Bab 1
"Cowok kok pegang sendok sayur tiap pagi! Kamu nggak malu apa?" Bu Wiwik menatap sinis seorang pria yang berlalu lalang dengan mengenakan celemek sejak tadi. Pria yang disebut sebagai suami Devi itu sontak menoleh ke arah Bu Wiwik, kemudian melempar senyuman pada wanita paruh baya itu meskipun ia baru saja mendapatkan sindiran. "Mas, lihat kemeja putih punya aku nggak? Kok aku cari di lemari nggak ada?" Devi muncul di dapur dan menghampiri suaminya tanpa mempedulikan nyinyiran ibunya. "Bajunya aku setrika minggu kemarin. Coba kamu lihat di keranjang setrikaan," jawab sang suami yang bernama Bagas itu. "Keranjangnya ada di kamar, kan? Aku coba cari dulu," sahut Devi. "Buruan ganti baju! Nanti kamu telat. Aku udah bikinin teh sama sarapan buat kamu." Bagas begitu telaten mengurus pekerjaan rumah dan menyiapkan segala sesuatu untuk istrinya yang sebentar lagi harus berangkat bekerja ke kantor. Normalnya, para istri yang akan membereskan pekerjaan rumah dan menyiapkan sarapan untuk suaminya yang akan pergi bekerja. Namun, rumah tangga Bagas dan Devi tidak seperti rumah tangga orang-orang di luar sana. Diantara mereka, justru Bagas yang bertugas untuk mengurus rumah, sementara Devi bekerja di luar. Hal ini sudah berlangsung selama 1 bulan lamanya. Pasangan suami istri itu baru melangsungkan pernikahan satu bulan yang lalu. Keduanya terlihat begitu bahagia, meskipun mereka nampak seperti bertukar peran. "Suami kamu rajin banget, Devi? Pagi-pagi udah sibuk di dapur," sindir Bu Wiwik. "Habis ini kamu mau ngapain? Kamu mau cuci piring bekas istri kamu sama cuci baju dalamnya Devi?" cibir wanita paruh baya itu. Bagas mendengar dengan jelas perkataan ibu mertua, tapi pria itu memilih untuk tak menggubris. Bagas segera menyiapkan alat makan untuk istrinya, dan mengambilkan sarapan yang sudah ia masak. "Ibu kenapa sih tiap pagi marah-marah terus?" tegur Devi pada sang ibu. "Ibu nggak seneng apa punya menantu yang rajin?" "Ibu lebih seneng punya mantu yang punya banyak duit! Pagi-pagi begini, harusnya dia mandi terus berangkat ke kantor. Bukannya malah ngurus dapur sama cucian," gerutu Bu Wiwik. "Nggak ada salahnya kan kalau Mas Bagas bantuin aku di dapur? Kalau nggak ada Mas Bagas yang bantuin aku masak sarapan sama cuci baju, aku pasti udah telat sekarang," sahut Devi berusaha membela sang suami di depan sang ibu. Bagas hanya bisa diam untuk menghargai orang tua istrinya. Pria itu tahu betul kalau ibu mertuanya memang tidak terlalu menyukai dirinya. Sejak awal, Bu Wiwik memang sudah menentang hubungan Bagas dan Devi. Apa lagi alasannya kalau bukan karena ekonomi? Bagi Bu Wiwik, Bagas hanyalah pria miskin yang tidak akan bisa membahagiakan putrinya. Namun, sayangnya Devi tetap memilih Bagas hingga akhirnya wanita itu bisa menikah dengan pria pujaannya. "Kamu nggak malu apa lihat suami kamu kayak gini?" omel Bu Wiwik. "Kalau temen-temen kamu tanya soal kerjaan suami kamu, kamu mau jawab apa? Kamu mau umumin ke semua orang kalau suami kamu ini bapak rumah tangga?" "Bu, jangan ngomong gitu di depan Mas Bagas!" ujar Devi. "Emangnya kenapa? Omongan Ibu bener, kan?" timpal Bu Wiwik. "Apa yang bisa kamu banggain dari suami kamu? Kerjaan suami kamu nggak jelas, tiap hari dia cuma duduk di rumah ngurusin cucian." Bu Wiwik terus melayangkan hinaan pada sang menantu. Pak Handi, suami dari Bu Wiwik ikut mendengar omelan istrinya, tapi sayang pria itu tak bisa berbuat banyak. Di rumah itu, tak ada satu pun orang yang bisa melawan Bu Wiwik. Jika bukan karena Bu Wiwik, Devi dan Bagas juga tidak akan tinggal di rumah itu saat ini. Bagas terpaksa ikut tinggal bersama dengan mertua, karena Bu Wiwik tak mau Devi dibawa pergi. Sebagai anak satu-satunya, Devi hanya bisa mengalah dan menuruti kemauan ibunya. Sayangnya, keputusan Devi justru membuat suaminya tersiksa karena harus berhadapan dengan mertua julid seperti Bu Wiwik. "S-sini duduk, Mas! Ayo makan sama-sama!" ajak Devi pada Bagas yang berdiri di sudut dapur karena. "Kamu makan aja duluan! Nanti kamu keburu telat berangkat ke kantor. Suami kamu biar makan nanti aja! Dia kan nganggur di rumah. Dia bisa makan nanti," ujar Bu Wiwik pada Devi. Devi tak punya banyak waktu untuk meladeni ibunya. Wanita itu segera melahap makanannya, sementara suaminya masih sibuk di dapur, menyiapkan bekal untuknya. "Aku berangkat dulu ya, Bu!" pamit Devi, sembari mencium tangan sang ibu. "Hati-hati di jalan!" Devi beralih menghampiri suaminya, kemudian melayangkan kecupan singkat ke pipi Bagas. "Makasih sarapannya ya, Mas? Aku berangkat dulu," pamit Devi. "Ini bekalnya, Sayang." Devi nampak girang menyambut tas kecil berisi bekal makanan buatan suaminya. "Omongan Ibu jangan dimasukin ke hati, ya? Aku yakin Ibu nggak bermaksud ngomong kayak gitu. Tolong kamu lebih sabar ngadepin Ibu, ya?" Bagas mengangguk. Ini bukan waktunya untuk memperlihatkan wajah murung. Ia harus memberikan semangat pada istrinya yang akan berangkat ke tempat kerja. "Hati-hati di jalan, Sayang! Nanti pulangnya aku jemput." Begitulah gambaran singkat rumah tangga Devi dan Bagas. Pasangan pengantin baru itu hidup rukun bersama, namun keduanya tidak mendapatkan dukungan dari Bu Wiwik. Meski begitu, Bagas tak menyesal menikah dengan Devi. Berkat Devi, Bagas berhasil mendapatkan keluarga yang sudah ia impikan sejak lama. Sebagai orang yang hidup di panti asuhan sejak kecil, keluarga adalah hal mewah yang tak pernah didapatkan oleh Bagas selama hidupnya. Bersama dengan Devi, Bagas ingin mewujudkan keluarga impian yang sudah ia idam-idamkan sejak lama. "Bagas, kamu nggak ngapa-ngapain kan hari ini? Daripada kamu cuma duduk-duduk, mendingan Kamu bersihin rumput di halaman belakang!" perintah Bu Wiwik pada Bagas. "Hari ini teman-teman arisan ibu mau mampir ke rumah. Kamu jangan berani-beraninya muncul di depan teman-teman Ibu! Pokoknya kamu nggak boleh masuk ke rumah selama temen-temen ibu di sini." "Iya, Bu," jawab Bagas singkat. "Kalau kamu nongol siang-siang di rumah, nanti Ibu bisa ketahuan punya menantu pengangguran," gerutu Bu Wiwik. Bagas pasrah. Pria itu tak berani melawan kemauan ibu mertua. Hanya karena Bagas tidak bekerja di luar, Bu Wiwik selalu menganggap Bagas sebagai pengangguran, pria yang tidak punya pekerjaan jelas, bapak rumah tangga, dan sebutan sejenis yang menunjukkan kalau Bagas tidak berpenghasilan. "Nak Bagas, kamu nggak apa-apa, kan?" Pak Handi menghampiri Bagas dan berusaha menghibur menantunya itu. Berbeda jauh dengan Bu Wiwik, Pak Handi sangat baik pada Bagas dan pria itu mendukung penuh hubungan Bagas dan Devi. Sayangnya, Pak Handi tidak mempunyai suara di rumah, jadi ia tak bisa ikut membela Bagas saat Bagas diinjak-injak oleh Bu Wiwik. "Saya nggak apa-apa, Pak. Saya bersih-bersih halaman belakang dulu," pamit Bagas tanpa menunjukkan raut wajah sedih sedikit pun. Pria itu membersihkan halaman belakang dengan semangat, hingga pekerjaan Bagas terhenti karena sebuah panggilan telepon. Pria itu meletakkan sapunya sejenak, kemudian mencari tempat sepi untuk mengangkat telepon tersebut. "Halo?" "Saya sudah mengirimkan beberapa laporan," ucap seorang pria di seberang sana. "Oke. Saya akan kirimkan feedback secepatnya. Tolong kamu atur semuanya sesuai instruksi yang saya berikan." "BAIK, BOS!" *****Bu Wiwik terus memandangi Bagas yang tengah sibuk mencuci piring. Sesekali wanita paruh baya itu menghampiri Bagas, hanya untuk menambah cucian Bagas."Cuci sekalian pancinya!" perintah Bu Wiwik. "Jangan lupa wajannya digosok sampai pantatnya bersih!""Iya, Bu."Selesai mencuci piring, Bagas pun beralih mengurus cucian bajunya yang belum ia selesaikan. Belum sempat Bagas mencuci semua pakaian istrinya, tiba-tiba Bu Wiwik datang dengan membawa banyak sprei dan selimut kotor. "Cuci ini sekalian! Mumpung lagi panas begini, nyuci sprei sama selimut pasti bisa kering sehari," ujar Bu Wiwik.Bagas mengusap peluh yang bercucuran di dahinya. Pekerjaan rumah yang ia lakukan setiap harinya tak bisa selesai dengan cepat karena Bu Wiwik selalu mengganggu."Kalau nggak mau repot nyuci banyak piring sama nyuci sprei, mendingan kamu cari kerja di luar sana! Lebih enak cari duit daripada ngurus kerjaan rumah, kan?" sindir Bu Wiwik pada Bagas.Seperti biasa, Bagas hanya diam. Entah separah apa pun pe
#3"Sayang, kenapa bengong? Buruan dihabisin makanannya!" tegur Bagas pada istrinya yang melamun sejak tadi.Devi nampak tidak fokus. Wanita itu masih memikirkan foto pria yang dikirim oleh ibunya malam tadi. Wanita itu nampak penasaran dan ingin menanyakan banyak hal pada sang ibu."Devi, kamu lagi mikirin apa sih?"Devi tersentak kaget. "Aku nggak mikirin apa-apa," kilah Dewi."Kenapa sarapannya nggak dimakan? Masakan aku nggak enak, ya?" tanya Bagas."B-bukan gitu, Mas. Masakan kamu enak."Devi segera menghabiskan makanannya, kemudian wanita itu menyeret ibunya masuk ke dalam kamar untuk berbicara empat mata."Ibu dapat dari mana foto cowok yang Ibu kirim ke aku semalam?" bisik Devi pada Bu Wiwik."Kamu udah lihat fotonya? Gimana menurut kamu? Calon pilihan Ibu ganteng, kan? Kalau nggak salah, dia itu petinggi di bank. Namanya Randy.""Aku tanya, Ibu dapat foto itu dari mana?" tanya Devi lag
4)"Hari ini aku lembur ya, Mas? Kamu nggak perlu jemput aku. Kamu bisa tidur lebih awal. Nanti aku pulangnya bareng mobil jemputan kantor," ujar Devi saat berpamitan pada sang suami."Lembur lagi?"Sudah berhari-hari Devi pulang larut malam dengan alasan lembur di kantor. Selama lembur pula, Devi tidak meminta Bagas untuk menjemputnya di kantor."Kerjaan aku lagi banyak banget, Mas. Kemungkinan bulan ini aku akan sering lembur," ujar Devi.Bagas tidak memberikan banyak komentar. Pria itu sangat mempercayai istrinya dan ia tak menaruh curiga sedikitpun. "Aku berangkat dulu, ya?"Devi melambaikan tangan pada sang suami. Wanita itu tidak meminta suaminya untuk mengantar dirinya berangkat kerja. Devi beralasan sudah dijemput oleh mobil kantor, tapi sebenarnya wanita itu dijemput oleh mobil laki-laki tanpa diketahui oleh Bagas.Hal ini berlangsung selama berminggu-minggu. Devi selalu diantar jemput oleh seorang pri
5)Bagas duduk termenung sendirian di luar hotel. Wajah pria itu sudah berubah pucat. Matanya sudah memerah karena menahan tangis.Bagas benar-benar hancur. Tak pernah terbayangkan oleh dirinya sebelumnya, ia akan mendapatkan pengkhianatan seperti ini dari orang yang sangat ia cinta.Pria itu tak tahu harus berbuat apa saat ini. Pikirannya kalut dan kacau. Bagas duduk di trotoar jalan hingga pagi tiba. Pria itu sempat melihat mobil Randy keluar dari hotel setelah puas bersenang-senang dengan istri orang semalaman."Makasih buat malam ini ya, Mas? Jangan lupa besok kamu harus nemenin aku belanja!" ucap Devi sebelum keluar dari mobil Randy."Iya, Sayang."Devi segera turun dari mobil, kemudian melambaikan tangan pada selingkuhannya. Dengan senyum merekah, wanita itu mulai melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki sampai ke rumah. Tepat setelah wanita itu berbalik badan, tiba-tiba senyum Devi langsung menghilan
Baik Devi, Bu Wiwik dan Pak Handi, mereka tercengang dengan apa yang diberikan oleh Bagas. Deposito dengan jumlah uang yang fantastis, belum lagi sertifikat dua ruko. “Kamu pasti mau menipu kami, kan!” tuduh Bu Wiwik dengan tatapan tajam. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, dia berpikir bahwa menantunya itu hanya sedang menipu. Bagaimana bisa lelaki yang kesehariannya mengurus pekerjaan rumah punya banyak aset, bahkan bisa mengeluarkan deposito sampai seratus juta? “Kamu dapat uang ini dari mana, Bagas?” Pak Handi ikut menimpali. Sementara itu, Devi terlihat acuh tak acuh. Dia tidak terlalu peduli dengan kompensasi yang diberikan suami—atau lebih tepatnya mantan suami. Dia cukup lelah karena terpaksa melakukan kebohongan untuk menyelamatkan harga dirinya, meski pada akhirnya dia tidak bisa mengelak dari tuduhan pengkhianatan yang telah dilakukannya. “Kenapa diam saja?! Dari mana uang sebanyak ini?! Kamu habis nipu bank, ya?” Bu Wiwik tidak henti-hentinya menu
Bagas kembali ke rumahnya yang sudah cukup lama dia tinggal. Rumah itu jauh lebih luas dari rumah mertuanya, juga memiliki banyak jenis perabotan yang mahal. Di sana, dia tidak tinggal sendiri. Rumah itu sudah lama ditempati oleh Alex, sahabatnya sejak SMP sekaligus teman yang sangat dia percayai. “Kamu beneran balik, Gas?” tanya Alex saat melihat temannya datang dengan membawa ransel. Dia sudah tahu apa yang terjadi dengan rumah tangga Bagas. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang tulus. Bagas duduk di sofa. “Ya, mau gimana lagi?” Tidak ada yang bisa Bagas jelaskan lebih dari ini. Alex juga memahami bagaimana perasaan sahabatnya itu. Meskipun memutuskan untuk tidak bertanya lagi, tetapi Alex benar-benar respek dengan sikap tegas Bagas. “Aku harap kamu bisa menemukan cintamu yang setara.” Hanya itu yang bisa Alex katakan sebelum akhirnya dia beranjak dari sana dan membiarkan Bagas menyendiri terlebih dahulu. “Aku ada di sini buat dukung, kok,” katanya lagi setelah menepuk p
Devi mengadu kepada ibunya tentang jawaban Randy. Dia jelas sangat kecewa dengan apa yang sudah dikatakan lelaki itu.“Jalanin dulu aja bukan berarti nggak mau sama kamu, ‘kan?” kata Bu Wiwik mencoba untuk membuat putrinya percaya diri. “Iya, sih, Bu. Tapi, tetep aja masa Mas Randy kayak nggak ada niatan buat nikahin aku?” Entah mengapa dia mendadak ingin segera memiliki hubungan yang sah dengan lelaki itu. “Nak, lagian kan kamu masih belum resmi bercerai segara hukum dan agama. Tunggu dulu lah. Jangan terlalu tergesa-gesa, nggak enak juga sama tetangga.” Padahal tidak ada yang lebih menginginkan Devi bersatu dengan Randy lebih dari Bu Wiwik. Namun, dia juga masih mempertimbangkan reputasi keluarganya di mata tetangga. “Aku juga nggak mau yang langsung besok, Bu. Tapi, minimal dia ada niatan dan ucapan gitu kan biar aku tenang?”Bu Wiwik menepuk pundak putrinya, menenangkan. “Tenang aja. Lagian ini kesempatan k
“Apa maksud Kakek?” Ucapan Kakek Hendra membuat Bagas merasa aneh. Dia baru saja bercerai dan jika dia lebih melihat lagi ke dalam hatinya, perasaan cinta itu masih ada untuk sang mantan istri.Bohong jika Bagas berkata bahwa dirinya baik-baik saja setelah perceraian itu. Dia mengalami masa sulit dan untuk move on saja masih terkesan mustahil. Bukan karena cintanya masih utuh kepada Devi, melainkan rasa percayanya pada sebuah hubungan, apalagi terhadap wanita. Rasa sakit akibat pengkhianatan, diselingkuhi sangatlah buruk efeknya. Bagas mulai mempertanyakan nilai dirinya sendiri, menyalahkan dirinya atas tindakan yang Devi lakukan kepadanya. Itu terasa amat sangat berat bagi Bagas untuk bisa pulih dalam waktu dekat.“Kamu nggak seharusnya larut dalam kesedihan seperti itu, Bagas.” Bukan karena Kakek Hendra tidak peduli dengan kesedihan lelaki itu. “Kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dan setia padamu. Kamu harus ingat ba