Share

Disangka Suami Pengangguran Ternyata Sultan
Disangka Suami Pengangguran Ternyata Sultan
Penulis: Merry Heafy

Hinaan Bu Wiwik

Bab 1

"Cowok kok pegang sendok sayur tiap pagi! Kamu nggak malu apa?"

Bu Wiwik menatap sinis seorang pria yang berlalu lalang dengan mengenakan celemek sejak tadi. Pria yang disebut sebagai suami Devi itu sontak menoleh ke arah Bu Wiwik, kemudian melempar senyuman pada wanita paruh baya itu meskipun ia baru saja mendapatkan sindiran.

"Mas, lihat kemeja putih punya aku nggak? Kok aku cari di lemari nggak ada?" Devi muncul di dapur dan menghampiri suaminya tanpa mempedulikan nyinyiran ibunya.

"Bajunya aku setrika minggu kemarin. Coba kamu lihat di keranjang setrikaan," jawab sang suami yang bernama Bagas itu.

"Keranjangnya ada di kamar, kan? Aku coba cari dulu," sahut Devi.

"Buruan ganti baju! Nanti kamu telat. Aku udah bikinin teh sama sarapan buat kamu."

Bagas begitu telaten mengurus pekerjaan rumah dan menyiapkan segala sesuatu untuk istrinya yang sebentar lagi harus berangkat bekerja ke kantor.

Normalnya, para istri yang akan membereskan pekerjaan rumah dan menyiapkan sarapan untuk suaminya yang akan pergi bekerja. Namun, rumah tangga Bagas dan Devi tidak seperti rumah tangga orang-orang di luar sana. Diantara mereka, justru Bagas yang bertugas untuk mengurus rumah, sementara Devi bekerja di luar.

Hal ini sudah berlangsung selama 1 bulan lamanya. Pasangan suami istri itu baru melangsungkan pernikahan satu bulan yang lalu. Keduanya terlihat begitu bahagia, meskipun mereka nampak seperti bertukar peran.

"Suami kamu rajin banget, Devi? Pagi-pagi udah sibuk di dapur," sindir Bu Wiwik. "Habis ini kamu mau ngapain? Kamu mau cuci piring bekas istri kamu sama cuci baju dalamnya Devi?" cibir wanita paruh baya itu.

Bagas mendengar dengan jelas perkataan ibu mertua, tapi pria itu memilih untuk tak menggubris. Bagas segera menyiapkan alat makan untuk istrinya, dan mengambilkan sarapan yang sudah ia masak.

"Ibu kenapa sih tiap pagi marah-marah terus?" tegur Devi pada sang ibu. "Ibu nggak seneng apa punya menantu yang rajin?"

"Ibu lebih seneng punya mantu yang punya banyak duit! Pagi-pagi begini, harusnya dia mandi terus berangkat ke kantor. Bukannya malah ngurus dapur sama cucian," gerutu Bu Wiwik.

"Nggak ada salahnya kan kalau Mas Bagas bantuin aku di dapur? Kalau nggak ada Mas Bagas yang bantuin aku masak sarapan sama cuci baju, aku pasti udah telat sekarang," sahut Devi berusaha membela sang suami di depan sang ibu.

Bagas hanya bisa diam untuk menghargai orang tua istrinya. Pria itu tahu betul kalau ibu mertuanya memang tidak terlalu menyukai dirinya. Sejak awal, Bu Wiwik memang sudah menentang hubungan Bagas dan Devi. 

Apa lagi alasannya kalau bukan karena ekonomi? Bagi Bu Wiwik, Bagas hanyalah pria miskin yang tidak akan bisa membahagiakan putrinya. Namun, sayangnya Devi tetap memilih Bagas hingga akhirnya wanita itu bisa menikah dengan pria pujaannya.

"Kamu nggak malu apa lihat suami kamu kayak gini?" omel Bu Wiwik. "Kalau temen-temen kamu tanya soal kerjaan suami kamu, kamu mau jawab apa? Kamu mau umumin ke semua orang kalau suami kamu ini bapak rumah tangga?"

"Bu, jangan ngomong gitu di depan Mas Bagas!" ujar Devi.

"Emangnya kenapa? Omongan Ibu bener, kan?" timpal Bu Wiwik. "Apa yang bisa kamu banggain dari suami kamu? Kerjaan suami kamu nggak jelas, tiap hari dia cuma duduk di rumah ngurusin cucian."

Bu Wiwik terus melayangkan hinaan pada sang menantu. Pak Handi, suami dari Bu Wiwik ikut mendengar omelan istrinya, tapi sayang pria itu tak bisa berbuat banyak. 

Di rumah itu, tak ada satu pun orang yang bisa melawan Bu Wiwik. Jika bukan karena Bu Wiwik, Devi dan Bagas juga tidak akan tinggal di rumah itu saat ini. Bagas terpaksa ikut tinggal bersama dengan mertua, karena Bu Wiwik tak mau Devi dibawa pergi. Sebagai anak satu-satunya, Devi hanya bisa mengalah dan menuruti kemauan ibunya. Sayangnya, keputusan Devi justru membuat suaminya tersiksa karena harus berhadapan dengan mertua julid seperti Bu Wiwik.

"S-sini duduk, Mas! Ayo makan sama-sama!" ajak Devi pada Bagas yang berdiri di sudut dapur karena.

"Kamu makan aja duluan! Nanti kamu keburu telat berangkat ke kantor. Suami kamu biar makan nanti aja! Dia kan nganggur di rumah. Dia bisa makan nanti," ujar Bu Wiwik pada Devi.

Devi tak punya banyak waktu untuk meladeni ibunya. Wanita itu segera melahap makanannya, sementara suaminya masih sibuk di dapur, menyiapkan bekal untuknya.

"Aku berangkat dulu ya, Bu!" pamit Devi, sembari mencium tangan sang ibu.

"Hati-hati di jalan!"

Devi beralih menghampiri suaminya, kemudian melayangkan kecupan singkat ke pipi Bagas. "Makasih sarapannya ya, Mas? Aku berangkat dulu," pamit Devi.

"Ini bekalnya, Sayang."

Devi nampak girang menyambut tas kecil berisi bekal makanan buatan suaminya. "Omongan Ibu jangan dimasukin ke hati, ya? Aku yakin Ibu nggak bermaksud ngomong kayak gitu. Tolong kamu lebih sabar ngadepin Ibu, ya?"

Bagas mengangguk. Ini bukan waktunya untuk memperlihatkan wajah murung. Ia harus memberikan semangat pada istrinya yang akan berangkat ke tempat kerja.

"Hati-hati di jalan, Sayang! Nanti pulangnya aku jemput."

Begitulah gambaran singkat rumah tangga Devi dan Bagas. Pasangan pengantin baru itu hidup rukun bersama, namun keduanya tidak mendapatkan dukungan dari Bu Wiwik. Meski begitu, Bagas tak menyesal menikah dengan Devi. Berkat Devi, Bagas berhasil mendapatkan keluarga yang sudah ia impikan sejak lama. 

Sebagai orang yang hidup di panti asuhan sejak kecil, keluarga adalah hal mewah yang tak pernah didapatkan oleh Bagas selama hidupnya. Bersama dengan Devi, Bagas ingin mewujudkan keluarga impian yang sudah ia idam-idamkan sejak lama.

"Bagas, kamu nggak ngapa-ngapain kan hari ini? Daripada kamu cuma duduk-duduk, mendingan Kamu bersihin rumput di halaman belakang!" perintah Bu Wiwik pada Bagas. "Hari ini teman-teman arisan ibu mau mampir ke rumah. Kamu jangan berani-beraninya muncul di depan teman-teman Ibu! Pokoknya kamu nggak boleh masuk ke rumah selama temen-temen ibu di sini."

"Iya, Bu," jawab Bagas singkat.

"Kalau kamu nongol siang-siang di rumah, nanti Ibu bisa ketahuan punya menantu pengangguran," gerutu Bu Wiwik.

Bagas pasrah. Pria itu tak berani melawan kemauan ibu mertua. Hanya karena Bagas tidak bekerja di luar, Bu Wiwik selalu menganggap Bagas sebagai pengangguran, pria yang tidak punya pekerjaan jelas, bapak rumah tangga, dan sebutan sejenis yang menunjukkan kalau Bagas tidak berpenghasilan.

"Nak Bagas, kamu nggak apa-apa, kan?" Pak Handi menghampiri Bagas dan berusaha menghibur menantunya itu. Berbeda jauh dengan Bu Wiwik, Pak Handi sangat baik pada Bagas dan pria itu mendukung penuh hubungan Bagas dan Devi. Sayangnya, Pak Handi tidak mempunyai suara di rumah, jadi ia tak bisa ikut membela Bagas saat Bagas diinjak-injak oleh Bu Wiwik.

"Saya nggak apa-apa, Pak. Saya bersih-bersih halaman belakang dulu," pamit Bagas tanpa menunjukkan raut wajah sedih sedikit pun.

Pria itu membersihkan halaman belakang dengan semangat, hingga pekerjaan Bagas terhenti karena sebuah panggilan telepon. Pria itu meletakkan sapunya sejenak, kemudian mencari tempat sepi untuk mengangkat telepon tersebut.

"Halo?"

"Saya sudah mengirimkan beberapa laporan," ucap seorang pria di seberang sana.

"Oke. Saya akan kirimkan feedback secepatnya. Tolong kamu atur semuanya sesuai instruksi yang saya berikan."

"BAIK, BOS!"

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status