepala.Aku sudah menolak saat dia akan mengantar, memintanya istirahat di rumah Mama sebelum kembali ke kediaman keluarganya untuk menggelar acara tahlilan. Bukan Mas Barra jika tak keras kepala— dengan wajah pucat dan tubuh yang mulai menggigil dia tetap setia menemaniku menunggu pesawat.Sementara Kak Ravi sedang melakukan zoom dengan klien-nya— agar tak terganggu oleh suara Zain, aku sengaja menjauh darinya. “Mas— lebih baik kamu pulang sekarang. Wajah kamu semakin pucat dan tubuh mu tambah panas.”“Gapapa, sebentar lagi pesawat yang akan kamu tumpangi berangkat. Aku akan menunggu—”“Tapi kamu mulai kedinginan. Padahal udah pakai jaket tapi masih menggigil. Ayolah, Mas. Kali ini tolong dengarkan aku. Pulang saja ya.”“Sayang, aku beneran gapapa. Hanya demam sudah biasa terjadi ketika aku kelelahan bekerja. Dalam dua hari pasti sembuh.”Mas Barra bebal sekali!Jujur aku kesa

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 49

    Meskipun aku masih sakit hati dengan ucapan Mas Barra— namun, aku tidak tega membiarkannya duduk memelas di depan teras rumah. Akhirnya, aku menemuinya dan memintanya masuk. Wajahnya terlihat pucat dan saat aku menyentuh keningnya suhu tubuhnya sangat tinggi. Mungkin karena semalaman dia berada di luar rumah. Hanya memakai kaos dan celana pendek. Padahal di dalam mobilnya selalu ada selimut tapi dia tak mau memakainya. Alhasil— aku mengurus Mas Barra lebih dulu sebelum bersiap ke Bandara. Suamiku sama sekali tidak. Dia hanya memandangku dengan intens dan memeluk lenganku seperti anak kecil yang takut ditinggal pergi Ibunya. “Minum obat dulu, Mas. Setelah itu istirahat. Hari ini gak usah ke kantor.”“Kamu mau pergi kemana, Sayang?”“Malang— aku akan membawa Zain berlibur selama satu minggu.”Keputusanku pergi liburan saat mertua baru saja meninggal mungkin akan menjadi pro dan kontra. Tapi, aku tidak peduli. Lebih baik dibicarakan oleh kerabat dekat ketimbang aku dan suami terlibat

  • Disayang Bayi Tampan, Dipinang Pamannya yang Arogan   Bab 48

    Pagi ini aku terbangun karena mendengar suara teriakan Mas Barra. Ternyata dia masih berada di sini. Ku pikir sudah pulang karena tak ada yang membukakan pintu gerbang untuknya.Semalam, aku tidur telat karena harus menyiapkan keperluanku dan Zain. Nanti siang kami akan ikut ke Malang. Rencananya kami akan berada di sana selama satu minggu. Kata Kak Ravi bisa juga lebih jika pekerjaan belum selesai.Kali ini aku benar-benar marah dengan Mas Barra. Rasa kecewa yang hinggap dihatiku tak kunjung mereda meskipun aku sudah berusaha berpikir positif. Menanamkan pada otak dan hatiku jika perubahan sikap suamiku karena jiwanya sedang terguncang.Rencana pernikahan pertamaku batal dan membawaku pada takdir yang tak pernah ku sangka. Takdir yang mempertemukanku dengan keluarga Mas Barra dan si kecil Zain.Kini kami telah menjelaskan pasangan suami istri. Seharusnya saling menguatkan saat sedang mengalami musibah. Namun, kenyataannya hubungan kami justru merenggang.Entah karena Mas Barra yang s

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status