Aku sengaja meminta semua orang untuk berkumpul di ruang keluarga. Tujuanku adalah ingin meminta penjelasan ucapan Papa. Aku tidak bisa menerima jika Mama hamil lagi! Bukannya tidak suka memiliki adik, namun di umur Mama yang sekarang terlalu beresiko tinggi untuk kembali hamil. "Mau apa sih Rum?" Tanya Kak Ravi yang sibuk dengan ipad-nya. Awalnya dia tidak mau diajak berkumpul. Katanya harus segera menyelesaikan sisa pekerjaannya. Setelah aku paksa dengan bumbu rayuan dan sedikit ancaman akhirnya Kakak mau keluar dari ruang kerjanya. "Rumi mau minta penjelasan sama, Mama," ucapku dengan melihat ke arah Mama. "Penjelasan apa?" tanya Mama dengan wajah bingung. "Apa mama hamil?" "APA?" teriak Mama dan Kak Ravi bersamaan. Sementara Papa, beliau tetap santai sembari bermain game di ponselnya. "Ngawur saja kamu!" Seru Kak Ravi dengan menjentikkan jari di keningku. "Mama jawab dong, Ma. Apa benar yang dikatakan Papa?" "Mama tidak mungkin hamil lagi. Tau sendiri 'kan umur Mama s
Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Mama. Dengan mudahnya beliau memintaku menjadi ibu angkat Zain.Apa Mama lupa kalau anaknya yang cantik ini masih single dan belum pernah menikah? Bagaimana kata orang-orang nanti? Dikira aku punya anak di luar pernikahan.Saran Papa tadi tak kalah menyebalkan. Beliau memintaku untuk menikah dengan Barra. Dengan begitu otomatis Zain akan menjadi anakku."Rum ...""Hmmm.""Gak makan?" Kak Ravi masuk ke dalam kamarku."Masih kenyang tadi abis nongkrong sama Gista. Kakak tumben udah pulang?""Di telpon Mama tadi," jawabnya setelah ikut berbaring di ranjang.Aku mendengkus kesal. Pasti Mama sudah cerita juga pada Kak Ravi soal permintaan Barra. "Mama bilang apa?""Sama seperti yang kamu tau.""Menurut Kakak, Rumi harus gimana?""Tolak saja!"Senyum cerah terbit di wajahku, Kak Ravi memang yang terbaik. Aku mendekat lalu memeluknya erat. "Car
Aku mencebikkan bibir ke arah Barra. Apa maksudnya tadi berbicara seperti itu? Apa dia kira hubungan suami-istri itu bisa dibuat bahan bercanda?Begitu gampangnya dia mengatakan pada orang yang tidak dikenal bahwa aku ini istrinya. Bagaimana jika ada orang yang mengenal kami kebetulan ada disana? Bisa-bisa mereka salah paham dengan ucapan Barra tadi."Cemberut terus dari tadi, maafin aku ya.""Jangan suka asal ngomong! Kalau ada yang dengar bisa jadi salah paham nanti," protes ku agar dia tidak mengulangi hal semacam itu lagi."Iya ini yang terakhir. Ngak akan aku ulangi lagi!""Hmmm.""Oh iya, katanya mau ajak aku bicara. Mau bicara soal apa?"Sebelum bicara aku membetulkan posisi Zain yang sudah tidur nyenyak dipangkuanku lebih dulu. Setelah itu, menyiapkan kalimat terbaik untuk memulai obrolan dengan Barra. Agar dia dapat mengerti dengan jelas maksudku dan tidak tersinggung dengan kalimat yang akan aku sampaikan.
Pagi ini Barra datang untuk membahas pekerjaan dengan Kak Ravi. Karena sudah waktunya sarapan Mama meminta tamunya untuk sarapan bersama. Malas sarapan satu meja dengan Barra memutuskan sarapan di rumah sakit. Aku meminta Bibik menyiapkan bekal sarapan kalau bekal makan siang sudah aku kemas sendiri."Ma, Rumi sama Gista berangkat dulu ya.""Kenapa gak sarapan di rumah?""Gista ada jadwal visit pagi Ma," saut Gista yang kini sudah bergelayut di lengan Mama."Sudah minta Bibik siapkan bekal?""Udah, Ma," jawabku, mengangkat kedua rantang yang ada di tanganku.Setelah berpamitan dengan Mama, kami mempercepat langkah menuju ke arah mobil yang sudah dipanasi oleh Pak supir. Tidak sempat berpamitan dengan Papa karena beliau masih bersiap di atas."Kalian mau kemana?"Suara Kak Ravi mengagetkan kami ketika baru keluar dari pintu utama. Aku menoleh ke samping kiri ternyata kakakku sedang ngopi bersama Barra."
Sudah hampir 1 jam Barra mengajak Zain berbicara. Setelah Kak Ravi mengatakan jika Barra ingin berbicara. Aku kembali memanggil Bibik untuk menggendong Zain. Setelah itu, aku memberikan ponselku kepada Bibik.Aku masih ada di sekitar mereka. Hanya saja aku tidak menampakkan diri di depan kamera. Aku juga dapat mendengar semua yang Barra katakan pada Zain. Ternyata sifat dingin dan kakunya bisa mencair saat berbicara dengan keponakannya.Setelah Zain tertidur, Bibik memberikan ponsel kepadaku. Tak sengaja kedua mataku menatap mata Barra yang masih ada di layar. Aku langsung mematikan panggilan tanpa mengatakan apapun.“Tukang bobok ya sekarang. Nempel dada langsung terlelap,” aku mengambil Zain berniat mengajaknya ke kamarku. “Bibik tidur juga ya. Terima kasih sudah jagain Zain.”“Siap, Non. Bibik suka kalau ada Den Zain di sini karena rumah semakin ramai.”Aku menidurkan Zain dengan perlahan. Lalu mengambil selimut kecil yang ad
Mama membuat gaduh seisi rumah setelah mendapatkan kabar bahagia akan kedatangan mertuanya dari Jogja. Beliau langsung membagi tugas pada semua anggota keluarga untuk membuat persiapan penyambutan.Lumayan berlebihan tapi Mama selalu begitu. Setiap kali ada keluarga jauh yang akan berkunjung dan menginap akan disambut dengan sangat baik.Papa baru pulang jalan-jalan bersama Zain mendapat tugas untuk menjemput Eyang Kakung ke bandara. Sementara Kak Ravi bertugas menjaga Zain karena hari ini libur kerja. Sedangkan aku mendapatkan tugas berbelanja ke swalayan dekat rumah. Untungnya nyeri perutku sudah hilang. Jadi tidak masalah jika harus mengitari swalayan untuk mencari semua pesanan Mama.“Rumi diantar sama Barra ya.”“Memangnya pak supir kemana?”“Pak supir ‘kan mau anter Papa jemput Eyang Kakung ke bandara.”“Ya udah, Rumi bawa mobil sendiri saja. Lagian belanja dekat juga dari rumah.”“Mama gak kasih ijin! Kamu tadi p
Omelan Mama tak kunjung berhenti padahal beliau harus segera memasak menu makan siang. Saat aku menjawab pertanyaan dari Kak Ravi ternyata Mama ada di belakangku untuk memberikan botol susu Zain. Betapa marahnya beliau setelah mendengar aku sengaja meninggalkan Barra di swalayan.Mama mengatakan jika aku ini sangat jahat. Tega meninggalkan orang yang sudah membantuku. Beliau juga menyuruhku menelpon Barra untuk memastikan dia baik-baik saja.Lebay, pria dewasa sepertinya pasti tidak akan tersesat. Apalagi, dia memiliki banyak uang. Tinggal pesan taksi selesai semua permasalahan.Aku menolak menelpon Barra, buat apa coba? Dia bisa tambah besar kepala dan makin tidak menyadari kesalahannya.“Mama gak suka kamu kayak gitu lagi!” omelan Mama masih berlanjut.“Iya, Ma. Tadi juga gak sengaja ketinggalan Barra-nya.”“Ngak sengaja gimana? Masak ada orang pergi berdua satunya ketinggalan kamu gak sadar.”“Ya ‘kan Mama n
Meja makan besar milik Mama malam ini terlihat penuh. Selain kedatangan Eyang Kakung, Barra dan Zain pun ikut bergabung.Mama sejak tadi sibuk menyiapkan makanan untuk Eyang. Mondar-mandir seperti gangsing. Padahal ada banyak ART dirumah tapi beliau ingin menyiapkan makanan untuk mertuanya. Katanya, mumpung Eyang berkunjung ke Jakarta.Aku yang kebagian memangku Zain hanya bisa makan dengan satu tangan. Bayi gembul ini sangat manja tidak mau duduk di kursinya. “Kak tolong ambilin gudegnya lagi.”“Nasinya juga apa gak?”“Gak usah, gudeg sama kerupuk ikan saja,” perintahku pada Kak Ravi karena aku kesulitan mengambilnya sendiri.“Cukup?”“Iya, terima kasih.”Aku melanjutkan makan malam ku, sesekali mengajak Zain bicara. Kedua matanya sibuk melihat orang-orang di meja makan yang tengah bicara. Setiap kali ada yang tersenyum dia akan tersenyum. Tingkah lucunya membuat gemas semua orang.“Apa sayang?” tanyaku saat t
Sehari setelah melakukan foto prewedding, aku mendapatkan kabar yang kurang baik, yaitu kabar meninggalnya janin yang ada di dalam kandungan Kanaya. Sementara Kanaya masih berada di ruang ICU akibat pendarahan yang dialaminya. Dari cerita Kak Ravi, tak ada satupun keluarga Kanaya yang datang menjenguk. Padahal pihak rumah sakit telah menghubungi beberapa kali untuk meminta persetujuan tindakan. Barra seolah tak peduli dengan nasib malang yang dialami mantan tunangannya, malah berkata jika kematian janin Kanaya adalah karma atas perbuatan jahatnya. Meski wanita itu sering menggangguku dengan mengirim berbagai macam teror tapi aku sama sekali tidak menyimpan dendam. Aku turut prihatin atas musibah yang sedang dialami oleh Kanaya. Bahkan aku sempat meminta Kak Ravi agar membantu membayar biaya rumah sakit wanita itu meski ditolak mentah-mentah oleh kakakku. "Mikir apa sih?" Kak Ravi menarik hidungku saat aku melamun. "Pikirkan saja persiapan pernikahan mu. Jangan memikirkan hal yang
Menurut Mama waktu dua bulan terlalu sebentar untuk mempersiapkan pernikahan. Beliau sendiri yang harus mengurus segala persiapannya. Itu dikarenakan Mama Sarah tiba-tiba drop dan harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Foto prewedding bertema indoor. Bandung adalah tempat yang aku pilih. Selain sejuk pemandangannya sangat indah. Sekalian bisa ajak Zain jalan-jalan. Aku dan si ganteng telah sampai di Bandung lebih dulu. Sementara Barra akan menyusul setelah rapat. Tepatnya sore nanti dia baru berangkat ke kota kembang. “Cantik banget semua dress rancanganmu,” ujarku ketika Gista datang membawa empat model dress yang akan aku kenakan besok. “Ya gimana nggak bagus, bikinnya saja sepenuh hati, sudah aku anggap anak sendiri para kain-kain ku,” jawabnya asal. “Oh, iya, Gis— kata Kak Ravi kemarin kamu ketemuan sama klien yang bawel itu. Mau apa lagi mereka menghubungimu?” Gista mendesah kesal, lalu mengerucutkan bibirnya sembari beranjak dari tempatnya berada, berjalan mend
Aku mendapatkan kabar dari Mama jika Zain tiba-tiba demam. Saat ini aku masih berada di rumah sakit, baru selesai praktek, rencananya sebelum pulang ingin makan malam sebentar dengan Gista.Namun, Gista menyuruhku cepat pulang ke rumah. Dia juga meminta maaf tidak bisa menjenguk Zain karena sudah ada janji dengan kedua orang tuanya.Sesampainya di rumah, aku kebingungan mencari keberadaan Mama dan Zain. Semua kamar telah aku periksa namun hasilnya tetap nihil."Eh, Non Rumi. Cari Ibu dan Den Zain?""Iya, Bik. Kata Mama tiba-tiba Zain demam. Aku pulang cepat karena khawatir eh sampai rumah gak ada orang.""Bibik dapat pesan dari Ibu. Katanya Non Rumi di suruh nyusul ke alamat ini—"Bibik memberikan selembar kertas yang bertuliskan alamat sebuah restoran. Keningku mengernyit, bingung untuk apa aku harus menyusul ke sana, padahal Zain tengah sakit.Saat aku tak kunjung bicara, Bibik berkata lagi, "Ibu telah menyiapkan pakai
Daffa telah diusir tetap memaksa ingin masuk untuk bertemu denganku dan Zain. Saat satpam menghalangi langsung membuat keributan di depan rumah hingga para tetangga merasa terganggu. Lalu mengatakan jika ingin bertemu dengan putranya. Mantan tunanganku, Daffa sungguh tak tahu malu. Dengan santai datang ke rumah ku seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Hingga akhirnya, Kak Ravi yang turun tangan sendiri. Perdebatan pun tak terelakkan padahal aku meminta kakakku agar tidak memperpanjang masalah. “Aku hanya ingin bertemu dengan putraku!” teriak Daffa di depan pagar. “Putra?” tanya Kak Ravi sembari tersenyum mengejek. “Zain adalah anak kandungku. Aku berhak bertemu dengannya.” “Hm, berhak katamu?” “Minggir! Jangan menghalangiku untuk bertemu dengan putraku!” Kak Ravi mendorong tubuh Daffa saat memaksa masuk ke dalam halaman rumah. Tubuh kurusnya terhuyu
Barra adalah tipikal pria tidak sabaran. Baru aku terima cintanya langsung mengajakku menikah bulan depan.Dia pikir menikah itu gampang?Tinggal membalikkan telapak tangan lalu selesai.Meski aku sudah pernah dilamar dan hampir menikah. Tetap saja aku ingin diperlakukan sama layaknya para gadis pada umumnya.Secara tidak langsung aku ingin Barra datang membawa orang tua dan beberapa saudara untuk melamar ku. Tak perlu acara besar dan mewah. Cukup acara sederhana asalkan penuh dengan makna."Kamu maunya kapan?" Tanya Barra."Ya belum tahu. Aku akan membicarakan dengan Mama dan Papa terlebih dulu ""Bakal lama," rengeknya seperti anak kecil. "Aku sudah tidak sabar ingin segera tinggal bersama kalian. Rumah terasa sepi setelah Mama memutuskan tinggal di panti asuhan."Mama Sarah memilih tinggal di panti untuk mengusir rasa sedihnya. Kala sendirian beliau masih sering menangis saat teringat mendiang suami dan putri
Teror yang aku dapatkan tiap minggu menjadi setiap hari. Ada-ada saja yang dikirim oleh si tukang teror ke tempat kerjaku. Mulai dari makanan busuk, binatang mati, boneka berdarah hingga boneka santet.Apa aku takut? Awalnya iya namun lama-kelamaan menjadi terbiasa. Aku menganggap teror itu adalah surat cinta dari mantan yang susah move on.Ah, iya, satu lagi si pengganggu yang mulai merusuh dalam kehidupanku. Mantan tunangan yang baru saja keluar dari penjara, Daffa.Kemarin dia datang ke rumah untuk bertemu denganku juga putranya. Mungkin dia tahu tentang Zain yang diasuh oleh Mama dari orang tuanya.Hanya bertanya dan tidak ada niatan ingin mengambil bayi mungil itu. Daffa menganggap jika Zain adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Kesalahan yang membuat masa depannya hancur hingga kehilangan cinta.“Rumi—” panggil Gista. “Ada paket,” ucapnya lagi.“Teror apalagi yang aku dapatkan?” tanyaku tanpa melihat ke arah sahabatku.
Cittt ... Brak!!! Tubuh terhuyung ke depan dan kepalaku membentur dashboard ketika Barra mengerem mendadak. “Akhhh, sakit –” Aku meringis kesakitan sambil memegang kepala. “Sayang, kamu tidak apa-apa ‘kan?” Barra melepaskan seat belt yang masih melilit tubuhku. Lalu memeriksa luka akibat benturan dashboard yang terasa nyeri.Tiba-tiba saja ada mobil warna putih berhenti di depan mobil yang dikendarai oleh Barra. Alhasil dia mengerem mendadak agar tak menabrak mobil itu.Tangan Barra membelai lembut pelipis ku dan meniupnya pelan. “Maaf, aku tidak sengaja membuatmu terluka,” ujarnya.“Hm, lebih baik kita lanjutkan lagi perjalanan. Aku merasa ada yang sengaja –”Kalimatku terpotong saat kaca mobil diketuk keras dari luar. Aku dan Barra pun terlonjak kaget. “Siapa mereka, Bar?” tanyaku kaget ketika melihat empat orang berbadan besar.“Kamu tetap di dalam dan kunci mobil setelah aku keluar,” titah Barra
Liburan telah usai, kini aku telah kembali ke rutinitas biasa. Bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, mengurus Zain lalu berangkat ke rumah sakit.Sekarang ada kegiatan tambahan setiap jam makan siang. Kegiatan yang membuat aku jadi bahan perbincangan seantero rumah sakit.Barra selalu datang ke tempat kerjaku sebelum jam istirahat. Jika tidak mengajakku ke luar pasti dia membawakan makan siang untuk dimakan bersama.Seperti siang ini, sudah aku bilang jika ada rapat dengan petinggi rumah sakit tapi dia tetap ngeyel. Datang membawa begitu banyak makanan untuk dibagikan pada teman-temanku.“Terima kasih, Dok. Makan siang nya selain mewah juga enak sekali rasanya,” ujar salah satu Dokter senior di rumah sakit ini.“Sama-sama, Dok. Maaf rapat hari ini sedikit terganggu.”“Kami justru senang jika hubungan Dokter Rumi dengan Pak Barra mengalami peningkatan,” jawab beliau sebelum berlalu meninggalkan ruang rapat.Barra memang paling pandai membuatku kesal. Tak cukup merecoki hari-hariku seka
“Kenapa Kak Ravi sampai memukulmu? Kalian ini kalau punya masalah selalu diselesaikan dengan cara kekerasan. Memangnya tidak bisa dibicarakan baik-baik.”Barra justru senyam-senyum tak jelas sembari menatap ke arahku. Barusan aku sedang mengomel bukan mengajaknya bercanda. Aneh sekali!Lagipula sebenarnya ada masalah apa lagi diantara dia dan kakakku?Perasaan tadi siang baik-baik saja. Keduanya terlihat akur tak seperti sedang memiliki masalah. Semakin kupikirkan semakin membuatku pusing.“Duduk didepanku sini biar aku obati dulu lukamu. Sudah berubah jadi biru pasti terasa nyeri,” pintaku pada Barra agar pindah ke sofa panjang yang saat ini aku tempati.Dia pun langsung menurut. Mendaratkan bokong tepat didepanku setelah itu mencondongkan badannya ke depan. “Aku sudah menunggunya sejak tadi pagi tapi kamu terkesan tak peduli dengan luka di wajahku,” ujarnya kemudian.“Bukan tidak peduli aku hanya takut bertanya. Kamu adalah ora