Aku masih menatap layar ponselku yang telah meredup. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sudah larut begini Barra meminta untuk melakukan panggilan video?
“Kenapa, Sayang? Gelisah terus sejak tadi?” tanya Mama saat aku tak kunjung tidur. Aku ragu mengatakan pada Mama soal pesan yang dikirim oleh Barra beberapa menit yang lalu. "Ma, Rumi boleh angkat telepon ngak?” ucapku dengan sangat pelan. “Astaga, Nak! mau angkat telepon saja udah kayak mau akad nikah?” Aku mendengkus ke arah Mama. Kenapa sih semuanya harus di sangkut pautkan dengan pernikahan? “Rumi takut ganggu tidurnya Mama.” “Memangnya dengan kamu bolak-balik krasak-krusuk sejak tadi gak gangguin Mama?” Aku nyengir, ternyata kegalauanku mengganggu beliau. “Kalau begitu, Rumi angkat telepon dulu ya?” “Mau kemana?” Mama menahan lenganku saat akan meninggalkan kamar. “Mau angkat telepon doang, Ma. Katanya tadi boleh?” “Iya, memang. Tapi kenapa angkat telepon pake keluar segala? Di sini saja!” Aku berfikir sejenak setelah mengiyakan perintah Mama. Setelah itu, aku membalas pesan Barra, tak lama kemudian ponselku berdering. “Halo, maaf mengganggu waktu istirahat Dokter Rumi,” ucap Barra saat aku sudah mengangkat telepon. “Iya, ngak papa. Ada apa ya?” “Zain sejak tadi nangis terus, kata suster tadi siang dia mau diam waktu sama Dokter. Apa sekarang saya bisa bertemu?” Mama dengan rasa penasarannya sudah di ubun-ubun, akhirnya ikut bergabung dalam panggilan video ini. Barra menyapa Mama dengan sopan dan meminta maaf karena sudah mengganggu waktu istirahat kami. “Sekarang Zain-nya di mana, Nak?” tanya Mama saat mendengar suara tangisan bayi. Barra mengarahkan kamera pada Zain yang sedang menangis dalam gendongan suster. Aku saling pandang dengan Mama seolah berkata ‘kasihan sekali, anak sekecil itu pasti butuh dekap hangat seorang ibu.’ “Bisa antar Zain kemari, Nak? Biar Rumi yang menenangkannya. Tante ngak tega lihat dia nangis kayak gitu,” ujar Mama dengan wajah sedihnya. Mama ini sangat sensitif sekali hatinya. Barra mengangguk cepat dan mengiyakan perintah Mama. Dia bergegas berangkat ke sini setelah aku mengirim alamat rumahku. “Kok Mama malah nyuruh Barra datang ke sini sih?” Mama mengelap matanya yang sudah mengembun. “Mama sedih, gak tega lihat Zain kayak gitu.”“Terus nanti gimana?” “Gimana apanya?” “Ya, gimana kalau Zain sudah sampai sini?” “Mama bakal timang-timang lah!” jawab Mama dengan santai. Beliau pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi sebelum Barra dan Zain datang. Mama juga menyuruh ku melakukan hal yang sama. Oh tidak! Padahal aku sudah memakai skincare malam! Kenapa pula harus cuci muka dan gosok gigi lagi? Bibik mengetuk pintu kamar, mengatakan jika ada tamu yang datang ingin bertemu denganku. Sudah bisa dipastikan itu Barra. “Ma ...” panggilku pada Mama yang masih di dalam kamar mandi. Tiba-tiba saja perut beliau mules katanya. “Iya, bentar!” “Rumi ke bawah dulu ya? Kayaknya Barra sudah datang.” “Iya, nanti Mama nyusul,” ucap beliau dengan berteriak agar aku dapat mendengarnya. Aku langsung turun ke bawah. Ketika sampai di ujung tangga sudah terdengar tangisan bayi. Aku mempercepat langkah agar segera bertemu dengan Zain. “Sayang, kenapa?” Aku mengambilnya dari gendongan suster. Hatiku sangat sakit ketika melihat wajah Zain yang sangat merah. Pasti karena terlalu lama menangis. “Anak pintar. Kenapa, Nak? Ada yang sakit?” tanyaku pada Zain. Meskipun dia belum bisa mengerti apa yag aku katakan. Aku tetap berusaha berinteraksi dengannya. “Sudah ya nangisnya.” Aku mengusap air matanggunakan tisu yang ada di meja. Dan, alangkah takjubnya aku ketika Zain berhenti menangis. Padahal belum aku apa-apakan. Aku mendaratkan bokong di sofa single sebelah tempat duduk Barra. Sejak tadi dia hanya diam memperhatikanku ketika mengajak bicara Zain. “Susunya mana sus?” Dengan cekatannya suster memberikan botol susu Zain padaku. “Loh ada tamu?” ucap Mama. Barra berdiri menyalami Mama. “Barra, Tante. Maaf sudah larut malam datang bertamu.” “Iya gak papa,” jawab Mama dengan wajah penuh antusias. Kedua matanya berbinar saat melihat bayi mungil dipangkuanku. “Ganteng banget!” seru Mama dengan menjawil pipi Zain. Zain membalas dengan senyuman, matanya mengerjap lucu. Membuat aku dan Mama terkekeh pelan. “Eh, senyum-senyum si adek,” ucap Mama dengan menggenggam tangan mungil Zain. “Sejak kapan nangisnya ini, Nak?” tanya Mama pada Barra. “Sejak sore tadi, Tan. Setelah bangun tidur Zain menangis sampai sekarang baru berhenti,” jawab Barra dengan wajah lelahnya. Mama menghela nafas. “Jangan di biasakan ya! Badannya ngak anget tapi kenapa nangis terus?” kali ini suster Zain yang menjadi sasaran Mama. Suster Zain menggeleng dengan wajah tak kalah lelahnya. “Saya juga tidak tau, Bu. Sejak Zain umur sebulan sudah sering menangis. Tapi baru beberapa hari ini kalau nangis susah berhenti,” terang suster pada Mama. Karena asik menyimak obrolan Mama dengan Barra dan Suster. Aku tidak sadar Zain telah terlelap. “Eh, bobok?” Semua orang melihat ke arahku. “Gampang begini boboknya?” tanya Mama sambil mengelus pipi Zain. “Terus ini gimana?” aku melihat ke arah Mama. Dengan mengulum senyum Mama menatap Barra. “Nak Barra, bagaimana kalau malam ini Zain menginap di sini?” “Ma ...” tegurku lirih. Namun, diabaikan begitu saja oleh Mama. Sedangkan Barra masih terlihat bimbang dengan permintaan Mama. “Apa tidak merepotkan Tante dan Dokter Rumi?” Mama menggeleng kemudian menyunggingkan senyum lebar. “Tentu saja tidak!” Mama melihatku. “Benarkan, Sayang?” tanyanya dengan mengedipkan sebelah matanya. Dasar Mama! “Iya, ngak papa. Takutnya nanti kalau Zain tiba-tiba bangun nangis lagi,” jawabku pasrah. Dengan senyum cerah-ceria Mama mengambil Zain dari pangkuanku. Beliau mengatakan jika akan membawa Zain ke kamar. Padahal Barra saja belum mengiyakan permintaannya. “Ma ...” Tegur ku lagi pada Mama. “Bolehkan, Nak Barra?” Dengan senyum kikuk Barra mengangguk. “Boleh, Tante. Maaf saya merepotkan lagi.” “Gak repot kok,” jawab Mama cepat. “Kalau begitu, saya bawa Zain naik ke atas ya?” Setelah kepergian Mama dan Zain, entah kenapa suasana menjadi sangat canggung. Bingung mau bicara apa. “Anda dan Suster mau menginap juga?” tanyaku langsung tanpa basa-basi. “Oh, sebaiknya saya pulang saja. Biar suster yang menginap.” Aku mengangguk. “Baiklah, kalau begitu saya pamit sebentar mau minta tolong bibik buat siapin kamar tamu.” “Dok ...” panggil Barra sebelum aku pergi ke belakang. “Iya?” “Saya pamit dulu ini sudah sangat malam. Dokter Rumi juga butuh istirahat, saya titip Zain ya. Nanti semua keperluannya langsung minta sama suster.” “Iya, mari saya antar ke depan,” ucapku dengan sopan. “Oh, iya Sus. Tunggu sebentar ya. Nanti saya tunjukkan kamar buat sus.” Suster mengangguk dan tersenyum. Aku mengantar Barra sampai ke teras rumah. Aku memanggil satpam agar membantu membuka gerbang. “Saya pamit dulu, Dok. Sekali lagi saya minta maaf sudah merepotkan Dokter dan Tante.” “Iya, ngak papa. Mama juga antusias banget tadi ‘kan?” Barra tersenyum. Entah kenapa senyumannya terlihat sangat manis. Apakah efek mengantuk membuat penglihatanku berkurang? “Udah pengen Cucu. Pasti senang karena dapat kiriman Cucu” “Hah?”“Rumiiiiiiiiiiiii,” panggil Gista setelah membuka pintu ruanganku. “Hmmm,” gumamku tanpa melihatnya. “Sudah mau pulang?” “Mau sekalian bareng ngak?” tawar Gista. Aku menggeleng. “Duluan saja, masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan dulu.” “Dijemput Kak Ravi?” “Kayaknya sih iya. Tadi dia kirim pesan mau sekalian jemput pas pulang kantor.” Bukannya pulang Gista malah merebahkan dirinya di sofa. “Gak jadi pulang?” tanyaku heran. “Malas di rumah sendirian!” Aku menjawab dengan anggukan kemudian melanjutkan kembali sisa pekerjaan yang tinggal sedikit. Papa dan Kak Ravi sampai Jakarta sekitar jam 7 pagi. Aku tidak ikut menjemput karena harus berangkat ke rumah sakit sebelum subuh. Tadi pagi Papa langsung pulang ke rumah. Beda dengan Kak Ravi, Manusia pecinta bekerja itu langsung menuju ke kantor. Semalam Zain tidak bangun sama sekali. Dia tidur dengan sangat pulas di antara kami. Aku mengira Mama akan membawa Zain tidur di kamarnya. Ternyata dugaanku salah, Mama me
Selesai mendapat sidang dadakan dari Papa dan Kak Ravi, aku langsung menyusul Mama dan Gista di ruang tamu. Tadi kedua bodyguard ku sempat marah saat aku menceritakan Barra pernah menamparku. Aku juga menjelaskan pada mereka jika Barra sudah meminta maaf. Dia bisa berbuat kasar seperti itu karena salah menerima informasi dari orang kepercayaannya. Tetap saja Papa dan Kak Ravi belum bisa menerimanya. Mereka berkata akan memberi pelajaran pada Barra saat bertemu nanti. “Lama banget sih, Rum. Mandi apa tidur di kamar mandi?” “Namanya juga anak gadis harus bersih dong mandinya. Makanya agak lama.” Gista mencebik karena dia adalah manusia penganut mandi kilat. “Mazakkkkk?” Aku cuek saja, lagi malas melayaninya. “Adek ...” aku memanggil Zain yang sedang asik menonton TV. Dia melihat kearahku langsung saja mengulurkan kedua tangannya. “Kangen sama Mami ya?” ucap Mama yang membuat bola mata Gista hampir keluar. “Mama!” tegurku. Sementara tersangkanya memasang wajah polos. “Kenapa? Ad
Kalimat yang dikatakan Gista sukses membuatku tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Aku khawatir dengan keadaan Barra. Apa benar yang dikatakan Gista? Kak Ravi bisa khilaf dan berakhir menyakiti Barra lagi. “Rum, bangun!” suara Gista samar-samar terdengar di telingaku. “Narumi, bangun, bangun, bangun!” Kali ini bukan hanya suara namun tubuhku juga terasa bergerak-gerak. Apa sedang ada gempa? “Gempa …” aku bangun dengan tergesa dan melompat dari atas ranjang. “Hei!” panggil Gista yang masih duduk di tepi ranjang. Aku yang awalnya ingin berlari keluar kembali lagi merebahkan diri di kasur. “Kamu ngapain sih, Gis? Heboh banget bangunin orang. Aku kira ada gempa,” keluhku padanya. “Aku udah bangunin kamu pakai nada halus sampai ke nada tinggi. Tapi kamu tumben kebo banget. Biasanya juga gampang di bangunin?” “Semalam aku gak bisa tidur. Kayaknya jam 2 pagi baru bisa tidur deh. Makanya ngantuk banget, Gis.” Gista menarik tanganku saat melihatku ingin tidur lagi. "Sholat subuh dul
“Semuanya sudah dimasukkan ke dalam mobil, Pak?” tanyaku pada supir Papa yang hari ini aku mintai tolong untuk mengantar ke panti asuhan. “Sudah, Non. Bekal makanan yang disiapkan sama Nyonya juga sudah saya masukkan semuanya.” Aku mengangguk. “Terima kasih. Tunggu sebentar ya, Pak. Saya masuk ke dalam mau ambil tas sekalian panggil Gista.” Setelah sarapan selesai, Gista pamit kembali ke kamar untuk meeting virtual dengan kliennya. Ada beberapa bagian yang harus dirubah pada baju pengantin yang sedang dia kerjakan. Sedangkan Kak Ravi dan Barra sudah berangkat ke kantor. Mereka berdua ternyata sama saja hobby gila bekerja. Kalau Mama dan Papa, beliau berdua sedang membawa Zain pergi jalan-jalan ke taman komplek sebelum berangkat kondangan nanti siang. “Gis ...” panggil ku. Ternyata dia sudah selesai bersiap. “Yuk,” ajaknya dengan mengambil tasnya. “Kamu sudah mandi?” Dia menghentikan langkahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. “Cium, Nih!” perintahnya agar aku mencium
Gara-gara ulah dari Kak Ravi akhirnya aku terjebak dalam situasi canggung bersama Barra. Sudah hampir 15 menit perjalanan namun kami hanya diam saja. tidak ada yang berusaha untuk memulai percakapan. Terlalu fokus dengan pemandangan diluar jendela. Aku sampai tidak menyadari jika Barra sedang memandang ke arahku. “Rum ...” panggilnya, membuatku tersentak kaget. “Ah, iya. Ada apa Pak Barra?” jawabku dengan sedikit gagu. Dia tersenyum. Kenapa harus semanis itu? Gumamku dalam hati saat aku melihat ke arahnya. “Kenapa panggilnya Bapak? Panggil Barra saja. Kata Kak Ravi kita ini seumuran.” Aku mengangguk. “Umur kamu berapa?” “Tahun ini 28.” “Beda setahun.” “Masih tergolong seumuran kalau hanya beda satu tahun.” “Hmmm,” jawabku dengan membuang muka ke arah samping. Senyuman Barra membuat ketentraman jantungku terganggu. “Ngelamunin apa? Asik banget lihatin luar jendela terus.” “Ngak lihat apa-apa, bengong saja. Lagian bingung mau apa?” jawabku dengan sangat jujur membuat Barra te
Aku sengaja meminta semua orang untuk berkumpul di ruang keluarga. Tujuanku adalah ingin meminta penjelasan ucapan Papa. Aku tidak bisa menerima jika Mama hamil lagi! Bukannya tidak suka memiliki adik, namun di umur Mama yang sekarang terlalu beresiko tinggi untuk kembali hamil. "Mau apa sih Rum?" Tanya Kak Ravi yang sibuk dengan ipad-nya. Awalnya dia tidak mau diajak berkumpul. Katanya harus segera menyelesaikan sisa pekerjaannya. Setelah aku paksa dengan bumbu rayuan dan sedikit ancaman akhirnya Kakak mau keluar dari ruang kerjanya. "Rumi mau minta penjelasan sama, Mama," ucapku dengan melihat ke arah Mama. "Penjelasan apa?" tanya Mama dengan wajah bingung. "Apa mama hamil?" "APA?" teriak Mama dan Kak Ravi bersamaan. Sementara Papa, beliau tetap santai sembari bermain game di ponselnya. "Ngawur saja kamu!" Seru Kak Ravi dengan menjentikkan jari di keningku. "Mama jawab dong, Ma. Apa benar yang dikatakan Papa?" "Mama tidak mungkin hamil lagi. Tau sendiri 'kan umur Mama s
Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Mama. Dengan mudahnya beliau memintaku menjadi ibu angkat Zain.Apa Mama lupa kalau anaknya yang cantik ini masih single dan belum pernah menikah? Bagaimana kata orang-orang nanti? Dikira aku punya anak di luar pernikahan.Saran Papa tadi tak kalah menyebalkan. Beliau memintaku untuk menikah dengan Barra. Dengan begitu otomatis Zain akan menjadi anakku."Rum ...""Hmmm.""Gak makan?" Kak Ravi masuk ke dalam kamarku."Masih kenyang tadi abis nongkrong sama Gista. Kakak tumben udah pulang?""Di telpon Mama tadi," jawabnya setelah ikut berbaring di ranjang.Aku mendengkus kesal. Pasti Mama sudah cerita juga pada Kak Ravi soal permintaan Barra. "Mama bilang apa?""Sama seperti yang kamu tau.""Menurut Kakak, Rumi harus gimana?""Tolak saja!"Senyum cerah terbit di wajahku, Kak Ravi memang yang terbaik. Aku mendekat lalu memeluknya erat. "Car
Aku mencebikkan bibir ke arah Barra. Apa maksudnya tadi berbicara seperti itu? Apa dia kira hubungan suami-istri itu bisa dibuat bahan bercanda?Begitu gampangnya dia mengatakan pada orang yang tidak dikenal bahwa aku ini istrinya. Bagaimana jika ada orang yang mengenal kami kebetulan ada disana? Bisa-bisa mereka salah paham dengan ucapan Barra tadi."Cemberut terus dari tadi, maafin aku ya.""Jangan suka asal ngomong! Kalau ada yang dengar bisa jadi salah paham nanti," protes ku agar dia tidak mengulangi hal semacam itu lagi."Iya ini yang terakhir. Ngak akan aku ulangi lagi!""Hmmm.""Oh iya, katanya mau ajak aku bicara. Mau bicara soal apa?"Sebelum bicara aku membetulkan posisi Zain yang sudah tidur nyenyak dipangkuanku lebih dulu. Setelah itu, menyiapkan kalimat terbaik untuk memulai obrolan dengan Barra. Agar dia dapat mengerti dengan jelas maksudku dan tidak tersinggung dengan kalimat yang akan aku sampaikan.
Sehari setelah melakukan foto prewedding, aku mendapatkan kabar yang kurang baik, yaitu kabar meninggalnya janin yang ada di dalam kandungan Kanaya. Sementara Kanaya masih berada di ruang ICU akibat pendarahan yang dialaminya. Dari cerita Kak Ravi, tak ada satupun keluarga Kanaya yang datang menjenguk. Padahal pihak rumah sakit telah menghubungi beberapa kali untuk meminta persetujuan tindakan. Barra seolah tak peduli dengan nasib malang yang dialami mantan tunangannya, malah berkata jika kematian janin Kanaya adalah karma atas perbuatan jahatnya. Meski wanita itu sering menggangguku dengan mengirim berbagai macam teror tapi aku sama sekali tidak menyimpan dendam. Aku turut prihatin atas musibah yang sedang dialami oleh Kanaya. Bahkan aku sempat meminta Kak Ravi agar membantu membayar biaya rumah sakit wanita itu meski ditolak mentah-mentah oleh kakakku. "Mikir apa sih?" Kak Ravi menarik hidungku saat aku melamun. "Pikirkan saja persiapan pernikahan mu. Jangan memikirkan hal yang
Menurut Mama waktu dua bulan terlalu sebentar untuk mempersiapkan pernikahan. Beliau sendiri yang harus mengurus segala persiapannya. Itu dikarenakan Mama Sarah tiba-tiba drop dan harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Foto prewedding bertema indoor. Bandung adalah tempat yang aku pilih. Selain sejuk pemandangannya sangat indah. Sekalian bisa ajak Zain jalan-jalan. Aku dan si ganteng telah sampai di Bandung lebih dulu. Sementara Barra akan menyusul setelah rapat. Tepatnya sore nanti dia baru berangkat ke kota kembang. “Cantik banget semua dress rancanganmu,” ujarku ketika Gista datang membawa empat model dress yang akan aku kenakan besok. “Ya gimana nggak bagus, bikinnya saja sepenuh hati, sudah aku anggap anak sendiri para kain-kain ku,” jawabnya asal. “Oh, iya, Gis— kata Kak Ravi kemarin kamu ketemuan sama klien yang bawel itu. Mau apa lagi mereka menghubungimu?” Gista mendesah kesal, lalu mengerucutkan bibirnya sembari beranjak dari tempatnya berada, berjalan mend
Aku mendapatkan kabar dari Mama jika Zain tiba-tiba demam. Saat ini aku masih berada di rumah sakit, baru selesai praktek, rencananya sebelum pulang ingin makan malam sebentar dengan Gista.Namun, Gista menyuruhku cepat pulang ke rumah. Dia juga meminta maaf tidak bisa menjenguk Zain karena sudah ada janji dengan kedua orang tuanya.Sesampainya di rumah, aku kebingungan mencari keberadaan Mama dan Zain. Semua kamar telah aku periksa namun hasilnya tetap nihil."Eh, Non Rumi. Cari Ibu dan Den Zain?""Iya, Bik. Kata Mama tiba-tiba Zain demam. Aku pulang cepat karena khawatir eh sampai rumah gak ada orang.""Bibik dapat pesan dari Ibu. Katanya Non Rumi di suruh nyusul ke alamat ini—"Bibik memberikan selembar kertas yang bertuliskan alamat sebuah restoran. Keningku mengernyit, bingung untuk apa aku harus menyusul ke sana, padahal Zain tengah sakit.Saat aku tak kunjung bicara, Bibik berkata lagi, "Ibu telah menyiapkan pakai
Daffa telah diusir tetap memaksa ingin masuk untuk bertemu denganku dan Zain. Saat satpam menghalangi langsung membuat keributan di depan rumah hingga para tetangga merasa terganggu. Lalu mengatakan jika ingin bertemu dengan putranya. Mantan tunanganku, Daffa sungguh tak tahu malu. Dengan santai datang ke rumah ku seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Hingga akhirnya, Kak Ravi yang turun tangan sendiri. Perdebatan pun tak terelakkan padahal aku meminta kakakku agar tidak memperpanjang masalah. “Aku hanya ingin bertemu dengan putraku!” teriak Daffa di depan pagar. “Putra?” tanya Kak Ravi sembari tersenyum mengejek. “Zain adalah anak kandungku. Aku berhak bertemu dengannya.” “Hm, berhak katamu?” “Minggir! Jangan menghalangiku untuk bertemu dengan putraku!” Kak Ravi mendorong tubuh Daffa saat memaksa masuk ke dalam halaman rumah. Tubuh kurusnya terhuyu
Barra adalah tipikal pria tidak sabaran. Baru aku terima cintanya langsung mengajakku menikah bulan depan.Dia pikir menikah itu gampang?Tinggal membalikkan telapak tangan lalu selesai.Meski aku sudah pernah dilamar dan hampir menikah. Tetap saja aku ingin diperlakukan sama layaknya para gadis pada umumnya.Secara tidak langsung aku ingin Barra datang membawa orang tua dan beberapa saudara untuk melamar ku. Tak perlu acara besar dan mewah. Cukup acara sederhana asalkan penuh dengan makna."Kamu maunya kapan?" Tanya Barra."Ya belum tahu. Aku akan membicarakan dengan Mama dan Papa terlebih dulu ""Bakal lama," rengeknya seperti anak kecil. "Aku sudah tidak sabar ingin segera tinggal bersama kalian. Rumah terasa sepi setelah Mama memutuskan tinggal di panti asuhan."Mama Sarah memilih tinggal di panti untuk mengusir rasa sedihnya. Kala sendirian beliau masih sering menangis saat teringat mendiang suami dan putri
Teror yang aku dapatkan tiap minggu menjadi setiap hari. Ada-ada saja yang dikirim oleh si tukang teror ke tempat kerjaku. Mulai dari makanan busuk, binatang mati, boneka berdarah hingga boneka santet.Apa aku takut? Awalnya iya namun lama-kelamaan menjadi terbiasa. Aku menganggap teror itu adalah surat cinta dari mantan yang susah move on.Ah, iya, satu lagi si pengganggu yang mulai merusuh dalam kehidupanku. Mantan tunangan yang baru saja keluar dari penjara, Daffa.Kemarin dia datang ke rumah untuk bertemu denganku juga putranya. Mungkin dia tahu tentang Zain yang diasuh oleh Mama dari orang tuanya.Hanya bertanya dan tidak ada niatan ingin mengambil bayi mungil itu. Daffa menganggap jika Zain adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Kesalahan yang membuat masa depannya hancur hingga kehilangan cinta.“Rumi—” panggil Gista. “Ada paket,” ucapnya lagi.“Teror apalagi yang aku dapatkan?” tanyaku tanpa melihat ke arah sahabatku.
Cittt ... Brak!!! Tubuh terhuyung ke depan dan kepalaku membentur dashboard ketika Barra mengerem mendadak. “Akhhh, sakit –” Aku meringis kesakitan sambil memegang kepala. “Sayang, kamu tidak apa-apa ‘kan?” Barra melepaskan seat belt yang masih melilit tubuhku. Lalu memeriksa luka akibat benturan dashboard yang terasa nyeri.Tiba-tiba saja ada mobil warna putih berhenti di depan mobil yang dikendarai oleh Barra. Alhasil dia mengerem mendadak agar tak menabrak mobil itu.Tangan Barra membelai lembut pelipis ku dan meniupnya pelan. “Maaf, aku tidak sengaja membuatmu terluka,” ujarnya.“Hm, lebih baik kita lanjutkan lagi perjalanan. Aku merasa ada yang sengaja –”Kalimatku terpotong saat kaca mobil diketuk keras dari luar. Aku dan Barra pun terlonjak kaget. “Siapa mereka, Bar?” tanyaku kaget ketika melihat empat orang berbadan besar.“Kamu tetap di dalam dan kunci mobil setelah aku keluar,” titah Barra
Liburan telah usai, kini aku telah kembali ke rutinitas biasa. Bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, mengurus Zain lalu berangkat ke rumah sakit.Sekarang ada kegiatan tambahan setiap jam makan siang. Kegiatan yang membuat aku jadi bahan perbincangan seantero rumah sakit.Barra selalu datang ke tempat kerjaku sebelum jam istirahat. Jika tidak mengajakku ke luar pasti dia membawakan makan siang untuk dimakan bersama.Seperti siang ini, sudah aku bilang jika ada rapat dengan petinggi rumah sakit tapi dia tetap ngeyel. Datang membawa begitu banyak makanan untuk dibagikan pada teman-temanku.“Terima kasih, Dok. Makan siang nya selain mewah juga enak sekali rasanya,” ujar salah satu Dokter senior di rumah sakit ini.“Sama-sama, Dok. Maaf rapat hari ini sedikit terganggu.”“Kami justru senang jika hubungan Dokter Rumi dengan Pak Barra mengalami peningkatan,” jawab beliau sebelum berlalu meninggalkan ruang rapat.Barra memang paling pandai membuatku kesal. Tak cukup merecoki hari-hariku seka
“Kenapa Kak Ravi sampai memukulmu? Kalian ini kalau punya masalah selalu diselesaikan dengan cara kekerasan. Memangnya tidak bisa dibicarakan baik-baik.”Barra justru senyam-senyum tak jelas sembari menatap ke arahku. Barusan aku sedang mengomel bukan mengajaknya bercanda. Aneh sekali!Lagipula sebenarnya ada masalah apa lagi diantara dia dan kakakku?Perasaan tadi siang baik-baik saja. Keduanya terlihat akur tak seperti sedang memiliki masalah. Semakin kupikirkan semakin membuatku pusing.“Duduk didepanku sini biar aku obati dulu lukamu. Sudah berubah jadi biru pasti terasa nyeri,” pintaku pada Barra agar pindah ke sofa panjang yang saat ini aku tempati.Dia pun langsung menurut. Mendaratkan bokong tepat didepanku setelah itu mencondongkan badannya ke depan. “Aku sudah menunggunya sejak tadi pagi tapi kamu terkesan tak peduli dengan luka di wajahku,” ujarnya kemudian.“Bukan tidak peduli aku hanya takut bertanya. Kamu adalah ora