Share

Bab 6

Baik Devi, Bu Wiwik dan Pak Handi, mereka tercengang dengan apa yang diberikan oleh Bagas. Deposito dengan jumlah uang yang fantastis, belum lagi sertifikat dua ruko. 

“Kamu pasti mau menipu kami, kan!” tuduh Bu Wiwik dengan tatapan tajam. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, dia berpikir bahwa menantunya itu hanya sedang menipu. Bagaimana bisa lelaki yang kesehariannya mengurus pekerjaan rumah punya banyak aset, bahkan bisa mengeluarkan deposito sampai seratus juta? 

“Kamu dapat uang ini dari mana, Bagas?” Pak Handi ikut menimpali. 

Sementara itu, Devi terlihat acuh tak acuh. Dia tidak terlalu peduli dengan kompensasi yang diberikan suami—atau lebih tepatnya mantan suami. Dia cukup lelah karena terpaksa melakukan kebohongan untuk menyelamatkan harga dirinya, meski pada akhirnya dia tidak bisa mengelak dari tuduhan pengkhianatan yang telah dilakukannya. 

“Kenapa diam saja?! Dari mana uang sebanyak ini?! Kamu habis nipu bank, ya?” Bu Wiwik tidak henti-hentinya menuduh. Dia sangat penasaran, juga merasa curiga dengan lelaki yang berlatar belakang tidak jelas seperti Bagas. 

Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Bagas, meskipun dia sudah sering mendapatkan penghinaan dari ibu mertuanya bahkan sampai detik terakhir dia memutuskan untuk menceraikan Devi. Dia sadar bahwa selama ini tidak ada ruang baginya di tempat ini. Segala hal baik dan pengorbanannya tidak pernah dianggap oleh ibu mertua, bahkan oleh istrinya sendiri. 

“Devi, apa kamu nggak ada sedikit pun rasa bersalah karena sudah berkhianat pada suamimu sendiri?” ujar Pak Handi yang terlihat benar-benar kecewa.

Pengkhianatan adalah balasan yang harus dia dapatkan dari sekian banyak hal yang telah dia berikan. Kepercayaan, penghormatan, sabar dan perjuangan untuk membahagiakan pasangannya. Mungkin ini akhir dari segala bentuk kesabaran yang selama ini Bagas lakukan. 

“Udah lah, Bu. Aku nggak mau ribut soal hal ini lagi. Aku capek!” Devi memilih untuk pergi ke kamarnya, mengabaikan pertikaian ibu dan Bagas. 

Di sisi lain, Bagas tidak lagi melihat sosok istrinya yang dulu. Keputusan yang telah dia ambil saat ini menjadi titik akhir hingga awal yang baru baginya, meski tidak dapat dipungkiri bahwa rasa sakit akan pengkhianatan itu benar-benar terasa nyata adanya. 

Bagas membereskan pakaian dan semua barang-barangnya di rumah itu. Dia tidak bisa lagi tinggal satu atap dengan Devi. Surat perceraian pun akan segera diurus di pengadilan. Jelas terasa berat bagi Bagas karena cintanya kepada sang istri sungguh tulus dan murni. 

“Aku pergi hari ini, ya.” Bagas berpamitan setelah mengemas barang-barangnya. Barang yang dia miliki tidak banyak, karena semenjak menikah dan pindah ke rumah ini, Bagas hanya membawa beberapa setel baju dan sisanya hanya sepatu dan tas. Sebagai seorang pria, dia tergolong sebagai sosok hemat dan sederhana dalam berpakaian. 

“Nggak banyak barang yang mau dibawa, tapi beres-beresnya lama banget!” sindir Devi sambil terus bermain ponsel di atas kasur. “Udah sana pergi!” usirnya ketus.

Bagas menghela napas berat. “Apa nggak ada satu kata pun yang bisa kamu katakan kepadaku, Dev?”

Devi mengerang jengkel. “Apa lagi, sih?!”

“Kamu nggak merasa bersalah sama sekali? Kenapa kamu malah menuduhku balik di hadapan bapak kamu kalau aku ngatain kamu wanita murahan?” Dia hanya membutuhkan sedikit penjelasan. Mungkin sedikit harapan ada kata maaf yang terlontar dari mulut wanita itu. 

Devi tidak menjawab dan lebih memilih untuk keluar kamar dengan membanting pintu hingga menimbulkan bunyi debum yang sangat keras. 

Dari sikapnya saja, Bagas sudah yakin bahwa pernikahan ini tidak bisa diselamatkan lagi. Bayang-bayang di mana Devi bermesraan dengan pria lain. Rasa sakit yang begitu menusuk hingga membuatnya merasa sulit untuk bernapas. 

“Akhirnya, satu orang yang suka bikin malu angkat kaki dari rumah ini!” Batin Bu Wiwik bersorak gembira. Dia merasa telah berhasil menyelamatkan putrinya dari suami yang hanya sibuk dengan urusan rumah. 

“Bu, Pak, aku pamit dulu, ya.” Bagas berniat bersalaman dengan mereka. Pak Handi menyambut dengan baik, bahkan pria paruh baya itu terkesan tak tega melihat menantu kesayangannya harus meninggalkan rumah ini. 

“Nak, apa kamu nggak mau pikir-pikir lagi soal perceraian itu? Apa nggak bisa kamu kasih kesempatan buat Devi sekali lagi?” Pak Handi memegang tangan Bagas sambil memohon. Dia sangat mendukung pernikahan putrinya dengan Bagas, berbeda dengan sang istri. 

“Udah lah, Pak!” Bu Wiwik menepis tangan mereka yang saling bertaut. “Lagian salah dia sendiri jadi suami, kok, nggak ada tanggung jawabnya! Pengangguran, miskin, pemalas lagi!”

“Bu--” 

“Nggak apa-apa, Pak.” Bagas memotong ucapan Pak Handi karena tidak mau pertengkaran ini terus berlanjut. Dia ingin pergi dari rumah ini dengan tenang. “Aku permisi, ya, Bu.” Namun, saat dia hendak menjabat tangan Bu Wiwik, wanita itu justru melengos dengan angkuh. 

Bagas hanya menghela napas, kemudian dia benar-benar pergi dari sana. Untuk terakhir kalinya setelah pengucapan talak itu pun Devi sama sekali tidak merasa bersalah, tidak ada kata maaf yang terucap dari bibir perempuan itu. 

“Pak, nggak usah sok peduli atau kasihan sama dia, deh!” serobot Bu Wiwik pada suaminya. “Udah bagus dia langsung menceriakan Devi. Coba aja dari dulu, pasti Devi udah bahagia dari dulu sama cowok pilihan Ibu.” Dia bersedekap dengan angkuh. Di pikirannya saat ini, tergambar sosok Randy yang benar-benar mencerminkan menantu idamannya.

“Bu, kenapa, sih, kamu sebenci itu sama Bagas? Bagas itu anaknya baik, loh, Bu. Dia nggak neko-neko dan selalu mengurus Devi. Dia aja nggak malu ngerjain pekerjaan rumah yang mestinya dikerjain sama perempuan.”

“Justru itu!” seru Bu Wiwik. “Karena itulah aku nggak mau dia jadi suami Devi! Sia-sia kita besarin anak, sampai sukses dan bekerja kalau pada akhirnya dapet suami yang statusnya cuma jadi bapak rumah tangga!”  

Pak Handi hendak menimpali, tetapi suara Bu Wiwik lebih dulu menyerangnya. “Lagian Bapak nggak usah belain dia, deh! Dia itu nggak guna. Harusnya Bapak belain anak sendiri, dukung Devi sama lelaki kaya raya biar hidupnya makmur!”

Selalu begitu. Pak Handi tidak pernah benar-benar memiliki suaranya sendiri. Bahkan meskipun apa yang dia katakan jauh lebih masuk akal, tetapi dengan emosi dan keegoisan Bu Wiwik selalu menuntut Pak Handi diam. 

“Aku heran, sebenernya Bapak ini orang tua Bagas atau Devi?!”

“Bukan begitu, Bu. Bapak cuma kasihan--”

“Kalau kasihan, harusnya kasihan sama anak sendiri, dong!” sentak Bu Wiwik. Dia menggelengkan kepala, menatap dengan sorot mata muak dan merendahkan. “Kalau nggak bisa bela anak sendiri, mending diam aja, deh, Pak!” 

Lalu, dengan angkuhnya Bu Wiwik meninggalkan Pak Handi yang hanya bisa diam sama sambil menatap kepergian Bagas. Dia benar-benar sangat menyayangkan keputusan anak itu, tetapi di sisi lain dia juga merasa hal ini cukup pantas atas pengkhianatan yang dilakukan oleh putrinya sendiri. 

Devi ada di kamarnya, masih sibuk bertukar pesan dengan Randy sampai pintu kamarnya terbuka dan sosok Bu Wiwik menghampirinya. 

“Bagas udah pergi, tuh!” Wanita tersebut tertawa licik. “Bagus lah. Ini lebih cepat dari yang Ibu bayangkan. Lagian kamu kenapa nggak minta cerai aja dari dulu sebelum ketahuan, sih?”

Devi memutar bola matanya malas. “Udah lah, Bu. Aku nggak mau bahas soal Mas Bagas lagi. Toh, kami juga udah cerai.” 

Mendadak ekspresi Bu Wiwik menjadi sangat antusias. Dia mendekat dan dan mengeluarkan dokumen berupa deposito dan sertifikat ruko yang menjadi pesangon dari perceraian anaknya. “Kamu nggak penasaran sama yang ada di sini, Nak?”

“Aku nggak peduli lagi, Bu.” Di pikirannya saat ini, Randy bisa memberikan hal yang lebih dari sekadar yang diberikan Bagas kepadanya. 

“Ya bagus, sih. Itu artinya kamu benar-benar udah bisa realistis soal Bagas. Tapi, yang Ibu maksud itu bukan Bagasnya, tapi uangnya. Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak ini?” Rasa penasarannya tidak bisa dihentikan sama sekali.

“Aku nggak mau tahu, Bu,” jawab Devi dengan santai.

Bu Wiwik menghela napas. “Ya udah. Kamu fokus aja menjalin hubungan dengan Randy. Pastikan kalau dia itu udah tergila-gila sama kamu. Lagian deposito ini cairnya masih nunggu waktu beberapa bulan lagi.”

Sejalan dengan proses perceraian mereka nanti. Bu Wiwik tidak begitu memusingkan tentang uang dan sertifikat itu. Dia hanya memerlukan waktu untuk mendapatkan pesangon dari bekas menantunya itu. 

“Ngomong-ngomong, gimana kalau kamu cepet-cepet aja nikah sama Randy? Ibu pasti seneng banget nantinya!” 

“Menikah sama Randy?” sahut Devi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status