Bagas kembali ke rumahnya yang sudah cukup lama dia tinggal. Rumah itu jauh lebih luas dari rumah mertuanya, juga memiliki banyak jenis perabotan yang mahal. Di sana, dia tidak tinggal sendiri. Rumah itu sudah lama ditempati oleh Alex, sahabatnya sejak SMP sekaligus teman yang sangat dia percayai. “Kamu beneran balik, Gas?” tanya Alex saat melihat temannya datang dengan membawa ransel. Dia sudah tahu apa yang terjadi dengan rumah tangga Bagas. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang tulus. Bagas duduk di sofa. “Ya, mau gimana lagi?” Tidak ada yang bisa Bagas jelaskan lebih dari ini. Alex juga memahami bagaimana perasaan sahabatnya itu. Meskipun memutuskan untuk tidak bertanya lagi, tetapi Alex benar-benar respek dengan sikap tegas Bagas. “Aku harap kamu bisa menemukan cintamu yang setara.” Hanya itu yang bisa Alex katakan sebelum akhirnya dia beranjak dari sana dan membiarkan Bagas menyendiri terlebih dahulu. “Aku ada di sini buat dukung, kok,” katanya lagi setelah menepuk p
Devi mengadu kepada ibunya tentang jawaban Randy. Dia jelas sangat kecewa dengan apa yang sudah dikatakan lelaki itu.“Jalanin dulu aja bukan berarti nggak mau sama kamu, ‘kan?” kata Bu Wiwik mencoba untuk membuat putrinya percaya diri. “Iya, sih, Bu. Tapi, tetep aja masa Mas Randy kayak nggak ada niatan buat nikahin aku?” Entah mengapa dia mendadak ingin segera memiliki hubungan yang sah dengan lelaki itu. “Nak, lagian kan kamu masih belum resmi bercerai segara hukum dan agama. Tunggu dulu lah. Jangan terlalu tergesa-gesa, nggak enak juga sama tetangga.” Padahal tidak ada yang lebih menginginkan Devi bersatu dengan Randy lebih dari Bu Wiwik. Namun, dia juga masih mempertimbangkan reputasi keluarganya di mata tetangga. “Aku juga nggak mau yang langsung besok, Bu. Tapi, minimal dia ada niatan dan ucapan gitu kan biar aku tenang?”Bu Wiwik menepuk pundak putrinya, menenangkan. “Tenang aja. Lagian ini kesempatan k
“Apa maksud Kakek?” Ucapan Kakek Hendra membuat Bagas merasa aneh. Dia baru saja bercerai dan jika dia lebih melihat lagi ke dalam hatinya, perasaan cinta itu masih ada untuk sang mantan istri.Bohong jika Bagas berkata bahwa dirinya baik-baik saja setelah perceraian itu. Dia mengalami masa sulit dan untuk move on saja masih terkesan mustahil. Bukan karena cintanya masih utuh kepada Devi, melainkan rasa percayanya pada sebuah hubungan, apalagi terhadap wanita. Rasa sakit akibat pengkhianatan, diselingkuhi sangatlah buruk efeknya. Bagas mulai mempertanyakan nilai dirinya sendiri, menyalahkan dirinya atas tindakan yang Devi lakukan kepadanya. Itu terasa amat sangat berat bagi Bagas untuk bisa pulih dalam waktu dekat.“Kamu nggak seharusnya larut dalam kesedihan seperti itu, Bagas.” Bukan karena Kakek Hendra tidak peduli dengan kesedihan lelaki itu. “Kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dan setia padamu. Kamu harus ingat ba
“Bagaimana, Pak? Apa semuanya berjalan dengan lancar?” Alex tahu bahwa belakangan Bagas menjadi sangat sibuk. Bagas menatap ke luar jendela. Jalanan sedikit sepi karena memang jam kerja sudah berakhir cukup lama, ditambah dengan cuaca yang kurang mendukung.“Semua berjalan dengan baik karena bantuan kamu juga,” katanya. Alex mengangguk pelan. Senyumnya menunjukkan rasa puas karena pujian dari bosnya. “Ngomong-ngomong, bagaimana menurut Anda dengan pegawai barunya? Apa semuanya kompeten?”“Sejauh ini kinerja mereka bagus.” Bagas bukan tipe bos yang menunjukkan diri dan dikenal oleh setiap karyawannya.Bagas memiliki kantor di setiap cabang perusahaan, tetapi dia tidak benar-benar menetap di sana. Terkadang hanya menghabiskan waktu selama beberapa jam saja, atau bahkan hitungan menit. Kendati demikian, itu tidak membuat Bagas kehilangan akses untuk menilai para pegawainya. “Nanti aku minta laporan terkait hasil kinerja pegawai baru, ya. Semuanya yang masuk bulan ini.” “Baik, Pak.”B
Bagas kembali mengingat-ingat momen di mana dia bertemu dengan perempuan itu untuk pertama kalinya. Dia tidak menduga bahwa perempuan tersebut adalah orang yang dia bicarakan dengan koleganya. “Ternyata dia nggak seberantakan penampilannya waktu itu,” ucap Bagas sambil menganggukkan kepala. Saat itu pula, ponselnya berdering, panggilan dari Alex.“Pak, soal manager yang Anda bicarakan, apa saya perlu mengatur pertemuan kalian? Atau Anda hanya perlu mengirimkan hadiah saja?”Pertanyaan itu membuat Bagas berpikir sejenak. Sebenarnya kurang baik jika hanya memberi hadiah tanpa ada ucapan terima kasih secara resmi. Hal itu juga mungkin akan membuat para pegawainya yang lain bisa mendapatkan motivasi untuk bekerja lebih baik lagi. “Atur aja pertemuanku dengannya,” jawab Bagas pada akhirnya.“Baik, Pak. Saya akan menyesuaikan jadwal Anda.”“Makasih, Lex. Nanti aku kabari lagi.”Panggilan pun berakhir. Paling tidak, dengan ini Bagas bisa memulai dirinya lebih banyak berinteraksi dan identi
Tidak ada angin, tidak ada hujan, Devi mendadak menghubungi Bagas dan minta jemput. Tentu saja Bagas terkejut saat nama mantan istrinya tertera sebagai penelepon. Namun, begitu mendengar tujuan wanita itu meneleponnya, hilang sudah rasa penasaran dan respeknya. “Kenapa nggak minta cowok kamu aja, Dev?” balas Bagas dingin tanpa basa-basi. “Dia ada urusan mendadak, jadi nggak bisa jemput aku. Mas, kamu pasti lagi nganggur, ‘kan? Jemput aku aja sini.”Bagas menghela napas panjang. Bagaimana bisa ada wanita seperti ini? Sangat tidak tahu malu. Entah apa yang sudah merasuki Devi, padahal dulu wanita itu adalah sosok yang ramah, lembut dan perhatian. Namun, semenjak perselingkuhan itu, Devi menjadi kasar dan manipulatif.“Nggak bisa aku lagi ada urusan.” Masa bodoh dengan mantan istrinya itu, Bagas segera menutup panggilan. Namun, suara Devi di seberang telepon meneriaki namanya. “Apa lagi?”“Kamu tega sama aku, Mas? Aku cewek, masa dibiarin pulang sendirian? Kamu tega, Mas?!” Bagas sung
Bagas menyalakan motornya, hendak pulang. Namun, tiba-tiba seseorang keluar dari rumah Devi dan meneriaki namanya. “Bagas! Sini kamu!”Siapa lagi kalau bukan Bu Wiwik. Bagas kira orang rumah sudah tidur, ternyata masih ada yang bangun dan rela keluar untuk memarahinya. “Kamu apakan Devi sampai nangis kayak gitu?!” bentak Bu Wiwik dengan amarah yang berkobar.“Devi nangis?” tanya Bagas yang benar-benar merasa heran. Padahal tadi wanita itu terlihat baik-baik saja, bahkan masih sempat marah. Tidak ada tanda bahwa Devi akan menangis, yang ada Devi yang memancing pertengkaran lebih dulu. “Aku nggak ngapa-ngapain dia, Bu. Aku cuma nganterin diaa, lagian--”“Alasan aja kamu! Dasar nggak tahu diri! Kamu itu bukan suami Devi lagi. Nggak berhak buat antar jemput anakku.”Bagas lagi-lagi tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan.“Kamu masih godain anakku, ‘kan? Dasar nggak tahu malu! Udah miskin, kegatelan sama mantan istri pula!”“Bu, aku nggak godain Devi. Dia sendiri yang minta tolong di
Pengakuan Arum barusan membuat Vera sampai menjatuhkan sendok makannya. Suara dentingan benda jatuh yang menghantam lantai sontak membuat Arum merasa kikuk. “Kamu serius?” ungkap Vera setelah terbengong beberapa detik. Arum mengangguk. “Suka sama Pak Bagas? Suka yang udah beneran cinta gitu?” Dia membisikkan pertanyaan terakhir. Wajahnya perpaduan kaget dan heran.“Makanya aku tanya, apa beneran dia udah punya istri. Nggak mungkin juga aku nyimpan perasaan buat laki-laki yang udah punya suami, ‘kan?” Arum merasa bersalah. Karena perasaan ini timbul hanya sebatas suka, dia harus mewanti-wanti dengan pencari tahu status Bagas lebih dulu. Dia tidak mau menimbulkan masalah hanya karena perasaan pribadinya. Meskipun, mustahil juga kalau Arum sampai mengungkapkan ketertarikannya kepada Bagas. Dia juga sadar dengan posisinya di tempat kerja. Dia hanya bawahan, terlebih orang baru yang bergabung di perusahaa