Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Mama. Dengan mudahnya beliau memintaku menjadi ibu angkat Zain.Apa Mama lupa kalau anaknya yang cantik ini masih single dan belum pernah menikah? Bagaimana kata orang-orang nanti? Dikira aku punya anak di luar pernikahan.Saran Papa tadi tak kalah menyebalkan. Beliau memintaku untuk menikah dengan Barra. Dengan begitu otomatis Zain akan menjadi anakku."Rum ...""Hmmm.""Gak makan?" Kak Ravi masuk ke dalam kamarku."Masih kenyang tadi abis nongkrong sama Gista. Kakak tumben udah pulang?""Di telpon Mama tadi," jawabnya setelah ikut berbaring di ranjang.Aku mendengkus kesal. Pasti Mama sudah cerita juga pada Kak Ravi soal permintaan Barra. "Mama bilang apa?""Sama seperti yang kamu tau.""Menurut Kakak, Rumi harus gimana?""Tolak saja!"Senyum cerah terbit di wajahku, Kak Ravi memang yang terbaik. Aku mendekat lalu memeluknya erat. "Car
Aku mencebikkan bibir ke arah Barra. Apa maksudnya tadi berbicara seperti itu? Apa dia kira hubungan suami-istri itu bisa dibuat bahan bercanda?Begitu gampangnya dia mengatakan pada orang yang tidak dikenal bahwa aku ini istrinya. Bagaimana jika ada orang yang mengenal kami kebetulan ada disana? Bisa-bisa mereka salah paham dengan ucapan Barra tadi."Cemberut terus dari tadi, maafin aku ya.""Jangan suka asal ngomong! Kalau ada yang dengar bisa jadi salah paham nanti," protes ku agar dia tidak mengulangi hal semacam itu lagi."Iya ini yang terakhir. Ngak akan aku ulangi lagi!""Hmmm.""Oh iya, katanya mau ajak aku bicara. Mau bicara soal apa?"Sebelum bicara aku membetulkan posisi Zain yang sudah tidur nyenyak dipangkuanku lebih dulu. Setelah itu, menyiapkan kalimat terbaik untuk memulai obrolan dengan Barra. Agar dia dapat mengerti dengan jelas maksudku dan tidak tersinggung dengan kalimat yang akan aku sampaikan.
“Aku sedang mengandung anak dari tunangan Anda, Dokter Narumi!”Seorang gadis belia menemuiku di rumah sakit tempatku bekerja berhasil membuat duniaku runtuh. “Apa benar yang kamu katakan?” tanyaku memastikan dan dia pun mengangguk sembari menangis. “Aku minta maaf, tapi aku tak berbohong. Ini murni ketidaksengajaan, tetapi aku tetap membutuhkan suami. Aku tidak mau saat anakku lahir ke dunia tak memiliki seorang ayah.” Aku tercekat.Satu hal yang pasti, semua terjadi begitu cepat.Pernikahan yang tinggal menghitung hari terpaksa harus dibatalkan karena kesalahan calon suamiku. Dia dan keluarganya sempat tak terima. Tapi, aku memintanya bertanggungjawab, hingga keluarganya setuju meski kedua orang tuanya masih membela diri.Menurut mereka, putranya dijebak oleh pesaing bisnis dan dengan angkuh. Aku hanya diam.Bagiku yang terpenting, rencana pernikahan itu berakhir.Namun siapa sangka, keluarga Daffa justru mengatakan pernikahan batal karena aku ketahuan selingkuh.Entah d
Aku menggeleng. Bukan seperti itu kejadiannya. “Tidak! Anda salah. Bukan saya yang telah merebut. Tapi ...” Ucapanku terhenti saat Gista, sahabatku dari spesialis Anak, datang. Bukan saatnya aku menjelaskan permasalahan yang sebenarnya terjadi. Aku tidak seharusnya menyebarkan kesalahan yang sudah dilakukan Divya saat dia baru saja berpulang. Aku mendekat ke arah Barra. “Maaf, karena saya tidak bisa membantu adik anda lagi,” ujarku sebelum pergi. *** “Kenapa sih kamu diam saja?! Harusnya kamu tuntut Kakak pasien itu!” Sejak tadi, Gista terus mengomel. Kini dia tengah mengkompres pipiku yang sudah mulai terlihat memar. “Mana aku tega, Gis? Mereka baru saja kehilangan anak. Keluarganya masih dalam keadaan berduka.” Gista mendengkus kesal. Pasti akan mulai mengomel lagi. “Sudah tau sedang berduka. Masih sempat memfitnah orang!” “Kita ‘kan gak tau informasi apa yang telah keluarga mereka dapatkan. Mungkin saja keluarga Daffa mengarang cerita lagi. Seolah-olah aku yang melakuka
Gista menunjuk Zain sebagai jawaban. Terpaksa aku memiringkan tubuh kecil Zain agar pria itu dapat melihat wajah anaknya. Barra menghembuskan nafas lega. Wajah panik sekaligus khawatir kini sudah tidak terlihat lagi. “Suster Zain kemana, Dok?” tanyanya dengan mendekat ke arahku. “Suster Zain, saya suruh pergi makan siang, Pak. Mumpung Zainnya tenang digendong sama Dokter Narumi,” jawab Gista. “Nama saya Barra Dayyan jauhar. Panggil saja Barra.” Dia mengulurkan tangannya pada Gista. “Saya, Gista. Dokter anak yang menangani Zain.” Barra melihat ke arahku. “Kalau ini Dokter Narumi. Dia Dokter kandungan. Kebetulan lagi main ke ruangan saya. Sekalian bantuin jaga Zain,” terang sahabatku. Barra berjongkok di hadapanku. Dia mengelus pipi Zain lalu menciumnya. “Terima kasih sudah mau menjaga Zain,” ucapnya lirih. Aku mengangguk. Mencoba menetralkan degup jantung yang berdetak sangat cepat. “Sama-sama, Pak.” “Boleh, kita bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin saya sampaika
Aku masih menatap layar ponselku yang telah meredup. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sudah larut begini Barra meminta untuk melakukan panggilan video? “Kenapa, Sayang? Gelisah terus sejak tadi?” tanya Mama saat aku tak kunjung tidur. Aku ragu mengatakan pada Mama soal pesan yang dikirim oleh Barra beberapa menit yang lalu. "Ma, Rumi boleh angkat telepon ngak?” ucapku dengan sangat pelan. “Astaga, Nak! mau angkat telepon saja udah kayak mau akad nikah?” Aku mendengkus ke arah Mama. Kenapa sih semuanya harus di sangkut pautkan dengan pernikahan? “Rumi takut ganggu tidurnya Mama.” “Memangnya dengan kamu bolak-balik krasak-krusuk sejak tadi gak gangguin Mama?” Aku nyengir, ternyata kegalauanku mengganggu beliau. “Kalau begitu, Rumi angkat telepon dulu ya?” “Mau kemana?” Mama menahan lenganku saat akan meninggalkan kamar. “Mau angkat telepon doang, Ma. Katanya tadi boleh?” “Iya, memang. Tapi kenapa angkat telepon pake keluar segala? Di sini saja!” Aku berfikir sejena
“Rumiiiiiiiiiiiii,” panggil Gista setelah membuka pintu ruanganku. “Hmmm,” gumamku tanpa melihatnya. “Sudah mau pulang?” “Mau sekalian bareng ngak?” tawar Gista. Aku menggeleng. “Duluan saja, masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan dulu.” “Dijemput Kak Ravi?” “Kayaknya sih iya. Tadi dia kirim pesan mau sekalian jemput pas pulang kantor.” Bukannya pulang Gista malah merebahkan dirinya di sofa. “Gak jadi pulang?” tanyaku heran. “Malas di rumah sendirian!” Aku menjawab dengan anggukan kemudian melanjutkan kembali sisa pekerjaan yang tinggal sedikit. Papa dan Kak Ravi sampai Jakarta sekitar jam 7 pagi. Aku tidak ikut menjemput karena harus berangkat ke rumah sakit sebelum subuh. Tadi pagi Papa langsung pulang ke rumah. Beda dengan Kak Ravi, Manusia pecinta bekerja itu langsung menuju ke kantor. Semalam Zain tidak bangun sama sekali. Dia tidur dengan sangat pulas di antara kami. Aku mengira Mama akan membawa Zain tidur di kamarnya. Ternyata dugaanku salah, Mama me
Selesai mendapat sidang dadakan dari Papa dan Kak Ravi, aku langsung menyusul Mama dan Gista di ruang tamu. Tadi kedua bodyguard ku sempat marah saat aku menceritakan Barra pernah menamparku. Aku juga menjelaskan pada mereka jika Barra sudah meminta maaf. Dia bisa berbuat kasar seperti itu karena salah menerima informasi dari orang kepercayaannya. Tetap saja Papa dan Kak Ravi belum bisa menerimanya. Mereka berkata akan memberi pelajaran pada Barra saat bertemu nanti. “Lama banget sih, Rum. Mandi apa tidur di kamar mandi?” “Namanya juga anak gadis harus bersih dong mandinya. Makanya agak lama.” Gista mencebik karena dia adalah manusia penganut mandi kilat. “Mazakkkkk?” Aku cuek saja, lagi malas melayaninya. “Adek ...” aku memanggil Zain yang sedang asik menonton TV. Dia melihat kearahku langsung saja mengulurkan kedua tangannya. “Kangen sama Mami ya?” ucap Mama yang membuat bola mata Gista hampir keluar. “Mama!” tegurku. Sementara tersangkanya memasang wajah polos. “Kenapa? Ad