“Bagaimana, Pak? Apa semuanya berjalan dengan lancar?” Alex tahu bahwa belakangan Bagas menjadi sangat sibuk. Bagas menatap ke luar jendela. Jalanan sedikit sepi karena memang jam kerja sudah berakhir cukup lama, ditambah dengan cuaca yang kurang mendukung.“Semua berjalan dengan baik karena bantuan kamu juga,” katanya. Alex mengangguk pelan. Senyumnya menunjukkan rasa puas karena pujian dari bosnya. “Ngomong-ngomong, bagaimana menurut Anda dengan pegawai barunya? Apa semuanya kompeten?”“Sejauh ini kinerja mereka bagus.” Bagas bukan tipe bos yang menunjukkan diri dan dikenal oleh setiap karyawannya.Bagas memiliki kantor di setiap cabang perusahaan, tetapi dia tidak benar-benar menetap di sana. Terkadang hanya menghabiskan waktu selama beberapa jam saja, atau bahkan hitungan menit. Kendati demikian, itu tidak membuat Bagas kehilangan akses untuk menilai para pegawainya. “Nanti aku minta laporan terkait hasil kinerja pegawai baru, ya. Semuanya yang masuk bulan ini.” “Baik, Pak.”B
Bagas kembali mengingat-ingat momen di mana dia bertemu dengan perempuan itu untuk pertama kalinya. Dia tidak menduga bahwa perempuan tersebut adalah orang yang dia bicarakan dengan koleganya. “Ternyata dia nggak seberantakan penampilannya waktu itu,” ucap Bagas sambil menganggukkan kepala. Saat itu pula, ponselnya berdering, panggilan dari Alex.“Pak, soal manager yang Anda bicarakan, apa saya perlu mengatur pertemuan kalian? Atau Anda hanya perlu mengirimkan hadiah saja?”Pertanyaan itu membuat Bagas berpikir sejenak. Sebenarnya kurang baik jika hanya memberi hadiah tanpa ada ucapan terima kasih secara resmi. Hal itu juga mungkin akan membuat para pegawainya yang lain bisa mendapatkan motivasi untuk bekerja lebih baik lagi. “Atur aja pertemuanku dengannya,” jawab Bagas pada akhirnya.“Baik, Pak. Saya akan menyesuaikan jadwal Anda.”“Makasih, Lex. Nanti aku kabari lagi.”Panggilan pun berakhir. Paling tidak, dengan ini Bagas bisa memulai dirinya lebih banyak berinteraksi dan identi
Tidak ada angin, tidak ada hujan, Devi mendadak menghubungi Bagas dan minta jemput. Tentu saja Bagas terkejut saat nama mantan istrinya tertera sebagai penelepon. Namun, begitu mendengar tujuan wanita itu meneleponnya, hilang sudah rasa penasaran dan respeknya. “Kenapa nggak minta cowok kamu aja, Dev?” balas Bagas dingin tanpa basa-basi. “Dia ada urusan mendadak, jadi nggak bisa jemput aku. Mas, kamu pasti lagi nganggur, ‘kan? Jemput aku aja sini.”Bagas menghela napas panjang. Bagaimana bisa ada wanita seperti ini? Sangat tidak tahu malu. Entah apa yang sudah merasuki Devi, padahal dulu wanita itu adalah sosok yang ramah, lembut dan perhatian. Namun, semenjak perselingkuhan itu, Devi menjadi kasar dan manipulatif.“Nggak bisa aku lagi ada urusan.” Masa bodoh dengan mantan istrinya itu, Bagas segera menutup panggilan. Namun, suara Devi di seberang telepon meneriaki namanya. “Apa lagi?”“Kamu tega sama aku, Mas? Aku cewek, masa dibiarin pulang sendirian? Kamu tega, Mas?!” Bagas sung
Bagas menyalakan motornya, hendak pulang. Namun, tiba-tiba seseorang keluar dari rumah Devi dan meneriaki namanya. “Bagas! Sini kamu!”Siapa lagi kalau bukan Bu Wiwik. Bagas kira orang rumah sudah tidur, ternyata masih ada yang bangun dan rela keluar untuk memarahinya. “Kamu apakan Devi sampai nangis kayak gitu?!” bentak Bu Wiwik dengan amarah yang berkobar.“Devi nangis?” tanya Bagas yang benar-benar merasa heran. Padahal tadi wanita itu terlihat baik-baik saja, bahkan masih sempat marah. Tidak ada tanda bahwa Devi akan menangis, yang ada Devi yang memancing pertengkaran lebih dulu. “Aku nggak ngapa-ngapain dia, Bu. Aku cuma nganterin diaa, lagian--”“Alasan aja kamu! Dasar nggak tahu diri! Kamu itu bukan suami Devi lagi. Nggak berhak buat antar jemput anakku.”Bagas lagi-lagi tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan.“Kamu masih godain anakku, ‘kan? Dasar nggak tahu malu! Udah miskin, kegatelan sama mantan istri pula!”“Bu, aku nggak godain Devi. Dia sendiri yang minta tolong di
Pengakuan Arum barusan membuat Vera sampai menjatuhkan sendok makannya. Suara dentingan benda jatuh yang menghantam lantai sontak membuat Arum merasa kikuk. “Kamu serius?” ungkap Vera setelah terbengong beberapa detik. Arum mengangguk. “Suka sama Pak Bagas? Suka yang udah beneran cinta gitu?” Dia membisikkan pertanyaan terakhir. Wajahnya perpaduan kaget dan heran.“Makanya aku tanya, apa beneran dia udah punya istri. Nggak mungkin juga aku nyimpan perasaan buat laki-laki yang udah punya suami, ‘kan?” Arum merasa bersalah. Karena perasaan ini timbul hanya sebatas suka, dia harus mewanti-wanti dengan pencari tahu status Bagas lebih dulu. Dia tidak mau menimbulkan masalah hanya karena perasaan pribadinya. Meskipun, mustahil juga kalau Arum sampai mengungkapkan ketertarikannya kepada Bagas. Dia juga sadar dengan posisinya di tempat kerja. Dia hanya bawahan, terlebih orang baru yang bergabung di perusahaa
Devi mengucek matanya untuk memastikan siapa yang dia lihat. Dari perawakan dan gaya rambutnya, jelas terlihat seperti Bagas. Namun, tidak dengan pakaian mahal itu. “Nggak mungkin Mas Bagas ada di tempat ini. Lagian sejak kapan dia punya jas mahal begitu?” Devi bergumam sendiri. Lantas, dia melanjutkan perjalanannya menuju ke toilet.Saat kembali dari toilet, Randy sudah tidak ada di meja makan. Pria itu menghubungi Devi melalui pesan singkat bahwa dia pulang lebih dulu karena ada urusan kerja. Beruntung makanannya sudah dibayar, jadi Devi tidak perlu bingung dengan tagihan makanan yang harganya selangit itu.“Mentang-mentang punya duit, dia jadi seenaknya sama aku!” gerutu Devi saat siap-siap pulang. Sementara itu, tanpa wanita itu sadari sosok yang tadinya dia kira Bagas tengah menyantap makanan malamnya dengan santai. Pria itu memang Bagas, dia sedang bersama klien dari luar negeri. Devi pul
“Katanya dia nggak akan dateng,” gumam Arum tanpa sadar saat melihat kedatangan Bagas di acara itu. Sam yang masih memperhatikan gadis itu tersenyum miris. “Dia Bagaskara, ‘kan? CEO kita.”Arum mengerjap kaget. Sadar bahwa dia sudah lama melamun, membuat dia merasa kikuk dan takut ketahuan oleh Sam. “Iya. Kabar ternyata mudah tersebar, ya. Perasaan baru kemarin Pak Bagas menunjukkan batang hidungnya di tim aku. Sekarang, kayaknya sudah hampir semua karyawan tahu, deh, siapa CEO kita.”“Lagian aneh aja kenapa dia harus menyembunyikan identitasnya? Padahal dia seorang pemimpin.” Sam memberi pendapatnya sendiri.“Setiap orang pasti punya alasannya,” kata Arum. “Lagian selagi nggak menimbulkan masalah, aku rasa sah-sah aja.” Ekspresi Sam mendadak menjadi masam saat mendengar jawaban itu. Di sisi lain, Arum terlihat ragu untuk menyapa Bagas. Dia mendadak merasa kerdil di tengah kerumunan manusia di mana ada Bagas di sana. “Demi apa?! Arum, kamu lihat Pak Bagas tadi?!” Vera dan yang lain
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Sam saat mereka sedang menuju ke rumah Arum. “Nggak apa-apa, kok.” Jawaban Arum tidak membuat Sam merasa lebih baik. Wajah gadis itu masih terlihat masam, bahkan semenjak mengiyakan ajakannya untuk pulang bareng. Bukannya Sam tidak tahu, melainkan dia ingin memastikan apakah alasan Arum menjadi muram itu karena Bagas.“Kamu besok malam ada acara nggak?” Sam kembali membuka obrolan.“Belum tahu, memangnya kenapa?”Sam tersenyum. “Besok ulang tahun Mama aku. Mama udah nanyain kamu dari kemarin, loh.”“Tante Nisa?” Arum tampak antusias. “Nanti aku lihat dulu, deh. Semoga aja nggak ada lembur, jadi aku bisa dateng.”“Santai aja lagi. Acaranya cuma syukuran kecil, kok.”“Tetap aja. Aku juga udah lama nggak nyapa mama kamu.” Hubungan mereka memang terbilang dekat meski Arum tidak sesering itu bertemu dengan ibunya Sam. Sekali saat masih kuliah dan kedua kalinya saat ibunya Sam masuk ke rumah sakit.Sesampainya di depan rumah Arum, gadis itu berpamitan. “Makasih