Sudah hampir 1 jam Barra mengajak Zain berbicara.
Setelah Kak Ravi mengatakan jika Barra ingin berbicara. Aku kembali memanggil Bibik untuk menggendong Zain. Setelah itu, aku memberikan ponselku kepada Bibik.Aku masih ada di sekitar mereka. Hanya saja aku tidak menampakkan diri di depan kamera. Aku juga dapat mendengar semua yang Barra katakan pada Zain. Ternyata sifat dingin dan kakunya bisa mencair saat berbicara dengan keponakannya.Setelah Zain tertidur, Bibik memberikan ponsel kepadaku. Tak sengaja kedua mataku menatap mata Barra yang masih ada di layar. Aku langsung mematikan panggilan tanpa mengatakan apapun.“Tukang bobok ya sekarang. Nempel dada langsung terlelap,” aku mengambil Zain berniat mengajaknya ke kamarku. “Bibik tidur juga ya. Terima kasih sudah jagain Zain.”“Siap, Non. Bibik suka kalau ada Den Zain di sini karena rumah semakin ramai.”Aku menidurkan Zain dengan perlahan. Lalu mengambil selimut kecil yang adMama membuat gaduh seisi rumah setelah mendapatkan kabar bahagia akan kedatangan mertuanya dari Jogja. Beliau langsung membagi tugas pada semua anggota keluarga untuk membuat persiapan penyambutan.Lumayan berlebihan tapi Mama selalu begitu. Setiap kali ada keluarga jauh yang akan berkunjung dan menginap akan disambut dengan sangat baik.Papa baru pulang jalan-jalan bersama Zain mendapat tugas untuk menjemput Eyang Kakung ke bandara. Sementara Kak Ravi bertugas menjaga Zain karena hari ini libur kerja. Sedangkan aku mendapatkan tugas berbelanja ke swalayan dekat rumah. Untungnya nyeri perutku sudah hilang. Jadi tidak masalah jika harus mengitari swalayan untuk mencari semua pesanan Mama.“Rumi diantar sama Barra ya.”“Memangnya pak supir kemana?”“Pak supir ‘kan mau anter Papa jemput Eyang Kakung ke bandara.”“Ya udah, Rumi bawa mobil sendiri saja. Lagian belanja dekat juga dari rumah.”“Mama gak kasih ijin! Kamu tadi p
Omelan Mama tak kunjung berhenti padahal beliau harus segera memasak menu makan siang. Saat aku menjawab pertanyaan dari Kak Ravi ternyata Mama ada di belakangku untuk memberikan botol susu Zain. Betapa marahnya beliau setelah mendengar aku sengaja meninggalkan Barra di swalayan.Mama mengatakan jika aku ini sangat jahat. Tega meninggalkan orang yang sudah membantuku. Beliau juga menyuruhku menelpon Barra untuk memastikan dia baik-baik saja.Lebay, pria dewasa sepertinya pasti tidak akan tersesat. Apalagi, dia memiliki banyak uang. Tinggal pesan taksi selesai semua permasalahan.Aku menolak menelpon Barra, buat apa coba? Dia bisa tambah besar kepala dan makin tidak menyadari kesalahannya.“Mama gak suka kamu kayak gitu lagi!” omelan Mama masih berlanjut.“Iya, Ma. Tadi juga gak sengaja ketinggalan Barra-nya.”“Ngak sengaja gimana? Masak ada orang pergi berdua satunya ketinggalan kamu gak sadar.”“Ya ‘kan Mama n
Meja makan besar milik Mama malam ini terlihat penuh. Selain kedatangan Eyang Kakung, Barra dan Zain pun ikut bergabung.Mama sejak tadi sibuk menyiapkan makanan untuk Eyang. Mondar-mandir seperti gangsing. Padahal ada banyak ART dirumah tapi beliau ingin menyiapkan makanan untuk mertuanya. Katanya, mumpung Eyang berkunjung ke Jakarta.Aku yang kebagian memangku Zain hanya bisa makan dengan satu tangan. Bayi gembul ini sangat manja tidak mau duduk di kursinya. “Kak tolong ambilin gudegnya lagi.”“Nasinya juga apa gak?”“Gak usah, gudeg sama kerupuk ikan saja,” perintahku pada Kak Ravi karena aku kesulitan mengambilnya sendiri.“Cukup?”“Iya, terima kasih.”Aku melanjutkan makan malam ku, sesekali mengajak Zain bicara. Kedua matanya sibuk melihat orang-orang di meja makan yang tengah bicara. Setiap kali ada yang tersenyum dia akan tersenyum. Tingkah lucunya membuat gemas semua orang.“Apa sayang?” tanyaku saat t
Setelah berhasil menidurkan Zain, aku pergi ke pinggir kolam. Barra meminta waktuku sebentar untuk mengatakan hal penting. Mungkin dia baru menyadari kesalahannya atau mau berterima kasih karena aku telah merawat keponakannya. Entahlah yang benar yang mana? Dia tipe manusia sulit ditebak.Sebenarnya aku masih trauma bicara serius dengan Barra. Aku takut mendapatkan ucapan pedas darinya. Namun saat melihat kesungguhan di matanya. Akhirnya aku memberi kesempatan untuk dia berbicara. Lagipula aku juga penasaran, apa yang ingin dia katakan?Sebelum menyusul Barra, Aku meminta Bibik menyiapkan coklat hangat. Lalu, minta diantar ke pinggir kolam. Rumah dalam kondisi sepi karena semua orang telah masuk ke kamar masing-masing setelah makan malam.“Maaf nunggu lama ya?”“Nggak lama, Zain udah tidur?”“Sudah.”Karena Barra memilih kursi panjang terpaksa aku duduk di sampingnya. Tidak mungkin aku duduk di kursi bundar yang letaknya jauh dar
Seperti yang sudah aku rencanakan bersama Mama. Hari ini aku mengajak Zain pergi ke rumah sakit. Karena aku harus berangkat pagi sementara Mama harus mengurus Papa dan Eyang kakung, aku berangkat lebih dulu bersama Zain diantar oleh Kak Ravi.Kakak berkata malas sarapan di rumah. Pasti dia akan menjadi bulan-bulanan Mama dan Eyang lagi. Karena menolak dijodohkan dengan wanita pilihan Eyang.“Gak bakal kerepotan kalau kamu bawa Zain?”“Gak tau juga Kak, kayaknya sih bakalan repot. Zain lagi ngak mau aku tinggal.”“Sakit?”“Enggak.”“Terus kenapa?”“Ngak tau juga, sama Mama aja yang biasanya nempel banget dari semalam ngak mau di gendong.”“Kangen Mamanya palingan,” celetuk Kak Ravi.“Masak sih? ‘Kan Zain belum sempat bertemu Mamanya.”“Ya namanya anak kecil pasti rindu kasih sayang ibunya. Kita saja yang sudah umur segini kalau lama gak dimanja sama Mama, suka kangen ‘kan?”“La, kok sam
Mendengar perkataan Nenek Zain membuatku salah tingkah. Ada rasa bahagia yang tidak bisa aku jelaskan saat mendengar ‘Mama Zain’ jantungku langsung berdebar dan seperti ada jutaan kupu-kupu di perutku.Setelah makan siang, aku berguling-guling di atas ranjang sebelah Zain tidur. Ingin sekali berteriak kencang untuk mengeluarkan rasa yang membuncah di hatiku. Bukan rasa sesak melainkan bahagia. Padahal sejak tadi pagi pasienku memanggilku dengan sebutan itu. Tapi rasanya biasa saja tidak ada sesuatu yang spesial. Namun saat Nenek Zain yang mengatakannya membuat jantungku berdebar kencang.“Kenapa pipinya di tepuk-tepuk begitu?”Aku bangun, lalu melihat ke arah pintu. Ternyata, Mama yang datang. Bikin kaget saja! “Gapapa, lagi senam pipi saja.”“Pipi kamu merah banget, sakit?” “Pakai blush on kebanyakan tadi, Ma," jawabku asal.Mama menyentuh keningku, lalu ke leher belakang. “Ngak panas,” ucapnya heran.“Rumi u
“Banyak banget beli bajunya. Mau dibuat apa sih? Mama juga jarang keluar kumpul-kumpul sama teman.”“Buat koleksi di rumah, Ma. Siapa tahu Papa ngajakin ke kondangan dadakan. Jadinya tinggal pakai gak perlu belanja lagi.”“Ya, nggak harus sampai 10 item juga, Sayang!”Mama terus saja menggerutu karena aku membelikan beliau banyak baju baru. Aku merasa baju di sini semuanya bagus kalau Mama yang memakainya. Tadi saat Mama mencoba dress pilihanku aku mengambil foto lalu ku kirim pada Papa. Papa menjawab, Mama terlihat sangat, sangat dan sangat cantik. Lalu, memintaku membelikan kemeja yang senada dengan dress Mama. Pastinya, Papa ku ingin couple-an dengan Mama ketika pergi ke suatu acara. Ah, manisnya mereka berdua.“Sudah, gapapa Mama sayang. Lagian udah di bayar juga ngak boleh dikembalikan,” jawabku sambil terkekeh.Mama masih cemberut tapi sudah berhenti menggerutu. Akhirnya pasrah juga beliau, hehe. “Sekarang mau kemana lagi?
Sesampainya di rumah, Mama langsung masuk kamar. Beliau berkata lelah dan ingin istirahat lebih awal. Papa sempat bertanya kepadaku karena sikap Mama yang mendadak jadi pendiam. Aku menceritakan kejadian di restoran saat kami akan makan malam. Tidak ada yang aku tambah dan kurang semua ku jelaskan sedetail mungkin.Seperti yang dilakukan oleh Mama, Papa meminta maaf padaku. Beliau juga berkata menyesal telah menjodohkanku dengan pria yang selama ini dianggapnya baik. Daffa tidak lebih dari seorang pecundang. Beraninya dengan perempuan dan berlindung di belakang ke dua orang tuanya.Aku meminta pada Papa merayu Mama agar mau makan malam. Jika aku yang minta pasti Mama akan menangis lagi. Padahal aku sudah mengatakan jika semua masalah yang terjadi bukan kesalahannya. Beliau masih saja menyalahkan diri hingga sering menangis diam-diam ketika tidak ada orang di rumah.“Gimana, Pa?”“Alhamdulilah sudah habis,” jawab Papa dengan memiringkan piring yang
Ulang tahun Zain yang ke empat dirayakan sangat meriah karena dia sudah mulai sekolah. Dia tumbuh menjadi anak yang tampan, pintar dan penyayang. Postur tubuhnya lebih tinggi dan besar dari anak seusianya— hingga banyak yang mengira dia sudah berusia 6 tahun.Di sekolah banyak sekali teman perempuan yang sengaja mendekatinya. Ada yang membawakannya bekal, bunga segar dan mainan. Namun, Zain tak mau menerimanya. Menolak dengan nada halus dan alasannya Maminya melarangnya menerima hadiah jika bukan hari ulang tahunnya.Zain itu ibarat calon pria soft spoken. Tak hanya teman kelasnya— anak perempuan yang tinggal di komplek perumahan saja sering datang untuk mengungkapkan cinta. Padahal mereka sudah duduk dibangku SD.Sungguh pesona Mas Barra menurun pada putranya. Tidak hanya wajah yang mirip tapi sifat dan kelakuan pun sama persis. “Sayang, kok kelihatan makin pucat ya,” ujar Mas Barra setelah selesai memakai pakaian. Kami sedang bersiap untuk menyambut para tamu undangan. “Kayaknya b
Zain senang sekali bermain bersama anak-anak seusianya. Meski keringat telah membasahi sekujur tubuhnya— dia tidak mau berhenti barang sejenak.Untungnya aku sudah menyuapinya lebih dulu. Jadi aku bisa tenang saat dia aktif bermain di Playground.Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Selama aku di sini cuaca memang kurang bersahabat. Pagi cerah, siang panas, pas sore hari hujan turun beserta angin.Mas Barra mencari cafe yang sangat nyaman. Meski guntur terdengar bersahutan tak membuat Zain ketakutan. Dia tetap asik bermain dengan teman-teman barunya."Kalau hujannya tidak reda Pak supir akan menjemput kita," ujar Mas Barra ketika aku sedang memperhatikan Zain."Kayaknya sih gak bakal reda sampai malam. Langitnya tambah gelap. Entah ini karena sudah petang atau memang mendung," balasku. "Keduanya benar. Sudah petang dan langit sedang mendung. Nanti malam bakal tidur nyenyak. Karena cuaca sangat dingin," lanjut Mas Barra.Ngomong-ngomong soal cuaca dingin mengingatkanku pada kelakuan Si
Seperti yang aku katakan pada Kevin saat sarapan tadi— seharian ini aku menghabiskan waktu dengan suami dan anakku di dalam kamar hotel. Aku dan Mas Barra ingin quality time dengan anak ganteng karena sering meninggalkannya bekerja. Meski hanya bermain di dalam ruangan— Zain terlihat sangat bahagia sekali. Dia bahkan tak mau tidur siang karena takut ditinggal Papinya. Kebiasaan Mas Barra jika anaknya sedang mode manja. Padahal aku sudah menjelaskan pada Zain jika Papi dan Maminya tidak akan pergi. Kami akan ikut tidur dan memeluknya sepanjang waktu.Sayangnya Zain sudah tidak percaya. Karena aku dan Mas Barra sering membohonginya. Berkata jika akan menemaninya tidur nyatanya meninggalkannya untuk bekerja.Akhirnya, Mas Barra menggendongnya. Menimang-nimang sambil membacakan sebuah dongeng. Pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Rasanya aku ingin memperpanjang liburan supaya memiliki waktu berkualitas dengan keluarga kecilku. “Aku tinggal berkemas gapapa ‘kan, Mas?”“Buat apa b
Aku terbangun dengan tubuh yang terasa remuk redam dan keadaan tempat tidur berantakan seperti kapal pecah. Jika mengingat kejadian semalam rasanya aku tak kuasa menampakkan wajahku di depan Mas Barra. Pasalnya setelah sesi percintaan kami yang pertama— tanpa sungkan aku memintanya lagi dan lagi. Semua itu aku lakukan sebagai bentuk permintaan maafku karena telah membuatnya kesal. Sebenarnya Mas Barra yang meminta lebih dulu dan aku langsung mengiyakan. Dan, selanjutnya aku lah yang menggodanya hingga malam panas selesai pukul 3 dini hari.“Sayang, sudah bangun?”Aku menoleh ke arah Mas Barra yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia hanya memakai handuk sebatas pinggang dan ada handuk kecil pada lehernya. Melihat dada bidangnya dan perutnya yang kotak-kotak membuat otakku traveling— teringat kejadian panas semalam. Aku pun langsung membuang wajah ke arah samping. Mencoba menetralkan degup jantung yang menggila— sambil menepuk-nepuk pipiku yang terasa panas. “Sayang, kenapa?”
Setelah ulah Kak Ravi yang membuat suamiku cemburu hingga mendiamkanku— kini hubunganku dengan Mas Barra tak kunjung membaik. Dia enggan dihubungi dan semua pesan yang aku kirim hanya dibaca tanpa berniat membalas. Seminggu sudah aku berada di Malang. Liburanku sangat membosankan karena aku tidak diperkenankan keluar dari kamar. Hanya Zain yang diajak jalan-jalan ketika mulai merengek karena bosan. Sementara aku? Aku tetap terkurung di kamar yang fasilitasnya sangat lengkap. Sebenarnya tak mengapa aku terkurung di dalam kamar. Asalkan Mas Barra tidak mendiamkanku dan mengabaikanku seperti ini. Sayangnya— dia sudah terlanjur ngambek dan menolak dihubungi. Malam ini, Kak Ravi datang dengan pakaian santai. Dia memberiku kotak yang ukurannya cukup besar. Saat aku membukanya isinya dress, sepatu, tas dan perhiasan. Aku tebak barang ini pasti kiriman dari Mas Barra. “Aku harus pulang malam ini juga ya, Kak?” Sepertinya tebakanku benar. Kak Ravi memintaku kembali ke Jakart
Tiga hari sudah aku berada di Malang— semuanya berjalan dengan lancar. Mulai dari komunikasiku dengan Mas Barra, Zain sangat antusias setiap aku ajak mengunjungi tempat wisata dan yang paling penting pekerjaan Kak Ravi selesai lebih cepat dari perkiraan.Ada satu hal yang tak aku duga— yaitu pertemuanku dengan teman sewaktu kuliah. Dia adalah Kevin. Selain teman kuliah, Kevin anak dari sahabat Papa. Hubungan keluarga kami sangat dekat. Karena Perusahaan Papa pernah menjalin kerjasama dengan Perusahaan keluarga Kevin.Kak Ravi pun sudah mengenalnya lama. Maka dari itu, dia mengizinkan Kevin mengajakku jalan-jalan keliling Malang. Namun, aku belum menceritakan pertemuanku dengan Kevin pada Mas Barra. Selain belum ada waktu— aku takut dia marah. Ya, pasti kalian tahu sendiri betapa posesifnya suamiku. Alhamdulillah, Mas Barra sudah sembuh. Seperti yang dikatakan olehnya tempo hari— jika dalam dua hari demamnya akan menghilang. Kini dia sibuk di kantor tapi selalu pulang tepat waktu.
Mas Barra tetap memaksa mengantarku dan Zain ke Bandara— padahal dia masih demam dan sempat mengeluh sakit kepala.Aku sudah menolak saat dia akan mengantar, memintanya istirahat di rumah Mama sebelum kembali ke kediaman keluarganya untuk menggelar acara tahlilan. Bukan Mas Barra jika tak keras kepala— dengan wajah pucat dan tubuh yang mulai menggigil dia tetap setia menemaniku menunggu pesawat.Sementara Kak Ravi sedang melakukan zoom dengan klien-nya— agar tak terganggu oleh suara Zain, aku sengaja menjauh darinya. “Mas— lebih baik kamu pulang sekarang. Wajah kamu semakin pucat dan tubuh mu tambah panas.”“Gapapa, sebentar lagi pesawat yang akan kamu tumpangi berangkat. Aku akan menunggu—”“Tapi kamu mulai kedinginan. Padahal udah pakai jaket tapi masih menggigil. Ayolah, Mas. Kali ini tolong dengarkan aku. Pulang saja ya.”“Sayang, aku beneran gapapa. Hanya demam sudah biasa terjadi ketika aku kelelahan bekerja. Dalam dua hari pasti sembuh.”Mas Barra bebal sekali!Jujur aku kesa
Meskipun aku masih sakit hati dengan ucapan Mas Barra— namun, aku tidak tega membiarkannya duduk memelas di depan teras rumah. Akhirnya, aku menemuinya dan memintanya masuk. Wajahnya terlihat pucat dan saat aku menyentuh keningnya suhu tubuhnya sangat tinggi. Mungkin karena semalaman dia berada di luar rumah. Hanya memakai kaos dan celana pendek. Padahal di dalam mobilnya selalu ada selimut tapi dia tak mau memakainya. Alhasil— aku mengurus Mas Barra lebih dulu sebelum bersiap ke Bandara. Suamiku sama sekali tidak. Dia hanya memandangku dengan intens dan memeluk lenganku seperti anak kecil yang takut ditinggal pergi Ibunya. “Minum obat dulu, Mas. Setelah itu istirahat. Hari ini gak usah ke kantor.”“Kamu mau pergi kemana, Sayang?”“Malang— aku akan membawa Zain berlibur selama satu minggu.”Keputusanku pergi liburan saat mertua baru saja meninggal mungkin akan menjadi pro dan kontra. Tapi, aku tidak peduli. Lebih baik dibicarakan oleh kerabat dekat ketimbang aku dan suami terlibat
Pagi ini aku terbangun karena mendengar suara teriakan Mas Barra. Ternyata dia masih berada di sini. Ku pikir sudah pulang karena tak ada yang membukakan pintu gerbang untuknya.Semalam, aku tidur telat karena harus menyiapkan keperluanku dan Zain. Nanti siang kami akan ikut ke Malang. Rencananya kami akan berada di sana selama satu minggu. Kata Kak Ravi bisa juga lebih jika pekerjaan belum selesai.Kali ini aku benar-benar marah dengan Mas Barra. Rasa kecewa yang hinggap dihatiku tak kunjung mereda meskipun aku sudah berusaha berpikir positif. Menanamkan pada otak dan hatiku jika perubahan sikap suamiku karena jiwanya sedang terguncang.Rencana pernikahan pertamaku batal dan membawaku pada takdir yang tak pernah ku sangka. Takdir yang mempertemukanku dengan keluarga Mas Barra dan si kecil Zain.Kini kami telah menjelaskan pasangan suami istri. Seharusnya saling menguatkan saat sedang mengalami musibah. Namun, kenyataannya hubungan kami justru merenggang.Entah karena Mas Barra yang s