Share

Bab 7

Bagas kembali ke rumahnya yang sudah cukup lama dia tinggal. Rumah itu jauh lebih luas dari rumah mertuanya, juga memiliki banyak jenis perabotan yang mahal. Di sana, dia tidak tinggal sendiri. Rumah itu sudah lama ditempati oleh Alex, sahabatnya sejak SMP sekaligus teman yang sangat dia percayai.

“Kamu beneran balik, Gas?” tanya Alex saat melihat temannya datang dengan membawa ransel. Dia sudah tahu apa yang terjadi dengan rumah tangga Bagas. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang tulus.

Bagas duduk di sofa. “Ya, mau gimana lagi?”

Tidak ada yang bisa Bagas jelaskan lebih dari ini. Alex juga memahami bagaimana perasaan sahabatnya itu. Meskipun memutuskan untuk tidak bertanya lagi, tetapi Alex benar-benar respek dengan sikap tegas Bagas.

“Aku harap kamu bisa menemukan cintamu yang setara.” Hanya itu yang bisa Alex katakan sebelum akhirnya dia beranjak dari sana dan membiarkan Bagas menyendiri terlebih dahulu. “Aku ada di sini buat dukung, kok,” katanya lagi setelah menepuk pundak Bagas.

Tidak ada kata yang bisa menjelaskan betapa hancurnya Bagas saat ini. Harapan dia yang tinggal kenangan bersama sang istri tercinta, luka pengkhianatan yang begitu dalam.

“Kenapa akhirnya jadi begini?” ucapnya lirih sembari menatap langit-langit. Dia sudah berusaha untuk tidak menumpahkan air mata, tetapi yang kini dia rasakan, setelah jauh dari rumah mertuanya yang berarti jauh dari Devi juga, rasa kehilangan itu semakin nyata.

Apakah Bagas menyesali keputusannya yang telah melepas Devi?

“Aku bisa memaafkan semua kesalahan, kecuali pengkhianatan.” Itu adalah prinsip yang dia pegang dari dulu. Menikah dengan Devi berarti dia sepenuhnya sudah percaya dengan perempuan itu, tetapi hasil dari kepercayaannya yang penuh justru berakhir tragis seperti ini.

Bagas dikenal di keluarga istrinya sebagai lelaki yang pengangguran, memilih untuk melakukan tugas rumah dibanding dengan keluar untuk bekerja. Hal itu menjadikannya sering mendapatkan hinaan dari ibu mertuanya. Padahal, Bagas bukan pengangguran.

Bisnis yang berada di tangannya itu dikelola oleh Alex, sahabat yang merangkap sebagai tangan kanannya. Bisnis properti, trading, kuliner, pebankan, hingga bidang kesehatan, seperti memproduksi alat kesehatan/medis juga obat-obatan. Bisa dibilang, semua bisnis itu telah membuat Bagas lebih dari sekadar pria yang mapan.

Hanya saja, kemapanan itu tidak lantas membuatnya angkuh, sombong dan besar kepala. Dia menginginkan kehidupan yang damai, sederhana, jadi dia memilih untuk mengawasi itu semua dari jauh.

Namun, kali ini mungkin tidak lagi. Berpenampilan yang sederhana, hidup damai versinya ternyata membuat orang lain bisa merendahkannya sampai seburuk itu.

“Aku nggak punya waktu lagi untuk mengurus rumah dan istri.” Lebih tepatnya dia sudah tidak memiliki prioritas lagi selain bisnisnya. Jadi, untuk apa dia diam dan meratapi kesedihannya ini?

Bagas bangkit dari sofa dan berjalan menuju ke kamarnya yang sudah lama dia tinggalkan. Kamarnya berada di lantai dua sebelah kanan. Di sana ada lemari besar yang berisi seluruh pakaiannya.

Ada banyak macam pakaian yang dia miliki, mulai dari yang formal hingga santai. Bagas lalu mematut penampilannya saat ini di cermin. “Apa ini yang membuat mereka mudah menilaiku sebagai pengangguran?”

Kaus putih yang tidak cerah lagi, kemeja kotak-kotak yang kusam dan kerah yang kusut, celana jeans yang hampir kehilangan warna aslinya. “Aku rasa emang perlu ada sedikit perubahan,” gumam pria itu.

Bagas bukan tipe orang yang terlalu memerhatikan pakaiannya. Dia hanya memakai apa yang menurutnya nyaman, tetapi ternyata itu tidak serta merta membuat orang lain merasa puas.

Dia mengeluarkan seluruh pakaian lawasnya dari lemari, kemudian memanggil Alex untuk mengurus baju bekas itu.

“Mau kamu apakan baju-baju ini?” Alex terlihat kaget saat masuk ke kamar temannya dan keadaan tempat itu seperti kapal pecah. “Kamu mau pindahan lagi atau gimana, Gas?”

“Nggak, Lex,” jawab Bagas santai. Raut muramnya masih terlihat, tetapi nada bicara lelaki itu terdengar lebih ringan. “Aku cuma mau ganti baju-baju lamaku sama yang baru.” Dia melirik tumpukan baju itu dengan tatapan datar. “Itu masih layak pakai, ‘kan? Bisa nggak kalau dialokasikan ke tempat-tempat yang membutuhkan?”

Alex yang masih sedikit bingung itu hanya bisa mengangguk. “Oke. Nanti aku minta pelayan buat beresin ini, terus aku hubungi kenalanku.”

Di dalam rumah, Alex memang memperlakukan Bagas seperti teman karibnya. Dia menggunakan panggilan sapaan akrab seperti yang Bagas minta. Selain dari ini, misalnya saja dalam lingkup pekerjaan, dia bisa memanggil Bagas dengan sebutan yang lebih formal.

“Oke. Makasih, Lex.”

Alex tidak bertanya banyak, karena dia sadar bahwa Bagas sedang dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja. Untuk saat ini, dia hanya bisa berkata, “Yang sabar, ya. Semuanya pasti bakal cepat berlalu, kok.”

Jadi ini tentang masalah waktu. Bagas mengerti itu, tetapi dia tidak sepenuhnya yakin berapa lama dia bisa mengatasi rasa sakit dalam hatinya.

“Makasih buat nasihatnya, Lex.” Bagas kemudian mengatakan hal yang selanjutnya membuat Alex tercengang. “Mulai sekarang, aku bakal terjun langsung ke kantor. Aku akan mengurus semua bisnisku, tapi tentu saja aku masih butuh kamu sebagai tangan kananku, Lex.”

“Kamu yakin?”

Bagas mengangguk. “Udah lama aku cuma mengawasi dari jauh. Lagian sekarang aku nggak punya kesibukan apa pun.” Dia berharap dengan sibuk berbisnis, hatinya yang terluka bisa sedikit lebih terobati. Meski tidak ada jaminan bisa kembali ke sedia kala, paling tidak Bagas ada usaha untuk menjadi sosok yang lebih baik dalam segala hal.

Di samping itu, Devi yang telah berstatus janda itu sama sekali tidak menunjukkan kesedihan yang sama seperti Bagas. Wanita yang kini bertransformasi seperti wanita sosialita itu sibuk dengan pasangan barunya, yaitu Randy.

“Sayang, besok aku mau ke salon, ya. Rambut aku udah kusut begini tau!” Devi merengek saat mereka baru saja selesai makan siang di restoran mewah bintang lima. “Aku juga ada list belanja bulanan, nih. Kamu mau, ‘kan sekalian anterin aku?”

Randy mengernyitkan dahi, tampak iseng mengerjai kekasihnya. “Bukannya kemarin kamu udah belanja?”

“Ih! Kamu kok gitu, sih?! Kalau nggak mau, ya, udah!” Devi merajuk dengan wajah yang ditekuk.

Lalu, pria itu tertawa puas. “Bercanda, Sayang. Lagian apa, sih, yang nggak buat kamu?”

Devi memeluk satu lengan Randy yang tengah menyetir. “Makasih, Sayang!”

Semua kesalahan yang telah dia perbuat pada Bagas tidak pernah benar-benar dia pikirkan. Jangankan menyesalinya, dia kini mulai membenarkan apa yang sudah ibunya katakan sejak dulu. Bahwa selama ini Devi tidak benar-benar bahagia bersama Bagas. Devi dengan segala keinginan untuk hidup mewah dan serba kecukupan itu, tidak pernah dia dapatkan dari Bagas. Hanya Randy lah yang bisa memenuhi semua keinginannya itu.

“Malam ini kita ke hotel, ya?” pinta Randy dengan wajah santai. Permintaan itu seperti sesuatu yang sudah biasa dan normal. Tidak ada yang kesan tabu di antara mereka, meski keduanya sama-sama sadar bahwa hal itu tidak bisa dibenarkan dalam segi apa pun.

“Iya, Sayang. Apa pun buat kamu.” Devi menyanggupi tanpa ada tekanan sama sekali. Asalkan semua keinginannya dipenuhi, maka apa pun bisa dia berikan kepada Randy.

Tiba-tiba Devi teringat dengan perbincangannya dengan Bu Wiwik kemarin. “Oh ya, Sayang. Ngomong-ngomong, kapan kamu nikahin aku?” tanya Devi to the point.

Alis Randy seketika bertaut tajam. “Menikah? Kenapa tiba-tiba nanya hal begitu?”

“Ya nggak mungkin, dong, kita main belakang terus. Maksudku, aku juga pengin ngasih tau ke semua orang soal hubungan kita. Udah nggak zaman lagi harus ada backstreet gitu, ‘kan?”

Randy bergumam panjang. Dia lantas tersenyum. “Aku belum ada pikiran ke situ, Dev.”

Mata Devi mengerling tajam. “Loh, kenapa? Kamu nggak mau nikahin aku?”

“Bukan begitu, Sayang. Aku cuma nggak mau buru-buru aja. Kita kan belum lama menjalin hubungan. Jalanin aja dulu yang sekarang.”

Itu bukan jawaban yang Devi mau. Dia menginginkan Randy lebih dari sekarang. Mungkin bukan sosok pria itu yang benar-benar dia inginkan, melainkan harta yang dimiliki pria itu.

“Kamu nggak apa-apa, ‘kan?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status