“Aku sedang mengandung anak dari tunangan Anda, Dokter Narumi!”
Seorang gadis belia menemuiku di rumah sakit tempatku bekerja berhasil membuat duniaku runtuh.
“Apa benar yang kamu katakan?” tanyaku memastikan dan dia pun mengangguk sembari menangis.
“Aku minta maaf, tapi aku tak berbohong. Ini murni ketidaksengajaan, tetapi aku tetap membutuhkan suami. Aku tidak mau saat anakku lahir ke dunia tak memiliki seorang ayah.” Aku tercekat.Satu hal yang pasti, semua terjadi begitu cepat.
Pernikahan yang tinggal menghitung hari terpaksa harus dibatalkan karena kesalahan calon suamiku.
Dia dan keluarganya sempat tak terima. Tapi, aku memintanya bertanggungjawab, hingga keluarganya setuju meski kedua orang tuanya masih membela diri.Menurut mereka, putranya dijebak oleh pesaing bisnis dan dengan angkuh. Aku hanya diam.
Bagiku yang terpenting, rencana pernikahan itu berakhir.
Namun siapa sangka, keluarga Daffa justru mengatakan pernikahan batal karena aku ketahuan selingkuh.
Entah dosa apa yang sudah aku perbuat? Aku yang dikhianati namun aku pula yang menjadi tersangka perselingkuhan.
Padahal jelas-jelas, bukti rekaman CCTV di malam saat kejadian, tunanganku mendekati gadis belia itu dan mengajaknya minum alkohol....Tapi, tak kusebarkan karena aku tak ingin memperpanjang masalah.
"Morning, Dokter Rumi ...."Aku mendesah pelan ketika melihat kedatangan dokter paling menyebalkan seantero rumah sakit, tapi tetap kucoba untuk sopan. "Pagi juga Dokter Sabil.”
"Cerah sekali pagi ini. Tau gak, kenapa?"
Aku menggeleng. Sebenarnya malas menanggapi gombalan garing Dokter alay. Tapi, sudah terlanjur tak bisa kabur.
"Karena mataharinya ada di dekat aku. Jadi, hatiku bersinar dengan cerah."
"Dokter Sabil bisa saja.”
Aku mempercepat langkah agar segera sampai di ruanganku. Bukannya aku sombong atau tidak menghargai rekan kerja. Tapi, aku sedang menghindar dari gosip. Bisa saja aku terkena predikat perempuan gatal jika berjalan berdua dengan Dokter Sabil, apalagi status saat ini kembali available.
Untungnya, hari ini aku mendapatkan banyak pasien ibu hamil yang sedang memeriksakan kandungannya.
Jujur, aku sangat menyukai pekerjaanku ini.
Selain dapat berbagi ilmu dengan calon ibu, aku juga bisa berbagi kebahagiaan pada mereka ketika aku memberikan kabar jika mereka positif hamil.
Selalu ada perasaan haru yang menyelimuti hatiku, apalagi saat membantu proses melahirkan.
Ada rasa bahagia yang tidak dapat aku jelaskan dengan kata-kata.
Brak!
Namun lagi-lagi aku mendapatkan kejutan!
Pasien yang tak sadarkan diri karena efek obat bius adalah istri mantan tunanganku....
Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Kenapa sampai mendapatkan perlakuan kasar dari Daffa? Bukankah, selama ini Daffa adalah seorang Pria yang selalu memperlakukan wanita dengan lembut?
Tanpa pikir panjang, aku pun melakukan prosedur operasi yang selesai dalam waktu 45 menit.
Aku berhasil menolong bayi mungil lahir ke dunia.
Tit!
Suara Elektrokardiograf menunjukkan henti jantung.
Suasana seketika mencekam.
"Ambil defibrilator!" perintahku cepat.
Para perawat dan dokter anestesi menjadi panik.
Kami mencoba yang terbaik, tetapi nyawa sang ibu tak tertolong.
Pendarahan hebat yang dialami dan kondisi tubuh sangat lemah membuatnya tidak bisa bertahan.
Aku memenjamkan mata, menahan sendih.
Kutatap sejenak wajah gadis belia yang sudah tertidur dengan damai.
‘Kenapa dia memiliki takdir menyedihkan seperti ini?’ pedihku.
Sungguh, aku tak ada dendam.
Justru aku kasihan padanya.
“Terima kasih sudah berjuang melahirkan malaikat kecilmu. Maaf, kali ini aku tidak berhasil membantumu,” ucapku sambil membelai pipinya yang sedikit lebam.
Hanya saja, tangis histeris kedua orang tua gadis bernama Divya itu memenuhi lorong ruang operasi.
Mereka tidak bisa membendung kesedihannya saat aku mengatakan nyawa putrinya tidak dapat tertolong.
Plak!!!
Aku terhuyung begitu ada tangan besar yang menampar pipiku tiba-tiba.
“Barra! Apa yang kamu lakukan?!” teriak ayah dari Divya.
“Dia yang telah membunuh Divya kecil kita, Pa!”
Aku membelalakkan mata saat pria yang baru saja menamparku kini menuduhku sebagai pembunuh.
“Bukan dia Nak! Bukan Dokter yang membunuh adikmu! Tapi, suaminya sendiri yang telah membunuh Divya,” ucap Ibunya dengan memeluk lengan anaknya.
Dengan tatapan penuh amarah, pria yang dipanggil Barra itu masih terus menyalahkanku. “Mama tau dia siapa?” tanyanya dengan suara keras.
Kedua orang tuanya menggeleng.
“Dia adalah Narumi Azzura Arrasyid. Dia perempuan yang telah merebut suami Divya!” terang Barra pada semua orang.
Aku menggeleng. Bukan seperti itu kejadiannya. “Tidak! Anda salah. Bukan saya yang telah merebut. Tapi ...” Ucapanku terhenti saat Gista, sahabatku dari spesialis Anak, datang. Bukan saatnya aku menjelaskan permasalahan yang sebenarnya terjadi. Aku tidak seharusnya menyebarkan kesalahan yang sudah dilakukan Divya saat dia baru saja berpulang. Aku mendekat ke arah Barra. “Maaf, karena saya tidak bisa membantu adik anda lagi,” ujarku sebelum pergi. *** “Kenapa sih kamu diam saja?! Harusnya kamu tuntut Kakak pasien itu!” Sejak tadi, Gista terus mengomel. Kini dia tengah mengkompres pipiku yang sudah mulai terlihat memar. “Mana aku tega, Gis? Mereka baru saja kehilangan anak. Keluarganya masih dalam keadaan berduka.” Gista mendengkus kesal. Pasti akan mulai mengomel lagi. “Sudah tau sedang berduka. Masih sempat memfitnah orang!” “Kita ‘kan gak tau informasi apa yang telah keluarga mereka dapatkan. Mungkin saja keluarga Daffa mengarang cerita lagi. Seolah-olah aku yang melakuka
Gista menunjuk Zain sebagai jawaban. Terpaksa aku memiringkan tubuh kecil Zain agar pria itu dapat melihat wajah anaknya. Barra menghembuskan nafas lega. Wajah panik sekaligus khawatir kini sudah tidak terlihat lagi. “Suster Zain kemana, Dok?” tanyanya dengan mendekat ke arahku. “Suster Zain, saya suruh pergi makan siang, Pak. Mumpung Zainnya tenang digendong sama Dokter Narumi,” jawab Gista. “Nama saya Barra Dayyan jauhar. Panggil saja Barra.” Dia mengulurkan tangannya pada Gista. “Saya, Gista. Dokter anak yang menangani Zain.” Barra melihat ke arahku. “Kalau ini Dokter Narumi. Dia Dokter kandungan. Kebetulan lagi main ke ruangan saya. Sekalian bantuin jaga Zain,” terang sahabatku. Barra berjongkok di hadapanku. Dia mengelus pipi Zain lalu menciumnya. “Terima kasih sudah mau menjaga Zain,” ucapnya lirih. Aku mengangguk. Mencoba menetralkan degup jantung yang berdetak sangat cepat. “Sama-sama, Pak.” “Boleh, kita bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin saya sampaika
Aku masih menatap layar ponselku yang telah meredup. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sudah larut begini Barra meminta untuk melakukan panggilan video? “Kenapa, Sayang? Gelisah terus sejak tadi?” tanya Mama saat aku tak kunjung tidur. Aku ragu mengatakan pada Mama soal pesan yang dikirim oleh Barra beberapa menit yang lalu. "Ma, Rumi boleh angkat telepon ngak?” ucapku dengan sangat pelan. “Astaga, Nak! mau angkat telepon saja udah kayak mau akad nikah?” Aku mendengkus ke arah Mama. Kenapa sih semuanya harus di sangkut pautkan dengan pernikahan? “Rumi takut ganggu tidurnya Mama.” “Memangnya dengan kamu bolak-balik krasak-krusuk sejak tadi gak gangguin Mama?” Aku nyengir, ternyata kegalauanku mengganggu beliau. “Kalau begitu, Rumi angkat telepon dulu ya?” “Mau kemana?” Mama menahan lenganku saat akan meninggalkan kamar. “Mau angkat telepon doang, Ma. Katanya tadi boleh?” “Iya, memang. Tapi kenapa angkat telepon pake keluar segala? Di sini saja!” Aku berfikir sejena
“Rumiiiiiiiiiiiii,” panggil Gista setelah membuka pintu ruanganku. “Hmmm,” gumamku tanpa melihatnya. “Sudah mau pulang?” “Mau sekalian bareng ngak?” tawar Gista. Aku menggeleng. “Duluan saja, masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan dulu.” “Dijemput Kak Ravi?” “Kayaknya sih iya. Tadi dia kirim pesan mau sekalian jemput pas pulang kantor.” Bukannya pulang Gista malah merebahkan dirinya di sofa. “Gak jadi pulang?” tanyaku heran. “Malas di rumah sendirian!” Aku menjawab dengan anggukan kemudian melanjutkan kembali sisa pekerjaan yang tinggal sedikit. Papa dan Kak Ravi sampai Jakarta sekitar jam 7 pagi. Aku tidak ikut menjemput karena harus berangkat ke rumah sakit sebelum subuh. Tadi pagi Papa langsung pulang ke rumah. Beda dengan Kak Ravi, Manusia pecinta bekerja itu langsung menuju ke kantor. Semalam Zain tidak bangun sama sekali. Dia tidur dengan sangat pulas di antara kami. Aku mengira Mama akan membawa Zain tidur di kamarnya. Ternyata dugaanku salah, Mama me
Selesai mendapat sidang dadakan dari Papa dan Kak Ravi, aku langsung menyusul Mama dan Gista di ruang tamu. Tadi kedua bodyguard ku sempat marah saat aku menceritakan Barra pernah menamparku. Aku juga menjelaskan pada mereka jika Barra sudah meminta maaf. Dia bisa berbuat kasar seperti itu karena salah menerima informasi dari orang kepercayaannya. Tetap saja Papa dan Kak Ravi belum bisa menerimanya. Mereka berkata akan memberi pelajaran pada Barra saat bertemu nanti. “Lama banget sih, Rum. Mandi apa tidur di kamar mandi?” “Namanya juga anak gadis harus bersih dong mandinya. Makanya agak lama.” Gista mencebik karena dia adalah manusia penganut mandi kilat. “Mazakkkkk?” Aku cuek saja, lagi malas melayaninya. “Adek ...” aku memanggil Zain yang sedang asik menonton TV. Dia melihat kearahku langsung saja mengulurkan kedua tangannya. “Kangen sama Mami ya?” ucap Mama yang membuat bola mata Gista hampir keluar. “Mama!” tegurku. Sementara tersangkanya memasang wajah polos. “Kenapa? Ad
Kalimat yang dikatakan Gista sukses membuatku tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Aku khawatir dengan keadaan Barra. Apa benar yang dikatakan Gista? Kak Ravi bisa khilaf dan berakhir menyakiti Barra lagi. “Rum, bangun!” suara Gista samar-samar terdengar di telingaku. “Narumi, bangun, bangun, bangun!” Kali ini bukan hanya suara namun tubuhku juga terasa bergerak-gerak. Apa sedang ada gempa? “Gempa …” aku bangun dengan tergesa dan melompat dari atas ranjang. “Hei!” panggil Gista yang masih duduk di tepi ranjang. Aku yang awalnya ingin berlari keluar kembali lagi merebahkan diri di kasur. “Kamu ngapain sih, Gis? Heboh banget bangunin orang. Aku kira ada gempa,” keluhku padanya. “Aku udah bangunin kamu pakai nada halus sampai ke nada tinggi. Tapi kamu tumben kebo banget. Biasanya juga gampang di bangunin?” “Semalam aku gak bisa tidur. Kayaknya jam 2 pagi baru bisa tidur deh. Makanya ngantuk banget, Gis.” Gista menarik tanganku saat melihatku ingin tidur lagi. "Sholat subuh dul
“Semuanya sudah dimasukkan ke dalam mobil, Pak?” tanyaku pada supir Papa yang hari ini aku mintai tolong untuk mengantar ke panti asuhan. “Sudah, Non. Bekal makanan yang disiapkan sama Nyonya juga sudah saya masukkan semuanya.” Aku mengangguk. “Terima kasih. Tunggu sebentar ya, Pak. Saya masuk ke dalam mau ambil tas sekalian panggil Gista.” Setelah sarapan selesai, Gista pamit kembali ke kamar untuk meeting virtual dengan kliennya. Ada beberapa bagian yang harus dirubah pada baju pengantin yang sedang dia kerjakan. Sedangkan Kak Ravi dan Barra sudah berangkat ke kantor. Mereka berdua ternyata sama saja hobby gila bekerja. Kalau Mama dan Papa, beliau berdua sedang membawa Zain pergi jalan-jalan ke taman komplek sebelum berangkat kondangan nanti siang. “Gis ...” panggil ku. Ternyata dia sudah selesai bersiap. “Yuk,” ajaknya dengan mengambil tasnya. “Kamu sudah mandi?” Dia menghentikan langkahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. “Cium, Nih!” perintahnya agar aku mencium
Gara-gara ulah dari Kak Ravi akhirnya aku terjebak dalam situasi canggung bersama Barra. Sudah hampir 15 menit perjalanan namun kami hanya diam saja. tidak ada yang berusaha untuk memulai percakapan. Terlalu fokus dengan pemandangan diluar jendela. Aku sampai tidak menyadari jika Barra sedang memandang ke arahku. “Rum ...” panggilnya, membuatku tersentak kaget. “Ah, iya. Ada apa Pak Barra?” jawabku dengan sedikit gagu. Dia tersenyum. Kenapa harus semanis itu? Gumamku dalam hati saat aku melihat ke arahnya. “Kenapa panggilnya Bapak? Panggil Barra saja. Kata Kak Ravi kita ini seumuran.” Aku mengangguk. “Umur kamu berapa?” “Tahun ini 28.” “Beda setahun.” “Masih tergolong seumuran kalau hanya beda satu tahun.” “Hmmm,” jawabku dengan membuang muka ke arah samping. Senyuman Barra membuat ketentraman jantungku terganggu. “Ngelamunin apa? Asik banget lihatin luar jendela terus.” “Ngak lihat apa-apa, bengong saja. Lagian bingung mau apa?” jawabku dengan sangat jujur membuat Barra te