Gista menunjuk Zain sebagai jawaban. Terpaksa aku memiringkan tubuh kecil Zain agar pria itu dapat melihat wajah anaknya.
Barra menghembuskan nafas lega. Wajah panik sekaligus khawatir kini sudah tidak terlihat lagi. “Suster Zain kemana, Dok?” tanyanya dengan mendekat ke arahku. “Suster Zain, saya suruh pergi makan siang, Pak. Mumpung Zainnya tenang digendong sama Dokter Narumi,” jawab Gista. “Nama saya Barra Dayyan jauhar. Panggil saja Barra.” Dia mengulurkan tangannya pada Gista. “Saya, Gista. Dokter anak yang menangani Zain.” Barra melihat ke arahku. “Kalau ini Dokter Narumi. Dia Dokter kandungan. Kebetulan lagi main ke ruangan saya. Sekalian bantuin jaga Zain,” terang sahabatku. Barra berjongkok di hadapanku. Dia mengelus pipi Zain lalu menciumnya. “Terima kasih sudah mau menjaga Zain,” ucapnya lirih. Aku mengangguk. Mencoba menetralkan degup jantung yang berdetak sangat cepat. “Sama-sama, Pak.” “Boleh, kita bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada Dokter Narumi.” “Apa?” “Saya ingin meminta maaf karena telah salang sangka dengan Dokter.” “Bapak ingat saya?” Aku tidak menyangka jika Barra masih ingat denganku. “Tentu saja. Bagaimana?” Aku melihat ke arah Gista. Dia mengangguk. “Baiklah, tapi setelah pulang kerja.” Barra tersenyum membuatku semakin tak nyaman berada di dekatnya.Aku bergegas pamit kembali ke ruangan ketika suster Zain sudah datang.
***
“Jangan lupa titipan Rumi. Gak mau tau pokoknya harus dibelikan!” ucapku saat mengakhiri telepon dari Kak Ravi.
Sudah satu minggu Kak Ravi dan Papa mengunjungi proyek yang ada di Papua. Aku minta oleh-oleh tas noken dalam jumlah banyak.
Rencananya aku akan membagikan tas itu pada anak-anak panti dan pengurusnya. Setiap akhir pekan aku akan berkunjung ke panti asuhan milik keluargaku. Disana aku bisa berbagi canda dan tawa dengan anak-anak kecil yang sangat lucu. “Maaf telat. Sudah nunggu lama ya?” ucap Barra dengan wajah sungkan. Aku sudah menunggunya lebih dari satu jam. “Lumayan.” Awalnya aku ingin mengomel. Dia yang mengajak bertemu malah datang telat. Namun, setelah melihat wajah lelahnya aku mengurungkan niatku. “Sekali lagi saya minta maaf. Ada sedikit masalah di kantor. Saya harus menyelesaikannya lebih dulu,” ujarnya lagi sambil mengatur nafas. “Iya, Gapapa. Mau pesan minum dan makanan?” aku menawarinya terlebih dahulu. Sepertinya selain lelah dia juga lapar. Kebiasaan pengusaha sukses ya gitu. Pekerjaan lebih penting dari makan. Kalau belum masuk rumah sakit pasti tidak akan ada waktu untuk istirahat. “Minuman yang segar. Gerah banget!” “Ngak, makan?” “Tidak usah. Saya masih kenyang.” Aku mengangguk. Lalu pergi menuju kasir untuk memesankan minuman. Di cafe ini mempunyai sistem pesan langsung bayar. “Mau bicara apa?” tanyaku setelah kembali duduk. “Sebelumnya saya ingin meminta maaf atas tindakan kasar yang saya lakukan di hari kematian Divya. Waktu itu, pikiranku sedang kacau dan …” Ucapan Barra terjeda saat pelayan mengantarkan pesanan. Sebelum dia melanjutkan obrolan aku memintanya minum lebih dulu. “Bukannya saat itu kita belum pernah bertemu?” “Sebenarnya saya sudah tahu mengenai kehamilan Divya. Karena dia tidak mau jujur terpaksa saya membayar orang untuk mengikutinya,” Barra menjeda kalimatnya untuk menarik nafas. Sepertinya kenangan buruk soal adiknya belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. “Waktu Divya pergi kerumah sakit saya kira sedang cek kandungan. Tapi orang suruhan saya mengatakan jika dia menemui seorang Dokter yang merebut kekasihnya. Itu informasi yang saya terima. Lalu saya menyuruh orang untuk mencarikan semua informasi mengenai anda.” “Langsung percaya begitu saja tanpa mengkonfirmasi kebenarannya? Sekelas pengusaha sukses seperti Pak Barra bertindak seperti itu sungguh miris sekali. Untung saja saya tidak melapor pada pihak berwajib.” Barra menghela nafas panjang. Pasti dia malu karena berbuat kasar pada orang yang sudah membantu adiknya. Aku tidak dendam padanya hanya sedikit kecewa dengan sikap tledornya. “Ternyata saya salah besar. Informasi yang saya dapatkan justru berbanding terbalik dengan fakta yang sebenarnya. Seharusnya saya meminta maaf pada Dokter Rumi atas kesalahan Divya.” Karena masalah telah berlalu dan akupun sudah move on dari Daffa tidak ada alasan untuk tidak memaafkan Barra. “Iya, saya sudah memaafkan anda sejak lama.” Dia tersenyum. “Terima kasih,” ucapnya dengan tulus. “Kalau begitu sudah selesai ‘kan masalahnya? Saya boleh pamit pulang?” Barra seperti ingin menyampaikan sesuatu lagi. Namun dia mengurungkan niatnya. Mungkin karena aku sudah terlanjur pamit. “Iya, sudah. Maaf mengganggu waktu istirahat Dokter Rumi dan terima kasih untuk semuanya.” Saat di perjalanan pulang tiba-tiba aku teringat dengan Zain. Bayi mungil itu seperti kurang kasih sayang hingga rewel terus. Kenapa dia diasuh oleh Babysitter? Lalu kemana Kakek dan Neneknya?’ Ah, sudahlah. Kenapa aku jadi memikirkan hal itu?***
Toktoktok! “Rumi ...”
Suara mama terdengar begitu aku selesai mandi dan bersiap tidur.
“Iya, Ma. Masuk aja ngak dikunci!”
“Belum tidur, Sayang?” tanya Mama begitu masuk.
“Belum, Ma. Masih nonton film. Nanggung tinggal dikit.”
Mama naik ke atas ranjang lalu berbaring di sebelahku. Tujuannya kemari pasti karena takut tidur sendirian.
“Malam ini Mama bobok di sini ya?” ucapnya dengan memeluk guling.
Aku melihat ke arah Mama dengan kedua alis terangkat ke atas. “Tumben, ada apa Ma?”
“Mama takut tidur sendirian?”
“Ha?” Tuh ‘kan bener dugaanku. Pasti Mama habis dapat cerita seram dari tetangga. Sudah tahu penakut masih suka dengerin cerita horor.
“Tadi Bu RT cerita sama Ibu-Ibu waktu belanja. Katanya di dapur rumahnya ada bayangan aneh.”
“Iya, itu ‘kan di rumah Bu RT. Kalau di rumah kita aman. Gak ada yang namanya hantu. Hantunya udah Rumi usir semua.”
“Bisa saja hantunya main ke rumah kita. Tinggal nyebrang jalan langsung sampai.”
“Mana ada sih hantu main ke rumah tetangga? Yang ada Mama yang suka main ke rumah tetangga. Malah nyalahin hantu!”
“Pokoknya malam ini Mama mau bobok sama kamu!” seru Mama sambil menekuk wajahnya.
Aku tertawa melihat ekspresi memelas Mama. Tadi, aku hanya bercanda saja. Tidak mungkin aku tega mengusir beliau dari kamarku. Bisa di pecat aku sebagai anak. “Iya, Mama sayang. Boleh kok bobok di sini.”
Mama tersenyum. Jenis senyuman yang menjadi favorit suami dan kedua anaknya. “Makasih, sayangnya Mama.”
Aku mematikan televisi setelah film yang kutonton selesai. Lalu, berbaring dan memeluk Mama. Selalu nyaman dan membuat hati tenang jika berada di dekat malaikat tak bersayapku.
“Ma, Rumi mau cerita.”
“Cerita apa Sayang? Apakah Mama akan segera punya calon menantu?”
“Idih ...” aku mencebikkan bibir. Mama kalau diajak serius ujung-ujungnya pasti minta mantu. “Serius dong, Ma!”
“Iya, iya. Jadi mau cerita apa?” tanya Mama. Tangan halus beliau membelai lembut kepalaku.
“Tadi siang Rumi ketemu sama anaknya Daffa.”
“Kok bisa?”
“Waktu Rumi main ke ruangan Gista ada bayi mungil sedang demam tinggi ...”
Aku menceritakan pertemuan tak terduga dengan Zain dan Barra. Tak hanya itu saja, aku pun menceritakan soal permintaan maaf Barra. Semua yang terjadi dalam hidupku Mama pasti tahu. Karena aku tidak bisa menyimpan rahasia dari beliau. Sedekat itu hubungan kami.
“Anak Daffa namanya Zain?”
“Iya, Ma. Ganteng banget anaknya. Tapi kasian, Ma. Tubuhnya kurus dan sering menangis. Gista bilang sudah diberi vitamin tapi masih gak nambah beratnya badannya.”
“Memang dia punya suster yang tulus menyayanginya. Tapi, kasih sayang keluarga beda dengan orang lain. Mungkin Zain bisa merasakan perbedaan itu meski masih bayi.”
Aku mengeratkan pelukanku pada Mama. “Makasih ya, Ma.”
Mama mengernyitkan kening. Pasti beliau bingung dengan ucapan random ku. “Untuk apa?”
“Semuanya. Meski sudah besar Mama masih suka manjain Rumi, masakin makanan enak, peluk saat bobok dan masih banyak lainnya. Pokoknya terima kasih aja deh ...”
Saking gemesnya dengan ku Mama sampai menarik hidung ku cukup kencang. “Iya, sayang. Kembali kasih. Mama sayang sama kalian semua,” ucapnya sambil mencium kedua pipiku.
Aku dan Mama membicarakan hal random karena belum mengantuk. Meski sudah berumur beliau selalu asik diajak membicarakan artis-artis korea. Setiap kali ada drakor baru pasti aku mengajaknya menonton bersama. Jadi, selalu nyambung saat aku mereview drakor yang masih on going.
Oh, iya. Ngomong-ngomong soal Kak Ravi. Dia menggerutu karena setiap jam aku mengingatkannya soal oleh-oleh. Aku sampai tak kuasa menahan tawa ketika membayangkan wajah kesal Kak Ravi saat membeli tas dalam jumlah banyak.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?”
“Ingat Kakak.”
“Kamu jahil sekali. Besok kalau di balas Kakak jangan nangis.”
“Gak janji kalau itu, Ma.”
Ting ... terdengar pesan masuk di ponselku.
“Dokter Rumi. Apa saya bisa video call sekarang?”
Aku masih menatap layar ponselku yang telah meredup. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sudah larut begini Barra meminta untuk melakukan panggilan video? “Kenapa, Sayang? Gelisah terus sejak tadi?” tanya Mama saat aku tak kunjung tidur. Aku ragu mengatakan pada Mama soal pesan yang dikirim oleh Barra beberapa menit yang lalu. "Ma, Rumi boleh angkat telepon ngak?” ucapku dengan sangat pelan. “Astaga, Nak! mau angkat telepon saja udah kayak mau akad nikah?” Aku mendengkus ke arah Mama. Kenapa sih semuanya harus di sangkut pautkan dengan pernikahan? “Rumi takut ganggu tidurnya Mama.” “Memangnya dengan kamu bolak-balik krasak-krusuk sejak tadi gak gangguin Mama?” Aku nyengir, ternyata kegalauanku mengganggu beliau. “Kalau begitu, Rumi angkat telepon dulu ya?” “Mau kemana?” Mama menahan lenganku saat akan meninggalkan kamar. “Mau angkat telepon doang, Ma. Katanya tadi boleh?” “Iya, memang. Tapi kenapa angkat telepon pake keluar segala? Di sini saja!” Aku berfikir sejena
“Rumiiiiiiiiiiiii,” panggil Gista setelah membuka pintu ruanganku. “Hmmm,” gumamku tanpa melihatnya. “Sudah mau pulang?” “Mau sekalian bareng ngak?” tawar Gista. Aku menggeleng. “Duluan saja, masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan dulu.” “Dijemput Kak Ravi?” “Kayaknya sih iya. Tadi dia kirim pesan mau sekalian jemput pas pulang kantor.” Bukannya pulang Gista malah merebahkan dirinya di sofa. “Gak jadi pulang?” tanyaku heran. “Malas di rumah sendirian!” Aku menjawab dengan anggukan kemudian melanjutkan kembali sisa pekerjaan yang tinggal sedikit. Papa dan Kak Ravi sampai Jakarta sekitar jam 7 pagi. Aku tidak ikut menjemput karena harus berangkat ke rumah sakit sebelum subuh. Tadi pagi Papa langsung pulang ke rumah. Beda dengan Kak Ravi, Manusia pecinta bekerja itu langsung menuju ke kantor. Semalam Zain tidak bangun sama sekali. Dia tidur dengan sangat pulas di antara kami. Aku mengira Mama akan membawa Zain tidur di kamarnya. Ternyata dugaanku salah, Mama me
Selesai mendapat sidang dadakan dari Papa dan Kak Ravi, aku langsung menyusul Mama dan Gista di ruang tamu. Tadi kedua bodyguard ku sempat marah saat aku menceritakan Barra pernah menamparku. Aku juga menjelaskan pada mereka jika Barra sudah meminta maaf. Dia bisa berbuat kasar seperti itu karena salah menerima informasi dari orang kepercayaannya. Tetap saja Papa dan Kak Ravi belum bisa menerimanya. Mereka berkata akan memberi pelajaran pada Barra saat bertemu nanti. “Lama banget sih, Rum. Mandi apa tidur di kamar mandi?” “Namanya juga anak gadis harus bersih dong mandinya. Makanya agak lama.” Gista mencebik karena dia adalah manusia penganut mandi kilat. “Mazakkkkk?” Aku cuek saja, lagi malas melayaninya. “Adek ...” aku memanggil Zain yang sedang asik menonton TV. Dia melihat kearahku langsung saja mengulurkan kedua tangannya. “Kangen sama Mami ya?” ucap Mama yang membuat bola mata Gista hampir keluar. “Mama!” tegurku. Sementara tersangkanya memasang wajah polos. “Kenapa? Ad
Kalimat yang dikatakan Gista sukses membuatku tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Aku khawatir dengan keadaan Barra. Apa benar yang dikatakan Gista? Kak Ravi bisa khilaf dan berakhir menyakiti Barra lagi. “Rum, bangun!” suara Gista samar-samar terdengar di telingaku. “Narumi, bangun, bangun, bangun!” Kali ini bukan hanya suara namun tubuhku juga terasa bergerak-gerak. Apa sedang ada gempa? “Gempa …” aku bangun dengan tergesa dan melompat dari atas ranjang. “Hei!” panggil Gista yang masih duduk di tepi ranjang. Aku yang awalnya ingin berlari keluar kembali lagi merebahkan diri di kasur. “Kamu ngapain sih, Gis? Heboh banget bangunin orang. Aku kira ada gempa,” keluhku padanya. “Aku udah bangunin kamu pakai nada halus sampai ke nada tinggi. Tapi kamu tumben kebo banget. Biasanya juga gampang di bangunin?” “Semalam aku gak bisa tidur. Kayaknya jam 2 pagi baru bisa tidur deh. Makanya ngantuk banget, Gis.” Gista menarik tanganku saat melihatku ingin tidur lagi. "Sholat subuh dul
“Semuanya sudah dimasukkan ke dalam mobil, Pak?” tanyaku pada supir Papa yang hari ini aku mintai tolong untuk mengantar ke panti asuhan. “Sudah, Non. Bekal makanan yang disiapkan sama Nyonya juga sudah saya masukkan semuanya.” Aku mengangguk. “Terima kasih. Tunggu sebentar ya, Pak. Saya masuk ke dalam mau ambil tas sekalian panggil Gista.” Setelah sarapan selesai, Gista pamit kembali ke kamar untuk meeting virtual dengan kliennya. Ada beberapa bagian yang harus dirubah pada baju pengantin yang sedang dia kerjakan. Sedangkan Kak Ravi dan Barra sudah berangkat ke kantor. Mereka berdua ternyata sama saja hobby gila bekerja. Kalau Mama dan Papa, beliau berdua sedang membawa Zain pergi jalan-jalan ke taman komplek sebelum berangkat kondangan nanti siang. “Gis ...” panggil ku. Ternyata dia sudah selesai bersiap. “Yuk,” ajaknya dengan mengambil tasnya. “Kamu sudah mandi?” Dia menghentikan langkahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. “Cium, Nih!” perintahnya agar aku mencium
Gara-gara ulah dari Kak Ravi akhirnya aku terjebak dalam situasi canggung bersama Barra. Sudah hampir 15 menit perjalanan namun kami hanya diam saja. tidak ada yang berusaha untuk memulai percakapan. Terlalu fokus dengan pemandangan diluar jendela. Aku sampai tidak menyadari jika Barra sedang memandang ke arahku. “Rum ...” panggilnya, membuatku tersentak kaget. “Ah, iya. Ada apa Pak Barra?” jawabku dengan sedikit gagu. Dia tersenyum. Kenapa harus semanis itu? Gumamku dalam hati saat aku melihat ke arahnya. “Kenapa panggilnya Bapak? Panggil Barra saja. Kata Kak Ravi kita ini seumuran.” Aku mengangguk. “Umur kamu berapa?” “Tahun ini 28.” “Beda setahun.” “Masih tergolong seumuran kalau hanya beda satu tahun.” “Hmmm,” jawabku dengan membuang muka ke arah samping. Senyuman Barra membuat ketentraman jantungku terganggu. “Ngelamunin apa? Asik banget lihatin luar jendela terus.” “Ngak lihat apa-apa, bengong saja. Lagian bingung mau apa?” jawabku dengan sangat jujur membuat Barra te
Aku sengaja meminta semua orang untuk berkumpul di ruang keluarga. Tujuanku adalah ingin meminta penjelasan ucapan Papa. Aku tidak bisa menerima jika Mama hamil lagi! Bukannya tidak suka memiliki adik, namun di umur Mama yang sekarang terlalu beresiko tinggi untuk kembali hamil. "Mau apa sih Rum?" Tanya Kak Ravi yang sibuk dengan ipad-nya. Awalnya dia tidak mau diajak berkumpul. Katanya harus segera menyelesaikan sisa pekerjaannya. Setelah aku paksa dengan bumbu rayuan dan sedikit ancaman akhirnya Kakak mau keluar dari ruang kerjanya. "Rumi mau minta penjelasan sama, Mama," ucapku dengan melihat ke arah Mama. "Penjelasan apa?" tanya Mama dengan wajah bingung. "Apa mama hamil?" "APA?" teriak Mama dan Kak Ravi bersamaan. Sementara Papa, beliau tetap santai sembari bermain game di ponselnya. "Ngawur saja kamu!" Seru Kak Ravi dengan menjentikkan jari di keningku. "Mama jawab dong, Ma. Apa benar yang dikatakan Papa?" "Mama tidak mungkin hamil lagi. Tau sendiri 'kan umur Mama s
Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Mama. Dengan mudahnya beliau memintaku menjadi ibu angkat Zain.Apa Mama lupa kalau anaknya yang cantik ini masih single dan belum pernah menikah? Bagaimana kata orang-orang nanti? Dikira aku punya anak di luar pernikahan.Saran Papa tadi tak kalah menyebalkan. Beliau memintaku untuk menikah dengan Barra. Dengan begitu otomatis Zain akan menjadi anakku."Rum ...""Hmmm.""Gak makan?" Kak Ravi masuk ke dalam kamarku."Masih kenyang tadi abis nongkrong sama Gista. Kakak tumben udah pulang?""Di telpon Mama tadi," jawabnya setelah ikut berbaring di ranjang.Aku mendengkus kesal. Pasti Mama sudah cerita juga pada Kak Ravi soal permintaan Barra. "Mama bilang apa?""Sama seperti yang kamu tau.""Menurut Kakak, Rumi harus gimana?""Tolak saja!"Senyum cerah terbit di wajahku, Kak Ravi memang yang terbaik. Aku mendekat lalu memeluknya erat. "Car