#3
"Sayang, kenapa bengong? Buruan dihabisin makanannya!" tegur Bagas pada istrinya yang melamun sejak tadi. Devi nampak tidak fokus. Wanita itu masih memikirkan foto pria yang dikirim oleh ibunya malam tadi. Wanita itu nampak penasaran dan ingin menanyakan banyak hal pada sang ibu. "Devi, kamu lagi mikirin apa sih?" Devi tersentak kaget. "Aku nggak mikirin apa-apa," kilah Dewi. "Kenapa sarapannya nggak dimakan? Masakan aku nggak enak, ya?" tanya Bagas. "B-bukan gitu, Mas. Masakan kamu enak." Devi segera menghabiskan makanannya, kemudian wanita itu menyeret ibunya masuk ke dalam kamar untuk berbicara empat mata. "Ibu dapat dari mana foto cowok yang Ibu kirim ke aku semalam?" bisik Devi pada Bu Wiwik. "Kamu udah lihat fotonya? Gimana menurut kamu? Calon pilihan Ibu ganteng, kan? Kalau nggak salah, dia itu petinggi di bank. Namanya Randy." "Aku tanya, Ibu dapat foto itu dari mana?" tanya Devi lagi. "Kamu kenapa sih? Kamu udah nggak sabar ketemu sama dia? Ibu udah minta nomornya. Kamu bisa ketemuan sama dia kapan aja. Ibu bisa atur waktunya," ujar Bu Wiwik. "Aku nggak mau ketemu sama dia, Bu!" ucap Devi kemudian. "Tolong berhenti nyari cowok-cowok buat dikenalin ke aku! Aku nggak mau ketemuan sama cowok mana pun, apalagi sama orang yang namanya Randy itu." Devi terlihat bersikap berlebihan saat membahas tentang pria bernama Randy. Ternyata, Devi sudah mengenal laki-laki itu. Tidak hanya sekedar kenal, dulunya Devi pernah mempunyai hubungan khusus dengan Randy. Pria itu adalah mantan pacar Devi saat Devi masih sekolah dulu. Devi tak menyangka, ibunya bisa mengenal Randy, hingga berencana untuk mengenalkan Devi pada Randy. "Kamu bisa nyesel nanti kalau kamu nggak mau Ibu kenalin sama Randy," omel Bu Wiwik. "Aku nggak akan nyesel. Aku nggak mau kenal sama laki-laki manapun yang namanya Randy." Devi mengakhiri percakapannya dengan sang ibu, kemudian bergegas berangkat ke tempat kerja. Devi tak ingin lagi memikirkan tentang pria-pria yang akan dijodohkan dengannya. Hingga beberapa hari terakhir, Devi masih menjalani hari-hari damai di tempat kerja. Namun, hari ini ada satu kejadian yang membuat Devi gelisah sepanjang hari. "Hari ini ada kunjungan dari dewan direksi, jadi tolong semuanya bersiap untuk ikut penyambutan," ujar atasan Devi pada seluruh karyawan. Devi benar-benar tidak menyangka, ternyata salah satu petinggi yang hadir di kantor tempatnya bekerja adalah mantan kekasih yang pernah disebut-sebut oleh ibunya, yaitu Randy. Secara kebetulan, mereka bertemu lagi di tempat Devi bekerja setelah mereka berhenti saling menghubungi sejak lama. "Udah bertahun-tahun nggak ketemu, ternyata sekarang dia jadi petinggi bank?" gumam Devi. Siapa yang menyangka, mantan pacar Devi saat sekolah dulu bisa menjadi pria sesukses ini? "Kira-kira Randy masih ingat sama aku nggak, ya?" Devi terus mencuri pandang ke arah Randy selama ia ikut menyambut kedatangan para petinggi perusahaan. Namun, keduanya sama sekali tidak menunjukkan interaksi, sampai jam kerja Devi usai. [Aku jemput sekarang, ya? Di sini hujan deras sih, tapi aku udah siapin jas hujan.] Pesan singkat dari Bagas membuat Devi berhenti memikirkan Randy. Wanita itu harus sadar, saat ini ia sudah mempunyai suami. Tidak seharusnya Devi memikirkan pria lain hingga dibuat gelisah sampai seperti ini. "Hujannya deres banget? Kalau aku pulang sekarang, pasti tetap basah kuyup biarpun pakai jas hujan," gerutu Devi. Wanita itu berdiri di lobby kantor, menunggu suaminya yang sudah berada di jalan untuk menjemput. Saat tengah sibuk memperhatikan jalan raya, tiba-tiba seorang pria menghampiri Devi dan menepuk pelan bahu Devi. "Kamu Devi, ya?" Devi menoleh dan melihat pria berjas yang melempar senyum manis padanya. Wanita itu hampir tak percaya ketika ia melihat Randy datang untuk menyapa dirinya. Ternyata, pria itu masih ingat pada Devi. "Pak Randy?" "Nggak usah formal gitu. Panggil Randy aja," sahut Randy ramah. "Kamu apa kabar, Devi? udah lama ya kita nggak ketemu?" "Kabar aku baik," jawab Devi. "Aku nggak nyangka bisa ketemu sama kamu di sini." "Aku juga kaget waktu lihat kamu tadi. Kamu nggak berubah, ya? Kamu masih cantik, sama seperti dulu." Devi hanya tersenyum mendengar pujian dari mantan pacarnya. Keduanya berbincang cukup lama, hingga Randy menawarkan diri untuk mengantar Devi pulang. "Kamu mau pulang sekarang, kan? Sekalian aja bareng sama aku. Kalau nunggu hujan reda, kayaknya masih lama," ujar Randy. Devi termenung sejenak. Wanita itu nampak ragu untuk memberikan jawaban. Suami Devi sudah menjemput dengan menggunakan motor, tapi saat ini ada seorang pria yang menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang dengan menggunakan mobil. "Apa aku pulang bareng Randy aja, ya? Hujan-hujan begini, lebih enak pulang pakai mobil, kan?" batin Devi. Sementara itu, Bagas saat ini tengah berjuang melawan hujan demi menjemput istrinya di kantor. Perjalanan pria itu sempat terhambat, karena ia harus melewati genangan air yang cukup tinggi di beberapa ruas jalan. "Devi pasti udah kelamaan nunggu. Aku harus cepet-cepet jemput dia." Usai perjuangan panjang, akhirnya Bagas tiba dengan selamat di kantor istrinya. Sayangnya saat Bagas datang, Devi sudah pergi meninggalkan kantor. [Maaf, Mas, aku ada meeting mendadak sama atasan di luar. Kamu nggak perlu jemput aku. Nanti aku bisa pulang sendiri.] Bagas hanya bisa menghela nafas saat membaca pesan singkat dari istrinya. Sia-sia saja usaha Bagas menerjang hujan hanya untuk menjemput istri kesayangannya. "Tumben ada meeting dadakan pas jam pulang," gumam Bagas keheranan. Pria itu berteduh sejenak di area kantor Devi, sampai hujan reda. Bagas baru pulang ke rumah setelah waktu menunjukkan pukul 19.00 lewat. Begitu Bagas tiba, pria itu melihat Devi sudah berada di rumah. "Kamu dari mana aja sih, Mas?" tanya Devi pada Bagas. "Kamu kenapa udah ada di rumah? Bukannya tadi kamu bilang kamu ada meeting?" "Meeting-nya cuma sebentar, Mas." "Kamu pulang sama siapa tadi?" tanya Bagas. Devi nampak gelagapan. Wanita itu bahkan menghindari tatapan Bagas. "A-aku pulang sendiri." "Naik apa?" "Naik ojek tadi," jawab Devi lirih. "Kamu pasti lapar kan, Mas? Aku bawain makanan buat kamu." Devi langsung mengubah topik pembicaraan. Bagas masuk ke dalam rumah, kemudian melihat hamparan makanan mewah sudah tersaji di meja makan mereka. "Ayo makan, Mas! Mumpung makanannya masih hangat," ajak Devi. "Ini semua kamu yang beli? Kamu dapet uang dari mana? Bukannya gajian masih lama?" tanya Bagas dengan dahi berkerut. Dengan gaji Devi, rasanya tak mungkin Devi mampu membeli makanan mahal sebanyak itu. "Tinggal makan aja kok cerewet banget sih kamu, Bagas! Kalau kamu nggak suka, nggak usah ikut makan!" seru Bu Wiwik jengkel karena Bagas terus bertanya pada Devi sejak tadi. "Jangan ngomong gitu dong, Bu!" sahut Devi. "Mas Bagas kan cuma nanya." "Buruan duduk terus makan! Nggak usah banyak tanya. Bersyukur kamu harusnya istri kamu bawa pulang banyak makanan enak hari ini. Kamu mana mampu beli makanan kayak gini? Seumur-umur kamu pasti baru sekali kan nyicipin makanan dari restoran mahal?" cibir Bu Wiwik. Bagas tidak memberikan tanggapan. Pria itu hanya memakan beberapa sendok makanan, lalu masuk ke dalam kamar. Saat tidak ada siapa pun di meja makan, Devi mendekati Bu Wiwik, lalu membisikkan sesuatu pada ibunya itu. "Randy yang beliin semua makanan ini, Bu. Tadi aku nggak sengaja ketemu sama Randy di kantor. Orang yang ngantar aku pulang pakai mobil tadi ... juga Randy."4)"Hari ini aku lembur ya, Mas? Kamu nggak perlu jemput aku. Kamu bisa tidur lebih awal. Nanti aku pulangnya bareng mobil jemputan kantor," ujar Devi saat berpamitan pada sang suami."Lembur lagi?"Sudah berhari-hari Devi pulang larut malam dengan alasan lembur di kantor. Selama lembur pula, Devi tidak meminta Bagas untuk menjemputnya di kantor."Kerjaan aku lagi banyak banget, Mas. Kemungkinan bulan ini aku akan sering lembur," ujar Devi.Bagas tidak memberikan banyak komentar. Pria itu sangat mempercayai istrinya dan ia tak menaruh curiga sedikitpun. "Aku berangkat dulu, ya?"Devi melambaikan tangan pada sang suami. Wanita itu tidak meminta suaminya untuk mengantar dirinya berangkat kerja. Devi beralasan sudah dijemput oleh mobil kantor, tapi sebenarnya wanita itu dijemput oleh mobil laki-laki tanpa diketahui oleh Bagas.Hal ini berlangsung selama berminggu-minggu. Devi selalu diantar jemput oleh seorang pri
5)Bagas duduk termenung sendirian di luar hotel. Wajah pria itu sudah berubah pucat. Matanya sudah memerah karena menahan tangis.Bagas benar-benar hancur. Tak pernah terbayangkan oleh dirinya sebelumnya, ia akan mendapatkan pengkhianatan seperti ini dari orang yang sangat ia cinta.Pria itu tak tahu harus berbuat apa saat ini. Pikirannya kalut dan kacau. Bagas duduk di trotoar jalan hingga pagi tiba. Pria itu sempat melihat mobil Randy keluar dari hotel setelah puas bersenang-senang dengan istri orang semalaman."Makasih buat malam ini ya, Mas? Jangan lupa besok kamu harus nemenin aku belanja!" ucap Devi sebelum keluar dari mobil Randy."Iya, Sayang."Devi segera turun dari mobil, kemudian melambaikan tangan pada selingkuhannya. Dengan senyum merekah, wanita itu mulai melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki sampai ke rumah. Tepat setelah wanita itu berbalik badan, tiba-tiba senyum Devi langsung menghilan
Baik Devi, Bu Wiwik dan Pak Handi, mereka tercengang dengan apa yang diberikan oleh Bagas. Deposito dengan jumlah uang yang fantastis, belum lagi sertifikat dua ruko. “Kamu pasti mau menipu kami, kan!” tuduh Bu Wiwik dengan tatapan tajam. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, dia berpikir bahwa menantunya itu hanya sedang menipu. Bagaimana bisa lelaki yang kesehariannya mengurus pekerjaan rumah punya banyak aset, bahkan bisa mengeluarkan deposito sampai seratus juta? “Kamu dapat uang ini dari mana, Bagas?” Pak Handi ikut menimpali. Sementara itu, Devi terlihat acuh tak acuh. Dia tidak terlalu peduli dengan kompensasi yang diberikan suami—atau lebih tepatnya mantan suami. Dia cukup lelah karena terpaksa melakukan kebohongan untuk menyelamatkan harga dirinya, meski pada akhirnya dia tidak bisa mengelak dari tuduhan pengkhianatan yang telah dilakukannya. “Kenapa diam saja?! Dari mana uang sebanyak ini?! Kamu habis nipu bank, ya?” Bu Wiwik tidak henti-hentinya menu
Bagas kembali ke rumahnya yang sudah cukup lama dia tinggal. Rumah itu jauh lebih luas dari rumah mertuanya, juga memiliki banyak jenis perabotan yang mahal. Di sana, dia tidak tinggal sendiri. Rumah itu sudah lama ditempati oleh Alex, sahabatnya sejak SMP sekaligus teman yang sangat dia percayai. “Kamu beneran balik, Gas?” tanya Alex saat melihat temannya datang dengan membawa ransel. Dia sudah tahu apa yang terjadi dengan rumah tangga Bagas. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang tulus. Bagas duduk di sofa. “Ya, mau gimana lagi?” Tidak ada yang bisa Bagas jelaskan lebih dari ini. Alex juga memahami bagaimana perasaan sahabatnya itu. Meskipun memutuskan untuk tidak bertanya lagi, tetapi Alex benar-benar respek dengan sikap tegas Bagas. “Aku harap kamu bisa menemukan cintamu yang setara.” Hanya itu yang bisa Alex katakan sebelum akhirnya dia beranjak dari sana dan membiarkan Bagas menyendiri terlebih dahulu. “Aku ada di sini buat dukung, kok,” katanya lagi setelah menepuk p
Devi mengadu kepada ibunya tentang jawaban Randy. Dia jelas sangat kecewa dengan apa yang sudah dikatakan lelaki itu.“Jalanin dulu aja bukan berarti nggak mau sama kamu, ‘kan?” kata Bu Wiwik mencoba untuk membuat putrinya percaya diri. “Iya, sih, Bu. Tapi, tetep aja masa Mas Randy kayak nggak ada niatan buat nikahin aku?” Entah mengapa dia mendadak ingin segera memiliki hubungan yang sah dengan lelaki itu. “Nak, lagian kan kamu masih belum resmi bercerai segara hukum dan agama. Tunggu dulu lah. Jangan terlalu tergesa-gesa, nggak enak juga sama tetangga.” Padahal tidak ada yang lebih menginginkan Devi bersatu dengan Randy lebih dari Bu Wiwik. Namun, dia juga masih mempertimbangkan reputasi keluarganya di mata tetangga. “Aku juga nggak mau yang langsung besok, Bu. Tapi, minimal dia ada niatan dan ucapan gitu kan biar aku tenang?”Bu Wiwik menepuk pundak putrinya, menenangkan. “Tenang aja. Lagian ini kesempatan k
“Apa maksud Kakek?” Ucapan Kakek Hendra membuat Bagas merasa aneh. Dia baru saja bercerai dan jika dia lebih melihat lagi ke dalam hatinya, perasaan cinta itu masih ada untuk sang mantan istri.Bohong jika Bagas berkata bahwa dirinya baik-baik saja setelah perceraian itu. Dia mengalami masa sulit dan untuk move on saja masih terkesan mustahil. Bukan karena cintanya masih utuh kepada Devi, melainkan rasa percayanya pada sebuah hubungan, apalagi terhadap wanita. Rasa sakit akibat pengkhianatan, diselingkuhi sangatlah buruk efeknya. Bagas mulai mempertanyakan nilai dirinya sendiri, menyalahkan dirinya atas tindakan yang Devi lakukan kepadanya. Itu terasa amat sangat berat bagi Bagas untuk bisa pulih dalam waktu dekat.“Kamu nggak seharusnya larut dalam kesedihan seperti itu, Bagas.” Bukan karena Kakek Hendra tidak peduli dengan kesedihan lelaki itu. “Kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dan setia padamu. Kamu harus ingat ba
“Bagaimana, Pak? Apa semuanya berjalan dengan lancar?” Alex tahu bahwa belakangan Bagas menjadi sangat sibuk. Bagas menatap ke luar jendela. Jalanan sedikit sepi karena memang jam kerja sudah berakhir cukup lama, ditambah dengan cuaca yang kurang mendukung.“Semua berjalan dengan baik karena bantuan kamu juga,” katanya. Alex mengangguk pelan. Senyumnya menunjukkan rasa puas karena pujian dari bosnya. “Ngomong-ngomong, bagaimana menurut Anda dengan pegawai barunya? Apa semuanya kompeten?”“Sejauh ini kinerja mereka bagus.” Bagas bukan tipe bos yang menunjukkan diri dan dikenal oleh setiap karyawannya.Bagas memiliki kantor di setiap cabang perusahaan, tetapi dia tidak benar-benar menetap di sana. Terkadang hanya menghabiskan waktu selama beberapa jam saja, atau bahkan hitungan menit. Kendati demikian, itu tidak membuat Bagas kehilangan akses untuk menilai para pegawainya. “Nanti aku minta laporan terkait hasil kinerja pegawai baru, ya. Semuanya yang masuk bulan ini.” “Baik, Pak.”B
Bagas kembali mengingat-ingat momen di mana dia bertemu dengan perempuan itu untuk pertama kalinya. Dia tidak menduga bahwa perempuan tersebut adalah orang yang dia bicarakan dengan koleganya. “Ternyata dia nggak seberantakan penampilannya waktu itu,” ucap Bagas sambil menganggukkan kepala. Saat itu pula, ponselnya berdering, panggilan dari Alex.“Pak, soal manager yang Anda bicarakan, apa saya perlu mengatur pertemuan kalian? Atau Anda hanya perlu mengirimkan hadiah saja?”Pertanyaan itu membuat Bagas berpikir sejenak. Sebenarnya kurang baik jika hanya memberi hadiah tanpa ada ucapan terima kasih secara resmi. Hal itu juga mungkin akan membuat para pegawainya yang lain bisa mendapatkan motivasi untuk bekerja lebih baik lagi. “Atur aja pertemuanku dengannya,” jawab Bagas pada akhirnya.“Baik, Pak. Saya akan menyesuaikan jadwal Anda.”“Makasih, Lex. Nanti aku kabari lagi.”Panggilan pun berakhir. Paling tidak, dengan ini Bagas bisa memulai dirinya lebih banyak berinteraksi dan identi