4)
"Hari ini aku lembur ya, Mas? Kamu nggak perlu jemput aku. Kamu bisa tidur lebih awal. Nanti aku pulangnya bareng mobil jemputan kantor," ujar Devi saat berpamitan pada sang suami. "Lembur lagi?" Sudah berhari-hari Devi pulang larut malam dengan alasan lembur di kantor. Selama lembur pula, Devi tidak meminta Bagas untuk menjemputnya di kantor. "Kerjaan aku lagi banyak banget, Mas. Kemungkinan bulan ini aku akan sering lembur," ujar Devi. Bagas tidak memberikan banyak komentar. Pria itu sangat mempercayai istrinya dan ia tak menaruh curiga sedikitpun. "Aku berangkat dulu, ya?" Devi melambaikan tangan pada sang suami. Wanita itu tidak meminta suaminya untuk mengantar dirinya berangkat kerja. Devi beralasan sudah dijemput oleh mobil kantor, tapi sebenarnya wanita itu dijemput oleh mobil laki-laki tanpa diketahui oleh Bagas. Hal ini berlangsung selama berminggu-minggu. Devi selalu diantar jemput oleh seorang pria, yang tak lain ialah Randy. "Udah nunggu lama, Mas?" Devi memeluk Randy, kemudian memberikan kecupan untuk pria itu. Pagi-pagi sekali Randy sudah datang menjemput Devi demi mendapatkan jatah dari wanita itu. Ternyata diam-diam keduanya mulai berhubungan. Awalnya Devi tidak mempunyai niat untuk berkhianat dari suaminya. Namun, wanita itu mulai terlena saat ia mendapatkan banyak perhatian berupa kemewahan dari mantan pacarnya yang mempunyai karir cemerlang. Selama dekat dengan Randy, Devi dapat memiliki semua barang yang belum pernah ia dapatkan dari Bagas. Selama bersama dengan Randy, Devi dapat mengunjungi semua tempat yang tak bisa ia datangi bersama dengan Bagas. Randy terlalu memanjakan Devi dengan uang, hingga akhirnya membuat wanita itu melupakan suaminya. "Udah jam segini, kenapa Devi belum pulang juga, ya?" Bagas tak bisa tidur semalaman karena mengkhawatirkan istrinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari tapi Devi belum juga pulang. Pria itu juga sudah berusaha menghubungi Devi, tapi sayangnya Devi tidak menjawab panggilan telepon. Bagas bahkan mencari sampai ke kantor Devi, tapi pria itu tidak melihat ada aktivitas di gedung kantor tempat Devi bekerja. Jika wanita itu benar-benar lembur, harusnya Devi berada di di tempat kerja saat ini. Namun, Bagas mendapatkan informasi dari satpam gedung kalau semua karyawan sudah pulang sejak sore tadi dan tidak ada aktivitas lembur selama beberapa minggu terakhir. "Ke mana kamu sebenarnya, Devi? Kenapa kamu bohong sama aku?" Bagas agak kecewa pada Devi, tapi pria itu tak mau berburuk sangka pada sang istri. Bagas akhirnya memutuskan untuk menunggu istrinya di rumah dan ia juga ingin mendengar alasan apa yang akan diucapkan oleh istrinya untuk membela diri. Tepat pukul 05.00 pagi, Devi akhirnya pulang ke rumah. Wanita itu masih bisa tersenyum pada suaminya meskipun ia sudah ketahuan berbohong. "Kamu udah bangun, Mas?" saapa Devi pada Bagas. "Kenapa kamu baru pulang jam segini?" tanya Dimas. "Aku kan udah bilang sama kamu kalau minggu-minggu ini aku ada banyak kerjaan. Maaf, aku sampai pulang pagi begini tanpa ngasih tahu kamu," ucap Devi. Bagas hanya diam dan mengikuti kebohongan Devi. Pria itu ingin tahu sampai mana Devi akan menipu dirinya. "Kamu pasti capek, kan? Sini aku bantu ganti baju." Bagas mendekati Devi dan hendak melepas pakaian sang istri, tapi Devi segera menjauh sebelum Bagas memegang pakaiannya. "Kamu mau ngapain, Mas?" "Mau lepas baju kamu," sahut Bagas. "Aku bisa sendiri. Kamu nggak perlu bantuin aku," tukas Devi. Bagas kembali mendekat dan berusaha memeluk Devi, tapi Devi langsung memberontak. "Kamu apa-apaan sih, Mas?" sentak Devi. Bagas cukup terkejut mendengar bentakan dari istrinya. Sebelumnya Devi tak pernah menolak pelukan Bagas. Namun, wanita itu mulai bersikap berlebihan hanya karena Bagas menyentuh bahu Devi. "Aku cuma mau peluk kamu." "Aku capek, Mas! Aku baru aja pulang kerja. Kamu udah mau minta aku buat ngelayanin kamu?" sungut Devi. "Aku nggak minta kamu layanin aku. Aku cuma mau meluk sama nyium istri aku. Nggak boleh?" "Aku capek! Aku mau istirahat, jadi tolong jangan ganggu aku." Perlahan sikap Devi mulai berubah. Wanita yang biasa bersikap lembut pada Bagas itu, tiba-tiba berubah menjadi wanita yang kasar. Devi selalu marah setiap kali Bagas berusaha menyentuh dirinya, ataupun menyentuh barang-barangnya. Devi terlihat begitu takut saat Bagas memegang ponsel wanita itu. Dia juga nampak panik setiap kali Bagas berusaha membuka pakaiannya. Devi selalu menolak tiap kali Bagas mengajak dirinya berhubungan. Devi juga sudah jarang tidur di rumah, dan wanita itu selalu pergi setiap akhir pekan. Belakangan ini, Devi juga lebih sering berbelanja. Wanita itu mempunyai banyak tas baru dan sepatu baru dengan harga fantastis. Saat Bagas menanyakan barang-barang tersebut, Devi tak pernah mau mengaku dan selalu mengarang cerita untuk menipu suaminya. Hal ini pun membuat Bagas semakin curiga. Pria itu mulai mencari tahu kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Devi di luar sana selama wanita itu mengaku lembur kerja. "Bagas, Kamu mau ke mana malam-malam begini?" tanya Bu Wiwik saat memergoki Bagas yang hendak pergi mencari Devi. "Mau pergi keluar sebentar, Bu." "Devi nggak minta jemput sama kamu, kan? Mulai sekarang, jangan gangguin kegiatan Devi lagi! Devi nggak perlu lagi diantar jemput pakai motor butut kamu!" "Kenapa aku nggak boleh antar jemput Devi lagi, Bu?" "Kamu nggak perlu tahu! Ikutin aja apa kata Ibu. Biarin aja istri kamu seneng-seneng di luar sana kalau kamu beneran pengen lihat istri kamu bahagia," ujar Bu Wiwik. Bu Wiwik sudah tahu mengenai hubungan Devi dan Randy. Wanita paruh baya itu mendukung penuh hubungan Devi serta Randy. Bu Wiwik sudah mendesak Devi untuk segera menceraikan Bagas, tapi Devi belum bisa melepaskan Bagas. "Kebahagiaan Devi itu tanggung jawab aku sebagai suami, Bu. Mana bisa aku biarin Devi seneng-seneng di luar sana? Harusnya aku yang bikin Devi seneng," ucap Bagas. "Kamu bisa ngelakuin apa buat Devi, Bagas? Setelah nikah sama Devi, kamu udah kasih apa aja sama dia? Kamu pikir, selama ini Devi hidup seneng sama kamu?" cibir Bu Wiwik. "Kamu itu nggak punya apa-apa buat nyenengin anak Ibu! Harusnya kamu sadar diri, Bagas! Anak Ibu nggak bahagia nikah sama kamu." Tanpa mendengarkan perkataan mertuanya sampai selesai, Bagas langsung pergi meninggalkan rumah untuk mencari Devi. Pria itu mendatangi kantor Devi, dan tanpa sengaja ia melihat Devi bersama dengan seorang pria di tempat parkir. Bagas melihat dengan jelas istrinya berpelukan dan berciuman dengan pria lain. Awalnya Bagas mengira ia salah lihat. Bagas berusaha menyangkal dan ia tak mau mempercayai penglihatan matanya. "Itu nggak mungkin Devi, kan?" Bagas benar-benar hancur. Kepercayaannya sudah dipermainkan oleh istri yang sangat dicintai olehnya. "Kurang ajar! Apa yang udah kamu lakuin di belakang aku, Devi?" Manik mata Bagas menatap nyalang ke arah istrinya yang saat ini sedang bermain gila dengan laki-laki lain. Setelah bermesraan di tempat parkir, keduanya pergi meninggalkan gedung kantor untuk menuju ke sebuah hotel. Dengan hati yang sudah hancur berkeping-keping, Bagas membuntuti mobil yang ditumpangi oleh istrinya, hingga mereka tiba di hotel berbintang. Tanpa perlu dijelaskan lagi, Bagas sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh istrinya dan pria itu di dalam hotel tersebut. "Jadi ini alasan kamu nggak mau dipeluk sama aku lagi?" geram Bagas dengan dada bergemuruh. "Ternyata kamu lebih memilih pelukan laki-laki lain daripada pelukan suami kamu sendiri?"5)Bagas duduk termenung sendirian di luar hotel. Wajah pria itu sudah berubah pucat. Matanya sudah memerah karena menahan tangis.Bagas benar-benar hancur. Tak pernah terbayangkan oleh dirinya sebelumnya, ia akan mendapatkan pengkhianatan seperti ini dari orang yang sangat ia cinta.Pria itu tak tahu harus berbuat apa saat ini. Pikirannya kalut dan kacau. Bagas duduk di trotoar jalan hingga pagi tiba. Pria itu sempat melihat mobil Randy keluar dari hotel setelah puas bersenang-senang dengan istri orang semalaman."Makasih buat malam ini ya, Mas? Jangan lupa besok kamu harus nemenin aku belanja!" ucap Devi sebelum keluar dari mobil Randy."Iya, Sayang."Devi segera turun dari mobil, kemudian melambaikan tangan pada selingkuhannya. Dengan senyum merekah, wanita itu mulai melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki sampai ke rumah. Tepat setelah wanita itu berbalik badan, tiba-tiba senyum Devi langsung menghilan
Baik Devi, Bu Wiwik dan Pak Handi, mereka tercengang dengan apa yang diberikan oleh Bagas. Deposito dengan jumlah uang yang fantastis, belum lagi sertifikat dua ruko. “Kamu pasti mau menipu kami, kan!” tuduh Bu Wiwik dengan tatapan tajam. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, dia berpikir bahwa menantunya itu hanya sedang menipu. Bagaimana bisa lelaki yang kesehariannya mengurus pekerjaan rumah punya banyak aset, bahkan bisa mengeluarkan deposito sampai seratus juta? “Kamu dapat uang ini dari mana, Bagas?” Pak Handi ikut menimpali. Sementara itu, Devi terlihat acuh tak acuh. Dia tidak terlalu peduli dengan kompensasi yang diberikan suami—atau lebih tepatnya mantan suami. Dia cukup lelah karena terpaksa melakukan kebohongan untuk menyelamatkan harga dirinya, meski pada akhirnya dia tidak bisa mengelak dari tuduhan pengkhianatan yang telah dilakukannya. “Kenapa diam saja?! Dari mana uang sebanyak ini?! Kamu habis nipu bank, ya?” Bu Wiwik tidak henti-hentinya menu
Bagas kembali ke rumahnya yang sudah cukup lama dia tinggal. Rumah itu jauh lebih luas dari rumah mertuanya, juga memiliki banyak jenis perabotan yang mahal. Di sana, dia tidak tinggal sendiri. Rumah itu sudah lama ditempati oleh Alex, sahabatnya sejak SMP sekaligus teman yang sangat dia percayai. “Kamu beneran balik, Gas?” tanya Alex saat melihat temannya datang dengan membawa ransel. Dia sudah tahu apa yang terjadi dengan rumah tangga Bagas. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang tulus. Bagas duduk di sofa. “Ya, mau gimana lagi?” Tidak ada yang bisa Bagas jelaskan lebih dari ini. Alex juga memahami bagaimana perasaan sahabatnya itu. Meskipun memutuskan untuk tidak bertanya lagi, tetapi Alex benar-benar respek dengan sikap tegas Bagas. “Aku harap kamu bisa menemukan cintamu yang setara.” Hanya itu yang bisa Alex katakan sebelum akhirnya dia beranjak dari sana dan membiarkan Bagas menyendiri terlebih dahulu. “Aku ada di sini buat dukung, kok,” katanya lagi setelah menepuk p
Devi mengadu kepada ibunya tentang jawaban Randy. Dia jelas sangat kecewa dengan apa yang sudah dikatakan lelaki itu.“Jalanin dulu aja bukan berarti nggak mau sama kamu, ‘kan?” kata Bu Wiwik mencoba untuk membuat putrinya percaya diri. “Iya, sih, Bu. Tapi, tetep aja masa Mas Randy kayak nggak ada niatan buat nikahin aku?” Entah mengapa dia mendadak ingin segera memiliki hubungan yang sah dengan lelaki itu. “Nak, lagian kan kamu masih belum resmi bercerai segara hukum dan agama. Tunggu dulu lah. Jangan terlalu tergesa-gesa, nggak enak juga sama tetangga.” Padahal tidak ada yang lebih menginginkan Devi bersatu dengan Randy lebih dari Bu Wiwik. Namun, dia juga masih mempertimbangkan reputasi keluarganya di mata tetangga. “Aku juga nggak mau yang langsung besok, Bu. Tapi, minimal dia ada niatan dan ucapan gitu kan biar aku tenang?”Bu Wiwik menepuk pundak putrinya, menenangkan. “Tenang aja. Lagian ini kesempatan k
“Apa maksud Kakek?” Ucapan Kakek Hendra membuat Bagas merasa aneh. Dia baru saja bercerai dan jika dia lebih melihat lagi ke dalam hatinya, perasaan cinta itu masih ada untuk sang mantan istri.Bohong jika Bagas berkata bahwa dirinya baik-baik saja setelah perceraian itu. Dia mengalami masa sulit dan untuk move on saja masih terkesan mustahil. Bukan karena cintanya masih utuh kepada Devi, melainkan rasa percayanya pada sebuah hubungan, apalagi terhadap wanita. Rasa sakit akibat pengkhianatan, diselingkuhi sangatlah buruk efeknya. Bagas mulai mempertanyakan nilai dirinya sendiri, menyalahkan dirinya atas tindakan yang Devi lakukan kepadanya. Itu terasa amat sangat berat bagi Bagas untuk bisa pulih dalam waktu dekat.“Kamu nggak seharusnya larut dalam kesedihan seperti itu, Bagas.” Bukan karena Kakek Hendra tidak peduli dengan kesedihan lelaki itu. “Kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dan setia padamu. Kamu harus ingat ba
“Bagaimana, Pak? Apa semuanya berjalan dengan lancar?” Alex tahu bahwa belakangan Bagas menjadi sangat sibuk. Bagas menatap ke luar jendela. Jalanan sedikit sepi karena memang jam kerja sudah berakhir cukup lama, ditambah dengan cuaca yang kurang mendukung.“Semua berjalan dengan baik karena bantuan kamu juga,” katanya. Alex mengangguk pelan. Senyumnya menunjukkan rasa puas karena pujian dari bosnya. “Ngomong-ngomong, bagaimana menurut Anda dengan pegawai barunya? Apa semuanya kompeten?”“Sejauh ini kinerja mereka bagus.” Bagas bukan tipe bos yang menunjukkan diri dan dikenal oleh setiap karyawannya.Bagas memiliki kantor di setiap cabang perusahaan, tetapi dia tidak benar-benar menetap di sana. Terkadang hanya menghabiskan waktu selama beberapa jam saja, atau bahkan hitungan menit. Kendati demikian, itu tidak membuat Bagas kehilangan akses untuk menilai para pegawainya. “Nanti aku minta laporan terkait hasil kinerja pegawai baru, ya. Semuanya yang masuk bulan ini.” “Baik, Pak.”B
Bagas kembali mengingat-ingat momen di mana dia bertemu dengan perempuan itu untuk pertama kalinya. Dia tidak menduga bahwa perempuan tersebut adalah orang yang dia bicarakan dengan koleganya. “Ternyata dia nggak seberantakan penampilannya waktu itu,” ucap Bagas sambil menganggukkan kepala. Saat itu pula, ponselnya berdering, panggilan dari Alex.“Pak, soal manager yang Anda bicarakan, apa saya perlu mengatur pertemuan kalian? Atau Anda hanya perlu mengirimkan hadiah saja?”Pertanyaan itu membuat Bagas berpikir sejenak. Sebenarnya kurang baik jika hanya memberi hadiah tanpa ada ucapan terima kasih secara resmi. Hal itu juga mungkin akan membuat para pegawainya yang lain bisa mendapatkan motivasi untuk bekerja lebih baik lagi. “Atur aja pertemuanku dengannya,” jawab Bagas pada akhirnya.“Baik, Pak. Saya akan menyesuaikan jadwal Anda.”“Makasih, Lex. Nanti aku kabari lagi.”Panggilan pun berakhir. Paling tidak, dengan ini Bagas bisa memulai dirinya lebih banyak berinteraksi dan identi
Tidak ada angin, tidak ada hujan, Devi mendadak menghubungi Bagas dan minta jemput. Tentu saja Bagas terkejut saat nama mantan istrinya tertera sebagai penelepon. Namun, begitu mendengar tujuan wanita itu meneleponnya, hilang sudah rasa penasaran dan respeknya. “Kenapa nggak minta cowok kamu aja, Dev?” balas Bagas dingin tanpa basa-basi. “Dia ada urusan mendadak, jadi nggak bisa jemput aku. Mas, kamu pasti lagi nganggur, ‘kan? Jemput aku aja sini.”Bagas menghela napas panjang. Bagaimana bisa ada wanita seperti ini? Sangat tidak tahu malu. Entah apa yang sudah merasuki Devi, padahal dulu wanita itu adalah sosok yang ramah, lembut dan perhatian. Namun, semenjak perselingkuhan itu, Devi menjadi kasar dan manipulatif.“Nggak bisa aku lagi ada urusan.” Masa bodoh dengan mantan istrinya itu, Bagas segera menutup panggilan. Namun, suara Devi di seberang telepon meneriaki namanya. “Apa lagi?”“Kamu tega sama aku, Mas? Aku cewek, masa dibiarin pulang sendirian? Kamu tega, Mas?!” Bagas sung