Tidak ada angin, tidak ada hujan, Devi mendadak menghubungi Bagas dan minta jemput. Tentu saja Bagas terkejut saat nama mantan istrinya tertera sebagai penelepon. Namun, begitu mendengar tujuan wanita itu meneleponnya, hilang sudah rasa penasaran dan respeknya. “Kenapa nggak minta cowok kamu aja, Dev?” balas Bagas dingin tanpa basa-basi. “Dia ada urusan mendadak, jadi nggak bisa jemput aku. Mas, kamu pasti lagi nganggur, ‘kan? Jemput aku aja sini.”Bagas menghela napas panjang. Bagaimana bisa ada wanita seperti ini? Sangat tidak tahu malu. Entah apa yang sudah merasuki Devi, padahal dulu wanita itu adalah sosok yang ramah, lembut dan perhatian. Namun, semenjak perselingkuhan itu, Devi menjadi kasar dan manipulatif.“Nggak bisa aku lagi ada urusan.” Masa bodoh dengan mantan istrinya itu, Bagas segera menutup panggilan. Namun, suara Devi di seberang telepon meneriaki namanya. “Apa lagi?”“Kamu tega sama aku, Mas? Aku cewek, masa dibiarin pulang sendirian? Kamu tega, Mas?!” Bagas sung
Bagas menyalakan motornya, hendak pulang. Namun, tiba-tiba seseorang keluar dari rumah Devi dan meneriaki namanya. “Bagas! Sini kamu!”Siapa lagi kalau bukan Bu Wiwik. Bagas kira orang rumah sudah tidur, ternyata masih ada yang bangun dan rela keluar untuk memarahinya. “Kamu apakan Devi sampai nangis kayak gitu?!” bentak Bu Wiwik dengan amarah yang berkobar.“Devi nangis?” tanya Bagas yang benar-benar merasa heran. Padahal tadi wanita itu terlihat baik-baik saja, bahkan masih sempat marah. Tidak ada tanda bahwa Devi akan menangis, yang ada Devi yang memancing pertengkaran lebih dulu. “Aku nggak ngapa-ngapain dia, Bu. Aku cuma nganterin diaa, lagian--”“Alasan aja kamu! Dasar nggak tahu diri! Kamu itu bukan suami Devi lagi. Nggak berhak buat antar jemput anakku.”Bagas lagi-lagi tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan.“Kamu masih godain anakku, ‘kan? Dasar nggak tahu malu! Udah miskin, kegatelan sama mantan istri pula!”“Bu, aku nggak godain Devi. Dia sendiri yang minta tolong di
Pengakuan Arum barusan membuat Vera sampai menjatuhkan sendok makannya. Suara dentingan benda jatuh yang menghantam lantai sontak membuat Arum merasa kikuk. “Kamu serius?” ungkap Vera setelah terbengong beberapa detik. Arum mengangguk. “Suka sama Pak Bagas? Suka yang udah beneran cinta gitu?” Dia membisikkan pertanyaan terakhir. Wajahnya perpaduan kaget dan heran.“Makanya aku tanya, apa beneran dia udah punya istri. Nggak mungkin juga aku nyimpan perasaan buat laki-laki yang udah punya suami, ‘kan?” Arum merasa bersalah. Karena perasaan ini timbul hanya sebatas suka, dia harus mewanti-wanti dengan pencari tahu status Bagas lebih dulu. Dia tidak mau menimbulkan masalah hanya karena perasaan pribadinya. Meskipun, mustahil juga kalau Arum sampai mengungkapkan ketertarikannya kepada Bagas. Dia juga sadar dengan posisinya di tempat kerja. Dia hanya bawahan, terlebih orang baru yang bergabung di perusahaa
Devi mengucek matanya untuk memastikan siapa yang dia lihat. Dari perawakan dan gaya rambutnya, jelas terlihat seperti Bagas. Namun, tidak dengan pakaian mahal itu. “Nggak mungkin Mas Bagas ada di tempat ini. Lagian sejak kapan dia punya jas mahal begitu?” Devi bergumam sendiri. Lantas, dia melanjutkan perjalanannya menuju ke toilet.Saat kembali dari toilet, Randy sudah tidak ada di meja makan. Pria itu menghubungi Devi melalui pesan singkat bahwa dia pulang lebih dulu karena ada urusan kerja. Beruntung makanannya sudah dibayar, jadi Devi tidak perlu bingung dengan tagihan makanan yang harganya selangit itu.“Mentang-mentang punya duit, dia jadi seenaknya sama aku!” gerutu Devi saat siap-siap pulang. Sementara itu, tanpa wanita itu sadari sosok yang tadinya dia kira Bagas tengah menyantap makanan malamnya dengan santai. Pria itu memang Bagas, dia sedang bersama klien dari luar negeri. Devi pul
“Katanya dia nggak akan dateng,” gumam Arum tanpa sadar saat melihat kedatangan Bagas di acara itu. Sam yang masih memperhatikan gadis itu tersenyum miris. “Dia Bagaskara, ‘kan? CEO kita.”Arum mengerjap kaget. Sadar bahwa dia sudah lama melamun, membuat dia merasa kikuk dan takut ketahuan oleh Sam. “Iya. Kabar ternyata mudah tersebar, ya. Perasaan baru kemarin Pak Bagas menunjukkan batang hidungnya di tim aku. Sekarang, kayaknya sudah hampir semua karyawan tahu, deh, siapa CEO kita.”“Lagian aneh aja kenapa dia harus menyembunyikan identitasnya? Padahal dia seorang pemimpin.” Sam memberi pendapatnya sendiri.“Setiap orang pasti punya alasannya,” kata Arum. “Lagian selagi nggak menimbulkan masalah, aku rasa sah-sah aja.” Ekspresi Sam mendadak menjadi masam saat mendengar jawaban itu. Di sisi lain, Arum terlihat ragu untuk menyapa Bagas. Dia mendadak merasa kerdil di tengah kerumunan manusia di mana ada Bagas di sana. “Demi apa?! Arum, kamu lihat Pak Bagas tadi?!” Vera dan yang lain
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Sam saat mereka sedang menuju ke rumah Arum. “Nggak apa-apa, kok.” Jawaban Arum tidak membuat Sam merasa lebih baik. Wajah gadis itu masih terlihat masam, bahkan semenjak mengiyakan ajakannya untuk pulang bareng. Bukannya Sam tidak tahu, melainkan dia ingin memastikan apakah alasan Arum menjadi muram itu karena Bagas.“Kamu besok malam ada acara nggak?” Sam kembali membuka obrolan.“Belum tahu, memangnya kenapa?”Sam tersenyum. “Besok ulang tahun Mama aku. Mama udah nanyain kamu dari kemarin, loh.”“Tante Nisa?” Arum tampak antusias. “Nanti aku lihat dulu, deh. Semoga aja nggak ada lembur, jadi aku bisa dateng.”“Santai aja lagi. Acaranya cuma syukuran kecil, kok.”“Tetap aja. Aku juga udah lama nggak nyapa mama kamu.” Hubungan mereka memang terbilang dekat meski Arum tidak sesering itu bertemu dengan ibunya Sam. Sekali saat masih kuliah dan kedua kalinya saat ibunya Sam masuk ke rumah sakit.Sesampainya di depan rumah Arum, gadis itu berpamitan. “Makasih
Hari itu terasa berat bagi Arum. Sepanjang hari dia bekerja, tidak ada gairah sama sekali. Pikirannya mendadak penuh dengan hal-hal yang tidak seharusnya ada di pikirannya.Saat waktu makan siang tiba, Arum pergi ke kantin dengan Vera dan yang lain. Temannya itu sadar ada yang berbeda dengan Arum, terlebih saat berpapasan dengan Bagas. Gadis itu segera bersembunyi di balik tubuh Vera yang notabene lebih berisi darinya. “Kamu ini kenapa, sih?” tanya Vera mulai jengah. “Kenapa sampai sembunyi gitu pas ada Pak Bagas?” “Nggak apa-apa,” ucapnya singkat.“Nggak mungkin nggak ada apa-apa.” Vera menyipit curiga. “Seharian kamu juga kelihatan nggak mood. Kamu habis bikin salah apa?” Saat Arum baru saja mendarat di kursi kantin, sesaat sebelum dia hendak menjelaskan, seseorang dari arah pintu masuk memanggil namanya. “Arum!” Sosok itu tidak lain adalah Sam. Lelaki itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. “Eh, kok, ada Sam di sini?” Vera berbisik pada Arum. Arum mengabaikan ucapan Ve
Bagas tidak terlalu menghiraukan ucapan Vanessa. Baginya, wanita itu hanya asal bicara saja tentang kehidupannya. Lalu, di acara makan malam itu semuanya berjalan dengan lancar. Bagas bersyukur karena Kakek Hendra tidak mengungkit hal yang mengarah ke perjodohan. Mungkin ini semacam taktik halus untuk membuatnya merasa aman tanpa ada keresahan berada di lingkup keluarga Atmadja.Keesokan harinya, Bagas mengadakan meeting dengan para karyawan Scilab untuk membahas peluncuran produk baru mereka yang akan dilaksanakan lusa. Di sana Bagas memimpin rapat itu dengan tenang dan di sampingnya ada Alex yang selalu mendampingi. “Kami harap launcing bulan ini menjadi salah satu terobosan baru yang akan membawa Scilab ke kancah yang lebih tinggi. Ingat bahwa kerjasama tim adalah modal penting untuk kita bisa berada di titik ini. Jadi, jaga kepercayaan antar sesama rekan kerja dan buatlah konsumen kita puas dengan hasil yang maksimal.” Bagas mengakhiri sesi pidatonya dengan baik.Para staf yang
Note : Cerita ini adalah season kedua, tapi tidak berkaitan dengan season 1. Hanya temanya saja yang sama. Semoga syuka yaa ...SUAMI DEKILKU BUKAN PEKERJA SERABUTAN BIASA(1)"Dinda, harusnya kamu itu sadar diri! Kamu itu cuma lulusan SMP. Pekerjaan kamu juga nggak jelas. Tampang kamu pun nggak ada bagus-bagusnya. Kamu pikir, ada laki-laki yang mau nikah sama perempuan seperti kamu?""Dasar perawan tua nggak tahu diri!""Harusnya kamu ngaca dulu sebelum pilih-pilih suami!"Dinda hanya bisa diam mendengar hinaan dari keluarganya. Saat ini, gadis itu tengah berkumpul bersama dengan nenek, bibi, dan keponakannya di rumah kecil yang mereka tinggali bersama."Kamu pengen suami yang kayak apa sih, Dinda? Harusnya kamu bersyukur, Bibi mau ngenalin kamu sama juragan kaya!" omel Bibi Yuni."Jadi perempuan tuh jangan pemilih!" sahut Bibi Dara. "Kamu beneran mau jadi perawan tua?" cibirnya."Kamu nggak suka karena juragan itu udah tua? Kamu pengennya punya suami tajir dan masih muda?" sinis Nen
Mereka terusir dari rumah sendiri. Satu keluarga itu telah ditipu oleh lelaki yang dulu sangat disanjung-sanjung. “Kamu masih belum dapet kabar dari suamimu, Dev?” tanya Bu Wiwik dengan tatapan lemas. Dia menjadi sakit-sakitan semenjak kedatangan agen properti minggu lalu. “Masih nggak ada kabar, Bu. Orang kantor juga nggak tahu apa-apa. Mas Randy udah dipecat dari seminggu lalu.” Tidak berbeda jauh dari ibunya, Devi meski terlihat lebih bugar secara fisik, tetapi dia hampir gila. Bagaimana tidak? Semua aset dan tabungannya sudah dirampas oleh Randy. Namun, untungnya lelaki itu tidak tahu tentang sertifikat dua ruko peninggalan Bagas.Mereka tinggal di ruko itu untuk sementara ini. Tempatnya memang kecil, tetapi mereka sangat tertolong dengan tempat ini. “Nak, gimana kalau kita minta bantuan sama Bagas?” Pak Handi tiba-tiba memberi saran. “Kamu bilang Bagas itu atasan kamu, ‘kan? Dia itu orang baik, pasti mau bantu kita.”“Bapak ini apa-apaan, sih?” sergah Bu Wiwik. “Mau ditaruh di
Devi tidak menyangka bahwa CEO yang dimaksud oleh temannya--yang juga telah membuat Devi bertanya-tanya selama ini adalah mantan suaminya. Bagaskara Rahagi Narendra. Penampilan Bagas berubah 180 derajat. Necis, berkharisma dan tentunya terlihat mahal. Devi seperti melihat sosok lain dan hanya wajah saja yang sama. “Nggak mungkin,” gumamnya dengan sorot mata kosong. Para eksekutif kantor menyalami Bagas, berbicara dengan sangat hormat dan tunduk pada lelaki itu. Tidak terkecuali Randy. Siapa yang menyangka ternyata suaminya yang sekarang dia anggap sebagai lelaki yang lebih pantas bersanding dengannya itu justru tidak ada apa-apanya dibanding dengan Bagas. Dua kali Devi merasa tertipu. Saat tatapan keduanya bertemu, Bagas tidak menunjukkan ekspresi terkejut sama sekali. Dia bersikap seolah ini adalah kali pertama baginya bertemu dengan Devi. “Mas Bagas?” sapa Devi saat Bagas hendak melewatinya. “Ini beneran kamu, Mas?”Bagas berhenti sejenak. “Aku dengar kamu udah menikah. Selama
Setelah masa iddah selesai, Devi dan Randy melangsungkan pernikahan mereka. Pernikahan digelar mewah di sebuah gedung, hanya saja tidak ada banyak tamu di sana. Keluarga, kerabat dekat dan teman terdekat saja yang hadir. “Mas, akhirnya kita menikah juga, ya.” Devi terlihat sangat bahagia di sana. Belum lagi uang deposit dari Bagas juga sudah cair ke rekeningnya. Lengkap sudah kebahagiaan wanita itu.Usai pesta pernikahan, Devi dan Randy tinggal bersama Bu Wiwik dan Pak Handi. Itu sudah menjadi kesepakatan bersama, sebelum mereka menemukan hunian baru, sesuai dengan perminataan Devi.“Sayang, mulai sekarang kita terbuka secara finansial, ya,” ucap Randy saat sedang membantu Devi menata pakainnya di lemari. “Kata kamu kan uang deposito dari mantan suami kamu udah cair, nanti biar aku aja yang pegang. Kamu nggak keberatan, ‘kan?” tanyanya.“Nggak apa-apa, dong, Mas.”“Makasih, Sayang.” Randy memeluk pinggang Devi yang berdiri di sampingnya. “Aku punya kenalan orang-orang yang sukses di
Vera dan Silvi membungkam mulut mereka. Keduanya bahkan tidak berani untuk menatap Arum. Terkhusus untuk Silvi, dia masih menunjukkan sikap arogannya, meski hanya saat Arum sedang tidak fokus memerhatikan mereka.“Saya mewajarkan sikap kalian karena kalian juga berhak buat nggak suka sama saya, tapi saya nggak bisa menerima perlakuan bullying sampai membuat orang lain merasa terancam.” Tatapan Arum tertuju pada Silvi. “Kamu, Silvi. Saya belum tahu apa yang harus saya lakukan ke kamu.”Silvi tersentak mendengarnya. Jelas itu kata-kata yang sangat tidak aman untuk kelangsungan karier dia di Scilab. “Arum--eh, maksud saya Bu Arum, maafkan saya. Semua kejahatan yang saya buat kemarin lalu itu karena kebodohanku, rasa iri dan nggak profesional. Saya mohon pikirkan baik-baik tentang hukuman saya, Bu.”Silvi bahkan sampai menahan air matanya agar tidak jatuh. “Saya siap menerima konsekuensinya, tapi tolong jangan sampai saya dipecat.” Kedua telapak tangannya menyatu di dada.Arum menghela na
“Tunggu dulu, Pak!” Alex mengejar saat Bagas hampir mencapai pintu. “Bapak tahu siapa cowok itu?”Bagas mengangguk. “Kamu ingat sama cowok yang datengin Arum pas hujan waktu itu?”Seketika Alex terbelalak. “Ya Tuhan! Kenapa aku baru sadar.”“Dia sering jemput Arum kalau pulang. Hubungan mereka dekat, meski aku nggak tahu mereka sedekat apa. Tapi--”“Cowok itu suka sama Bu Arum. Dia cinta mati?” Alex tertawa sinis. “Tapi cara mainnya kotor.”Bagas mengepalkan kedua tangannya, dia setuju dengan ucapan Alex. “Aku minta kamu urus ini, ya. Arum mungkin bakal bareng sama cowok itu lagi--Sam namanya. Selidiki latar belakang cowok itu dan pastikan dia nggak bisa lari. Ambil tindakan secepat mungkin dan aku yang akan memastikan Arum tetap aman.”Alex menyanggupi interupsi lelaki itu. “Baik, Pak.”“Aku mengandalkanmu, Lex.” Sekali lagi, Bagas melihat Arum bersama dengan lelaki itu. Sejauh ini, dia sendiri tidak tahu apa hubungan mereka--atau mungkin lebih tepatnya Bagas tidak peduli karena itu
Bagas segera beranjak dari kursi kerjanya setelah jam istirahat tiba. Lelaki itu tidak yakin apakah dirinya perlu membicarakan hal ini dengan Arum lebih dulu atau tidak. Sama seperti Alex, Bagas juga merasa ada yang ganjil dengan masalah ini. Bagaimana bisa Arum dengan sengaja membuat skandal tentang mereka? Saat melihat Arum di lobi, Bagas buru-buru menghampirinya. Namun, kedatangan Sam membuat lelaki itu mendadak ragu. Bagas tahu bahwa Sam memiliki perasaan mendalam kepada gadis itu dan hal tersebut juga yang membuat Bagas ragu untuk mendekat. Namun, entah mengapa ada dorongan dalam hatinya ketika melihat dua orang itu berjalan bersama. Dorongan yang membuat Bagas merasa tidak rela jika harus membiarkan lelaki lain berada di samping gadis itu.“Arum, bisa minta waktunya sebentar?” tanya Bagas. Ada yang aneh dalam dirinya. Bagas tidak benar-benar ingin membicarakan tentang skandal itu, tetapi dia tetap berkeras ingin menahan Arum.Arum melirik ke arah Sam yang berdiri di sampingnya
Ancaman itu sempat membuat Arum gentar. Dia sadar dengan konsekuensi yang nantinya akan dia dapatkan, tetapi itu jika dia terbukti bersalah--atau memang dia melakukan kesalahan. Namun, pada kenyataannya Arum tidak melakukan kesalahan apa pun. Foto-foto itu juga tidak menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang pelakor. “Silakan,” katanya. Arum meninggikan sedikit dagunya, menatap Silvi tak gentar. “Pihak HRD juga nggak akan langsung mengambil keputusan hanya karena foto-foto murahan kayak gitu,” lanjut Arum dengan sedikit senyuman. Silvi mendadak heran, ke mana perginya Arum yang beberapa menit lalu terlihat ketakutan dan rapuh? “Aku nggak lagi main-main. Semua orang juga ada di pihakku. Kamu nggak akan bertahan lama di sini.” Mendengar itu lantas membuat Arum tersenyum. “Bahkan jika seluruh dunia berpihak padamu, memusuhiku, saya nggak peduli. Silvi, kebenaran akan selalu menang dengan cara apa pun dan nggak peduli seberapa lama waktu yang akan diambil.” Arum sadar bahwa ini bukan
Keesokan paginya, Bagas meminta Alex untuk meretas situs perusahaan. Pihak IT yang bertugas diwajibkan menyelesaikan perintah ini secepatnya.“Saya sudah menyuruh tim untuk meretas situs kita, Pak. Bapak tenang saja, semuanya pasti berjalan dengan lancar.” Alex mencoba memberi semangat kepada bosnya. “Karena masalah kemarin sudah selesai, apakah kita perlu mengatur ulang acara launching yang tertunda, Pak?”Alex terbiasa dengan sikap Bagas yang pendiam, tetapi diamnya lelaki itu saat ini terlihat tidak seperti biasanya. “Pak?” Dia heran dengan bosnya yang tampak tidak fokus hari ini. “Aku dengerin kamu, kok, Lex. Iya, biarkan mereka yang bekerja untuk sekarang.” Kendati berbicara demikian, pandangan mata lelaki itu terarah ke objek lain. Atau bahkan tidak kepada apa pun. Tubuh Bagas ada di tempat ini, tetapi tidak dengan pikiran dan hatinya. “Apa ada masalah lain, Pak?”“Nggak ada--seharunya nggak ada.” Bagas membuang napas panjang. Dia tidak mengerti mengapa isi pikirannya saat in