Mendengar perkataan Nenek Zain membuatku salah tingkah. Ada rasa bahagia yang tidak bisa aku jelaskan saat mendengar ‘Mama Zain’ jantungku langsung berdebar dan seperti ada jutaan kupu-kupu di perutku.
Setelah makan siang, aku berguling-guling di atas ranjang sebelah Zain tidur. Ingin sekali berteriak kencang untuk mengeluarkan rasa yang membuncah di hatiku. Bukan rasa sesak melainkan bahagia.Padahal sejak tadi pagi pasienku memanggilku dengan sebutan itu. Tapi rasanya biasa saja tidak ada sesuatu yang spesial. Namun saat Nenek Zain yang mengatakannya membuat jantungku berdebar kencang.“Kenapa pipinya di tepuk-tepuk begitu?”Aku bangun, lalu melihat ke arah pintu. Ternyata, Mama yang datang. Bikin kaget saja! “Gapapa, lagi senam pipi saja.”“Pipi kamu merah banget, sakit?”“Pakai blush on kebanyakan tadi, Ma," jawabku asal.Mama menyentuh keningku, lalu ke leher belakang. “Ngak panas,” ucapnya heran.“Rumi u“Banyak banget beli bajunya. Mau dibuat apa sih? Mama juga jarang keluar kumpul-kumpul sama teman.”“Buat koleksi di rumah, Ma. Siapa tahu Papa ngajakin ke kondangan dadakan. Jadinya tinggal pakai gak perlu belanja lagi.”“Ya, nggak harus sampai 10 item juga, Sayang!”Mama terus saja menggerutu karena aku membelikan beliau banyak baju baru. Aku merasa baju di sini semuanya bagus kalau Mama yang memakainya. Tadi saat Mama mencoba dress pilihanku aku mengambil foto lalu ku kirim pada Papa. Papa menjawab, Mama terlihat sangat, sangat dan sangat cantik. Lalu, memintaku membelikan kemeja yang senada dengan dress Mama. Pastinya, Papa ku ingin couple-an dengan Mama ketika pergi ke suatu acara. Ah, manisnya mereka berdua.“Sudah, gapapa Mama sayang. Lagian udah di bayar juga ngak boleh dikembalikan,” jawabku sambil terkekeh.Mama masih cemberut tapi sudah berhenti menggerutu. Akhirnya pasrah juga beliau, hehe. “Sekarang mau kemana lagi?
Sesampainya di rumah, Mama langsung masuk kamar. Beliau berkata lelah dan ingin istirahat lebih awal. Papa sempat bertanya kepadaku karena sikap Mama yang mendadak jadi pendiam. Aku menceritakan kejadian di restoran saat kami akan makan malam. Tidak ada yang aku tambah dan kurang semua ku jelaskan sedetail mungkin.Seperti yang dilakukan oleh Mama, Papa meminta maaf padaku. Beliau juga berkata menyesal telah menjodohkanku dengan pria yang selama ini dianggapnya baik. Daffa tidak lebih dari seorang pecundang. Beraninya dengan perempuan dan berlindung di belakang ke dua orang tuanya.Aku meminta pada Papa merayu Mama agar mau makan malam. Jika aku yang minta pasti Mama akan menangis lagi. Padahal aku sudah mengatakan jika semua masalah yang terjadi bukan kesalahannya. Beliau masih saja menyalahkan diri hingga sering menangis diam-diam ketika tidak ada orang di rumah.“Gimana, Pa?”“Alhamdulilah sudah habis,” jawab Papa dengan memiringkan piring yang
Wajahku terasa semakin memanas saat Barra menatapku dengan lekat. Barra mengatakan tak suka melihatku sedih hingga berujung sakit dengan wajah seriusnya. Ketika aku melihat ke dalam matanya aku dapat merasakan ketulusan dari ucapannya.“Ehem …” Aku berdehem agar kecanggungan cepat mencair. Rasanya semakin tak nyaman saat tubuh kami semakin mendekat bahkan nyaris menempel. “Biar aku makan sendiri,” ujarku.Barra menjauhkan mangkuk saat aku ingin mengambilnya. “Biar aku suapi saja.” Dengan telaten dia menyuapiku hingga makanan habis tak tersisa. Padahal, biasanya aku tidak menyukai bubur. Entah kenapa kali ini aku bisa menghabiskan satu mangkuk besar bubur ayam?“Sudah habis, waktunya minum obat.”“Biar aku sendiri yang minum.”“Kamu diam saja dan jangan bergerak! Biar aku yang membantumu kali ini,” titah Barra tak mau dibantah.Aku mencebikkan bibir, menatap kesal ke arah Barra. Aku ini hanya demam dan pusing bukan terke
“Hai, sist. Pagi-pagi udah manyun aja, kenapa?”“Lagi sebel sama Kak Ravi!”“Kenapa lagi dengan Kakak gantengmu itu?”“Kamu tau kalau liburan kita terancam gagal gara-gara dia?”“Kok bisa? Kita ‘kan sudah sepakat buat rahasiakan ini dari Kak Ravi.”“Gara-gara Mama yang bocorin ke Eyang. Semalam Eyang tanya sama aku eh waktu kita bahas liburan ke Bali tiba-tiba Kak Ravi dan Papa datang. Ketahuan deh kalau kita mau berlibur.” “Hadeh, Mama Chandra memang selalu begitu ngak biasa diajak main rahasia.” Gista mendesah pelan lalu memeluk lenganku.“Padahal aku sudah bilang kalau Kak Ravi gak boleh tau. Bukannya tutup mulut Mama malah curhat sama Eyang. Kayak gak ada faedahnya kemarin aku rayu-rayu Mama.”“Terus Kak Ravi, gimana?”“Dia maunya kita ikut dengan aturannya. Seperti biasa semua kebutuhan kita selama di Bali Kak Ravi yang atur.”“Yah, mana asik kalau begitu? Trus apalah guna aku membeli ban
Aku mendapatkan kabar duka dari Kak Ravi. Katanya tadi pagi Papa Barra meninggal. Saking terkejutnya aku sampai menjatuhkan ponsel ke lantai. Air mataku mengalir deras membanjiri kedua pipiku. Membayangkan kehilangan orang tua membuat hatiku nyeri. Semoga Barra tabah dan bisa mengikhlaskan kepergian Papanya. Pesan dikirim Kak Ravi pukul 10 pagi dan aku baru membaca pukul 2 siang setelah selesai melakukan operasi dan rapat dengan divisiku. Aku menelepon Kak Ravi ingin bertanya keberadaannya saat ini.“Halo, Kak. Kakak lagi di mana?”“Dirumah Barra, Kakak sama Papa bantu urus pemakaman Papa Barra.”“Mama di mana?”“Mama juga di sini, bagian urus catering buat acara tahlilan nanti malam.”“Papa Barra sudah sampai di rumah, Kak?”“Sudah baru sampai, ini baru dibacakan yasin dan tahlil. Bentar lagi mau disholatkan di masjid langsung dibawa ke pemakaman.”“Rumi gimana?”“Sudah selesai operasinya?”“
Mama sejak pagi sudah sibuk membuat kue bersama Bibik. Sementara aku bertugas memandikan Zain dan menjaganya. Nanti malam akan diadakan acara tujuh harian Papa Barra. Mama menawarkan diri pada Tante Sarah untuk membuatkan snack sebagai jamuan para tetangga yang ikut acara tahlilan.Setelah pulang dari Singapura Zain kembli manja kepadaku. Dia tidak mau lepas sedetikpun dariku dan terpaksa aku membawanya pergi bekerja. Zain sangat anteng jika ikut ke rumah sakit. Dia akan jadi anak baik dan ramah.Jika sedang di rumah, Zain selalu menangis jika aku meninggalkannya. Mandi pun, sekarang aku selalu mengajaknya. Apalagi saat aku akan buang air besar dia juga akan ikut. Intinya aku ini harus tetap terlihat di kedua mata bulatnya.“Pulang jam berapa nanti, Sayang?”“Agak malam, Ma. Soalnya besok Rumi udah mulai cuti jadi harus beresin sisa pekerjaan sebelum pergi liburan.”“Bisa datang ke acara tujuh harian Kakek Zain?”“Insyaallah bisa
Akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di pulau yang terkenal dengan pesona alamnya yang indah, Bali. Semalam aku berangkat dari Jakarta pukul 10 malam diantar oleh Papa dan Mama. Aku hanya liburan selama satu minggu tapi kedua orang tuaku bertingkah sangat berlebihan seperti aku akan pergi selama bertahun-tahun.Oh, iya, aku mendapatkan perpanjangan cuti yang awalnya hanya tiga hari menjadi satu minggu. Ini berkat kebaikan dari teman dokterku, dia berkata jika aku jarang mengambil cuti panjang dan dia bersedia mengambil alih sementara para pasienku. Saat aku berpamitan pada suster-susterku, mereka mengatakan jika liburan kali ini aku harus me-refresh hati dan men-charge tenaga agar cepat move on dari mantan tunanganku. Sepertinya masih banyak yang mengira aku belum bisa melupakan pria brengsek bernama Daffa. Padahal aku sudah melupakannya semenjak pertunangan kami batal!“Wow, mewah sekali, Rum.”“Jangan berisik Gis! Nanti Zain bangun.”
Aku kesal sekali dengan Barra. Sejak kapan aku menjadi istrinya? Aku bersedia mengasuh Zain bukan berarti langsung berubah status menjadi istri. Apalagi, setelah mengatakan itu Barra langsung mematikan panggilan video. Padahal aku belum sempat protes dan mengomel padanya. “Manyun terus dari tadi, kenapa?”“Gapapa,” jawabku singkat. “Habis sarapan harusnya bahagia. Lagipula, Barra habis telpon ‘kan?”“Hmmm.”“Aneh banget kamu, Rum. Gak kayak biasanya,” ujar Gista lagi.“Kesel banget aku sama Barra. Pokoknya kalau ketemu pengen aku tarik tuh telinganya. Kalau bicara suka seenaknya sendiri!”“Memangnya bicara apa dia?”Aku melambaikan tangan, meminta Gista mendekatkan badannya ke arahku. Wajahnya terlihat sangat antusias saat aku ingin memberitahu rahasia. “Cepat katakan!”“RAHASIAAAAA …”“Issshhh, kebiasaan!!!” serunya sambil mencebikkan bibir dan kembali ke tempat duduknya.
Sehari setelah melakukan foto prewedding, aku mendapatkan kabar yang kurang baik, yaitu kabar meninggalnya janin yang ada di dalam kandungan Kanaya. Sementara Kanaya masih berada di ruang ICU akibat pendarahan yang dialaminya. Dari cerita Kak Ravi, tak ada satupun keluarga Kanaya yang datang menjenguk. Padahal pihak rumah sakit telah menghubungi beberapa kali untuk meminta persetujuan tindakan. Barra seolah tak peduli dengan nasib malang yang dialami mantan tunangannya, malah berkata jika kematian janin Kanaya adalah karma atas perbuatan jahatnya. Meski wanita itu sering menggangguku dengan mengirim berbagai macam teror tapi aku sama sekali tidak menyimpan dendam. Aku turut prihatin atas musibah yang sedang dialami oleh Kanaya. Bahkan aku sempat meminta Kak Ravi agar membantu membayar biaya rumah sakit wanita itu meski ditolak mentah-mentah oleh kakakku. "Mikir apa sih?" Kak Ravi menarik hidungku saat aku melamun. "Pikirkan saja persiapan pernikahan mu. Jangan memikirkan hal yang
Menurut Mama waktu dua bulan terlalu sebentar untuk mempersiapkan pernikahan. Beliau sendiri yang harus mengurus segala persiapannya. Itu dikarenakan Mama Sarah tiba-tiba drop dan harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Foto prewedding bertema indoor. Bandung adalah tempat yang aku pilih. Selain sejuk pemandangannya sangat indah. Sekalian bisa ajak Zain jalan-jalan. Aku dan si ganteng telah sampai di Bandung lebih dulu. Sementara Barra akan menyusul setelah rapat. Tepatnya sore nanti dia baru berangkat ke kota kembang. “Cantik banget semua dress rancanganmu,” ujarku ketika Gista datang membawa empat model dress yang akan aku kenakan besok. “Ya gimana nggak bagus, bikinnya saja sepenuh hati, sudah aku anggap anak sendiri para kain-kain ku,” jawabnya asal. “Oh, iya, Gis— kata Kak Ravi kemarin kamu ketemuan sama klien yang bawel itu. Mau apa lagi mereka menghubungimu?” Gista mendesah kesal, lalu mengerucutkan bibirnya sembari beranjak dari tempatnya berada, berjalan mend
Aku mendapatkan kabar dari Mama jika Zain tiba-tiba demam. Saat ini aku masih berada di rumah sakit, baru selesai praktek, rencananya sebelum pulang ingin makan malam sebentar dengan Gista.Namun, Gista menyuruhku cepat pulang ke rumah. Dia juga meminta maaf tidak bisa menjenguk Zain karena sudah ada janji dengan kedua orang tuanya.Sesampainya di rumah, aku kebingungan mencari keberadaan Mama dan Zain. Semua kamar telah aku periksa namun hasilnya tetap nihil."Eh, Non Rumi. Cari Ibu dan Den Zain?""Iya, Bik. Kata Mama tiba-tiba Zain demam. Aku pulang cepat karena khawatir eh sampai rumah gak ada orang.""Bibik dapat pesan dari Ibu. Katanya Non Rumi di suruh nyusul ke alamat ini—"Bibik memberikan selembar kertas yang bertuliskan alamat sebuah restoran. Keningku mengernyit, bingung untuk apa aku harus menyusul ke sana, padahal Zain tengah sakit.Saat aku tak kunjung bicara, Bibik berkata lagi, "Ibu telah menyiapkan pakai
Daffa telah diusir tetap memaksa ingin masuk untuk bertemu denganku dan Zain. Saat satpam menghalangi langsung membuat keributan di depan rumah hingga para tetangga merasa terganggu. Lalu mengatakan jika ingin bertemu dengan putranya. Mantan tunanganku, Daffa sungguh tak tahu malu. Dengan santai datang ke rumah ku seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Hingga akhirnya, Kak Ravi yang turun tangan sendiri. Perdebatan pun tak terelakkan padahal aku meminta kakakku agar tidak memperpanjang masalah. “Aku hanya ingin bertemu dengan putraku!” teriak Daffa di depan pagar. “Putra?” tanya Kak Ravi sembari tersenyum mengejek. “Zain adalah anak kandungku. Aku berhak bertemu dengannya.” “Hm, berhak katamu?” “Minggir! Jangan menghalangiku untuk bertemu dengan putraku!” Kak Ravi mendorong tubuh Daffa saat memaksa masuk ke dalam halaman rumah. Tubuh kurusnya terhuyu
Barra adalah tipikal pria tidak sabaran. Baru aku terima cintanya langsung mengajakku menikah bulan depan.Dia pikir menikah itu gampang?Tinggal membalikkan telapak tangan lalu selesai.Meski aku sudah pernah dilamar dan hampir menikah. Tetap saja aku ingin diperlakukan sama layaknya para gadis pada umumnya.Secara tidak langsung aku ingin Barra datang membawa orang tua dan beberapa saudara untuk melamar ku. Tak perlu acara besar dan mewah. Cukup acara sederhana asalkan penuh dengan makna."Kamu maunya kapan?" Tanya Barra."Ya belum tahu. Aku akan membicarakan dengan Mama dan Papa terlebih dulu ""Bakal lama," rengeknya seperti anak kecil. "Aku sudah tidak sabar ingin segera tinggal bersama kalian. Rumah terasa sepi setelah Mama memutuskan tinggal di panti asuhan."Mama Sarah memilih tinggal di panti untuk mengusir rasa sedihnya. Kala sendirian beliau masih sering menangis saat teringat mendiang suami dan putri
Teror yang aku dapatkan tiap minggu menjadi setiap hari. Ada-ada saja yang dikirim oleh si tukang teror ke tempat kerjaku. Mulai dari makanan busuk, binatang mati, boneka berdarah hingga boneka santet.Apa aku takut? Awalnya iya namun lama-kelamaan menjadi terbiasa. Aku menganggap teror itu adalah surat cinta dari mantan yang susah move on.Ah, iya, satu lagi si pengganggu yang mulai merusuh dalam kehidupanku. Mantan tunangan yang baru saja keluar dari penjara, Daffa.Kemarin dia datang ke rumah untuk bertemu denganku juga putranya. Mungkin dia tahu tentang Zain yang diasuh oleh Mama dari orang tuanya.Hanya bertanya dan tidak ada niatan ingin mengambil bayi mungil itu. Daffa menganggap jika Zain adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Kesalahan yang membuat masa depannya hancur hingga kehilangan cinta.“Rumi—” panggil Gista. “Ada paket,” ucapnya lagi.“Teror apalagi yang aku dapatkan?” tanyaku tanpa melihat ke arah sahabatku.
Cittt ... Brak!!! Tubuh terhuyung ke depan dan kepalaku membentur dashboard ketika Barra mengerem mendadak. “Akhhh, sakit –” Aku meringis kesakitan sambil memegang kepala. “Sayang, kamu tidak apa-apa ‘kan?” Barra melepaskan seat belt yang masih melilit tubuhku. Lalu memeriksa luka akibat benturan dashboard yang terasa nyeri.Tiba-tiba saja ada mobil warna putih berhenti di depan mobil yang dikendarai oleh Barra. Alhasil dia mengerem mendadak agar tak menabrak mobil itu.Tangan Barra membelai lembut pelipis ku dan meniupnya pelan. “Maaf, aku tidak sengaja membuatmu terluka,” ujarnya.“Hm, lebih baik kita lanjutkan lagi perjalanan. Aku merasa ada yang sengaja –”Kalimatku terpotong saat kaca mobil diketuk keras dari luar. Aku dan Barra pun terlonjak kaget. “Siapa mereka, Bar?” tanyaku kaget ketika melihat empat orang berbadan besar.“Kamu tetap di dalam dan kunci mobil setelah aku keluar,” titah Barra
Liburan telah usai, kini aku telah kembali ke rutinitas biasa. Bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, mengurus Zain lalu berangkat ke rumah sakit.Sekarang ada kegiatan tambahan setiap jam makan siang. Kegiatan yang membuat aku jadi bahan perbincangan seantero rumah sakit.Barra selalu datang ke tempat kerjaku sebelum jam istirahat. Jika tidak mengajakku ke luar pasti dia membawakan makan siang untuk dimakan bersama.Seperti siang ini, sudah aku bilang jika ada rapat dengan petinggi rumah sakit tapi dia tetap ngeyel. Datang membawa begitu banyak makanan untuk dibagikan pada teman-temanku.“Terima kasih, Dok. Makan siang nya selain mewah juga enak sekali rasanya,” ujar salah satu Dokter senior di rumah sakit ini.“Sama-sama, Dok. Maaf rapat hari ini sedikit terganggu.”“Kami justru senang jika hubungan Dokter Rumi dengan Pak Barra mengalami peningkatan,” jawab beliau sebelum berlalu meninggalkan ruang rapat.Barra memang paling pandai membuatku kesal. Tak cukup merecoki hari-hariku seka
“Kenapa Kak Ravi sampai memukulmu? Kalian ini kalau punya masalah selalu diselesaikan dengan cara kekerasan. Memangnya tidak bisa dibicarakan baik-baik.”Barra justru senyam-senyum tak jelas sembari menatap ke arahku. Barusan aku sedang mengomel bukan mengajaknya bercanda. Aneh sekali!Lagipula sebenarnya ada masalah apa lagi diantara dia dan kakakku?Perasaan tadi siang baik-baik saja. Keduanya terlihat akur tak seperti sedang memiliki masalah. Semakin kupikirkan semakin membuatku pusing.“Duduk didepanku sini biar aku obati dulu lukamu. Sudah berubah jadi biru pasti terasa nyeri,” pintaku pada Barra agar pindah ke sofa panjang yang saat ini aku tempati.Dia pun langsung menurut. Mendaratkan bokong tepat didepanku setelah itu mencondongkan badannya ke depan. “Aku sudah menunggunya sejak tadi pagi tapi kamu terkesan tak peduli dengan luka di wajahku,” ujarnya kemudian.“Bukan tidak peduli aku hanya takut bertanya. Kamu adalah ora